Malam itu, pilihan Flora hanya dua, menyerahkan dirinya ke dalam jebakan yang ia tak tahu pasti atau membiarkan Nathan berjuang sendirian di ruang operasi yang penuh risiko.
*** Flora menggenggam ponselnya erat-erat, layar yang sudah gelap terasa seperti bara di telapak tangannya. Suara asing itu masih bergema di telinga, menancap tajam di pikirannya. “Kalau mau Nathan keluar hidup-hidup, temui aku malam ini. Sendirian.” Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia melirik sekilas ke arah Veronica, Melisa dan Tuan Marshall yang sibuk membicarakan tindakan medis berikutnya dengan dokter. Tidak ada seorang pun yang memperhatikan Flora. “Siapa yang meneleponmu?” suara kecil Nayla membuat Flora tersentak. Putrinya menatap dengan mata berkaca-kaca, penuh rasa ingin tahu sekaligus ketakutan. “Bukan siapa-siapa, sayang,” jawab Flora cepat sambil menyembunyikan ponsel ke dalam tasnya. Ia memeluk Nayla lebih erat, seolah dengan itu ia bisa menyembunyikan kegelisahan yang semakin menyesakkan dadanya. Namun, hatinya tahu, ia tidak bisa mengabaikan telepon itu. Jika benar ancaman itu datang dari orang yang memiliki kendali atas hidup dan mati Nathan, maka ia tidak punya pilihan. *** Ruang operasi sudah dimulai. Cahaya lampu besar di langit-langit menyinari tubuh Nathan yang terbaring pucat. Dari balik kaca kecil, Flora bisa melihat bayangan para dokter bergerak cepat. Setiap detik berlalu terasa seperti satu abad. “Operasi ini bisa memakan waktu berjam-jam,” ujar salah satu perawat. “Sebaiknya keluarga menunggu di ruang tunggu.” Flora mengangguk, meski pikirannya tidak berada di sana. Ia berjalan bersama Nayla menuju kursi panjang, namun matanya terus melirik ke arah jam dinding. Malam semakin larut. Kata-kata dari suara asing itu semakin menusuk kepalanya. Ia mencoba berpikir jernih. Siapa orang itu? Bagaimana bisa ia tahu kondisi Nathan yang masih di ruang operasi? Apakah ini permainan Veronica dan Melisa? Atau ada orang lain yang lebih berbahaya di balik semua ini? *** Satu jam berlalu. Veronica duduk dengan wajah pucat, sementara Melisa sesekali melirik Flora dengan tatapan penuh sindiran. Tuan Marshall berdiri di sudut, menelepon seseorang dengan nada tegas, jelas sedang mengatur sesuatu. Flora menunduk, pura-pura menenangkan Nayla yang sudah kembali tertidur di pangkuannya. Namun, matanya tak lepas dari jam dinding. Saat jarum menunjuk pukul sebelas malam, hatinya semakin mantap. Ia harus pergi. Demi Nathan. Dengan hati-hati, ia menyampirkan jaket kecil ke tubuh Nayla. “Sayang, tidur sebentar ya. Ibu hanya pergi sebentar, ada yang harus ibu lakukan. Kamu aman di sini,” bisiknya lirih. Ia berdiri, hendak menitipkan Nayla pada perawat yang berjaga. Namun, saat ia melangkah, Veronica menatapnya curiga. “Kau mau ke mana?” tanyanya dingin. Flora tercekat, lalu tersenyum samar. “Ke toilet.” Veronica hanya menatapnya tajam beberapa detik, lalu berpaling lagi. Flora segera memanfaatkan kesempatan itu untuk berjalan cepat, menyerahkan Nayla pada perawat, dan keluar dari ruang tunggu. Lorong rumah sakit terasa sunyi. Aroma antiseptik menusuk hidung, bercampur dengan kegelisahan yang semakin menebal. Flora keluar melalui pintu belakang, langkahnya terhenti ketika mendapati sebuah mobil hitam sudah terparkir dengan mesin menyala. Kaca mobil bagian belakang perlahan diturunkan. Seorang pria berjas gelap duduk di dalam, wajahnya samar karena cahaya redup. Suaranya berat, persis seperti di telepon. “Masuk.” Flora menggenggam tasnya erat-erat, kakinya bergetar. “Siapa kau?” Pria itu tersenyum tipis. “Orang yang bisa memastikan Nathan selamat. Kalau kau masih sayang dia, jangan banyak tanya. Masuk.” Ada jeda singkat. Flora menimbang, tapi ingatan tentang Nathan yang lemah di ruang operasi membuatnya akhirnya membuka pintu dan masuk. Mobil melaju cepat menembus jalanan malam. Flora duduk kaku, matanya tak lepas dari pria asing itu. “Kenapa kau melakukan ini? Apa yang kau inginkan dariku?” suaranya serak, penuh ketakutan. Pria itu melirik sekilas padanya, lalu menyalakan sebatang rokok. “Kau benar-benar tidak tahu, ya? Nathan terlalu banyak menentang orang-orang yang seharusnya tidak dia lawan. Ada banyak yang ingin melihatnya gagal, bahkan kematian, tapi aku bukan salah satunya.” .Malam itu, pilihan Flora hanya dua, menyerahkan dirinya ke dalam jebakan yang ia tak tahu pasti atau membiarkan Nathan berjuang sendirian di ruang operasi yang penuh risiko. *** Flora menggenggam ponselnya erat-erat, layar yang sudah gelap terasa seperti bara di telapak tangannya. Suara asing itu masih bergema di telinga, menancap tajam di pikirannya. “Kalau mau Nathan keluar hidup-hidup, temui aku malam ini. Sendirian.” Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia melirik sekilas ke arah Veronica, Melisa dan Tuan Marshall yang sibuk membicarakan tindakan medis berikutnya dengan dokter. Tidak ada seorang pun yang memperhatikan Flora. “Siapa yang meneleponmu?” suara kecil Nayla membuat Flora tersentak. Putrinya menatap dengan mata berkaca-kaca, penuh rasa ingin tahu sekaligus ketakutan. “Bukan siapa-siapa, sayang,” jawab Flora cepat sambil menyembunyikan ponsel ke dalam tasnya. Ia memeluk Nayla lebih erat, seolah dengan itu ia bisa menyembunyikan kegelisahan yang semakin menyesa
Flora tiba di rumah sakit dengan langkah tergesa, wajahnya pucat, napasnya memburu. Ia baru saja mendapat telepon dari salah satu perawat yang mengenalnya, mengabarkan bahwa Nathan dibawa ke Unit Gawat Darurat. Di pelukannya, Nayla terlelap, masih menyisakan bekas air mata di pipinya.Begitu sampai di lorong rumah sakit, pandangannya langsung tertuju pada Veronica, Melisa, dan Tuan Marshall. Ketiganya berdiri bersama, seolah menghadang jalan menuju ruang tindakan. Flora menatap mereka satu per satu, matanya tajam, tapi suaranya bergetar.“Di mana Nathan?” tanyanya.Veronica menoleh, wajahnya tegang. “Dia di dalam. Kondisinya kini kritis.” Nada bicaranya berbeda tidak lagi penuh kebencian, tapi ada nada gentar yang jarang Flora dengar.Flora melangkah maju. Namun Melisa berdiri di depannya, menahan dengan sengaja. “Kau tidak perlu di sini. Kau hanya membuatnya semakin tertekan.”Flora menatapnya dingin. “Aku adalah orang yang seharusnya berada di sisinya. Kalian yang membuatnya seperti
Malam berganti dengan cepat. Kegelapan yang menyelimuti langit tak ubahnya seperti kabut kelam yang menyelimuti hati Flora. Setelah seharian mencari Nayla tanpa hasil, tubuhnya mulai melemah, namun tidak dengan semangatnya. Ia duduk di beranda rumah, memeluk lutut, menatap jalan setapak yang sepi dengan tatapan kosong. Air matanya telah mengering, menyisakan perih yang mengendap di dada.Nathan mendapatkan informasi dari salah satu bawahannya jika Nayla hendak dibawa keluar pulau dan sedang dalam perjalanan menuju sebuah pelabuhan oleh ibunya, Veronica. Sementara itu, Nathan berada di dalam mobil, masih berusaha menghubungi sang ibu, Veronica Marshall. Berkali-kali ia menekan nomor yang sama, namun tak kunjung mendapatkan jawaban. Kepalanya berdenyut karena panik dan lelah, tapi naluri sebagai seorang ayah tak membiarkannya berhenti terlebih ketik dia melirik ke arah Flora, hatinya terasa semakin hancur. Saat ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari seseorang yang tak dikenal. “D
Suasana rumah sederhana milik Flora sore itu mendadak berubah panas ketika sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan halaman. Flora yang tengah menyiram tanaman di pekarangan, mengerutkan dahi melihat sosok tinggi semampai turun dari kendaraan. Wajahnya cantik sempurna, namun matanya menyala penuh amarah.“Melisa Gunawan,” gumam Flora pelan, tubuhnya kaku.“Jadi ini tempatmu bersembunyi, Flora Andini!” seru Melisa tajam, suaranya menggema menusuk udara sore yang damai. “Hidup seperti wanita desa, namun masih merebut apa yang menjadi milikku!”“Melisa, hentikan omong kosongmu itu!” ucap Flora tenang, meski jantungnya berdegup tak karuan.Melisa berjalan cepat menghampiri, hak sepatunya menghentak tanah dengan kasar. “Kau tahu persis maksudku! Jangan berpura-pura polos! Kau pikir hanya karena Nathan datang beberapa kali ke mari, kau bisa kembali menguasai hatinya?”“Sudah cukup, Melisa. Ada anak kecil di sini,” bisik Flora, menoleh ke arah anak kecil yang berdiri di ambang pintu bersam
Tiga tahun telah berlalu.Langit pagi di desa kecil tempat Flora menetap kini terlihat lebih jernih dibandingkan langit kota yang dulu penuh kebisingan dan kabut polusi. Kabut tipis menggantung di atas sawah dan ladang, menciptakan pemandangan yang menenangkan bagi siapa pun yang melihatnya.Di sebuah rumah sederhana yang berdiri di pinggir kebun kecil, Flora Andini kini hidup sebagai seorang petani. Ia mengelola sebidang tanah warisan keluarga dengan penuh kesabaran. Hidupnya tak lagi mewah, tak lagi dikelilingi pelayan atau fasilitas kelas atas. Tapi di balik segala kesederhanaan itu, ia menemukan hal yang selama ini tak pernah ia temukan di rumah mewah keluarga Marshall—ketenangan.Di tengah kesibukannya mengangkut hasil panen sayuran ke dalam keranjang rotan, terdengar tawa kecil dari balik pintu rumah kayu itu.“Nayla Tiara Maharani, jangan lari-lari, Nak. Kotor bajumu nanti,” seru Flora lembut sambil tersenyum.Seorang anak perempuan kecil berambut ikal dan bermata bulat keluar
Langkah Flora mulai gontai. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin dari angin sore yang menusuk tulang, tapi karena jiwanya terasa kosong. Pipinya masih perih karena tamparan Veronica dan hatinya remuk karena pengkhianatan cinta yang selama ini ia perjuangkan.Rumah kecil di ujung gang sempit itu akhirnya terlihat. Rumah neneknya—satu-satunya tempat yang dulu selalu membuatnya merasa aman. Namun kini, bahkan untuk berdiri tegak di depan pintu itu saja, lutut Flora nyaris tak mampu lagi menopang tubuhnya.Langkah kakinya menyeret, menimbulkan bunyi gesekan yang lemah di atas ubin teras. Bunyi itu cukup membuat sang nenek, yang kerap di sapa Nyai Marlina, yang tengah duduk membaca doa di ruang tengah, segera berdiri dan membuka pintu.“Siapa di luar sana?” serunya panik.Begitu pintu terbuka, tubuh Flora langsung ambruk di kaki wanita tua itu.“Ya tuhan! Flora!!” jerit neneknya kaget, ia langsung bersimpuh memeluk tubuh cucu satu-satunya yang tergeletak tak sadarkan diri.Nenek M