Malam berganti dengan cepat. Kegelapan yang menyelimuti langit tak ubahnya seperti kabut kelam yang menyelimuti hati Flora. Setelah seharian mencari Nayla tanpa hasil, tubuhnya mulai melemah, namun tidak dengan semangatnya. Ia duduk di beranda rumah, memeluk lutut, menatap jalan setapak yang sepi dengan tatapan kosong. Air matanya telah mengering, menyisakan perih yang mengendap di dada.
Nathan mendapatkan informasi dari salah satu bawahannya jika Nayla hendak dibawa keluar pulau dan sedang dalam perjalanan menuju sebuah pelabuhan oleh ibunya, Veronica. Sementara itu, Nathan berada di dalam mobil, masih berusaha menghubungi sang ibu, Veronica Marshall. Berkali-kali ia menekan nomor yang sama, namun tak kunjung mendapatkan jawaban. Kepalanya berdenyut karena panik dan lelah, tapi naluri sebagai seorang ayah tak membiarkannya berhenti terlebih ketik dia melirik ke arah Flora, hatinya terasa semakin hancur. Saat ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari seseorang yang tak dikenal. “Dermaga Pelabuhan Tua dekat kota. Nayla ada di sana. Cepat, sebelum terlambat.” Nathan segera menyalakan mesin mobil dan melaju secepat yang ia bisa. Hatinya berdebar kencang, pikirannya dipenuhi bayangan putrinya yang ketakutan, sendirian di tempat yang tak ia kenal. Ia tidak tahu apakah ini perangkap tapi ia tak peduli. Terpenting untuk saat ini Nayla harus ditemukan. Sementara itu, di sebuah gudang tua dekat dermaga, Nayla duduk di pojok ruangan gelap, tubuhnya terikat dan mulutnya disumpal kain. Di depannya berdiri dua wanita—Melisa dan Veronica. "Anak ini harus segera pergi sebelum Nathan atau ibunya menemukan jejaknya," ucap Veronica dingin. "Kau sudah mengacaukan segalanya, Melisa. Tapi sekarang kita harus menyelesaikannya." Melisa menggigit bibirnya dengan gelisah. "Jangan khawatir. Setelah kapal ini berlayar malam ini, mereka tidak akan pernah menemukannya," tegas Veronica, memberi aba-aba pada dua pria bertubuh kekar yang bersiap memindahkan Nayla ke kapal kecil yang telah menunggu di tepi dermaga. Namun, sebelum mereka sempat melangkah, suara deru mobil terdengar mendekat. Nathan menerobos pintu gudang dengan napas terengah-engah. Matanya menyapu seluruh ruangan hingga akhirnya menemukan Nayla yang duduk di pojok, matanya merah dan tubuhnya gemetar. “Nayla!” serunya keras. Tiga pria bayaran Veronica segera menghadang. Namun, Nathan tanpa pikir panjang melayangkan pukulan pada pria pertama. Sebuah perkelahian sengit terjadi. Meski tubuh Nathan belum sepenuhnya pulih, semangatnya membara demi menyelamatkan anaknya. Satu persatu pria itu tumbang, namun tidak tanpa perlawanan. Pukulan keras menghantam kepala Nathan, membuatnya terhuyung. Darah mengalir dari pelipisnya, tapi ia tak menyerah. Dengan sisa tenaga, Nathan menendang pria terakhir hingga terjatuh lalu berlari ke arah Nayla. Dengan tangan gemetar ia membuka ikatan yang membelenggu tubuh kecil itu. “Nayla, Ayah di sini. Maafkan Ayah yang terlambat,” bisiknya, memeluk tubuh Nayla erat. Nayla menangis keras di pelukan Nathan, tubuhnya masih diliputi ketakutan. Melisa melangkah mundur, tak percaya dengan apa yang terjadi. Veronica hanya menatap Nathan dengan dingin. “Kau tidak tahu apa yang kau lakukan, Nathan. Anak ini akan menghancurkan masa depanmu,” kata Veronica penuh tekanan. Nathan menoleh, matanya tajam. “Tidak. Ibu yang menghancurkan masa depanku—dan masa depan Nayla. Dia adalah darah dagingku. Dan mulai sekarang, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya.” Tanpa menunggu tanggapan, Nathan menggendong Nayla dan berjalan meninggalkan tempat itu. Kepalanya berdenyut hebat, namun ia tetap memeluk putrinya erat, seolah takut kehilangannya lagi. *** Beberapa jam kemudian, Nathan tiba di rumah Flora dengan tubuh penuh luka. Lampu depan masih menyala dan Flora berlari keluar begitu melihat bayangan mereka. “Nayla!” teriak Flora, langsung merebut Nayla dari pelukan Nathan dan memeluknya erat. Tangis Nayla pecah di dada ibunya. “Ibu, Nayla takut,” isaknya lirih. Flora menatap Nathan, melihat luka dan darah yang mengalir dari kepalanya. “Apa yang terjadi? Siapa yang tega melakukan ini?” Nathan terhuyung, namun tetap berdiri. “Ibu dan Melisa. Mereka ingin mengirim Nayla ke luar pulau. Aku datang tepat waktu.” Flora membeku. “Ib—ibu kandungmu sendiri?” Nathan mengangguk pelan. “Aku tidak tahu dia bisa sekejam itu. Tapi yang pasti, aku tidak akan membiarkan siapa pun mengambil Nayla lagi.” Flora menangis, kali ini bukan karena ketakutan, melainkan kelegaan dan rasa bersalah yang menggerogoti. “Maaf, ” bisiknya. Nathan tersenyum lemah. “Aku mengerti. Tapi Flora, Nayla adalah hidupku juga sekarang. Aku akan melindunginya, walau nyawaku taruhannya.” Flora menatap pria itu dalam-dalam. Di balik luka dan darah yang mengalir, ia melihat keberanian dan cinta sejati. Malam telah larut saat Nathan tiba di rumah keluarganya. Tubuhnya masih terasa nyeri, pelipisnya dibalut perban dan napasnya berat. Namun bukan luka fisik yang membawanya pulang malam itu—melainkan amarah yang membara di dadanya. Ia tak bisa membiarkan ibunya terus menyakiti Flora, terlebih Nayla, anaknya sendiri. Begitu memasuki ruang tamu megah kediaman keluarga Marshall, Nathan langsung menemukan ibunya duduk santai di sofa, menyesap teh hangat seolah tidak terjadi apa-apa. Veronica menoleh sekilas, menatap Nathan dengan pandangan sinis. “Kau kembali,” ucapnya tenang. “Kupikir kau sudah sadar siapa masa depanmu, dan meninggalkan anak haram itu!" Nathan mengepalkan tangannya, nadinya berdenyut keras. “Jangan pernah menyebut Nayla dengan kata itu lagi.” Veronica bangkit dari duduknya, mendekat tanpa gentar. “Kau buta, Nathan. Perempuan itu hanya menggunakan anak itu untuk menjeratmu. Kau masih punya kesempatan untuk kembali ke kehidupan yang seharusnya. Dengan Melisa. Dengan masa depan yang jelas.” “Dengan masa depan penuh kebohongan dan kekejaman?” Nathan membalas dengan suara bergetar menahan amarah. “Kau nyaris menghilangkan putriku, Bu! Putri kandungku! Apa itu yang kau sebut masa depan?” “Anak itu bukan bagian dari kita! Dia membawa aib! Dan Flora—dia perempuan dari kelas bawah yang hanya mengincar hartamu!” Veronica membentak, matanya menyala marah. “Cukup!” Nathan menggebrak meja di sampingnya hingga vas kristal di atasnya jatuh dan pecah. “Aku muak, Bu! Seumur hidup aku patuh, mengikuti kehendak keluarga ini, menjalani hidup seperti boneka. Tapi kali ini tidak! Flora dan Nayla adalah keluargaku sekarang, dan aku akan melindungi mereka, bahkan jika itu berarti memutuskan hubungan denganmu!” Veronica terdiam sejenak, wajahnya memucat. Tapi hanya sesaat. Tubuh Nathan goyah. Dadanya tiba-tiba terasa sesak, seolah tertimpa beban berat. Ia memegang sisi sofa, berusaha tetap berdiri, tapi penglihatannya mulai buram. Veronica berbalik, terkejut. “Nathan?!” Pelayan rumah segera berlari menghampiri, dan dalam hitungan menit, ambulans meluncur menuju rumah sakit. Di ruang Unit Gawat Darurat suasana terasa mencekam. Lampu-lampu terang menyinari lorong rumah sakit, memantulkan bayangan gelisah dari wajah-wajah yang menanti kepastian. Veronica Marshall berdiri kaku di samping suaminya dan juga Melisa yang tampak tak kalah cemas. Di sisi lain, Tuan Marshall—kakeknya Nathan yang jarang terlihat di tengah urusan keluarga—mendampingi mereka dengan ekspresi tegang, matanya tak lepas dari pintu ruang tindakan. Tak lama kemudian, seorang dokter dengan jas putih dan masker medis membuka pintu dan keluar. Ia menatap ketiganya dengan pandangan serius. “Dokter! Bagaimana keadaan anak saya?” Veronica langsung menyambar, langkahnya cepat menghampiri. Dokter menghela napas perlahan. “Kami sudah berhasil menstabilkan kondisi Tuan Nathan untuk sementara. Namun, serangan jantung yang dialaminya cukup parah dan jantungnya menunjukkan kelemahan signifikan.” “Lemah? Maksud Anda?” tanya Melisa cepat. “Jantungnya telah menanggung terlalu banyak beban emosional dalam waktu yang singkat. Berdasarkan hasil pemeriksaan terakhir, kami menyarankan agar beliau segera menjalani operasi bedah jantung besar. Jika tidak segera dilakukan, nyawanya bisa berada dalam bahaya.” Veronica menelan ludah, tubuhnya terasa lemas. “Operasi secepat itu?” “Ini bukan pilihan, Ny. Veronica. Ini kebutuhan. Kami butuh persetujuan keluarga inti untuk menjadwalkan operasi sesegera mungkin,” jelas dokter dengan nada tegas dan tenang. “Apakah risikonya besar?” suara Tuan Marshall terdengar pelan tapi mantap. “Cukup besar, mengingat kondisi jantung Tuan Nathan yang sudah sangat rentan. Namun, kami memiliki tim bedah terbaik. Kesempatan untuk pulih sangat bergantung pada seberapa cepat operasi dilakukan.” Veronica terdiam. Untuk pertama kalinya, kebisuannya bukan karena gengsi, tapi karena hatinya benar-benar diliputi rasa bersalah dan ketakutan. Melisa menggenggam lengannya, seolah berusaha menahan kegugupan sendiri. “Kami menunggu persetujuan dari pihak keluarga. Jika Ibu dan Ayahnya berkenan, kami akan langsung menjadwalkan prosedurnya,” ujar dokter sebelum meninggalkan mereka untuk kembali memantau pasien. Sesaat setelah dokter pergi, hening mencengkeram lorong rumah sakit. Veronica menunduk ia menggigit bibir bawahnya. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia menatap suami dan mertuanya dengan sorot mata yang jarang ia tunjukkan—ketakutan yang tulus. “Aku hanya ingin menyadarkannya,” ucap Veronica lirih. “Aku hanya ingin dia kembali seperti dulu, taat dan mengikuti jalan yang benar.” Tuan Marshall menatap istrinya lekat-lekat. “Tapi caramu salah, Veronica. Kau menyakiti anak sendiri, bahkan bersekongkol dengan Melisa untuk menyembunyikan cucumu dari ayahnya. Apa kau sadar kau hampir membuat kita kehilangannya malam ini?” “Jangan menyalahkanku saja!” Veronica menyergah, suaranya bergetar. “Aku melakukan semua ini demi masa depan Nathan! Demi reputasi keluarga ini!” “Dan sekarang reputasi itu nyaris membunuh putramu,” sahut suaminya dingin. Air mata akhirnya mengalir dari mata Veronica, untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir. Ia duduk perlahan di kursi tunggu, menggenggam jemarinya erat-erat, seolah berharap dengan itu ia bisa menarik waktu kembali. Malam semakin larut, tetapi ketegangan tidak surut sedikit pun.Malam berganti dengan cepat. Kegelapan yang menyelimuti langit tak ubahnya seperti kabut kelam yang menyelimuti hati Flora. Setelah seharian mencari Nayla tanpa hasil, tubuhnya mulai melemah, namun tidak dengan semangatnya. Ia duduk di beranda rumah, memeluk lutut, menatap jalan setapak yang sepi dengan tatapan kosong. Air matanya telah mengering, menyisakan perih yang mengendap di dada.Nathan mendapatkan informasi dari salah satu bawahannya jika Nayla hendak dibawa keluar pulau dan sedang dalam perjalanan menuju sebuah pelabuhan oleh ibunya, Veronica. Sementara itu, Nathan berada di dalam mobil, masih berusaha menghubungi sang ibu, Veronica Marshall. Berkali-kali ia menekan nomor yang sama, namun tak kunjung mendapatkan jawaban. Kepalanya berdenyut karena panik dan lelah, tapi naluri sebagai seorang ayah tak membiarkannya berhenti terlebih ketik dia melirik ke arah Flora, hatinya terasa semakin hancur. Saat ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari seseorang yang tak dikenal. “D
Suasana rumah sederhana milik Flora sore itu mendadak berubah panas ketika sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan halaman. Flora yang tengah menyiram tanaman di pekarangan, mengerutkan dahi melihat sosok tinggi semampai turun dari kendaraan. Wajahnya cantik sempurna, namun matanya menyala penuh amarah.“Melisa Gunawan,” gumam Flora pelan, tubuhnya kaku.“Jadi ini tempatmu bersembunyi, Flora Andini!” seru Melisa tajam, suaranya menggema menusuk udara sore yang damai. “Hidup seperti wanita desa, namun masih merebut apa yang menjadi milikku!”“Melisa, hentikan omong kosongmu itu!” ucap Flora tenang, meski jantungnya berdegup tak karuan.Melisa berjalan cepat menghampiri, hak sepatunya menghentak tanah dengan kasar. “Kau tahu persis maksudku! Jangan berpura-pura polos! Kau pikir hanya karena Nathan datang beberapa kali ke mari, kau bisa kembali menguasai hatinya?”“Sudah cukup, Melisa. Ada anak kecil di sini,” bisik Flora, menoleh ke arah anak kecil yang berdiri di ambang pintu bersam
Tiga tahun telah berlalu.Langit pagi di desa kecil tempat Flora menetap kini terlihat lebih jernih dibandingkan langit kota yang dulu penuh kebisingan dan kabut polusi. Kabut tipis menggantung di atas sawah dan ladang, menciptakan pemandangan yang menenangkan bagi siapa pun yang melihatnya.Di sebuah rumah sederhana yang berdiri di pinggir kebun kecil, Flora Andini kini hidup sebagai seorang petani. Ia mengelola sebidang tanah warisan keluarga dengan penuh kesabaran. Hidupnya tak lagi mewah, tak lagi dikelilingi pelayan atau fasilitas kelas atas. Tapi di balik segala kesederhanaan itu, ia menemukan hal yang selama ini tak pernah ia temukan di rumah mewah keluarga Marshall—ketenangan.Di tengah kesibukannya mengangkut hasil panen sayuran ke dalam keranjang rotan, terdengar tawa kecil dari balik pintu rumah kayu itu.“Nayla Tiara Maharani, jangan lari-lari, Nak. Kotor bajumu nanti,” seru Flora lembut sambil tersenyum.Seorang anak perempuan kecil berambut ikal dan bermata bulat keluar
Langkah Flora mulai gontai. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin dari angin sore yang menusuk tulang, tapi karena jiwanya terasa kosong. Pipinya masih perih karena tamparan Veronica dan hatinya remuk karena pengkhianatan cinta yang selama ini ia perjuangkan.Rumah kecil di ujung gang sempit itu akhirnya terlihat. Rumah neneknya—satu-satunya tempat yang dulu selalu membuatnya merasa aman. Namun kini, bahkan untuk berdiri tegak di depan pintu itu saja, lutut Flora nyaris tak mampu lagi menopang tubuhnya.Langkah kakinya menyeret, menimbulkan bunyi gesekan yang lemah di atas ubin teras. Bunyi itu cukup membuat sang nenek, yang kerap di sapa Nyai Marlina, yang tengah duduk membaca doa di ruang tengah, segera berdiri dan membuka pintu.“Siapa di luar sana?” serunya panik.Begitu pintu terbuka, tubuh Flora langsung ambruk di kaki wanita tua itu.“Ya tuhan! Flora!!” jerit neneknya kaget, ia langsung bersimpuh memeluk tubuh cucu satu-satunya yang tergeletak tak sadarkan diri.Nenek M
"Mulai hari ini kau keluar dari rumah ini, Flora Andini!"Suara bariton Nathan terdengar mengelegar di seluruh ruangan. Suaranya menyayat udara, membelah suasana pagi yang seharusnya damai menjadi mencekam. Semua mata yang hadir di ruang tamu mewah keluarga Marshall tertuju pada pasangan muda itu."Kau bukan lagi siapa-siapanya dari keluarga Marshall!"Jari telunjuk Nathan pria berusia 28 tahun yang memiliki tubuh tegap dan proporsional itu menunjuk tajam ke arah wajah Flora, membuat gadis itu menunduk dalam, seperti seorang pesakitan. Sorot matanya tak lagi lembut seperti dulu—yang ada hanyalah bara kemarahan yang membakar habis sisa kasih yang pernah tumbuh di antara mereka."Nathan, maafkan aku! Aku mohon dengarkan penjelasan aku terlebih dahulu!"Tubuh mungil Flora bersimpuh dengan lututnya yang menyentuh lantai marmer yang dingin. Suaranya parau, matanya sembab, tetapi masih menyimpan secercah harapan. Namun, tangan yang ia julurkan untuk meraih suaminya justru ditepis kasar. Tub