Share

Kabar

Author: Srirama Adafi
last update Last Updated: 2024-03-23 12:07:01

Bukannya menuruti perintah Dewi untuk menjatuhkan talak, Gibran justru bersimpuh memegangi lutut Dewi. "Wi, aku semalam cuma kebawa emosi. Tolong, jangan begini!"

"Jangan begini kamu bilang?" Dewi membuang muka. Muak dan jengah sekali dengan Gibran. "Dia hamil, Mas! Dia hamil!"

"Iya, Wi, tapi ...."

"Tapi apa? Kamu pikir aku akan bertahan jadi istri kamu bersama-sama dengan dia?" Dewi menunjuk ke arah Rindu. "Kamu lupa dia siapa, Mas? Kamu lupa?"

"Wi, aku ...."

"Apa kamu enggak tahu kalau pernikahan kalian ini enggak sah? Apa kamu enggak tahu, Mas!?"

Gibran tidak bisa berkata-kata.

"Dan kalau pernikahan kalian enggak sah, itu artinya yang kalian lakukan, sampai Rindu akhirnya hamil, itu adalah Zina! Dan aku, aku enggak akan pernah bisa menerima itu! Aku enggak mau punya suami seorang pezina! Aku enggak mau punya anak dari laki-laki pezina!"

"Wi, aku ...."

"Cukup, Mas! Bukankah semalam kamu sendiri yang bilang kalau enggak bisa meneruskan pernikahan kita lagi? Iya, kan? Kamu masih ingat, kan?"

Gibran hanya menunduk di depan lutut Dewi dengan penyesalan yang begitu besar. Ia sampai tidak mampu mengangkat kepala saking besarnya penyesalan itu.

"Aku setuju, Mas. Aku juga enggak bisa lagi meneruskan pernikahan kita. Oke, mari bercerai!"

"Wi ...."

Tanpa memedulikan Gibran dan Rindu lagi, Dewi langsung menaiki mobilnya. Meninggalkan rumah ibu mertuanya dengan perasaan hancur sehancur-hancurnya. Dada Dewi teramat sakit. Sangat sakit, tetapi ia tidak bisa menangis.

Rasanya jantungnya kini seperti ditusuk kembali oleh sebuah pedang yang sama yang dulu pernah menghunusnya, hanya saja kali ini pedang itu telah berkarat. Sehingga jauh lebih sakit daripada sebelumnya.

"Ibu ...." Baru setelah memanggil sang Ibu, air mata Dewi luruh. Bayang wajah sang Ibu, senyum penuh ketegarannya, kini terbayang di depan mata. Ingin sekali ia mendatangi ibunya, memeluk wanita kuat itu, hanya saja saat ini Dewi tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Banyak sekali agenda yang harus ia lakukan hari ini.

"Ya, seharusnya hidupku memang begini, Bu. Fokus kerja, sampai enggak perlu memikirkan apa-apa."

Tiba di kantor, Dewi langsung menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Mempersiapkan materi untuk meeting, mengecek laporan anak buahnya, dan setumpuk pekerjaan yang lainnya.

Dewi hanya fokus di dalam ruangannya tanpa ingin keluar sama sekali kecuali nanti saat ia harus meeting. Sekretaris sekaligus orang yang selama ini menjadi sahabat Dewi sampai masuk ke ruangan perempuan itu karena tidak biasanya Dewi seperti itu.

Dewi biasanya akan keliling memberikan sedikit arahan kepada anak buahnya untuk tugas-tugas mereka hari ini. Apalagi kalau ada karyawan baru. Ya, Dewi adalah sosok seorang pemimpin yang sangat baik. Dia manager yang dicintai anak buahnya. Karena Dewi tidak hanya menyalahkan saat anak buahnya melakukan kesalahan, tetapi juga memberi tahu cara mengerjakan yang benar.

"Bu Bos!" panggil Wina begitu membuka pintu ruangan Dewi. "Tumben dari tadi betah banget di ruangan?"

"Lagi nyiapin presentasi," jawab Dewi tanpa menatap wajah Wina.

"Kenapa enggak minta aku buat ngerjain?"

"Enggak apa-apa, aku nganggur juga, kok."

Wina menatap tumpukan berkas di meja Dewi. "Ini apa?" Wina mengangkat tumpukan berkas itu lalu menjatuhkannya lagi.

"Itu bisa nanti. Ada apa?"

Wina mengernyit karena tidak biasanya Dewi begitu. "Ada apa?"

Dewi kemudian menyingkirkan laptopnya. Ia tahu kalau Wina pasti mengendus sesuatu yang tidak beres pada dirinya. "Nanti kalau udah siap aku cerita."

Wina mengangguk. "Kalian marahan?" tanya Wina karena tahu Dewi tidak berangkat bersama Gibran. Biasanya sepasang suami istri beda jabatan itu akan berangkat bersama. Namun, pagi itu Gibran berangkat lebih siang dari Dewi.

"Bisa dibilang gitu."

"Oh, oke. Semoga segera baikan, ya? Kantor enggak enak kalau kalian marahan. Suasana jadi tegang."

Dewi tersenyum simpul. Membenarkan apa yang dikatakan Wina. Karena saat ini Dewi belum siap untuk bertemu dan bersikap biasa dengan Gibran. Tentu akan sangat tidak nyaman bersikap seolah-olah tidak ada masalah apa-apa jika berpapasan dengan lelaki itu. Padahal mereka berada di kantor yang sama, hanya sekat ruangan Dewi yang memisahkan keduanya.

"Ya udah kalau enggak mau aku bantuin, aku keluar dulu," ucap Wina lagi.

"Iya. Kerjain aja kerjaan kamu yang belum beres."

"Siap, Bu Bos!"

Dewi kembali fokus pada laptopnya. Ia bahkan sampai lupa mengaktifkan nada dering ponselnya yang telah ia simpan di laci. Pukul 10 nanti dia ada meeting dan ia tidak mau melakukan kesalahan sekecil apapun. Ia mau tampil sempurna di depan kliennya. Sesuai julukannya, Dewita si perfeksionis.

Sekitar setengah jam setelah Wina keluar dari ruangan Dewi, pintu ruangan Dewi kembali diketuk.

"Masuk!" seru Dewi tanpa mengalihkan pandangan dari laptop.

Pada saat pintu dibuka dan seseorang memasuki ruangannya, Dewi langsung tahu itu siapa tanpa perlu melihat orangnya. Aroma parfum Gibran, sangat Dewi kenal. Apalagi parfum itu adalah pilihannya.

"Ada apa? Ada yang bisa aku bantu?" tanya Dewi tanpa melepas tatapan dari laptop. Ia masih sangat enggan berurusan dengan laki-laki itu jika bukan masalah pekerjaan.

"Wi, hp kamu dimana?"

Jari-jari Dewi yang sebelumnya sibuk menekan keyboard terhenti. Ia terusik dengan pertanyaan Gibran. Karena bukan menyangkut pekerjaan.

"Kalau enggak ada urusan kerjaan, jangan masuk ke ruangan saya!" Dewi memasang wajah dingin.

"Mbak Marni telpon aku, katanya telpon kamu enggak diangkat."

Dewi kemudian membuka laci dan membuka ponselnya. Ia baru menyadari kalau ponselnya masih di-setting silent. Di situ tertera panggilan telepon dari nomor Mbak Marni, orang yang ia percaya untuk menemani dan mengurus ibunya.

Saat Dewi hendak mengubungi nomor Mbak Marni, Gibran langsung berkata, "Ibu masuk rumah sakit. Kata Mbak Marni, Ibu mendapat serangan jantung dan sekarang kondisinya kritis."

"Apa?" Dewi langsung bangkit dan menyambar kontak mobilnya. Namun, pada saat hendak melangkah, lulutnya terasa begitu lemas dan tubuh Dewi ambruk seketika.

"Bu, kenapa Ibu harus sakit saat aku butuh kekuatan darimu? Aku butuh kamu, Bu. Jangan sakit .... Cukup aku kehilangan Mas Gibran saja, jangan pergi juga dariku, Bu ...."

Gibran hendak meraih tubuh Dewi saat Dewi terjatuh. Namun, dengan kasar Dewi menghempas uluran tangan Gibran. "Aku bisa sendiri!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ma E
aku salut sama sikapmu Dewi.....lanjut thor
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • OKE, MARI BERCERAI    Membagi Bahagia

    Gibran terpaku menatap gundukan tanah bertabur bunga di depannya. Ia masih tidak percaya kalau Rindu telah meninggalkannya untuk selamanya. Padahal ia baru saja menggantung harapan kalau Rindu akan pulih kembali bersamaan dengan terbangunnya dia dari koma. Ternyata ia salah. Rindu terbangun hanya untuk melihat dunia untuk terakhir kalinya dan memastikan kalau Dewi sudah memaafkannya.Gibran menghela napas panjang, kemudian berkata dalam hati. "Pergilah, Rin! Pergilah dengan tenang! Dewi udah maafin kamu dan aku akan merawat Fathan dengan baik. Kamu tenang aja. Berkumpullah lagi dengan mamamu! Aku tahu, kamu pasti sangat merindukannya, kan? Sampai kamu pergi secepat ini."Lagi, Gibran menghela napas panjang. Dadanya terlalu sesak saat berusaha menerima kalau dirinya sudah tidak akan bisa melihat sosok Rindu lagi. "Pergilah, Rin! Aku ... ikhlas." Gibran mengusap matanya yang basah. "Makasih udah hadir dalam hidupku. Meski yang kita lewati ternyata seperti ini. Tapi aku yakin, mulai sek

  • OKE, MARI BERCERAI    Mimpi

    Gibran tertawa sumbang mendengar candaan Andan. Sementara Adnan tertawa lepas karena benar-benar bersyukur Gibran telah melepas Dewi dan kini wanita yang dulu begitu susah ia taklukan, bisa menjadi istrinya."Ya udah, Bran. Kami pamit dulu, ya? Anak-anak udah nunggu di rumah. Kamu yang semangat, ya! Semoga istri kamu bisa segera pulih," pamit Adnan."I-iya." Gibran tergagap karena merasa tertohok dengan salah satu kata yang terlontar dari mulut Adnan. "Anak-anak?" tanya Gibran dalam hati. "Jadi selain Cantika ada anak lain lagi? Apa itu artinya Dewi dan Pak Adnan udah punya anak juga?"Hawa panas menjalari dada Gibran. Meski Dewi sudah bukan istrinya lagi, tetapi tetap saja ia merasa cemburu. Ia masih belum sepenuhnya rela dengan kenyataan yang ada. Karena sejak bertemu kembali dengan Dewi di klinik, apalagi dengan kehadiran Dewi ke rumahnya hari ini, ia masih menaruh harapan besar untuk bisa kembali dengan mantan istrinya itu. Namun ternyata, harapan tinggal harapan. Dewi sudah menj

  • OKE, MARI BERCERAI    Kesempatan yang Kau Beri

    Beberapa kali Dewi mengulang ucapannya, tetapi Rindu tak merespon sama sekali. Sudah lebih dari setengah jam. Dewi sampai diambilkan kursi plastik untuk duduk oleh Bu Santi. Sebenarnya Dewi berpikir mungkin Rindu akan bereaksi kalau dirinya menyentuhnya. Namun, entah mengapa masih ada tembok besar yang belum bisa Dewi runtuhkan untuk sampai di level mau menyentuh Rindu. Sampai akhirnya Bu Santi meminta Dewi dengan penuh harap. Dewi akhirnya mengangguk setuju. Disentuhnya jemari Rindu yang tinggal tulang dilapisi kulit tipis. Jemari yang terasa kaku dan dingin. Setelah meremas-remasnya dengan perlahan dengan kedua tangannya, Dewi kemudian kembali berkata, "Rindu, kamu ingin ketemu sama aku, kan? Ini aku Dewi. Aku udah di sini. Ayo, buka mata kamu!"Beberapa saat masih tidak ada respon. Sampai Dewi terus mengulanginya sembari menepuk-nepuk lembut punggung tangan Rindu. Dan akhirnya buliran bening mulai mengalir dari ujung mata Rindu."Rindu, ayo buka mata kamu!" titah Dewi. Namun, ha

  • OKE, MARI BERCERAI    Siang dan Malam

    Seperti janji Dewi, setelah shalat ashar Dewi pergi ke alamat rumah Gibran. Karena belum pernah ke daerah tersebut, ia memilih menggunakan taksi online. Begitu tiba dan turun dari taksi, Dewi tertegun menatap rumah kontrakan Gibran. Bangunan semipermanen itu terlihat sudah cukup tua. Dinding bagian bawah terbuat dari tembok permanen kemudian setengahnya menggunakan papan kayu dengan cat putih yang sudah pudar dan mengelupas dimana-mana.Dari tempat Dewi berdiri, ia bisa melihat warung kelontong milik Gibran. Bukan seperti warung kelontong kebanyakan karena bisa dilihat dengan jelas kalau ruangan tersebut tidak cukup terisi barang-barang dagangan. Hanya sedikit sekali barang dagangan mereka. Dewi benar-benar tidak tega melihatnya. Kehidupannya dengan kehidupan mantan semuanya itu seperti siang dan malam.Tak mau berlama-lama berdiri di pinggir jalan, Dewi kemudian melangkah menuju teras rumah Gibran. Ia mengetuk pintu yang setengah terbuka dan mengucap salam. Tak butuh waktu lama hingg

  • OKE, MARI BERCERAI    Bertemu

    Langkah Dewi terhenti mendengar permintaan Gibran. Sungguh, ia sudah tidak ingin lagi berurusan apapun dengan masa lalunya. Wanita bermata jernih itu kemudian menoleh. "Maaf, aku udah enggak mau berurusan apapun dengan kalian. Aku udah memaafkan kalian jauh sebelum kalian minta maaf."Gibran langsung berdiri di depan Dewi. "Aku mohon, Wi! Lima tahun, hanya nama kamu yang Rindu sebut. Dia bahkan enggak sekalipun menyebut namaku, Fathan, atau siapapun! Tapi, nama kamu selalu keluar dari mulutnya. Aku yakin, Wi, aku yakin sekali kalau dia ingin ketemu kamu. Rindu pasti ingin minta maaf sama kamu secara langsung. Kamu mungkin udah maafin kami, tapi kami belum meminta maaf sama kamu. Aku mohon, Wi ....""Maaf, aku enggak bisa," tolak Dewi dengan wajah datar."Wi, kamu lihat ini dulu! Setelah itu, apapun keputusan kamu, aku enggak akan protes lagi." Gibran merogoh ponsel di saku celana, kemudian membuka kunci layar dan memutar sebuah video. "Lihat ini, Wi!" titahnya sembari menyerahkan pon

  • OKE, MARI BERCERAI    Dosa

    Dewi pun membeku melihat lelaki yang kini sedang menatapnya tak percaya. Dadanya bergemuruh, ia ingin menghilang bersama Cantika saat itu juga. Dewi benar-benar belum siap mempertemukan Cantika dengan Gibran. Apalagi mengenalkan keduanya sebagai bapak dan anak. Tanpa memedulikan apapun lagi, Dewi langsung menggendong Cantika dan membawanya keluar dari ruangan itu."Wi! Dewi! Tunggu!" seru Gibran yang masih memangku Fathan. Fathan yang terkejut dengan teriakan ayahnya pun beringsut duduk. "Ada apa, Yah?" tanya anak itu kebingungan.Sementara Gibran celingukan karena menjadi pusat perhatian semua orang yang sedang mengantre di ruangan itu."Fathan, kamu tunggu di sini, ya! Ayah mau ketemu orang di luar sebentar."Fathan tak mengangguk ataupun menggeleng karena anak itu masih kebingungan melihat sikap ayahnya.Tanpa memedulikan respon Fathan, Gibran bergegas keluar mengejar Dewi."Wi! Tunggu!" panggil Gibran saat melihat Dewi sedang membantu Cantika naik ke jok mobil.Karena tidak bisa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status