Share

Runtuh

Author: Srirama Adafi
last update Last Updated: 2024-03-23 12:06:34

"De-Dewi?" Mata Gibran melebar melihat wanita yang masih berstatus istrinya itu berdiri di ruang keluarga. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Dewi akan datang ke rumah ibunya pagi-pagi begini. Sesuatu yang di luar kebiasaannya.

"Iya, Mas. Ini aku." Dewi menatap Gibran tanpa gentar. Meski sebenarnya hatinya tak sepenuhnya tegar. Wanita itu bahkan berusaha tersenyum. Meski senyumnya terlihat getir dan menyedihkan. Setidaknya Dewi sedang berusaha meredam hatinya yang sedang membara.

"Kenapa kamu enggak bilang yang sebenarnya, Mas? Kalau kamu bilang semalam, aku enggak akan repot-repot ke sini dan memergoki kalian seperti ini." Senyum masih tersungging di bibir Dewi. "Maaf, ya, aku jadi ganggu acara suap-suapan kalian."

Gibran beranjak dari kursi. "Wi, Wi, ini ... enggak seperti yang kamu pikirkan." Gibran berusaha menjangkau Dewi, tetapi wanita itu mundur selangkah.

"Enggak apa-apa, Mas. Aku malah lega. Sekarang aku tahu alasan kamu tidak bisa meneruskan pernikahan kita."

"Wi, aku ...." Gibran justru tidak bisa berkata-kata melihat senyum dan ketenangan yang ditunjukkan Dewi. Karena Gibran tahu, saat ini Dewi sedang sangat terluka. Gibran tahu betul seapik apa Dewi bisa menyembunyikan setiap luka yang diterima. "Ini ... enggak seperti yang kamu kira, Wi."

"Udah, Mas. Enggak apa-apa. Silakan lanjutin lagi suap-suapannya. Sudah siang, aku harus ke kantor."

"Wi ...."

"Oh, ya, mana Ibu?" Dewi menyapukan pandangan ke seluruh ruangan karena sejak tadi ia tidak melihat ibu mertuanya. Ia benar-benar bersikap biasa seolah-olah tidak ada masalah apa-apa.

"Ibu ke warung, Wi."

"Ya udah, salam aja buat Ibu. Sampaiin kalau aku mampir ke sini."

Gibran benar-benar tidak tahu harus menanggapi Dewi bagaimana. Ia mati kutu di depan wanita itu.

"Oh, ya, Rin." Dewi beralih pada perempuan yang masih terpaku di kursinya. Ia tahu betul dia siapa. "Sabar dikit, ya! Bentar lagi kami cerai, kok. Enggak usah kegatelan gitu jadi perempuan. Jijik diliat orang."

Dewi kemudian meninggalkan rumah mertuanya. Ia tidak peduli dengan panggilan Gibran. Hingga akhirnya Gibran berhasil mengejarnya dan menghalanginya membuka pintu mobil.

"Wi, dengarkan aku dulu!" pinta Gibran.

"Dengarkan apalagi, Mas? Bukannya semua udah selesai? Semalam udah kamu jelasin dan pagi ini aku udah liat langsung. Jadi, mau bicara apalagi?" Sebenarnya Dewi sudah tidak sanggup berlama-lama berpura-pura baik-baik saja. Dadanya sudah teramat sesak dan ingin segera ditumpahkan melalui air mata. Namun, ia tidak ingin terlihat lemah di depan calon mantan suaminya itu.

"Kamu salah paham, Wi. Ini enggak seperti yang kamu duga. Aku sama Rindu enggak ada hubungan apa-apa," jelas Gibran. Awalnya ia memang ingin bercerai dengan Dewi, tetapi ia tidak ingin dengan cara seperti ini. Ia tidak mau jadi pihak yang salah. Jadi, ia harus menjelaskan kalau antara dirinya dan Rindu tidak ada hubungan apa-apa. Meski kenyataannya ada.

"Itu udah enggak penting lagi buat aku, Mas. Kamu ingin kita cerai, kan? Oke, mari bercerai!"

Gibran justru hanya terpaku melihat Dewi yang begitu mantap berpisah. Dan kini, justru dirinyalah yang ragu untuk melepas Dewi. Keinginannya untuk bercerai entah menghilang kemana. Yang ia tahu, saat ini ia tidak ingin kehilangan Dewi, kehilangan istri yang sedingin Dewi.

"Kenapa malah diam, Mas?" tanya Dewi karena Gibran hanya terpaku menatapnya. "Silakan jatuhkan talak kamu! Aku udah siap."

Bukannya menjatuhkan talaknya, Gibran justru langsung merengkuh tubuh Dewi dengan erat. Sangat erat. "Enggak, Wi. Semalam aku cuma emosi. Aku cuma kebawa emosi. Enggak, Wi. Jangan pergi! Jangan tinggalin aku!"

Dewi yang sudah terlanjur sakit hati langsung mendorong tubuh Gibran menjauh. "Kenapa jadi berubah pikiran?"

"Semalam aku cuma kebawa emosi, Wi. Enggak! Aku enggak mau kita cerai." Gibran benar-benar menyesal atas apa yang telah ia ucapkan semalam.

"Terus Rindu mau kamu apain?"

"Dia .... Aku enggak ada hubungan apa-apa sama dia, Wi."

"Bohong!" teriak Rindu yang sudah berdiri di teras. "Kamu harus tahu, Wi. Kami udah nikah. Dan sekarang aku hamil anak Gibran!"

Dunia Dewi runtuh mendengar itu. Baginya belum ada kesakitan yang melebihi kesakitan yang oleh pengkhianatan Gibran saat ini. Dewi kemudian menoleh ke arah Gibran yang saat ini menunduk pasrah, meraup udara dengan rakus karena rongga dadanya seperti tersumbat saling sesaknya. Berkali-kali ia menghela napas, sampai akhirnya ia kembali memiliki kekuatan.

"Jatuhkan talakmu sekarang!" titah Dewi dengan suara lirih dan tenang, tetapi terdengar seperti ular yang mendesis.

Gibran tidak menanggapi. Ia masih menunduk tanpa berani mantap wajah terluka Dewi.

Dewi memejamkan mata beberapa saat. Kesabarannya telah habis. Ia kemudian berteriak. "Mas! Jatuhkan talakmu sekarang!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Elin Marlina
ya Allah najis bgt jdi laki2 pgn cerai tpi g mau di salahkan pdhal emng dia yg salah, istri mandiri salah istri g mandiri salah
goodnovel comment avatar
Nurmila Karyadi
parah banget sih si gibran,bikin alesan memojokan istrinya,najis ih
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • OKE, MARI BERCERAI    Membagi Bahagia

    Gibran terpaku menatap gundukan tanah bertabur bunga di depannya. Ia masih tidak percaya kalau Rindu telah meninggalkannya untuk selamanya. Padahal ia baru saja menggantung harapan kalau Rindu akan pulih kembali bersamaan dengan terbangunnya dia dari koma. Ternyata ia salah. Rindu terbangun hanya untuk melihat dunia untuk terakhir kalinya dan memastikan kalau Dewi sudah memaafkannya.Gibran menghela napas panjang, kemudian berkata dalam hati. "Pergilah, Rin! Pergilah dengan tenang! Dewi udah maafin kamu dan aku akan merawat Fathan dengan baik. Kamu tenang aja. Berkumpullah lagi dengan mamamu! Aku tahu, kamu pasti sangat merindukannya, kan? Sampai kamu pergi secepat ini."Lagi, Gibran menghela napas panjang. Dadanya terlalu sesak saat berusaha menerima kalau dirinya sudah tidak akan bisa melihat sosok Rindu lagi. "Pergilah, Rin! Aku ... ikhlas." Gibran mengusap matanya yang basah. "Makasih udah hadir dalam hidupku. Meski yang kita lewati ternyata seperti ini. Tapi aku yakin, mulai sek

  • OKE, MARI BERCERAI    Mimpi

    Gibran tertawa sumbang mendengar candaan Andan. Sementara Adnan tertawa lepas karena benar-benar bersyukur Gibran telah melepas Dewi dan kini wanita yang dulu begitu susah ia taklukan, bisa menjadi istrinya."Ya udah, Bran. Kami pamit dulu, ya? Anak-anak udah nunggu di rumah. Kamu yang semangat, ya! Semoga istri kamu bisa segera pulih," pamit Adnan."I-iya." Gibran tergagap karena merasa tertohok dengan salah satu kata yang terlontar dari mulut Adnan. "Anak-anak?" tanya Gibran dalam hati. "Jadi selain Cantika ada anak lain lagi? Apa itu artinya Dewi dan Pak Adnan udah punya anak juga?"Hawa panas menjalari dada Gibran. Meski Dewi sudah bukan istrinya lagi, tetapi tetap saja ia merasa cemburu. Ia masih belum sepenuhnya rela dengan kenyataan yang ada. Karena sejak bertemu kembali dengan Dewi di klinik, apalagi dengan kehadiran Dewi ke rumahnya hari ini, ia masih menaruh harapan besar untuk bisa kembali dengan mantan istrinya itu. Namun ternyata, harapan tinggal harapan. Dewi sudah menj

  • OKE, MARI BERCERAI    Kesempatan yang Kau Beri

    Beberapa kali Dewi mengulang ucapannya, tetapi Rindu tak merespon sama sekali. Sudah lebih dari setengah jam. Dewi sampai diambilkan kursi plastik untuk duduk oleh Bu Santi. Sebenarnya Dewi berpikir mungkin Rindu akan bereaksi kalau dirinya menyentuhnya. Namun, entah mengapa masih ada tembok besar yang belum bisa Dewi runtuhkan untuk sampai di level mau menyentuh Rindu. Sampai akhirnya Bu Santi meminta Dewi dengan penuh harap. Dewi akhirnya mengangguk setuju. Disentuhnya jemari Rindu yang tinggal tulang dilapisi kulit tipis. Jemari yang terasa kaku dan dingin. Setelah meremas-remasnya dengan perlahan dengan kedua tangannya, Dewi kemudian kembali berkata, "Rindu, kamu ingin ketemu sama aku, kan? Ini aku Dewi. Aku udah di sini. Ayo, buka mata kamu!"Beberapa saat masih tidak ada respon. Sampai Dewi terus mengulanginya sembari menepuk-nepuk lembut punggung tangan Rindu. Dan akhirnya buliran bening mulai mengalir dari ujung mata Rindu."Rindu, ayo buka mata kamu!" titah Dewi. Namun, ha

  • OKE, MARI BERCERAI    Siang dan Malam

    Seperti janji Dewi, setelah shalat ashar Dewi pergi ke alamat rumah Gibran. Karena belum pernah ke daerah tersebut, ia memilih menggunakan taksi online. Begitu tiba dan turun dari taksi, Dewi tertegun menatap rumah kontrakan Gibran. Bangunan semipermanen itu terlihat sudah cukup tua. Dinding bagian bawah terbuat dari tembok permanen kemudian setengahnya menggunakan papan kayu dengan cat putih yang sudah pudar dan mengelupas dimana-mana.Dari tempat Dewi berdiri, ia bisa melihat warung kelontong milik Gibran. Bukan seperti warung kelontong kebanyakan karena bisa dilihat dengan jelas kalau ruangan tersebut tidak cukup terisi barang-barang dagangan. Hanya sedikit sekali barang dagangan mereka. Dewi benar-benar tidak tega melihatnya. Kehidupannya dengan kehidupan mantan semuanya itu seperti siang dan malam.Tak mau berlama-lama berdiri di pinggir jalan, Dewi kemudian melangkah menuju teras rumah Gibran. Ia mengetuk pintu yang setengah terbuka dan mengucap salam. Tak butuh waktu lama hingg

  • OKE, MARI BERCERAI    Bertemu

    Langkah Dewi terhenti mendengar permintaan Gibran. Sungguh, ia sudah tidak ingin lagi berurusan apapun dengan masa lalunya. Wanita bermata jernih itu kemudian menoleh. "Maaf, aku udah enggak mau berurusan apapun dengan kalian. Aku udah memaafkan kalian jauh sebelum kalian minta maaf."Gibran langsung berdiri di depan Dewi. "Aku mohon, Wi! Lima tahun, hanya nama kamu yang Rindu sebut. Dia bahkan enggak sekalipun menyebut namaku, Fathan, atau siapapun! Tapi, nama kamu selalu keluar dari mulutnya. Aku yakin, Wi, aku yakin sekali kalau dia ingin ketemu kamu. Rindu pasti ingin minta maaf sama kamu secara langsung. Kamu mungkin udah maafin kami, tapi kami belum meminta maaf sama kamu. Aku mohon, Wi ....""Maaf, aku enggak bisa," tolak Dewi dengan wajah datar."Wi, kamu lihat ini dulu! Setelah itu, apapun keputusan kamu, aku enggak akan protes lagi." Gibran merogoh ponsel di saku celana, kemudian membuka kunci layar dan memutar sebuah video. "Lihat ini, Wi!" titahnya sembari menyerahkan pon

  • OKE, MARI BERCERAI    Dosa

    Dewi pun membeku melihat lelaki yang kini sedang menatapnya tak percaya. Dadanya bergemuruh, ia ingin menghilang bersama Cantika saat itu juga. Dewi benar-benar belum siap mempertemukan Cantika dengan Gibran. Apalagi mengenalkan keduanya sebagai bapak dan anak. Tanpa memedulikan apapun lagi, Dewi langsung menggendong Cantika dan membawanya keluar dari ruangan itu."Wi! Dewi! Tunggu!" seru Gibran yang masih memangku Fathan. Fathan yang terkejut dengan teriakan ayahnya pun beringsut duduk. "Ada apa, Yah?" tanya anak itu kebingungan.Sementara Gibran celingukan karena menjadi pusat perhatian semua orang yang sedang mengantre di ruangan itu."Fathan, kamu tunggu di sini, ya! Ayah mau ketemu orang di luar sebentar."Fathan tak mengangguk ataupun menggeleng karena anak itu masih kebingungan melihat sikap ayahnya.Tanpa memedulikan respon Fathan, Gibran bergegas keluar mengejar Dewi."Wi! Tunggu!" panggil Gibran saat melihat Dewi sedang membantu Cantika naik ke jok mobil.Karena tidak bisa

  • OKE, MARI BERCERAI    Suara yang Sama

    "Mbak Dewi baik, Mas. Tadi dia bilang di sini karena ada urusan kerjaan. Aku enggak sempat ngobrol banyak, soalnya dia harus meeting. Jadi aku cuma tanya soal kehamilannya.""Kamu enggak ketemu Cantika?" tanya Gibran dengan kecewa. Ia sangat berharap kalau Gina memiliki memotret Cantika seperti saat memotret Dewi.Gina menggeleng dengan penuh penyesalan. Ia tidak tega melihat harapan yang begitu besar terpancar dari sorot mata kakaknya. "Aku cuma ketemu Mbak Dewi, Mas."Gibran menghela napas panjang. "Kamu enggak tanya dia tinggal di mana?"Gina menggeleng lemah. "Mbak Dewi langsung pergi. Aku enggak sempat tanya.""Ya udah, Gin. Seenggaknya aku udah tau kalau anakku udah lahir. Makasih, ya!""Mas Gibran ke sini cuma mau tanya ini?"Gibran menatap Gina beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan itu. "Rindu ... berkali-kali menyebut-nyebut nama Dewi, Dek. Mas dan Ibu pikir, dengan membawa Dewi untuk ketemu Rindu, mungkin akan membuat Rindu bisa membuka mata lagi. Tapi ... gimana Mas mau

  • OKE, MARI BERCERAI    Mencari

    Setelah menutup telepon dari Gibran, Gina melihat kembali foto Dewi yang ia ambil secara diam-diam sebelum menyapa mantan istri kakaknya itu. Perintah Gibran untuk mencari tahu kabar bayi yang dikandung Dewi, membuat Gina tersadar kalau tadi ia lupa memperhatikan perut Dewi. Melihat perut Dewi yang sudah rata, napas Gina tercekat."Mbak Dewi sudah melahirkan?" gumamnya.Gina langsung menoleh ke arah dimana Dewi pergi. Gadis berambut panjang itu berlari kecil berusaha mengejar ibu dari keponakannya sembari terus bergumam, "Mbak Dewi, Mbak Dewi, jangan pergi dulu, aku mohon! Please, aku mohon, jangan pergi dulu!"Cukup jauh Gina berlari sampai akhirnya matanya berhasil menangkap sosok yang sedang ia cari.Dewi tampak baru saja meninggalkan kasir."Mbak Dewi! Tunggu!" seru Gina tanpa memedulikan orang-orang di sekitarnya. Ia hanya tidak mau sampai kehilangan jejak Dewi lagi.Dewi yang mendengar panggilan Gina, berhenti sejenak, lalu kembali melangkah. Ia sudah tidak ingin lagi berurusan

  • OKE, MARI BERCERAI    Firasat

    "Mbak Dewi!"Dewi yang sedang fokus memilih belanjaan menoleh dan sangat terkejut melihat siapa yang memanggilnya. "Gina?" pekiknya melihat adik dari mantan suaminya berjalan mendekatinya. "Gimana kabar?" Dewi langsung memeluk lalu memegangi kedua bahu Gina dan menatap mantan adik iparnya itu."Baik, Mbak. Mbak Dewi sendiri gimana kabarnya?""Alhamdulillah, baik, Gin. Kamu ...." Dewi menggantung ucapannya karena bingung harus menggunakan kalimat yang seperti apa untuk bertanya mengapa Gina ada di kota tempat tinggalnya saat ini."Aku sekarang kerja di deket sini, Mbak," sambung Gina, ia mengerti apa yang hendak Dewi tanyakan."Oh, jadi sekarang kamu tinggal di sini? Sudah lama?""Lumayan, Mbak. Rumah ibu kan, udah dijual. Jadi ... ya ... aku ngekos sambil kerja."Dewi mengernyit."Iya, Mbak. Rumah ibu dijual untuk bayar biaya rumah sakit si Rindu. Pas Rindu melahirkan dia koma sampai sekarang belum sadar. Bayinya juga ada kelainan jantung dan harus operasi saat itu. Jadi ya ... gimana

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status