Share

Tawaran Yang Menghancurkan

Author: A Dreamer
last update Last Updated: 2025-09-04 08:59:45

Malam itu, pilihan Flora hanya dua, menyerahkan dirinya ke dalam jebakan yang ia tak tahu pasti atau membiarkan Nathan berjuang sendirian di ruang operasi yang penuh risiko.

***

Flora menggenggam ponselnya erat-erat, layar yang sudah gelap terasa seperti bara di telapak tangannya. Suara asing itu masih bergema di telinga, menancap tajam di pikirannya. “Kalau mau Nathan keluar hidup-hidup, temui aku malam ini. Sendirian.”

Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia melirik sekilas ke arah Veronica, Melisa dan Tuan Marshall yang sibuk membicarakan tindakan medis berikutnya dengan dokter. Tidak ada seorang pun yang memperhatikan Flora.

“Siapa yang meneleponmu?” suara kecil Nayla membuat Flora tersentak. Putrinya menatap dengan mata berkaca-kaca, penuh rasa ingin tahu sekaligus ketakutan.

“Bukan siapa-siapa, sayang,” jawab Flora cepat sambil menyembunyikan ponsel ke dalam tasnya. Ia memeluk Nayla lebih erat, seolah dengan itu ia bisa menyembunyikan kegelisahan yang semakin menyesakkan dadanya.

Namun, hatinya tahu, ia tidak bisa mengabaikan telepon itu. Jika benar ancaman itu datang dari orang yang memiliki kendali atas hidup dan mati Nathan, maka ia tidak punya pilihan.

***

Ruang operasi sudah dimulai. Cahaya lampu besar di langit-langit menyinari tubuh Nathan yang terbaring pucat. Dari balik kaca kecil, Flora bisa melihat bayangan para dokter bergerak cepat. Setiap detik berlalu terasa seperti satu abad.

“Operasi ini bisa memakan waktu berjam-jam,” ujar salah satu perawat. “Sebaiknya keluarga menunggu di ruang tunggu.”

Flora mengangguk, meski pikirannya tidak berada di sana. Ia berjalan bersama Nayla menuju kursi panjang, namun matanya terus melirik ke arah jam dinding. Malam semakin larut. Kata-kata dari suara asing itu semakin menusuk kepalanya.

Ia mencoba berpikir jernih. Siapa orang itu? Bagaimana bisa ia tahu kondisi Nathan yang masih di ruang operasi? Apakah ini permainan Veronica dan Melisa? Atau ada orang lain yang lebih berbahaya di balik semua ini?

***

Satu jam berlalu. Veronica duduk dengan wajah pucat, sementara Melisa sesekali melirik Flora dengan tatapan penuh sindiran. Tuan Marshall berdiri di sudut, menelepon seseorang dengan nada tegas, jelas sedang mengatur sesuatu.

Flora menunduk, pura-pura menenangkan Nayla yang sudah kembali tertidur di pangkuannya. Namun, matanya tak lepas dari jam dinding. Saat jarum menunjuk pukul sebelas malam, hatinya semakin mantap. Ia harus pergi.

Demi Nathan.

Dengan hati-hati, ia menyampirkan jaket kecil ke tubuh Nayla. “Sayang, tidur sebentar ya. Ibu hanya pergi sebentar, ada yang harus ibu lakukan. Kamu aman di sini,” bisiknya lirih.

Ia berdiri, hendak menitipkan Nayla pada perawat yang berjaga. Namun, saat ia melangkah, Veronica menatapnya curiga.

“Kau mau ke mana?” tanyanya dingin.

Flora tercekat, lalu tersenyum samar. “Ke toilet.”

Veronica hanya menatapnya tajam beberapa detik, lalu berpaling lagi. Flora segera memanfaatkan kesempatan itu untuk berjalan cepat, menyerahkan Nayla pada perawat, dan keluar dari ruang tunggu.

Lorong rumah sakit terasa sunyi. Aroma antiseptik menusuk hidung, bercampur dengan kegelisahan yang semakin menebal. Flora keluar melalui pintu belakang, langkahnya terhenti ketika mendapati sebuah mobil hitam sudah terparkir dengan mesin menyala.

Kaca mobil bagian belakang perlahan diturunkan. Seorang pria berjas gelap duduk di dalam, wajahnya samar karena cahaya redup. Suaranya berat, persis seperti di telepon.

“Masuk.”

Flora menggenggam tasnya erat-erat, kakinya bergetar. “Siapa kau?”

Pria itu tersenyum tipis. “Orang yang bisa memastikan Nathan selamat. Kalau kau masih sayang dia, jangan banyak tanya. Masuk.”

Ada jeda singkat. Flora menimbang, tapi ingatan tentang Nathan yang lemah di ruang operasi membuatnya akhirnya membuka pintu dan masuk.

Mobil melaju cepat menembus jalanan malam. Flora duduk kaku, matanya tak lepas dari pria asing itu.

“Kenapa kau melakukan ini? Apa yang kau inginkan dariku?” suaranya serak, penuh ketakutan.

Pria itu melirik sekilas padanya, lalu menyalakan sebatang rokok. “Kau benar-benar tidak tahu, ya? Nathan terlalu banyak menentang orang-orang yang seharusnya tidak dia lawan. Ada banyak yang ingin melihatnya gagal, bahkan kematian, tapi aku bukan salah satunya.”

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Luka Yang Tak Terlihat

    Sudah hampir dua bulan sejak malam kelam di gudang tua itu berlalu. Luka di tubuh Nathan telah mengering, dan luka di bahu Flora pun perlahan sembuh. Namun, luka yang tertinggal di hati mereka tidak sesederhana itu.Rumah Nathan kini jauh lebih tenang. Tak ada lagi penjaga berseragam hitam di setiap sudut, tak ada ketegangan bisnis yang membuat udara rumah terasa sesak. Hanya suara Nayla yang sesekali memecah keheningan dengan tawa kecilnya.Namun, di balik kedamaian itu, ada jarak yang belum sepenuhnya hilang.***Pagi itu, cahaya matahari menembus jendela kaca ruang makan, menciptakan kilau keemasan di atas meja. Nathan sedang menuangkan kopi ketika Flora masuk dengan langkah pelan, rambutnya masih sedikit berantakan. Ia mengenakan gaun rumah berwarna lembut, tampak sederhana namun menenangkan.“Pagi,” sapa Nathan dengan senyum hangat, tapi senyum itu sedikit kaku.“Pagi,” balas Flora pelan, duduk di kursi berhadapan dengannya.Keheningan menggantung beberapa detik sebelum Nathan ak

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Comta Yang Tak Mudah Mati

    Sirene polisi meraung semakin keras, menggema di antara dinding gudang tua itu. Lampu merah biru menari liar di antara debu dan asap senjata. Di tengah kekacauan itu, Nathan menunduk, tubuhnya gemetar, memeluk Flora yang bersimbah darah di pelukannya.“Flora… bertahanlah, dengar aku…” suaranya parau, nyaris pecah. “Aku di sini, sayang. Aku tidak akan pergi lagi.”Flora berusaha tersenyum, bibirnya bergetar. “Kau… seharusnya… masih di rumah sakit…”Nathan memejamkan mata, air mata menetes di pipinya. “Aku dengar kau hilang. Aku cabut infus, paksa diri keluar. Aku tak bisa biarkan kau sendirian.”Sebelum Flora sempat menjawab, suara langkah berat dan bentakan polisi menggema dari luar.“Letakkan senjatamu, Reno! Kau dikepung!”Reno yang masih berdiri beberapa meter dari mereka menoleh cepat. Wajahnya pucat, keringat menetes di pelipisnya. Senjatanya terangkat, matanya liar.“Jangan mendekat!” teriaknya. “Kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan! Aku punya bukti—semuanya ada di sini! Me

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Pilihan Yang Berat

    Flora menelan ludahnya. Kalimat pria itu menampar kesadarannya, menimbulkan rasa takut sekaligus penasaran yang saling bertabrakan di dalam dadanya.“Aku tidak mengerti,” ucap Flora lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh deru mesin. “Kalau kau tidak ingin dia mati, kenapa kau membuatku datang sendirian malam-malam begini?”Pria itu menyeringai samar, menghembuskan asap rokok ke arah jendela. “Karena hanya kau yang bisa menyelamatkannya, Flora Andini.”Jantung Flora serasa berhenti berdetak. Ia menatap pria itu penuh tanda tanya. “Menyelamatkannya? Bagaimana maksudmu?”Tatapan mata pria itu berkilat dingin. “Ada sesuatu yang ditanamkan di perusahaan milik Nathan—dokumen yang bisa menghancurkan reputasi seluruh keluarga Marshall. Kalau aku memberikannya ke tangan yang salah, Nathan tidak akan pernah keluar hidup-hidup dari meja operasi itu.”Flora tercekat, pandangannya bergetar. “Jadi ini... ancaman?”“Bukan ancaman,” pria itu mengoreksi, “kesempatan. Aku bisa memastikan tim medis beker

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Tawaran Yang Menghancurkan

    Malam itu, pilihan Flora hanya dua, menyerahkan dirinya ke dalam jebakan yang ia tak tahu pasti atau membiarkan Nathan berjuang sendirian di ruang operasi yang penuh risiko. *** Flora menggenggam ponselnya erat-erat, layar yang sudah gelap terasa seperti bara di telapak tangannya. Suara asing itu masih bergema di telinga, menancap tajam di pikirannya. “Kalau mau Nathan keluar hidup-hidup, temui aku malam ini. Sendirian.” Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia melirik sekilas ke arah Veronica, Melisa dan Tuan Marshall yang sibuk membicarakan tindakan medis berikutnya dengan dokter. Tidak ada seorang pun yang memperhatikan Flora. “Siapa yang meneleponmu?” suara kecil Nayla membuat Flora tersentak. Putrinya menatap dengan mata berkaca-kaca, penuh rasa ingin tahu sekaligus ketakutan. “Bukan siapa-siapa, sayang,” jawab Flora cepat sambil menyembunyikan ponsel ke dalam tasnya. Ia memeluk Nayla lebih erat, seolah dengan itu ia bisa menyembunyikan kegelisahan yang semakin menyesa

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Ketegangan Di Rumah Sakit

    Flora tiba di rumah sakit dengan langkah tergesa, wajahnya pucat, napasnya memburu. Ia baru saja mendapat telepon dari salah satu perawat yang mengenalnya, mengabarkan bahwa Nathan dibawa ke Unit Gawat Darurat. Di pelukannya, Nayla terlelap, masih menyisakan bekas air mata di pipinya.Begitu sampai di lorong rumah sakit, pandangannya langsung tertuju pada Veronica, Melisa, dan Tuan Marshall. Ketiganya berdiri bersama, seolah menghadang jalan menuju ruang tindakan. Flora menatap mereka satu per satu, matanya tajam, tapi suaranya bergetar.“Di mana Nathan?” tanyanya.Veronica menoleh, wajahnya tegang. “Dia di dalam. Kondisinya kini kritis.” Nada bicaranya berbeda tidak lagi penuh kebencian, tapi ada nada gentar yang jarang Flora dengar.Flora melangkah maju. Namun Melisa berdiri di depannya, menahan dengan sengaja. “Kau tidak perlu di sini. Kau hanya membuatnya semakin tertekan.”Flora menatapnya dingin. “Aku adalah orang yang seharusnya berada di sisinya. Kalian yang membuatnya seperti

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Badai Itu Kembali Datang

    Malam berganti dengan cepat. Kegelapan yang menyelimuti langit tak ubahnya seperti kabut kelam yang menyelimuti hati Flora. Setelah seharian mencari Nayla tanpa hasil, tubuhnya mulai melemah, namun tidak dengan semangatnya. Ia duduk di beranda rumah, memeluk lutut, menatap jalan setapak yang sepi dengan tatapan kosong. Air matanya telah mengering, menyisakan perih yang mengendap di dada.Nathan mendapatkan informasi dari salah satu bawahannya jika Nayla hendak dibawa keluar pulau dan sedang dalam perjalanan menuju sebuah pelabuhan oleh ibunya, Veronica. Sementara itu, Nathan berada di dalam mobil, masih berusaha menghubungi sang ibu, Veronica Marshall. Berkali-kali ia menekan nomor yang sama, namun tak kunjung mendapatkan jawaban. Kepalanya berdenyut karena panik dan lelah, tapi naluri sebagai seorang ayah tak membiarkannya berhenti terlebih ketik dia melirik ke arah Flora, hatinya terasa semakin hancur. Saat ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari seseorang yang tak dikenal. “D

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status