Flora tiba di rumah sakit dengan langkah tergesa, wajahnya pucat, napasnya memburu. Ia baru saja mendapat telepon dari salah satu perawat yang mengenalnya, mengabarkan bahwa Nathan dibawa ke Unit Gawat Darurat. Di pelukannya, Nayla terlelap, masih menyisakan bekas air mata di pipinya.
Begitu sampai di lorong rumah sakit, pandangannya langsung tertuju pada Veronica, Melisa, dan Tuan Marshall. Ketiganya berdiri bersama, seolah menghadang jalan menuju ruang tindakan. Flora menatap mereka satu per satu, matanya tajam, tapi suaranya bergetar. “Di mana Nathan?” tanyanya. Veronica menoleh, wajahnya tegang. “Dia di dalam. Kondisinya kini kritis.” Nada bicaranya berbeda tidak lagi penuh kebencian, tapi ada nada gentar yang jarang Flora dengar. Flora melangkah maju. Namun Melisa berdiri di depannya, menahan dengan sengaja. “Kau tidak perlu di sini. Kau hanya membuatnya semakin tertekan.” Flora menatapnya dingin. “Aku adalah orang yang seharusnya berada di sisinya. Kalian yang membuatnya seperti ini.” Melisa mendecak, tapi sebelum kata-kata pedasnya keluar, pintu ruang tindakan terbuka. Dokter keluar, wajahnya serius. “Kami membutuhkan keputusan segera untuk melakukan operasi,” ucapnya. “Risiko besar, tapi ini satu-satunya cara.” Semua mata terarah pada Veronica dan Tuan Marshall. Veronica terlihat ragu, matanya bergulir ke arah Flora yang berdiri di dekatnya. “Jika aku setuju, kau harus keluar dari hidupnya,” ujarnya pelan, nyaris berbisik namun cukup jelas untuk didengar. Flora terpaku. “Apa maksudmu?” “Operasi ini butuh ketenangan pasca perawatan dan kau, Flora, adalah sumber stres terbesar dalam hidupnya,” lanjut Veronica, suaranya tajam meski nadanya menahan emosi. Flora menggeleng, air matanya mulai menetes. “Aku tidak akan meninggalkan Nathan. Tidak sekarang.” Namun, suara lemah dari dalam ruangan membuat semua orang terdiam. “Flora.” panggilan itu lirih, nyaris tak terdengar. Flora menoleh cepat. Nathan terbaring di ranjang, pintu ruang tindakan belum sepenuhnya tertutup. Matanya setengah terbuka, tangannya terangkat lemah, mencoba meraih seseorang, Flora. Flora langsung berlari mendekat, namun sebelum ia sempat menyentuh Nathan, alarm monitor jantung berbunyi nyaring. Para dokter dan perawat berteriak, bergegas masuk, mendorong Flora keluar. “Jantungnya berhenti! Siapkan defibrillator!” Pintu tertutup rapat. Flora terpaku di luar, memeluk Nayla erat-erat. Dari balik kaca kecil di pintu, ia bisa melihat cahaya kilat dari alat kejut listrik, tubuh Nathan yang terangkat, dan wajah para tenaga medis yang penuh ketegangan. Veronica menutup mulutnya dengan kedua tangan, Melisa memucat dan Tuan Marshall berdiri kaku. Suara monitor berubah menjadi nada panjang. Tidak ada detak. Lalu hening. *** Kalau kamu mau, aku bisa langsung bikin bab setelahnya dengan twist apakah Nathan berhasil diselamatkan atau justru terjadi kejadian yang akan mengubah hidup Flora dan Nayla sepenuhnya. Mau aku langsung teruskan ke bagian itu? Oke, aku akan lanjutkan dalam bab yang sama, tetap mempertahankan ketegangan dan memberi kelanjutan setelah suara monitor itu. *** Flora merasakan lututnya lemas. Nada panjang dari monitor jantung seperti menghentikan detaknya sendiri. Nayla terbangun, menggeliat di pelukan ibunya, menatap bingung ke arah pintu yang tertutup rapat. “Ibu Ayah kenapa?” tanyanya lirih, suaranya gemetar. Flora tak sanggup menjawab. Air matanya mengalir deras, membasahi pipi putrinya. Veronica mundur beberapa langkah, menabrak dinding, kedua tangannya menutup wajahnya rapat-rapat. Tuan Marshall berdiri mematung, tapi rahangnya mengeras. Di balik pintu, suara dokter terdengar memerintah cepat. “CPR! Tekan lebih kuat! Jangan berhenti!” Suara hentakan di dada Nathan terdengar samar. “Satu, dua, tiga.” Flora menunduk, berdoa dengan suara tercekat. “Ya Allah. jangan ambil dia dari kami.” Detik terasa seperti menit. Hingga tiba-tiba, monitor jantung memancarkan bunyi beep beep beep pelan tapi teratur. Semua orang di lorong itu serempak mengangkat kepala. Dokter keluar lagi, kali ini napasnya terlihat lega. “Kami berhasil mengembalikan detaknya. Tapi kondisinya sangat rapuh. Dia akan langsung dibawa ke ruang operasi. Sekarang.” Flora ingin masuk, ingin melihat Nathan, tapi dua perawat mencegahnya. “Mohon maaf, Nyonya. Kami harus segera membawanya.” Saat ranjang dorong keluar, Nathan terbaring pucat dengan tabung oksigen, matanya setengah terbuka. Jari-jarinya bergerak lemah, seolah mencari sesuatu. Flora mendekat cepat, memegang tangannya. “Nathan, aku di sini,” ucap Flora sambil menahan tangis. Bibir Nathan bergerak pelan, mengucapkan sesuatu. Flora mendekat, nyaris menempelkan telinganya. “Jangan… percaya… mereka…” Sebelum Flora sempat bertanya, perawat mendorong ranjang menuju ruang operasi. Flora berdiri terpaku. Kata-kata itu menusuk pikirannya. Siapa yang dimaksud Nathan? Veronica? Melisa? Atau… seseorang yang lain? Saat ia berbalik, tatapannya bertemu dengan Melisa yang tersenyum tipis, senyum yang membuat bulu kuduknya meremang. “Aku harap dia selamat,” ucap Melisa lirih, tapi sorot matanya mengatakan hal berbeda seperti ada rahasia yang sengaja disembunyikan. Flora menelan ludah, dada terasa sesak. Di saat yang sama, telepon di saku bajunya bergetar. Nomor tak dikenal. Dengan ragu ia mengangkat. Sebuah suara berat, asing, terdengar di seberang. “Kalau mau Nathan keluar hidup-hidup… temui aku malam ini. Sendirian. Dan jangan bilang siapa pun.” Sambungan terputus. Flora mematung. Ruang operasi baru saja dimulai, tapi ancaman baru sudah menunggu di luar sana.Malam itu, pilihan Flora hanya dua, menyerahkan dirinya ke dalam jebakan yang ia tak tahu pasti atau membiarkan Nathan berjuang sendirian di ruang operasi yang penuh risiko. *** Flora menggenggam ponselnya erat-erat, layar yang sudah gelap terasa seperti bara di telapak tangannya. Suara asing itu masih bergema di telinga, menancap tajam di pikirannya. “Kalau mau Nathan keluar hidup-hidup, temui aku malam ini. Sendirian.” Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia melirik sekilas ke arah Veronica, Melisa dan Tuan Marshall yang sibuk membicarakan tindakan medis berikutnya dengan dokter. Tidak ada seorang pun yang memperhatikan Flora. “Siapa yang meneleponmu?” suara kecil Nayla membuat Flora tersentak. Putrinya menatap dengan mata berkaca-kaca, penuh rasa ingin tahu sekaligus ketakutan. “Bukan siapa-siapa, sayang,” jawab Flora cepat sambil menyembunyikan ponsel ke dalam tasnya. Ia memeluk Nayla lebih erat, seolah dengan itu ia bisa menyembunyikan kegelisahan yang semakin menyesa
Flora tiba di rumah sakit dengan langkah tergesa, wajahnya pucat, napasnya memburu. Ia baru saja mendapat telepon dari salah satu perawat yang mengenalnya, mengabarkan bahwa Nathan dibawa ke Unit Gawat Darurat. Di pelukannya, Nayla terlelap, masih menyisakan bekas air mata di pipinya.Begitu sampai di lorong rumah sakit, pandangannya langsung tertuju pada Veronica, Melisa, dan Tuan Marshall. Ketiganya berdiri bersama, seolah menghadang jalan menuju ruang tindakan. Flora menatap mereka satu per satu, matanya tajam, tapi suaranya bergetar.“Di mana Nathan?” tanyanya.Veronica menoleh, wajahnya tegang. “Dia di dalam. Kondisinya kini kritis.” Nada bicaranya berbeda tidak lagi penuh kebencian, tapi ada nada gentar yang jarang Flora dengar.Flora melangkah maju. Namun Melisa berdiri di depannya, menahan dengan sengaja. “Kau tidak perlu di sini. Kau hanya membuatnya semakin tertekan.”Flora menatapnya dingin. “Aku adalah orang yang seharusnya berada di sisinya. Kalian yang membuatnya seperti
Malam berganti dengan cepat. Kegelapan yang menyelimuti langit tak ubahnya seperti kabut kelam yang menyelimuti hati Flora. Setelah seharian mencari Nayla tanpa hasil, tubuhnya mulai melemah, namun tidak dengan semangatnya. Ia duduk di beranda rumah, memeluk lutut, menatap jalan setapak yang sepi dengan tatapan kosong. Air matanya telah mengering, menyisakan perih yang mengendap di dada.Nathan mendapatkan informasi dari salah satu bawahannya jika Nayla hendak dibawa keluar pulau dan sedang dalam perjalanan menuju sebuah pelabuhan oleh ibunya, Veronica. Sementara itu, Nathan berada di dalam mobil, masih berusaha menghubungi sang ibu, Veronica Marshall. Berkali-kali ia menekan nomor yang sama, namun tak kunjung mendapatkan jawaban. Kepalanya berdenyut karena panik dan lelah, tapi naluri sebagai seorang ayah tak membiarkannya berhenti terlebih ketik dia melirik ke arah Flora, hatinya terasa semakin hancur. Saat ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari seseorang yang tak dikenal. “D
Suasana rumah sederhana milik Flora sore itu mendadak berubah panas ketika sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan halaman. Flora yang tengah menyiram tanaman di pekarangan, mengerutkan dahi melihat sosok tinggi semampai turun dari kendaraan. Wajahnya cantik sempurna, namun matanya menyala penuh amarah.“Melisa Gunawan,” gumam Flora pelan, tubuhnya kaku.“Jadi ini tempatmu bersembunyi, Flora Andini!” seru Melisa tajam, suaranya menggema menusuk udara sore yang damai. “Hidup seperti wanita desa, namun masih merebut apa yang menjadi milikku!”“Melisa, hentikan omong kosongmu itu!” ucap Flora tenang, meski jantungnya berdegup tak karuan.Melisa berjalan cepat menghampiri, hak sepatunya menghentak tanah dengan kasar. “Kau tahu persis maksudku! Jangan berpura-pura polos! Kau pikir hanya karena Nathan datang beberapa kali ke mari, kau bisa kembali menguasai hatinya?”“Sudah cukup, Melisa. Ada anak kecil di sini,” bisik Flora, menoleh ke arah anak kecil yang berdiri di ambang pintu bersam
Tiga tahun telah berlalu.Langit pagi di desa kecil tempat Flora menetap kini terlihat lebih jernih dibandingkan langit kota yang dulu penuh kebisingan dan kabut polusi. Kabut tipis menggantung di atas sawah dan ladang, menciptakan pemandangan yang menenangkan bagi siapa pun yang melihatnya.Di sebuah rumah sederhana yang berdiri di pinggir kebun kecil, Flora Andini kini hidup sebagai seorang petani. Ia mengelola sebidang tanah warisan keluarga dengan penuh kesabaran. Hidupnya tak lagi mewah, tak lagi dikelilingi pelayan atau fasilitas kelas atas. Tapi di balik segala kesederhanaan itu, ia menemukan hal yang selama ini tak pernah ia temukan di rumah mewah keluarga Marshall—ketenangan.Di tengah kesibukannya mengangkut hasil panen sayuran ke dalam keranjang rotan, terdengar tawa kecil dari balik pintu rumah kayu itu.“Nayla Tiara Maharani, jangan lari-lari, Nak. Kotor bajumu nanti,” seru Flora lembut sambil tersenyum.Seorang anak perempuan kecil berambut ikal dan bermata bulat keluar
Langkah Flora mulai gontai. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin dari angin sore yang menusuk tulang, tapi karena jiwanya terasa kosong. Pipinya masih perih karena tamparan Veronica dan hatinya remuk karena pengkhianatan cinta yang selama ini ia perjuangkan.Rumah kecil di ujung gang sempit itu akhirnya terlihat. Rumah neneknya—satu-satunya tempat yang dulu selalu membuatnya merasa aman. Namun kini, bahkan untuk berdiri tegak di depan pintu itu saja, lutut Flora nyaris tak mampu lagi menopang tubuhnya.Langkah kakinya menyeret, menimbulkan bunyi gesekan yang lemah di atas ubin teras. Bunyi itu cukup membuat sang nenek, yang kerap di sapa Nyai Marlina, yang tengah duduk membaca doa di ruang tengah, segera berdiri dan membuka pintu.“Siapa di luar sana?” serunya panik.Begitu pintu terbuka, tubuh Flora langsung ambruk di kaki wanita tua itu.“Ya tuhan! Flora!!” jerit neneknya kaget, ia langsung bersimpuh memeluk tubuh cucu satu-satunya yang tergeletak tak sadarkan diri.Nenek M