Share

OBSESI SANG ANTAGONIS
OBSESI SANG ANTAGONIS
Author: Niya a

Bab 1

Author: Niya a
last update Last Updated: 2025-09-17 10:48:40

Kesadaran Clara datang perlahan, seperti seseorang yang ditarik dari mimpi panjang yang begitu nyata. Kelopak matanya terasa berat, namun dengan susah payah ia membuka mata. Pandangan pertamanya bukanlah langit-langit kusam apartemennya yang biasa, melainkan ukiran emas indah pada atap ruangan asing.

Cahaya lembut menembus tirai putih yang menjuntai anggun, menebarkan sinar keemasan ke sekeliling kamar yang terlalu mewah untuk ukuran orang biasa sepertinya.

Clara terdiam. Dadanya berdegup kencang, hampir menyakitkan. 'Ini… di mana?'

Dengan gerakan kaku, ia mendorong tubuhnya untuk bangun. Ranjang di bawahnya begitu empuk hingga hampir menelan seluruh tubuhnya, membuatnya enggan percaya ini nyata.

Jari-jarinya perlahan meraba sprei satin yang dingin dan licin di kulit, sangat berbeda dari sprei tipis murahan di apartemennya yang sering kusut.

Matanya bergerak gelisah, menyapu seisi ruangan dengan cepat, seakan mencari sesuatu yang bisa menjelaskan keberadaannya. Meja kayu berukir berdiri anggun di sudut, di atasnya sebuah vas kristal berisi mawar segar yang masih mengembun.

Di sisi lain, jendela besar terbuka lebar, menyingkap taman luas dengan air mancur berkilauan diterpa cahaya pagi. Semuanya terlalu mewah, terlalu asing.

Rasa sesak merayap di dadanya. Clara mengangkat tangan, menekan dadanya yang berdegup kencang seakan ingin meledak. “Ini… bukan rumah sakit. Dan jelas bukan apartemenku,” bisiknya lirih, hampir tak percaya pada kata-katanya sendiri.

Tiba-tiba, suara berderit lembut memecah keheningan. Pintu besar di sisi ruangan perlahan terbuka. Seorang perempuan berseragam hitam-putih khas pelayan melangkah masuk dengan tenang, gerakannya anggun. Di tangannya ada sebuah nampan perak berisi segelas jus segar yang tampak memantulkan cahaya.

“Selamat pagi, Nona Karin,” sapanya sopan dengan senyum ramah yang menghiasi wajahnya.

Clara terperanjat. Kata-kata itu bagai petir di siang bolong. Ia menegakkan tubuhnya lebih cepat dari seharusnya, sorot matanya membeku. 'Apa barusan dia bilang… Karin?'

Suaranya tercekat saat ia bertanya, “Tunggu… siapa yang kamu panggil Karin?”

Pelayan itu sempat ragu, menatap nona mudanya dengan bingung seolah pertanyaan itu tak masuk akal baginya. Namun kemudian ia menjawab mantap, “Tentu saja Anda, Nona Karin Domanic. Apakah Nona masih merasa tidak enak badan setelah semalam pingsan?”

Nama itu menghantam keras Clara bagai palu godam. 'Karin Domanic…?'

Tubuh Clara menegang seketika. Telapak tangannya terasa dingin, jari-jarinya gemetar halus tanpa bisa ia kendalikan. Perlahan, seakan ada sesuatu yang menyeretnya, pandangannya beralih ke cermin besar di seberang ranjang. Begitu matanya menangkap pantulan di sana, napasnya langsung tercekat.

Bukan wajahnya. Bukan Clara.

Dari balik kaca, seorang gadis asing menatapnya balik. Rambut hitam panjang bergelombang jatuh anggun di bahu, kulitnya pucat seputih porselen, dan sepasang mata tajam itu memancarkan keangkuhan yang menusuk.

Gaun tidur satin membalut tubuh rampingnya, jatuh sempurna mengikuti garis bahu yang halus. Ia memang cantik, terlalu cantik. Bukan kecantikan yang menenangkan, melainkan pesona dingin yang membuat Clara merasa seolah tengah menatap sosok dari dunia lain.

Dan saat detik itu, Clara sadar bahwa wajah asing itu bukan sekadar cantik, melainkan juga familiar. Wajah yang selama ini hanya ia kenal dari lembaran novel.

Karin Domanic.

Clara tersentak mundur, punggungnya membentur tiang ranjang dengan keras. Nafasnya tercekat, jari-jarinya langsung meraba wajahnya sendiri...pipi, hidung, lalu bibir seakan ingin memastikan semuanya masih miliknya. Namun bayangan di cermin di seberang menirukan setiap gerakannya dengan tepat, tanpa ada yang meleset sedikit pun.

Pelayan di depannya tampak terkejut, raut wajahnya berubah cemas. Ia melangkah maju setengah dengan tubuh yang sedikit menunduk ragu.

“Nona, apakah saya perlu memanggilkan dokter keluarga?” tanyanya hati-hati.

Clara menelan ludahnya kasar, tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Panik mencekiknya, tapi bagian logis dalam dirinya berusaha keras mengambil alih.

Ia lalu buru-buru menggeleng, meski suara yang keluar bergetar.

“Tidak… tidak perlu. Aku hanya… sedikit pusing. Kamu boleh keluar sekarang.”

Pelayan itu masih sempat menatapnya dengan khawatir, namun akhirnya mengangguk patuh. Langkahnya terdengar menjauh, lalu pintu menutup perlahan, meninggalkan Clara sendirian dalam keheningan kamar mewah itu.

Ia langsung jatuh terduduk di tepi ranjang. Kedua tangannya terangkat menekan keningnya dengan jemari yang gemetar. Napasnya tersengal, sementara pikirannya berputar liar tanpa arah.

'Bagaimana bisa… aku jadi Karin?'

Potongan ingatan semalam menyeruak, begitu nyata hingga membuat dadanya semakin sesak. Hujan deras mengguyur, lampu jalan berkilau kabur di atas aspal basah.

Ia masih bisa merasakan kantuk berat yang menusuk karena dua hari tanpa tidur, hanya demi menamatkan sebuah novel, novel yang menyiksa hatinya dengan akhir tragis sang tokoh antagonis, Karin Domanic.

Ia bahkan masih ingat kalimat kesalnya sendiri. “Sial! Kalau aku jadi dia, aku nggak bakal sekeras kepala itu.”

Lalu… mobil yang melaju di tengah badai. Cahaya menyilaukan dari arah berlawanan. Klakson meraung panjang. Ban tergelincir. Dentuman logam menghantam keras, dan setelah itu semuanya menjadi gelap.

Dan sekarang, saat membuka matanya, ia berada di tubuh sosok antagonis itu.

Clara memejamkan matanya erat-erat, tubuhnya bergetar, napasnya naik turun cepat. Semua ini gila. Tidak masuk akal. Tapi nyatanya, ia benar-benar ada di sini.

Bayangan Karin Domanic berkelebat jelas di benaknya...senyum angkuh, tatapan merendahkan, sikap licik yang membuatnya jatuh ke lubang kehancuran.

Clara mengepalkan tangannya. “Tidak… aku tidak boleh berakhir seperti dia,” bisiknya, pelan tapi sarat dengan tekad yang membara.

Ya, tubuh ini mungkin milik Karin. Tapi jiwa dan pilihan tetap miliknya. Ia bisa mengubah jalan cerita. Ia bisa menyelamatkan dirinya sendiri dari takdir buruk itu.

“Mulai sekarang… aku akan hidup dengan cara Clara. Bukan Karin.”

Tekadnya semakin kuat. Ketenangan perlahan menggantikan rasa takut yang sebelumnya mencekam. Meski kini ia berada di dunia novel dan menempati tubuh orang lain, namun jiwa dan pilihannya tetap miliknya, dan dengan itu, ia bisa menata ulang kehidupan Karin, menjadikannya damai, jauh dari tragedi yang akan menimpa gadis itu seperti di dalam novel.

“Dan untuk mewujudkan semua itu, aku harus menjauh dari para karakter utama… lalu benar-benar menikmati hidupku sendiri,”

Ia menarik napas panjang, menegakkan punggung. “Tidak ada yang perlu aku takutkan… tidak ada yang perlu aku kejar. Hanya hidup… dan hidup dengan tenang,”

Tatapannya kembali singgah pada cermin di seberang. Wajah asing itu menatapnya balik tanpa belas kasih, seolah menantang setiap keputusan yang baru saja ia ucapkan. Senyum tipis terulas di bibirnya, meski matanya masih menyimpan bayangan takut yang tak bisa ia hapus.

Ia merebahkan tubuhnya di ranjang, mencoba memejamkan mata. Namun di dalam hati kecilnya, muncul satu kesadaran dingin yang membuat bulu kuduknya meremang bahwa di dunia ini, ia tidak hanya harus hidup sebagai orang lain, tapi juga harus melawan takdir yang sudah ditulis sejak awal.

Entah ia sanggup atau tidak… Clara belum tahu.

Yang pasti, tidak ada jalan kembali.

Bersambung…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 5

    Karin melangkah masuk ke kawasan kampus dengan langkah yang tenang namun mantap. Udara pagi yang masih basah oleh embun menyentuh kulitnya, membawa aroma dedaunan yang baru saja tersapu angin. Di sekitarnya, halaman kampus sudah ramai oleh mahasiswa baru yang sibuk dengan pendaftaran, obrolan riuh, dan suara sepatu yang beradu dengan paving basah. Ia menarik napas panjang, berusaha meredakan debar yang muncul entah dari mana. Tapi sebelum rasa itu benar-benar hilang, sebuah gelombang ingatan menyergapnya… bayangan tentang masa lalu si Karin asli, tentang tatapan sombong, komentar sinis, dan cara berjalan yang selalu ingin dilihat orang. Semua itu kini menjadi beban yang harus ia pikul, meski bukan bagian dari dirinya sepenuhnya. Langkahnya terhenti sejenak ketika bisik-bisik itu mulai terdengar di sekeliling area pendaftaran. "Itu Karin Domanic, kan? Aku dengar dia sempat..." "Shh! Jangan keras-keras, nanti dia dengar." "Katanya sih sekarang berubah. Masa iya?" Karin pur

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 4

    Minggu depan akan menjadi awal baru bagi Karin. Awal yang selama ini ia tahu akan datang, namun tak pernah benar-benar ia rasakan sedekat ini. Meski sempat dilanda keraguan, akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah, seperti yang tertulis dalam novel. Keputusan itu bukan lahir dari ambisi besar ataupun keinginan untuk dikenal banyak orang, melainkan karena kedua orang tuanya ingin ia tetap menempuh jalur pendidikan. Terlebih lagi, ia adalah anak satu-satunya dari keluarga Domanic...putri semata wayang Lucas dan Alina Domanic. "Ini nih nasib anak semata wayang," gumamnya pasrah, ia lalu sedikit mengernyitkan dahi saat melihat jadwal pendaftarannya. Ia sebenarnya sudah tahu kalau Lucia dan para tokoh utama lain tetap memilih kampus yang sama dengan jalur cerita aslinya. Namun, kali ini ia dengan sengaja mengambil jalur berbeda yaitu jurusan manajemen bisnis, bukan desain seperti di cerita aslinya. Pilihan itu bukan sekadar soal jurusan, melainkan strate

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 3

    Karin keluar dari kamar mandi dengan langkah tenang dan kembali ke tengah pesta. Musik klasik masih mengalun, lampu kristal menggantung anggun, para tamu bercengkerama dengan senyum palsu mereka masing-masing. "Sungguh dunia orang kaya emnag beda" gumamnya pelan. Dan ketika ia ingin kembali ke sudut ruangan, seorang pelayan yang terburu-buru lewat membawa nampan berisi beberapa gelas jus. Tanpa sengaja, salah satu gelas jus itu miring dan...... Brakk! Cairan kuning dari jus itu tumpah tepat di bagian depan gaun hitamnya yang elegan. Beludru hitam yang semula tampak sempurna kini ternodai, lembap, dan lengket. Karin terpaku sejenak. Rasa dingin dari cairan itu membuatnya refleks menarik napas dalam-dalam. bahkan seluruh perhatian tamu di sekitar pun mulai tertuju padanya. Pelayan itu langsung pucat pasi. Tanpa sadar, ia segera berlutut di hadapan Karin, kedua tangannya gemetar memegangi nampan. “Nona, ampun... saya benar-benar tidak sengaja! Saya mohon maaf... saya akan seg

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 2

    Sore itu, Clara yang kini menempati tubuh Karin Domanic...duduk manis di taman mansion dengan segelas teh hangat di tangan dan sepiring kue tersaji didepannya. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma bunga yang menenangkan, sesuatu yang jarang ia rasakan di hidupnya yang sebelumnya penuh kekacauan. Namun, ketenangan itu segera terganggu oleh langkah ringan di jalan setapak. Kepala pelayan muncul, membungkuk hormat. “Nona Karin, maaf mengganggu. Saya hanya ingin memberitahukan… ada acara penting malam ini. Pesta keluarga dari Edison. Semua tamu penting akan hadir,” ucapnya pelayan itu, nada suaranya sopan, namun ada sedikit getar ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. Saat pelayan menyebut nama Edison, tubuh Karin seketika menegang. Matanya melebar, jantungnya seperti berhenti sesaat. "Edison… itu nama keluarga tokoh utama wanita dalam novel ini, Lucia Edison!" pikir Clara panik. Dan detik itu juga, semua potongan ingatan halaman pertama novel itu berputar cepat di kepalan

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 1

    Kesadaran Clara datang perlahan, seperti seseorang yang ditarik dari mimpi panjang yang begitu nyata. Kelopak matanya terasa berat, namun dengan susah payah ia membuka mata. Pandangan pertamanya bukanlah langit-langit kusam apartemennya yang biasa, melainkan ukiran emas indah pada atap ruangan asing. Cahaya lembut menembus tirai putih yang menjuntai anggun, menebarkan sinar keemasan ke sekeliling kamar yang terlalu mewah untuk ukuran orang biasa sepertinya. Clara terdiam. Dadanya berdegup kencang, hampir menyakitkan. 'Ini… di mana?' Dengan gerakan kaku, ia mendorong tubuhnya untuk bangun. Ranjang di bawahnya begitu empuk hingga hampir menelan seluruh tubuhnya, membuatnya enggan percaya ini nyata. Jari-jarinya perlahan meraba sprei satin yang dingin dan licin di kulit, sangat berbeda dari sprei tipis murahan di apartemennya yang sering kusut. Matanya bergerak gelisah, menyapu seisi ruangan dengan cepat, seakan mencari sesuatu yang bisa menjelaskan keberadaannya. Meja kayu berukir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status