Ayah memalingkan wajahnya ke arahku. Menatapku penuh selidik.
“Kau mau mencoba menipuku?” tanyanya. Aku menggelengkan kepala kuat. Membantah anggapan ayah yang tampak curiga padaku. Padahal memang iya, aku memang ingin mengulur waktu, memikirkan bagaimana caranya supaya pernikahan ini tidak sampai terjadi. Aku aku tidak mau. Tatapan ayah membuatku menciut. Aku seperti diintimidasi oleh tatapannya. Oh God, aku harus bagaimana untuk mengatasi semua ini? “Ayah, aku sudah ada di ujung. Kalau sampai keluar di sini bagaimana?” Aku memegangi perut, aku harap ayah akan percaya, dan mengizinkanku untuk ke kamar mandi. “Oke, baiklah … kau boleh menggunakan kamar mandiku!” ujar ayah akhirnya. Ayah menarikku menuju kamarnya. Aku berusaha melepaskan tanganku. Membuatnya emosi dengan apa yang aku lakukan. “Kenapa Ayah ikut? Aku bisa ke kamar mandi sendiri,” ujarku. Tanpa diduga, ayah mencengkram rahangku. Harus beginikah cara seorang ayah menunjukkan kasih sayangnya kepada putrinya? “Kau pikir aku bodoh? Aku tahu kau berusaha mencari cara untuk menggagalkan pernikahan ini. Dengar, Ariana! Pernikahan ini akan tetap terjadi. Kau akan menjadi istrinya Harmani, dan aku akan mendapatkan apa yang aku inginkan,” bisik ayah. Ayah kembali menarikku menuju kamarnya. “Sana cepat, jangan lama-lama!” ujar ayah. Terpaksa aku menuruti, aku masuk ke dalam kamar mandi. Sementara ayah menunggu di depan pintu. Aku hanya berdiam diri di dalam sini. Bagaimana aku bisa keluar? Ya Tuhan … kenapa hidupku semakin kacau begini? Beberapa kali aku menggigit ujung kuku. Mondar-mandir tak jelas di dalam kamar mandi. Haruskah aku memanjat jendela? Tidak, itu terlalu tinggi. Aku tidak mau mengambil resiko. Duduk di atas penutup kloset, lalu berdiri. Duduk lagi, berdiri lagi. Berulang kali hal itu aku lakukan. Buntu, aku tidak bisa berpikir jernih. “Cepat, Harmani sudah menghubungi. Kau sedang ditunggu. Acara harus segera dimulai!” seru ayah. Keringat dingin mulai bercucuran. Gugup, tubuhku bergetar hebat. “I-iya, sebentar, Ayah! Aaaa … Ayah, kenapa bisa ada ular di sini? Tolong aku takut!” sahutku. “Apa? Ular? Kau jangan mengada-ada. Di sini tidak mungkin ada ular. Cepat keluar, atau aku dobrak pintunya, dan menyeretmu keluar!” sahut ayah. Aku terpaksa membuka pintu lalu keluar. “Aku serius, Ayah. Aku lihat ular, ular itu bersembunyi di sana!” tunjukku, ke arah tong sampah kecil. Ayah menatapku tajam. Aku menjadi frustasi, bagaimana caranya supaya ayah mau membatalkan pernikahan ini. “Kau mau main-main denganku? Aku tahu, kau sedang menipuku, Ariana!” sentak ayah. Tak habis pikir, kenapa aku ditakdirkan terlahir dari seorang ayah yang sangat jahat seperti ini. Atau mungkin … aku sebenarnya bukan anak kandungnya? Ataukah aku seorang putri yang tertukar? Bisa jadi aku adalah seorang anak konglomerat, yang kebetulan tertukar saat di rumah sakit? Ya Tuhan … aku malah mengandai-andai. Namun, jika harus memilih, apakah aku harus memilih terlahir dari seorang ayah yang miskin namun baik atau ayah yang ada di hadapanku? Tentu saja aku akan memilih ayah miskin namun baik. Tidak menyiksaku seperti ini. “Sumpah, Ayah! Kau tidak percaya denganku? Aku memang melihatnya! Kenapa kau tidak percaya padaku? Aku ini putri kandungmu. Kenapa kau tak pernah mau mendengar semua keluhanku? Sementara Maurin, kau selalu mempercayainya dan menjaganya dengan baik! Plak! Lagi-lagi sebuah tamparan mendarat bebas di pipiku. Seperti biasa, terasa seperti gelitikan kecil. “Terima kasih, Ayah, untuk tamparan yang kesekian kalinya. Seandainya aku pergi, mungkin aku akan merindukan tamparan ini lagi,” ucapku. Ayah mengernyitkan dahinya. “Maafkan aku, Ayah!” Aku menendang tubuh ayah. Pria itu kini tersungkur di lantai kamar mandi. “Sialan! Anak kurang ajar!” racau ayah. Aku menutup dan mengunci pintu kamar mandi. Menyeka air mata. Aku rasa ini jalan yang terbaik. Maafkan aku, ayah. Aku terpaksa melakukannya. Aku menoleh ke arah jendela. Kudekati jendela tersebut. Membukanya lalu mencoba keluar. Namun, sebelum itu aku mengambil uang dari dompet yang tergeletak di kasur. Pintu tiba-tiba terbuka, menampakkan dua wajah yang paling aku benci dalam hidupku. Maurin, Susan, mereka berdiri dengan tatapan marah. “Mau ke mana kau anak sialan?” hardik Susan. “Buka pintunya! Anak tak tahu diuntung!” Ayah menggedor pintu. Susan terkejut mengetahui ayah terkunci di kamar mandi. Wanita itu pun membukanya. Ayah keluar dengan wajah bengis menatapku. “Ariana!” Aku tidak punya banyak waktu. Aku harus segera memanjat jendela. “Mau ke mana, kau?” Maurin tiba-tiba menarik kakiku. Aku nyaris terjatuh dari jendela. Aksi saling tarik menarik terjadi. Ayah dan Susan pun segera mendekat. “Aw!” Aku menendang wajahnya yang cantik dengan high heels yang aku pakai. Masa bodoh dampaknya akan seperti apa. Aku berhasil keluar, langkah selanjutnya aku harus berlari sejauh mungkin. “Ariana kabur!” Suara Maurin berteriak, membuatku harus lebih berhati-hati. Tidak mungkin aku pergi lewat gerbang utama. Sama saja aku bunuh diri. Dari belakang, ayah mengejarku. Aku memanjat tembok tinggi menggunakan tangga, walau pun harus mengambil resiko tergores pecahan beling yang menancap di atas tembok tersebut. “Aw!” Aku memekik kesakitan. Beberapa kali pula gaunku tersangkut. Menariknya dengan paksa, kini aku berhasil lompat dengan gaun yang telah robek. “Ariana! Kembali, kau!” teriak ayah di balik tembok tinggi. “Aku harus ke mana?” Aku menoleh ke sana kemari. Sebuah mobil bak terbuka terparkir di pinggir jalan dengan beberapa ekor domba di sana. Bergegas aku menaikinya, hingga mobil itu kini melaju menjauh. Terlihat beberapa orang mengejar. Namun, sayangnya mereka tidak bisa menggapaiku. Perjalanan mobil ini begitu panjang. Aku sampai ketiduran karena lelah. Berkutat dengan kotoran domba. Mungkin ini lebih baik daripada bersanding dengan Harmani. Hingga mobil ini berhenti di sebuah pasar domba, aku terbangun. Aku turun, sebelum pemilik mobil menyadari aku menumpang dan marah terhadapku. Aku berjalan tak tentu arah. Di mana, ke mana, aku tidak tahu. Tidak ada tempat tujuan. Aku bingung, aku juga takut. Penampilanku yang kacau menjadi pusat perhatian orang-orang. Tubuhku juga tercium bau kotoran domba. Wajah menor dengan gaun yang telah robek, membuat penampilanku terlihat aneh. Perutku juga terasa lapar. Dari tadi perutku belum diisi makanan. Susan sialan, wanita itu adalah akar permasalahan dalam hidupku. Sehingga aku sengsara seperti ini. Aku pun merasa tak nyaman pada wajahku. Aku harus menghapus make-up ini. Mobil yang terparkir di pinggir jalan, cukup membantuku untuk bercermin. Aku berdiri di samping mobil tersebut. Sambil bercermin, aku menyeka make-up di wajahku dengan tangan telanjang. Hingga tak sadar kaca mobil itu tiba-tiba turun, aku tidak tahu jika di dalamnya ada orang. Demi apa? Malunya luar biasa. Dari dalam mobil itu, menampakkan wajah seorang pemuda tampan yang tak aku kenali. Aku berdiri mematung menahan malu. Tangannya tiba-tiba terulur dari jendela menggapai wajahku, mengusap wajahku cukup lama. “Ariana!”Apa? Dia menyebut namaku? Apakah aku tidak salah dengar? Siapa dia? Kenapa dia bisa tahu namaku? Pertanyaan itu berkecamuk dalam benak.Dia tiba-tiba tersenyum padaku, seperti telah lama mengenalku. Namun, aku tidak mengenal siapa dirinya. Bahkan aku baru pertama kali melihatnya.Senyuman yang begitu menawan. Oh my God … aku hampir saja meleleh dibuatnya. Namun, aku segera tersadar. Tak sepantasnya aku mengagumi orang asing. Bisa jadi pemuda itu adalah orang yang tidak baik. Overthinking terhadap orang asing, mungkin akan lebih baik. Apalagi aku berada di tempat yang baru aku pijak.“Maaf, aku tidak tahu kalau di dalam ada orang. Aku permisi!”Aku menepis tangan pemuda itu dari wajahku. Tidak mengerti kenapa dia lancang menyentuh wajahku. Apa tujuannya? Apakah sebelumnya aku pernah bertemu dengannya? Sungguh, aku tidak kenal siapa dia.Aku menjauh dari mobil itu. Berjalan tanpa arah tujuan. Entah, aku harus ke mana sekarang? Aku tidak tahu dan … aku bingung.Bersungut-sungut di sepanj
Ayah memalingkan wajahnya ke arahku. Menatapku penuh selidik.“Kau mau mencoba menipuku?” tanyanya.Aku menggelengkan kepala kuat. Membantah anggapan ayah yang tampak curiga padaku. Padahal memang iya, aku memang ingin mengulur waktu, memikirkan bagaimana caranya supaya pernikahan ini tidak sampai terjadi. Aku aku tidak mau.Tatapan ayah membuatku menciut. Aku seperti diintimidasi oleh tatapannya. Oh God, aku harus bagaimana untuk mengatasi semua ini?“Ayah, aku sudah ada di ujung. Kalau sampai keluar di sini bagaimana?” Aku memegangi perut, aku harap ayah akan percaya, dan mengizinkanku untuk ke kamar mandi.“Oke, baiklah … kau boleh menggunakan kamar mandiku!” ujar ayah akhirnya.Ayah menarikku menuju kamarnya. Aku berusaha melepaskan tanganku. Membuatnya emosi dengan apa yang aku lakukan.“Kenapa Ayah ikut? Aku bisa ke kamar mandi sendiri,” ujarku.Tanpa diduga, ayah mencengkram rahangku. Harus beginikah cara seorang ayah menunjukkan kasih sayangnya kepada putrinya? “Kau pikir ak
“Nah, ini dia putri kami, Ariana, calon istrimu!” seru ayah.Apa?! Jadi … aku akan dijodohkan? Aku menatap ayahku penuh tanda tanya.“Benar, Sayang. Kau akan dilamar, sebentar lagi kau akan dipersunting oleh calon suamimu,” ujar ayah, seakan mengerti dengan arti tatapanku.Apakah pemuda itu yang akan menjadi calon suamiku? Tampak di samping pemuda tampan itu seorang pria paruh baya dan seorang kakek. Kemungkinan mereka adalah ayah dan kakeknya pemuda tersebut.“Tapi kenapa aku baru dikasih tahu, Yah? Aku ….”“Ehem … Sayang, sebaiknya kita duduk dulu. Tidak baik berdiri terus seperti ini,” ujar Susan.Aku bergeming, masa iya aku akan dinikahkan secara mendadak begini? Tidak ada masa perkenalan secara pribadi antara aku dan pemuda itu, dan tidak ada masa penjajakan. Kacau, aku harus bagaimana?“Perkenalkan, saya Hendro, ini ayahku Pak Harmani, dan ini anakku satu-satunya, Hengki. Senang bertemu denganmu, Ariana!” ucap pak Hendro.Aku hanya menanggapinya dengan anggukan dan senyuman keci
Aku membalikkan badan. Wanita perebut ayahku, dan juga Maurin, mereka sangat keterlaluan.“Apa-apaan ini? Kenapa kalian menyiramku?” tanyaku, emosi dibuatnya.Susan melempar ember kosong ke arahku.“Kenapa? Mau marah? Dengar baik-baik, Ariana. Andra itu sudah memutuskan memilih Maurin. Jadi, kamu terima saja nasib kamu. Jangan sok-sokan mau menjatuhkan Maurin di hadapan keluarganya, karena bagaimana pun, Maurin jauh lebih sempurna daripada kamu yang buluk ini,” cetus Susan. Menghina fisikku yang tidak sempurna ini.Memang, ibu tiri yang jahat itu ternyata bukan sekedar hanya ada di negeri dongeng saja. Di dunia nyata pun ada. Aku pun merasakannya. Hingga aku sempat berpikir jika aku mati mungkin lebih baik.“Aku cuma nanya resep tempe goreng. Katanya pintar masak, masa resep tempe goreng saja tidak tahu. Payah,” ujarku.“Aw!” Aku memekik kesakitan, saat rambutku dijambak oleh Maurin.“Dengar, ya! Kau terima saja kekalahanmu. Kau bukan tandinganku,” bisik Maurin.Aku memberontak, sehin
Apa? Apakah aku salah dengar? Andra melamar Maurin? Aku menggelengkan kepala pelan. Apakah aku sedang bermimpi? “Kau serius, Andra?” tanya Maurin. “Iya, kedatangan kami ke sini … aku ingin melamar kamu. Sejak pertama melihat kamu, aku sudah tertarik dan merasa cocok sama kamu. Maaf, aku baru bisa memberanikan diri sekarang,” jawab Andra. “Tidak, apakah aku salah dengar? Apakah kau bercanda, Andra?” tanyaku. Andra dan yang lain menoleh ke arahku. Sakit sekali, apakah aku sedang di prank oleh lelaki itu? “Tidak, Ariana. Kamu tidak salah dengar. Aku memang mau melamar Maurin,” jawab Andra. “Tapi yang pacaran sama kamu itu aku, bukan Maurin. Kenapa yang dilamar bukan aku?” tanyaku. Tidak habis pikir, di mana hati Andra. Aku yang selama ini menjadi kekasihnya. Namun, ujung-ujungnya malah … aaargh! Rasanya ingin menghilang saja dari bumi ini. “Maaf, Ariana. Jujur, kamu salah paham selama ini. Kedekatan kita aku anggap sebagai sahabat. Aku tidak tega berkata jujur, karena kamu terlih
“Perontok bulu ketek, krim bisul, em … apa lagi, ya?”Aku melangkah menyusuri jalan. Membawa uang senilai 100 ribu. “Eh-eh, Dek! Awas!”Aku tidak sengaja melihat seorang anak remaja laki-laki, perkiraanku anak itu masih duduk di bangku SMP. Dia berjalan sambil melamun menyeberangi jalan yang sedang ramai kendaraan.Raut wajah yang ditunjukkan tampak kacau. Aku yakin, anak itu sedang mengalami masalah.Aku berlari sekuat tenaga, demi menyelamatkan anak itu. Hingga akhirnya, sedetik kemudian sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi, setelah aku berhasil menarik tangan anak itu ke pinggir jalan.Bruk!Tubuh anak itu menimpa tubuhku. Hingga aku terbaring di trotoar. Susah payah aku bangun, badanku rasanya sakit.“Kau tidak apa-apa?” tanyaku.Anak itu menggelengkan kepalanya.“Aku tidak apa-apa, terima kasih sudah menolongku,” ucapnya.“Sama-sama, lain kali kamu hati-hati, ya. Kalau jalan jangan sambil melamun. Untung saja kamu tidak sampai tertabrak,” sahutku.“Aku melamun karena se