Share

Bab 5 Lari

Penulis: Yuni Masrifah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-27 11:07:31

Ayah memalingkan wajahnya ke arahku. Menatapku penuh selidik.

“Kau mau mencoba menipuku?” tanyanya.

Aku menggelengkan kepala kuat. Membantah anggapan ayah yang tampak curiga padaku. Padahal memang iya, aku memang ingin mengulur waktu, memikirkan bagaimana caranya supaya pernikahan ini tidak sampai terjadi. Aku aku tidak mau.

Tatapan ayah membuatku menciut. Aku seperti diintimidasi oleh tatapannya. Oh God, aku harus bagaimana untuk mengatasi semua ini?

“Ayah, aku sudah ada di ujung. Kalau sampai keluar di sini bagaimana?” 

Aku memegangi perut, aku harap ayah akan percaya, dan mengizinkanku untuk ke kamar mandi.

“Oke, baiklah … kau boleh menggunakan kamar mandiku!” ujar ayah akhirnya.

Ayah menarikku menuju kamarnya. Aku berusaha melepaskan tanganku. Membuatnya emosi dengan apa yang aku lakukan.

“Kenapa Ayah ikut? Aku bisa ke kamar mandi sendiri,” ujarku.

Tanpa diduga, ayah mencengkram rahangku. Harus beginikah cara seorang ayah menunjukkan kasih sayangnya kepada putrinya? 

“Kau pikir aku bodoh? Aku tahu kau berusaha mencari cara untuk menggagalkan pernikahan ini. Dengar, Ariana! Pernikahan ini akan tetap terjadi. Kau akan menjadi istrinya Harmani, dan aku akan mendapatkan apa yang aku inginkan,” bisik ayah.

Ayah kembali menarikku menuju kamarnya.

“Sana cepat, jangan lama-lama!” ujar ayah.

Terpaksa aku menuruti, aku masuk ke dalam kamar mandi. Sementara ayah menunggu di depan pintu.

Aku hanya berdiam diri di dalam sini. Bagaimana aku bisa keluar? Ya Tuhan … kenapa hidupku semakin kacau begini?

Beberapa kali aku menggigit ujung kuku. Mondar-mandir tak jelas di dalam kamar mandi. Haruskah aku memanjat jendela? Tidak, itu terlalu tinggi. Aku tidak mau mengambil resiko.

Duduk di atas penutup kloset, lalu berdiri. Duduk lagi, berdiri lagi. Berulang kali hal itu aku lakukan. Buntu, aku tidak bisa berpikir jernih.

“Cepat, Harmani sudah menghubungi. Kau sedang ditunggu. Acara harus segera dimulai!” seru ayah.

Keringat dingin mulai bercucuran. Gugup, tubuhku bergetar hebat.

“I-iya, sebentar, Ayah! Aaaa … Ayah, kenapa bisa ada ular di sini? Tolong aku takut!” sahutku.

“Apa? Ular? Kau jangan mengada-ada. Di sini tidak mungkin ada ular. Cepat keluar, atau aku dobrak pintunya, dan menyeretmu keluar!” sahut ayah.

Aku terpaksa membuka pintu lalu keluar.

“Aku serius, Ayah. Aku lihat ular, ular itu bersembunyi di sana!” tunjukku, ke arah tong sampah kecil.

Ayah menatapku tajam. Aku menjadi frustasi, bagaimana caranya supaya ayah mau membatalkan pernikahan ini.

“Kau mau main-main denganku? Aku tahu, kau sedang menipuku, Ariana!” sentak ayah.

Tak habis pikir, kenapa aku ditakdirkan terlahir dari seorang ayah yang sangat jahat seperti ini. Atau mungkin … aku sebenarnya bukan anak kandungnya? Ataukah aku seorang putri yang tertukar? Bisa jadi aku adalah seorang anak konglomerat, yang kebetulan tertukar saat di rumah sakit?

Ya Tuhan … aku malah mengandai-andai. Namun, jika harus memilih, apakah aku harus memilih terlahir dari seorang ayah yang miskin namun baik atau ayah yang ada di hadapanku? Tentu saja aku akan memilih ayah miskin namun baik. Tidak menyiksaku seperti ini.

“Sumpah, Ayah! Kau tidak percaya denganku? Aku memang melihatnya! Kenapa kau tidak percaya padaku? Aku ini putri kandungmu. Kenapa kau tak pernah mau mendengar semua keluhanku? Sementara Maurin, kau selalu mempercayainya dan menjaganya dengan baik!

Plak!

Lagi-lagi sebuah tamparan mendarat bebas di pipiku. Seperti biasa, terasa seperti gelitikan kecil.

“Terima kasih, Ayah, untuk tamparan yang kesekian kalinya. Seandainya aku pergi, mungkin aku akan merindukan tamparan ini lagi,” ucapku.

Ayah mengernyitkan dahinya.

“Maafkan aku, Ayah!”

Aku menendang tubuh ayah. Pria itu kini tersungkur di lantai kamar mandi.

“Sialan! Anak kurang ajar!” racau ayah.

Aku menutup dan mengunci pintu kamar mandi. Menyeka air mata. Aku rasa ini jalan yang terbaik. Maafkan aku, ayah. Aku terpaksa melakukannya.

Aku menoleh ke arah jendela. Kudekati jendela tersebut. Membukanya lalu mencoba keluar. Namun, sebelum itu aku mengambil uang dari dompet yang tergeletak di kasur.

Pintu tiba-tiba terbuka, menampakkan dua wajah yang paling aku benci dalam hidupku.

Maurin, Susan, mereka berdiri dengan tatapan marah.

“Mau ke mana kau anak sialan?” hardik Susan.

“Buka pintunya! Anak tak tahu diuntung!” Ayah menggedor pintu.

Susan terkejut mengetahui ayah terkunci di kamar mandi. Wanita itu pun membukanya. Ayah keluar dengan wajah bengis menatapku. “Ariana!”

Aku tidak punya banyak waktu. Aku harus segera memanjat jendela.

“Mau ke mana, kau?” Maurin tiba-tiba menarik kakiku. Aku nyaris terjatuh dari jendela.

Aksi saling tarik menarik terjadi. Ayah dan Susan pun segera mendekat.

“Aw!”

Aku menendang wajahnya yang cantik dengan high heels yang aku pakai. Masa bodoh dampaknya akan seperti apa.

Aku berhasil keluar, langkah selanjutnya aku harus berlari sejauh mungkin.

“Ariana kabur!”

Suara Maurin berteriak, membuatku harus lebih berhati-hati. Tidak mungkin aku pergi lewat gerbang utama. Sama saja aku bunuh diri.

Dari belakang, ayah mengejarku.

Aku memanjat tembok tinggi menggunakan tangga, walau pun harus mengambil resiko tergores pecahan beling yang menancap di atas tembok tersebut.

“Aw!”

Aku memekik kesakitan. Beberapa kali pula gaunku tersangkut. Menariknya dengan paksa, kini aku berhasil lompat dengan gaun yang telah robek.

“Ariana! Kembali, kau!” teriak ayah di balik tembok tinggi.

“Aku harus ke mana?” Aku menoleh ke sana kemari.

Sebuah mobil bak terbuka terparkir di pinggir jalan dengan beberapa ekor domba di sana. Bergegas aku menaikinya, hingga mobil itu kini melaju menjauh.

Terlihat beberapa orang mengejar. Namun, sayangnya mereka tidak bisa menggapaiku.

Perjalanan mobil ini begitu panjang. Aku sampai ketiduran karena lelah. Berkutat dengan kotoran domba. Mungkin ini lebih baik daripada bersanding dengan Harmani. Hingga mobil ini berhenti di sebuah pasar domba, aku terbangun.

Aku turun, sebelum pemilik mobil menyadari aku menumpang dan marah terhadapku.

Aku berjalan tak tentu arah. Di mana, ke mana, aku tidak tahu. Tidak ada tempat tujuan. Aku bingung, aku juga takut.

Penampilanku yang kacau menjadi pusat perhatian orang-orang. Tubuhku juga tercium bau kotoran domba. Wajah menor dengan gaun yang telah robek, membuat penampilanku terlihat aneh.

Perutku juga terasa lapar. Dari tadi perutku belum diisi makanan. Susan sialan, wanita itu adalah akar permasalahan dalam hidupku. Sehingga aku sengsara seperti ini.

Aku pun merasa tak nyaman pada wajahku. Aku harus menghapus make-up ini.

Mobil yang terparkir di pinggir jalan, cukup membantuku untuk bercermin. Aku berdiri di samping mobil tersebut. Sambil bercermin, aku menyeka make-up di wajahku dengan tangan telanjang. Hingga tak sadar kaca mobil itu tiba-tiba turun, aku tidak tahu jika di dalamnya ada orang. 

Demi apa? Malunya luar biasa. Dari dalam mobil itu, menampakkan wajah seorang pemuda tampan yang tak aku kenali. Aku berdiri mematung menahan malu.

Tangannya tiba-tiba terulur dari jendela menggapai wajahku, mengusap wajahku cukup lama.

“Ariana!”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • OBSESI CINTA TUAN MUDA   Bab 50 Ancaman

    Tubuhku terasa melayang, kakiku seakan tidak mampu lagi menopang tubuh ini.Ayah, dia memang bukan ayah yang baik untukku. Namun, dia tetap ayahku walau seburuk apa pun. Aku tidak mungkin tega membiarkan ayahku menggantikan posisi wanita yang ada di dalam foto itu.Aku memang benci ayah. Namun, aku bukan pembunuh seperti Galang.“Bagaimana, Ariana? Kau … masih ingin putus dariku? Semua keputusan ada di tangan kamu. Tinggal pilih saja salah satu, kita menikah atau nyawa ayahmu yang menjadi taruhan,” bisik Galang.Aku bergeming, rasa takut semakin menjadi. Aku menangis sesenggukan, tidak menyangka impian indahku bersama Galang, akan berujung sebuah ancaman yang begitu menakutkan.Entah apa yang akan terjadi jika aku menikah dengannya. Aku tidak bisa memastikan, nyawaku akan bertahan untuk berapa lama lagi.Aku merasa gelisah, napas pun rasanya seakan seperti bom waktu yang akan meledak kapan pun.“Jahat, kamu jahat, Galang!” rutukku.“Sssst! Jangan katakan itu, Ariana, aku tidak suka. K

  • OBSESI CINTA TUAN MUDA   Bab 49 Sisi Buruk

    Aku terkesiap, suara itu begitu dekat. Perlahan aku menolehkan kepalaku, dan … benar saja, Galang, lelaki itu berdiri tepat di sampingku. Bahkan aku tidak tahu sejak kapan dia ada di sini.Spontan aku menjaga jarak dari lelaki itu. Jantungku nyaris melompat dari tempatnya, saat tak sengaja aku melihat sebuah pisau di sebelah tangannya.“A-aku … aku–”“Mau ke mana, Ariana? Apakah kau mau keluar tanpa aku? Hem?” potong Galang. Dia memainkan mata pisau itu. Membuatku semakin ketakutan dibuatnya.Galang melangkah lebih dekat ke arahku. Sementara aku mundur beberapa langkah hingga tubuhku tersudut di daun pintu. Tidak ada jalan lain untuk aku kembali menghindar.“Kenapa, Ariana? Kau … sudah tahu semuanya?” Galang tersenyum kecil.Senyuman itu sebelumnya selalu membuatku berbunga-bunga, merasakan kenyamanan, merasakan arti dicintai. Namun, setelah aku mengetahui sisi buruk Galang, senyuman itu seketika berubah menakutkan. Seakan senyuman tersebut bisa menjadi bom waktu, yang kapan saja dapa

  • OBSESI CINTA TUAN MUDA   Bab 48 Melarikan Diri

    Aku membekap mulutku sendiri. Susah payah aku menelan saliva. Perasaanku seketika menjadi tidak tenang.“Da-daging siapa ini?” gumamku.Pikiran buruk seketika berkumpul di dalam kepala. Sontak aku teringat akan ucapan Alea kemarin. Apa mungkin Alea mengetahui sesuatu?Aku menoleh ke arah kotak kecil di atas nakas. Aku meraihnya, mengamati benda tersebut.Aku memantapkan diri untuk membuka kotak tersebut. Entah apa yang Alea masukkan ke dalam kotak tersebut, sehingga dia mendatangiku dan mengirimkannya padaku.Tanganku mulai sibuk membuka kotak itu. Namun, gerakanku terhenti ketika terdengar suara notifikasi di ponsel Galang.Aku melirik ke arah ponsel tersebut. Di atas layar aku melihat seseorang mengirimkan sebuah foto. Aku tidak berani menyentuh ponsel itu apalagi membukanya. Namun, pesan kedua datang. Aku membaca pesan itu di atas layar tanpa membukanya.“Target memberontak sampai barang-barang di sini hancur. Tapi sudah kami bereskan, lalu apa yang harus kami lakukan?”Aku merasa

  • OBSESI CINTA TUAN MUDA   Bab 47 Daging Segar

    “Ariana, ini aku!” bisiknya.Mataku membulat sempurna saat melihat wajah di balik masker itu. Spontan aku berdiri, hendak menjauh darinya.“Mau apa kamu ke sini? Jangan pernah menemuiku lagi, Alea. Hubungan pertemanan kita sudah selesai.”Aku berjalan cepat ke arah tangga. Alea membuntuti, menarik tanganku hingga aku membalikkan badan menghadap ke arahnya.“Apa lagi, Alea?” tanyaku, emosi dibuatnya.“Sssst!” Alea memberikan isyarat untukku diam. Dia menoleh ke sana kemari, seperti takut terlihat oleh orang-orang di rumah ini.Alea telah kembali menutup wajahnya menggunakan masker.“Dengar, Ariana. Waktu kamu tidak banyak, jangan terlena dengan apa yang kamu dapatkan. Kemewahan, perhatian, bahkan cinta yang kamu dapat hanyalah bualan. Kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku bisa berbicara seperti ini? Aku akan jelaskan semua, tapi tidak di sini. Ayo kita pergi dari sini!”Aku menggelengkan kepala pelan.“Aku tahu maksud kamu bicara seperti itu karena apa, Alea. Aku tahu, kamu pasti cembur

  • OBSESI CINTA TUAN MUDA   Bab 46 Membuntuti

    Aku mengernyitkan dahiku, lantas menoleh ke belakang.Aku terhenyak, di sana … aku melihat mobil Maurin tengah membuntuti kami.“Bagaimana kau bisa tahu kalau itu mobilnya Maurin?” Tatapanku seketika penuh selidik.Galang mengangkat sebelah alisnya.“Kau … mencurigaiku?” Galang malah balik bertanya.Aku menghembuskan napas kasar.“Segitu detailnya kau mengamati apa yang dimiliki Maurin,” ucapku. lalu aku melipat kedua tanganku di depan dada.Galang terkekeh, selalu begitu di saat aku tengah merasa kesal terhadapnya.“Kenapa kau tidak bisa berpikir jernih tentang diriku, Ariana? Aku calon suamimu, dan kau … masih saja mencurigaiku. Kau takut aku tergoda sama Maurin? Benarkah begitu?” tanya Galang.Aku terdiam, masih melipat kedua tanganku. Jujur, aku memang merasakan hal itu. Aku tidak ingin lagi dan lagi merasa kecewa dalam percintaan.Galang mengusap rambutnya ke belakang.“Lihatlah, apakah ayah atau ibu tirimu suka dengan warna mobil itu? Warna pink, dengan stiker karakter hello Kit

  • OBSESI CINTA TUAN MUDA   Bab 45 Keceplosan

    “Kenapa Ayah berubah pikiran? Bukankah tadi … Ayah tidak merestui pernikahan mereka?” tanya Maurin, seperti tidak terima dengan keputusan ayah.Seketika senyumanku mengembang. Ya, Galang tidak menipuku, dia berkata jujur. Aku terlalu takut, saat ayah berbicara, pikiranku sudah terlalu buruk. Namun, nyatanya ….“Iya, Mas. Kenapa kau berubah pikiran? Kenapa sikapmu menjadi plin-plan seperti ini? Ada apa sebenarnya?” timpal Susan.Tanganku dan tangan Galang saling bertaut. Kini semakin erat genggaman kami. Rasa bahagia kini menyelimuti.“Memangnya apa yang salah, jika Ayah mengizinkan mereka berdua menikah?” tanya ayah.“Em … nggak ada yang salah, sih. Cuman … kok aneh sekali, Ayah ini, nggak persisten dengan ucapan Ayah sendiri. Tiba-tiba merestui mereka, padahal tadi saja Ayah menentang keras hubungan mereka,” jawab Maurin.Aku menautkan kedua alisku.“Tidak perlu marah, Maurin. Kami bahagia dengan keputusan ayah,” timpalku.Maurin hanya melirik sekilas, tanpa menyahut ucapanku sama se

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status