"Biar bunda lihat," ucapku pada mereka. Siapa yang malam-malam datang bertamu. "Ikut …." Serempak kedua anak itu berjalan mengikutiku."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam." Bersamaan aku dan anak-anak menjawab salam."Loh, El sama siapa?" Mataku mengedar, hanya tampak El didepan pintu dengan sebuah kantong besar."Baaaa …." Anak-anak langsung berteriak karena kaget. Rupanya Mas Bima bersembunyi di balik pilar. Tawa anak-anak seketika pecah, melihat topeng superhero berlampu yang dipakai Mas Bima."Ganggukah?" tanya Mas Bima kemudian. Aku belum menjawab Al dan Luna sudah menarik El masuk ke dalam, dan duduk di karpet depan ruang tivi."Nggak sih, anak-anak abis belajar." Aku menjawab."Kok ada sih nya?" tanya Mas Bima lagi sambil membuka topeng yang menutupi wajahnya. "El ngotot minta anter ke sini. Aku tadi belikan mainan sekalian buat Al sama Luna. Dah aku bilang antar saja besok, maksa sekarang." Mas Bima memberi penjelasan."Wah, makasih udah repot-repot belikan anak-anak mainan," u
Malam beranjak larut, meski dengan terpaksa El mau juga pulang. Mereka terlalu asik bermain. Besok mereka harus sekolah, ini sudah hampir jam sembilan. El anak yang sopan dan penurut, Mas Bima sudah mendidiknya dengan baik. Cukup salut karena dia seorang pria, ternyata mampu menjalankan yang sebenarnya menjadi tugas wanita."Terima kasih waktunya," ucap Mas Bima saat berpamitan. "Terima kasih juga, dah belikan anak-anak mainan. Banyak banget, makasih ya." Aku juga berterima kasih karena membelikan Al dan Luna banyak mainan.Mas Bima melihat ke arah kedua anakku yang masih merapikan mainannya. Bibirnya tersenyum, senyumnya tulus sekali. Aku bisa merasakan hal itu. "Emm … aku ada meeting di kantor pusat selama tiga hari. Kalau kamu tak keberatan, aku titip El ya. Bi Nur nggak pernak keluar, selain antar El dengan mobil antar jemput. Nanti tolong tanyakan kalau Bi Nur butuh sesuatu." "Tentu saja, nggak keberatan. Malah seneng, atau sekalian bareng Hana sekolahnya. Nanti, Hana yang ante
"Siap." Ketiganya menjawab hampir bersamaan."Bunda, Abang El mau bareng kita." Luna mendekat padaku."Iya, kita berangkat bareng," ucapku kemudian.Senang sekali melihat keceriaan terpancar di wajah para malaikat kecil itu. Senyumku terkembang, meski ada rasa sakit sedikit menelisik. Mengingat mereka memiliki kisah yang sama. Entah, mataku tiba-tiba memanas. Aku jentik air mata yang mengembun di kedua sudut mataku. "Bunda, Baik-baik saja?" tanya Bi Nur tiba-tiba. Rupanya dia menyadari senyum getir dan air mataku."Iya, Bi. Saking senengnya lihat mereka, jadi terharu." Aku beralasan. "Alhamdulillah, Den El senang ada temannya. Suka kasihan, kalau di rumah mainnya sama Bibi aja," ucap Bi Nur, dengan senyum senang. Aku tersenyum mendengarnya.Ketiganya berlarian menuju menuju mobil sambil tertawa. Aku sedikit menoleh ke wanita setengah baya yang berjalan bersisian denganku. Wanita itu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.Anak-anak langsung masuk ke dalam mobil. Aku berpamitan pada
Dan ternyata itu adalah Raya? Untuk apa dia kemari. Dan tau dari mana kalau aku sekarang disini."Haduhhh, tamu itu salam dulu kek, Permisi. Ini teriak-teriak kayak orang nggak punya adab." Aku berucap kesal."Hahahaha, kalau punya adab nggak akan jadi pelakor, Yang," sindir Yola."Iya, juga." Aku menimpali."Ada apa? Teriak-teriak di rumah orang." Yola bicara sinis."Aku nggak ada urusan sama kamu." Raya menunjuk ke arah Yola. Sahabatku itu tambah tertawa."Aku tak mau basa-basi, aku selaku istri Mas Andrian, ingin menuntut bagian atas penjualan rumah ini." Raya mengangkat wajahnya."Hah, situ waras?""Terserah, aku sekarang hamil anak Mas Andrian. Dan, anakku harus mendapat bagian yang sama." Teriak Raya.Hamil?"Kalau ngomong itu dipikir, mikirnya pake otak, jangan pakai pant*t. Darimana ceritanya … anak hasil melakor minta pembagian harta. Apalagi jelas-jelas Andrian udah nggak ada hak lagi atas rumah ini." Yola melangkah mendekat ke tempat Raya berdiri."Kamu, nggak usah ikut camp
Anak-anak duduk di sofa panjang, sedang mengerumuni Kezia yang menunjukkan sesuatu di ponselnya. Aku dan Yola duduk bersisian di kursi. "Iya, ntar aku tanyain ke Mas Bima. Bisa sekalian aku angkut juga kan?!" Aku menjawab sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tasku.Tidak berapa lama, makanan yang dipesan datang. Pelayan berbaju krem dengan apron hitam datang dan menata makanan dimeja. Fokus anak-anak berpindah pada makanan yang sudah disajikan untuk mereka."Doa dulu," ingatku pada anak-anak. Seperti halnya anak seusia mereka. Mereka berdoa dengan suara nyaring sambil menengadahkan tangan. "Pelan-pelan makannya, awas masih panas."Meskipun mereka sudah paham, tetap saja selalu keluar kalimat khas seorang ibu. Aku mengaduk lemon tea dingin di hadapanku, sambil memperhatikan anak-anak yang mulai menikmati makanannya."Saiy," Yola memanggilku lirih, kakinya menyenggol kakiku. Aku menoleh ke arahnya, dan mengangkat dagu."Papa Luna," bisiknya kemudian.Deg … Jantungku tiba-tiba berdetak
Rutinas yang hampir sama selama tiga hari berturut-turut. Kegiatan yang padat cukup mengalihkan perhatian dari masalah pribadiku. Beberapa hari lagi adalah sidang pertamaku. Aku ada janji dengan Awan hari ini. Membahas persiapan untuk sidang, Awan menghubungiku untuk dapat bertemu hari ini."Pagi, Bang." Aku menyapa pria berkemeja biru muda yang dilipat sampai siku itu. Kami janjian di sebuah kafe tak jauh dari sekolah anak-anak."Hai, pagi." Awan berdiri menyambutku dengan uluran tangan. Aku membalasnya, dia kemudian menarikkan kursi dan mempersilahkan aku untuk duduk."Terima kasih," ucapku kemudian. "Nunggu lama?" "Baru juga, kamu udah sarapan belum?" tanyanya kemudian, tangannya diangkat ke atas memanggil pelayan kafe."Sudah, Bang. Hana minum saja," jawabku kemudian.Segelas lemon tea hangat aku pesan. Awan memesan segelas kopi. Setelah mencatat pesanan pelayan berseragam hitam itu beranjak meninggalkan meja."Gimana sudah dibawa semua bukti-buktinya?" tanya Awan kemudian.Aku me
"Iya, sepanjang aku membantu klien mengurus perceraian. Memang anak adalah hal yang menjadi alasan utama mereka untuk bertahan," cerita Awan lagi."Anak adalah sumber kekuatan. Tapi, bisa juga menjadi hal yang melemahkan." Aku menyadari sepenuhnya hal itu."Kamu benar, pengalamannya seperti itu." Awan menimpali."Tapi, jangan karena kebanyakan ngurus orang cerai. Abang jadi takut nikah, banyak kok yang bahagia sampai maut memisahkan," ucapku. Mencoba tak terlarut dengan perasaanku sendiri. "Nggaklah hahaha, memang belum ketemu yang klik aja. Kalau dah dapet yang klik pasti langsung abang halalin." Awan tertawa mendengarku."Hana doain, segera ketemu jodohnya. Langgeng sampai Jannah" ucapku kemudian."Amin." Awan mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya.Obrolan ringan mewarnai pertemuanku dengan Awan. Tak terasa sudah jam sembilan lewat. Aku mengingatkan Awan kembali, karena dia bilang ada janji dengan klien tadi."Ya sudah, ini semua aku bawa ya," ucap Awan memasukkan foto-foto M
"Bund, makan steak aja." Belum aku merespon kalimat Mas Bima, anak-anak sudah selesai dengan rapatnya. Luna si cerewet yang bicara."Di Dapur Queen aja ya, kan banyak pilihan selain steak." Aku menawarkan sebuah kafe tempat biasa aku dan Yola beserta anak-anak yang sering didatangi."Eh, kok jadi Hana yang mutusin. Kan Mas Bima yang nawarin tadi." Kebiasaan memang, aku yang sering mengambil keputusan."Sama aja, yang penting anak-anak senang." Mas Bima tersenyum kearahku. "Dan, kamu juga.""Hana selalu bahagia, melihat tawa anak-anak. Mereka happy, Hana lebih happy lagi," ucapku kemudian."Mas kenapa lihatin Hananya sampai gitu? awas numbur loh." Aku menyenggol lengan Mas Bima, dari tadi dia melihat ke arahku, tak melihat jalan.Mas Bima terlihat kaget, kemudian menggelengkan kepala. Wajahnya tampak bersemu, sebuah senyum terkulum di bibirnya. Akhirnya kami sampai di parkiran, aku memberikan kunci mobilku padanya. Mas Bima membukakan pintu untuk anak-anak kemudian kembali menutupnya.