Share

Bab 2 Rencana Busuk Raya

Aku menghela napas, tak biasanya Hana bersikap seperti ini. Perempuan memang sulit dimengerti, tak terkecuali dengan Hana. Tak mau pusing aku dibuatnya, lebih baik tidur. Dua malam berturut - turut bertempur dengan Raya, cukup lelah juga. Kurang tidur, kurang istirahat.

Aku merebahkan tubuh lelahku. Rasa kantuk sudah mendera, dalam sekejap jiwa ini terdekap lelap

Membuka sedikit kelopak mata, cahaya cukup terang menerobos lewat jendela. Tidak aku dapati Hana, saat aku bangun. Tidak seperti biasanya juga dia membangunkan aku sholat subuh. Ada apa dengan Hana, aneh sekali.

Aku beringsut turun dari ranjang. Berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelahnya aku keluar kamar, menuju dapur untuk mengambil kopiku. Sesampainya di dapur nampak Hana yang sedang menghadap ke arah kompor, membelakangiku.

Kopi tersedia seperti biasa, Hana sudah membuatnya. Mendengar aku datang, Hana menoleh. Ibu dari anak - anakku itu membalikkan badannya.

"Hana sudah buatkan nasi goreng, Mas mau sarapan sekarang?" tanya Hana manis seperti sedia kala. Aku sedikit mengernyitkan dahi, kenapa Hana berubah - ubah sikap.

"Kenapa tak membangunkan aku?" tanyaku, kemudian.

"Mas terlihat capek, lelap sekali tidurnya. Ga tega banguninnya." Hana tersenyum tipis.

"Lalu, kenapa mata kamu sembab semalam?"

"Oh, keliatan yah? Hana lagi nulis novel baru. Sedih …." Kembali Hana menjelaskan.

Hana memang suka menulis cerita. Tapi, sudah cukup lama aku tak melihat istriku itu kembali menulis. Ah, apa peduliku, yang terpenting sudah jelas alasannya.

"Terus yang masalah adik temanku?" Aku kembali mencecarnya dengan pertanyaan. Terlihat Hana menarik napas dalam.

"Hana … nggak suka. Tapi, kalau itu sudah menjadi keputusan, Mas. Hana nurut aja," jawab Hana, tanpa senyum.

Hmm, ternyata hanya perasaanku saja. Hana masih tetap sama. Tidak ada yang berubah dari sikap Hana. Dia memang penurut, tak pernah menuntut. Selama enam tahun berumah tangga hampir tak ada pertengkaran berarti. Hana lebih banyak diam dan kemudian mengalah bila kami tak sependapat.

Hana mengurusku, dan anak - anak dengan sangat baik. Mengurus rumah yang cukup besar ini sendiri tanpa pembantu. Hana juga cantik, mengerti cara berpakaian yang modis. Kekurangannya Hana sedikit kaku, dan semakin kesini, sikapnya semakin dingin.

Melayani kebutuhan biologis asal terpenuhi saja. Monoton, hanya alakadarnya saja. Apalagi sekarang, aku diam tak meminta Hana juga diam saja, tak memiliki inisiatif untuk memintanya lebih dulu.

Berbeda sekali dengan Raya, yang selalu panas, dan tak segan meminta lebih dulu. Dengannya aku merasa hidup, bisa mewujudkan pikiran - pikiran liarku sebagai seorang laki - laki.

Ide Raya untuk tinggal disini, memang berisiko. Tapi, bukan ide yang buruk, Hana dan Raya membuatku lengkap. Raya mengurusi kebutuhan syahwatku, Hana mengurus kebutuhanku lainnya.

"Mas, kenapa?" Pertanyaan dari Hana membuyarkan lamunanku.

"Kenapa memangnya?"

"Kok, senyum sendiri." Hana mengernyitkan dahi.

"Nggak ada, nggak papa," jawabku kemudian.

▪•▪

Perubahan pemilik perusahaan di tempatku bekerja membawa banyak perubahan. Pengawasan terhadap cabang semakin ketat. Target penjualan juga semakin meningkat. Audit internal yang lama tidak dilakukan sudah mulai di jadwalkan.

Hal ini bukan kabar yang baik untukku. Akhir - akhir ini, aku tak terlalu fokus . Banyak laporan yang belum aku periksa, sibuk dengan urusan pribadiku sendiri.

[Sayang, aku sudah siap - siap]

Sebuah pesan masuk dari Raya. Hari ini dia akan mulai Tinggal di rumah. Sudah kuminta sedikit bersabar, tapi dia selalu begitu. Aku juga belum meminta Hana mempersiapkan kamarnya.

"Assalamualaikum, Mas." Suara Hana terdengar saat panggilan tersambung.

"Waalaikumsalam, kamu di rumah?" tanyaku, padanya.

"Iya, barusan sampai rumah. Antar Abang les," jawab Hana kemudian.

"Adik temanku, sore ini datang. Kamu siapkan kamar tamu, untuknya ya. Masakin yang enak, untuk makan malam," pesanku pada Hana.

"Oh …." Hanya itu yang terdengar dari bibir istriku.

"Mas, mohon. Jangan cemberut di depannya. Kalau dia bilang ke temenku, aku jadi nggak enak nanti." Kembali aku tegaskan pada Hana, agar bisa menerima Raya nanti.

"Iya." Hana menjawab singkat. Aku menutup panggilan, agar dia bisa langsung menyiapkan kamar untuk Raya.

Sebuah rencana sudah aku dan Raya susun agar kami bisa leluasa di rumah. Raya sudah mempersiapkan obat tidur untuk Hana.

"Aku sudah siapkan obat tidur untuk istri, Mas. Dengan begitu, tiap malam kan kita bisa berdua. Baru paginya, mas balik kamar," ucap Raya beberapa hari yang lalu. Raya cukup matang mempersiapkan semuanya.

Sudah sore, aku membereskan berkas - berkas di mejaku. Raya sudah menunggu sedari tadi. Segera aku bangun dari kursi kerja, dan beranjak keluar. Aku hanya mengangguk saat semua bawahanku menyapa.

Mobil kuarahkan ke tempat kost Raya, tak terlalu jauh dari kantor. Hanya saja daerah sini cukup padat arus lalu lintasnya. Apa lagi jam segini, jam orang pulang kerja. Mobil aku tepikan dan parkir di depan pagar rumah besar berlantai tiga tersebut.

Aku turun dari mobil, bersamaan dengan Raya yang membuka pintu pagar. Sebuah ransel dan juga tas diseretnya keluar. Aku membuka bagasi belakang dan memasukkan barang - barang milik Raya.

"Mas, waktunya bayar sekolah anakku. Mas lupa ya? Kok belum ditransfer."

Aku baru saja duduk di belakang setir kemudi, saat Raya menagih uang untuk sekolah anaknya.

"Iya, nanti mas transfer. Banyak kerjaan di kantor, maaf ya?!"

"Mas, anakku belum punya sepeda. Teman - temannya sudah punya semua. Rencananya kemarin pas gajian aku mau belikan. Tapi, temen - temen pada ngajakin jalan. Kepake deh uangnya." Raya bercerita dengan suara manjanya.

Sebagai seorang single parent, Raya wanita yang tangguh. Dia membesarkan anaknya sendiri, karena mantan suaminya yang dulu pergi tak bertanggung jawab. Mau dengan ibunya, harus mau mengurus anaknya juga kan? Itu prinsipku.

Tak beberapa lama, akhirnya sampai juga di rumah. Sedikit berdebar, tapi, masa bodoh. Toh, semua apa kataku. Hana tak akan berani membantahku.

Aku menyeret koper milik Raya masuk, Raya membawa tasnya. Aku meliriknya, dia mengedarkan pandangan ke setiap sudut rumah. Senyum manisnya terkembang.

"Hana … Hana …." Aku berteriak memanggil Hana.

"Ya … Mas. Sebentar …." Hana menjawab dari arah dapur. Tak berapa lama dia tergopoh - gopoh lari menghampiriku.

"Hana, ini adik temen mas, yang mas ceritakan kemarin." Aku memperkenalkan Raya pada Hana.

"Soraya …." Raya mengulurkan tangannya, senyum manis menghias bibir sensual yang menjadi candu buatku itu.

"Hana." Hana menjawab datar, sekilas saja dia menyentuh tangan Raya, hanya dengan ujung jarinya.

"Bawain barang Raya ke kamarnya," perintahku pada Hana.

"Maaf, tangan Hana kotor. Bauk terasi …." Hana mengangkat telapak tangannya dan menunjukkan padaku. Dia menyodorkan kan ke arah hidung Raya.

"Huek, bau banget." Raya berteriak hendak muntah.

"Tuh, kan."

"Huek." Aku juga berasa ingin muntah, saat Hana mendekatkan tangannya padaku.

"Sudah … sana … sana, jauh - jauh." Aku mengusir Hana sambil mengibaskan tanganku.

"Jijik …." Raya bergidik saat Hana sudah kembali ke dapur.

"Ya, sudah. Mas antar ke kamarmu," ucapku sambil mengangkat koper dan tas milik Raya.

"Rumahnya besar bagus lagi. Andai saja …." Raya tak melanjutkan kalimatnya. Aku hanya diam meski aku tau apa maksudnya.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status