Di rumah Suri dan Romeo, suasana pagi itu dipenuhi kesibukan. Para bodyguard berlalu lalang, mengawasi setiap sudut dengan penuh kewaspadaan. Sopir Romeo telah datang lebih awal, membawa satu mobil tambahan yang sarat dengan perlengkapan bayi—tempat tidur bayi, kotak mainan, stroller, serta koper-koper besar berisi pakaian. Mereka sudah memutuskan untuk pindah ke apartemen Romeo —tempat yang lebih aman, dengan penjagaan ketat.Suri berdiri di tengah ruang tamu. Matanya mengikuti pergerakan para pekerja yang sibuk membereskan barang-barangnya. Romeo, yang sedari tadi juga mengawasi, sesekali membantu, memastikan semuanya terkemas dengan rapi. Dengan penuh kehati-hatian, Suri menggendong Jeandra, membenamkan wajah sesaat di rambut lembut bayi perempuannya sebelum melangkah menuju mobil. Di sisi lain, Romeo mengambil Jevandro dari baby sitter dan menggendongnya dengan penuh kasih sayang. “Sudah siap?” tanya Romeo, menatap istrinya penuh perhatian. Suri mengangguk, matanya menyiratka
Romeo masih berdiri di dekat jendela, pikirannya melayang jauh. Hatinya terasa berat sejak menerima kabar dari Yonas. Entah mengapa bayangan wajah Aira yang tergolek lemah di rumah sakit terus mengganggu benaknya. Sementara itu, Suri masih duduk bersandar pada kepala ranjang sambil menyusui bayi kembarnya. Suara isapan kecil terdengar jelas di antara keheningan kamar. Ia sesekali membelai kepala kedua buah hatinya dengan penuh kasih sayang. Namun, Suri bisa merasakan bahwa sang suami tengah mencemaskan sesuatu. Tatapannya pun beralih, memperhatikan Romeo yang tampak gelisah. “Sayang, ada apa?"Suara Suri yang lembut membuat Romeo tersentak dari lamunan. Pria itu menekan bibirnya sebelum melangkah mendekati ranjang. Sorot matanya terlihat sendu, menyiratkan kesedihan yang tertahan. "Aira… sekarang berada di rumah sakit. Kondisinya kritis karena mengalami pendarahan," tutur Romeo lirih.Suri menghentikan gerakan jemarinya yang semula mengelus punggung Jeandra. Matanya melebar, det
Romeo melangkah tergesa-gesa memasuki rumah sakit. Begitu melewati pintu utama, tatapannya langsung menyapu ruangan, mencari bagian informasi. "Permisi," suaranya terdengar tegas meski diselubungi ketegangan. "Saya mencari pasien atas nama Aira Albantara." Resepsionis, seorang wanita muda dengan seragam putih, segera meneliti layar komputer di hadapannya. Jemarinya bergerak cepat di atas keyboard, sebelum akhirnya ia mengangkat kepala. “Pasien Aira Albantara sedang menjalani operasi di lantai tiga. Anda bisa menuju ke sana dengan lift di sebelah kanan.” Tanpa menunggu lebih lama, Romeo segera berbalik, melangkah lebar menuju lift. Jemarinya menekan tombol dengan gerakan cepat, lalu ia masuk begitu pintu logam itu terbuka. Hatinya semakin berdebar, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan.Saat angka di panel menunjukkan lantai tiga, pintu terbuka, dan ia bergegas melangkah keluar. Pandangannya segera menangkap sosok yang amat ia kenal. Di depan ruang operasi, nampak sang ibu
Kamar apartemen masih terasa hangat setelah sesi penuh gairah yang baru saja mereka lalui. Ivan berbaring dengan satu tangan di belakang kepala, sementara Patricia menyandarkan tubuhnya ke dada pria itu, jari-jarinya dengan manja menggambar pola tak beraturan di kulitnya. “Sayang,” rengeknya dengan nada menggoda. “Aku lapar. Pesankan sesuatu untukku dari Restoran Steak House. Aku ingin makan sesuatu yang enak.” Ivan menghela napas panjang. Pikirannya tengah kalut dengan banyak hal, tetapi Patricia justru memikirkan makanan mahal. Ia menoleh sekilas, sebelum menggeleng. “Tidak usah dari sana. Kita makan di warung mie ayam dekat sini,” sahutnya santai.Dahi Patricia mengernyit, lalu bibirnya membentuk seringai meremehkan. “Serius, Ivan? Aku tidak mau makan di pinggir jalan yang kotor. Kenapa kita tidak makan di restoran yang lebih layak?” Ivan mengalihkan pandangan ke langit-langit. Ia tahu Patricia akan bersikap seperti ini, tetapi mau tak mau perempuan itu harus mulai memahami
Lampu putih keperakan memancarkan sinarnya, menyelimuti suasana ruang observasi dengan kesan steril dan dingin. Romeo duduk di kursi dekat brankar. Kedua sikunya bertumpu pada lutut, sementara pandangannya tak lepas dari tubuh adiknya yang masih terbaring tak sadarkan diri. Di sebelahnya, Nyonya Valerie menangkupkan kedua tangan, jari-jari saling meremas dengan gelisah. Mata perempuan paruh baya itu terus mengawasi putrinya yang terlihat begitu pucat. Tiba-tiba, jemari Aira yang terkulai lemah itu bergerak sedikit.Romeo, yang sejak tadi penuh kewaspadaan, langsung menegakkan tubuhnya. “Aira bergerak, Ma.” Mata Nyonya Valerie membelalak. “Iya, Romeo. Cepat, panggil perawat!”Tanpa membuang waktu, Romeo segera menekan tombol panggil di sisi tempat tidur.Tak butuh waktu lama, seorang perawat bergegas masuk dan memeriksa kondisi Aira. Senter kecil diarahkan ke matanya, denyut nadinya dicek, sementara alat pemantau menunjukkan peningkatan respons.“Pasien sudah mulai menunjukkan tand
Tanpa ragu, Romeo mengangkat panggilan dari Suri di hadapan ibu dan adiknya."Halo, Sayang," ujar Romeo dengan lembut.Di seberang sana, suara Suri menyusup ke telinganya, tenang dan menyiratkan ketulusan. "Aku hanya ingin tahu bagaimana keadaan Aira. Apakah operasinya sudah selesai?" Sekilas, mata Romeo melirik ke arah adiknya yang masih berbaring dengan wajah pucat. Sementara itu, Nyonya Valerie yang duduk di sisi ranjang tetap dalam posisi yang sama, merasa enggan untuk mendengarkan percakapan yang terjadi. "Sudah selesai. Aira juga sudah siuman," jawab Romeo, singkat tetapi cukup untuk menggambarkan situasi."Syukurlah," ucap Suri lirih. "Kalau kamu masih ingin menemani Aira, aku tidak masalah, Sayang. Makan malam dengan Raysa dan Kenzo bisa ditunda besok. Aku akan menghubungi mereka." Romeo menggeleng pelan, tatapannya kini terarah ke jendela kamar rawat yang menampilkan pemandangan senja."Tidak usah. Aku akan pulang satu jam lagi. Tunggu aku di apartemen." "Baiklah. H
Suri terdiam, tidak mencoba melepaskan diri. Perlahan, tangannya ikut terangkat untuk membalas pelukan itu. “Aku di sini, Sayang. Aku tidak akan ke mana-mana.”Romeo semakin menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Suri. Menghirup aroma tubuh istrinya yang selalu memberi ketenangan."Hanya kamu yang bisa membuatku merasa tenang," ucap Romeo dengan suara yang lebih dalam, lebih jujur. Ada sesuatu yang terasa begitu rapuh dalam kalimat itu, membuat dada Suri terasa hangat sekaligus nyeri di waktu yang bersamaan. Kendati Romeo belum bicara secara jelas, dia bisa menebak bahwa kesedihan sang suami ada kaitannya dengan Aira."Romeo, apa yang terjadi di rumah sakit?" tanya Suri dengan hati-hati. Jemarinya yang kecil mengusap punggung sang suami, mencoba menenangkan.Hening beberapa saat. Laki-laki itu akhirnya mengendurkan pelukan, tetapi tidak sepenuhnya melepaskan. Kedua tangan Romeo masih bertumpu pada pinggang sang istri, menatapnya dengan mata yang sarat akan emosi. "Aira memang be
Mobil melaju dengan stabil, membelah malam yang hangat dengan nuansa kebersamaan. Suri menyandarkan kepala pada bahu suaminya, menikmati perjalanan di bawah kerlip lampu-lampu kota. Romeo sesekali mengusap punggung tangan Suri dengan ibu jarinya, gerakan kecil yang menenangkan sekaligus penuh kasih sayang. Tak berselang lama, sopir menghentikan mobil perlahan di depan Hotel Scarlett, tempat di mana mereka akan bertemu dengan dua sahabat lama. Seorang petugas valet segera datang membukakan pintu.Romeo turun terlebih dahulu, lalu mengulurkan tangan untuk membantu Suri keluar dari mobil. Namun, baru beberapa langkah mereka berjalan memasuki lobi, sebuah suara yang begitu akrab menggema di telinga mereka. "Romeo!" Suri menoleh dan melihat seorang pria bertubuh tegap dengan senyum lebar, berjalan cepat ke arah mereka.Kenzo.Tepat di sampingnya, Raysa melangkah anggun, tersenyum hangat ke arah mereka. Wajah Kenzo langsung berubah begitu melihat sosok Romeo. Hampir satu tahun berla
Wangi dari uap teh yang baru diseduh memenuhi dapur apartemen, menyatu dengan harumnya mentega yang mulai meleleh di atas wajan panas. Serin, yang sudah terbangun sejak pukul enam pagi, sedang berdiri di dapur bersama Bi Janti.Meski sudah berulang kali dilarang untuk membantu, gadis itu tetap bersikeras ingin membuat roti panggang. Berdalih agar Bi Janti bisa lebih cepat menyiapkan keperluan Tristan, sebelum berangkat ke sekolah.“Kalau hanya begini, saya masih sanggup, Bi… daripada saya diam saja,” ujar Serin pelan, sambil mengoleskan selai hazelnut ke selembar roti. Gerakannya begitu teratur dan cekatan, menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa melakukan pekerjaan dapur. Bi Janti menghela napas, mengalah, walau pandangannya masih khawatir menatap Serin. Perempuan paruh baya itu lantas menuju ke kamar tamu untuk memandikan Tristan.Di tengah kesibukannya, Serin mendengar langkah kaki berat yang mendekat dari arah koridor. Detik berikutnya, sosok Jevandro muncul, masih dalam balutan kaus
Tepat pukul dua belas siang, Jeandra berjalan keluar dari ruang rapat dengan langkah tegap. Ia lebih dulu melangkah menuju lift, tak ingin menoleh ke belakang meski ia tahu dua pria itu—Kenan dan Gavin—masih tertinggal.Jeandra berdiri di dalam lift, merapikan setelan kerja yang tadi sempat kusut karena duduk terlalu lama. Namun, ketika pintu mulai menutup, Kenan dan Gavin masuk menyusul.Jantung Jeandra berdetak lebih kencang ketika Kenan memilih berdiri di sisinya, begitu dekat hingga ia bisa mencium parfum mahal yang biasa digunakan pria itu. Diam-diam, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya yang mulai resah.Setiba di lantai kantor eksekutif, Jeandra buru-buru menuju meja kerjanya. Tangannya bergerak membuka wadah makan siangnya, yang sudah disiapkan oleh pelayan mansion sejak pagi. Namun, ia sengaja belum menyentuhnya, menunggu kemungkinan Kenan dan Gavin keluar lagi untuk makan bersama. Tak disangka, hanya Gavin yang keluar—dengan senyum simpul dan ekspresi
Sinar matahari yang mulai condong ke barat, mengiringi langkah Serin keluar dari rumah sakit. Gadis itu memakai pakaian sederhana dan scarf tipis yang menutupi lehernya. Tubuhnya masih sedikit lemah, tetapi rona pucat di pipinya mulai tergantikan dengan semburat lembut kehidupan. Di sisinya, berdiri Jevandro—dengan tatapan penuh kewaspadaan. Gerakan tangan lelaki itu sigap dan kokoh, memberikan semacam ketenangan yang sulit dijelaskan.Jevandro sempat melirik ke arah jalanan, memastikan bahwa mobil yang dikemudikan sopir pribadinya sudah terparkir tepat di depan lobi. Ia menggamit lembut tangan Serin, membimbingnya menuju mobil hitam berkelas yang pintunya telah dibukakan sopir.Sesaat setelah keduanya duduk di dalam mobil, Jevandro memerintahkan sopir untuk menjalankan kendaraan. Namun, baru beberapa blok meninggalkan rumah sakit, pria itu tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat kepada sopirnya.“Berhenti di toko buah di depan,” titahnya tegas.Serin menoleh ke arah Jevandro de
Hampir satu jam setelah kejadian memalukan tadi pagi, Jeandra duduk dengan tenang di balik meja kerjanya. Ia berusaha menenggelamkan diri dalam laporan-laporan dan data pendukung untuk meeting.Ia merasa sedikit lega—paling tidak Kenan belum juga memanggilnya. Tidak ada perintah, tidak ada ketukan pintu, dan tidak ada suara panggilan lewat interkom. Kedamaian itu memberi ruang bagi Jeandra untuk menata kembali hati dan pikiran. Namun, ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit, Jeandra mendengar derap langkah kaki yang mendekat, membuatnya mengangkat wajah.Pintu ruang CEO terbuka lebar, dan keluarlah Kenan dengan penampilan rapi dan ekspersi tenang, diikuti Gavin yang berjalan setengah langkah di belakangnya. Tanpa menoleh, Kenan langsung memberi perintah, nadanya pendek tetapi tegas.“Jeandra, ikut saya ke ruang meeting.”Jeandra pun segera berdiri, mengangguk sopan. “Baik, Pak.”Dengan cekatan, ia mengambil iPad-nya, dua berkas presentasi, pena digital, dan buku a
Tubuh Jeandra tersentak saat menyadari posisinya—ia masih duduk di pangkuan Kenan. Dalam satu gerakan panik, Jeandra segera beranjak dari pangkuan pria itu, berdiri tegak dengan kedua tangan merapikan blazernya.Lekas saja Jeandra menundukkan kepala, enggan bertemu dengan tatapan Gavin yang masih terpaku di ambang pintu. Alhasil, pandangan Gavin beralih pada Kenan, berharap ada penjelasan yang masuk akal dari atasan sekaligus sahabatnya itu. Kenan, dengan sedikit canggung, berdehem pelan sambil pura-pura membetulkan letak dasi yang dipasangkan oleh Jeandra. Ia menggeser kursinya, lalu menatap Gavin dengan wajah datar. “Jangan berpikiran macam-macam,” sangkalnya. “Aku hanya meminta bantuan Jeandra untuk memasangkan dasi. Dia terjatuh karena mendengar kau membuka pintu tiba-tiba.”Nada suaranya seolah ingin mengakhiri spekulasi yang mungkin terlanjur muncul di kepala Gavin.Jeandra mengangguk cepat, membenarkan ucapan Kenan. Kemudian, ia mencari kesempatan untuk bisa pergi dari ruanga
Di mansion keluarga Albantara, langkah Jeandra terdengar tergesa menuruni tangga. Gaun formal berlapis blazer merah yang ia kenakan, berayun ringan mengikuti gerakan tubuhnya. Wajah cantiknya masih segar, siap untuk kembali menjalani harinya sebagai sekretaris Kenan—dengan identitas palsu yang harus terus dijaga.Begitu tiba di ruang makan, Jeandra melihat kedua orang tuanya sudah duduk di meja panjang, ditemani Rakyan yang tengah sibuk menyendokkan sereal ke dalam mangkuk. Aroma roti panggang memenuhi udara, menambah kehangatan pagi itu.Jeandra segera duduk di kursi, mengambil segelas jus jeruk. Namun, belum sempat ia menyeruputnya, suara Suri menggema di ruangan itu."Serin masuk rumah sakit semalam, Jeandra."Gelas di tangan Jeandra nyaris terjatuh. Ia mendongak dengan sorot mata terkejut. "Apa?" tanyanya buru-buru, menatap sang ibu. "Serin sakit apa, Ma?"Suri menatap putrinya, sambil menyodorkan sepotong sandwich dan semangkuk salad segar.“Jevan bilang mata Serin nyeri dan kep
Pukul tujuh tepat, Serin terbangun dari tidurnya. Kelopak matanya yang berat bergetar, sebelum akhirnya terbuka perlahan.Sekilas, Serin melihat bias matahari pagi yang menerobos lewat sela-sela tirai. Di tengah kesadarannya yang masih kabur, ia mendengar suara berat yang familiar—suara Jevandro—tengah berbicara melalui telepon di sudut ruangan.Suaranya terdengar tenang, tetapi dari kata-kata yang meluncur, Serin bisa menebak bahwa pria itu sedang berbicara dengan orangtuanya. Pastilah mereka sedang bertanya mengenai kondisinya di rumah sakit.Serin terdiam sesaat, sengaja tidak bergerak hingga Jevandro selesai berbicara. Namun, pintu kamar rawat itu mendadak terbuka, memperlihatkan seorang petugas rumah sakit yang datang dengan senyum ramah. Ia mendorong troli kecil berisi sarapan pagi. Aroma nasi goreng hangat, serta setangkup roti panggang dengan selai stroberi menyeruak memenuhi udara. Membuat perut Serin yang kosong langsung mengerut lapar.Jevandro segera mengakhiri teleponnya
Dalam keheningan kamar VIP, perlahan-lahan kelopak mata Serin mulai bergetar, seakan berusaha menembus kabut kesadaran yang berat. Dengan napas yang masih lemah, ia membuka mata, beradu dengan cahaya menyilaukan yang menyambutnya.Dunia yang awalnya samar-samar menjadi kian jelas di hadapannya. Aroma antiseptik serta rasa berat pada tangan kirinya, segera memberi petunjuk pada Serin bahwa ia tidak lagi berada di kamar apartemen.Kesadarannya yang telah pulih, membawa Serin pada sebuah pemandangan yang membuat jantungnya berdegup kencang. Bagaimana tidak.Di sampingnya, dalam pelukan yang masih erat, seorang pria terlelap dengan napas teratur.Jevandro Albantara.Pria itu tampak berbeda dari sosok CEO dingin dan dominan yang biasa ia kenal di kantor. Kini wajahnya terlihat damai, tenang, bahkan hampir mengundang rasa kasihan, dengan jejak kelelahan yang membayang di garis rahangnya yang kokoh.Serin membeku beberapa detik, tubuhnya kaku antara rasa malu dan terkejut.Dengan gerakan seh
Di kamarnya yang sunyi, Jevandro masih menempelkan ponsel di telinga, memanggil-manggil nama Serin dengan suara cemas. Namun dari seberang, hanya hening yang ia dapatkan. Tak ada jawaban, tak ada suara, hanya desis samar napas yang akhirnya menghilang. Merasakan firasat buruk yang mencengkeram hatinya, Jevandro segera mengakhiri panggilan. Ia melirik sekilas ke jam di layar ponsel—pukul setengah sebelas malam. Tak ingin menunda sedetik pun, Jevandro menyambar jaket yang tergantung di sandaran kursi, lalu meraih kunci mobil. Dengan langkah lebar penuh kegelisahan, ia meninggalkan kamar.Suasana mansion telah sunyi, hanya sesekali terdengar derit angin malam menerpa pepohonan di taman. Semua penghuni telah terlelap dalam damai, kecuali Jevandro yang kini bergegas menuruni tangga. Ia membuka pintu depan, mengabaikan dinginnya udara yang menerpa kulit. Tanpa ragu, Jevandro menyalakan mesin mobil, suara raungannya memenuhi halaman mansion. Dalam sekejap, mobil itu melesat membelah malam