Share

OKE, MARI BERCERAI
OKE, MARI BERCERAI
Author: Srirama Adafi

Tak Sepadan

"Sepertinya aku enggak bisa melanjutkan pernikahan kita, Wi."

"Loh, kenapa, Mas? Ada masalah apa? Aku ada salah apa?" Dewi yang sejak tadi fokus dengan laptopnya langsung menoleh begitu mendengar ucapan suaminya.

Gibran sama sekali tidak berani menatap wajah Dewi. Ia terus menunduk sembari memandangi kedua jemarinya yang saling bertaut di antara kedua lututnya.

"Kamu enggak salah apa-apa, Wi. Kamu sempurna. Justru aku yang bermasalah."

"Maksud kamu?" Dewi menggeser kursinya. Kini ia menatap lurus suaminya yang masih menunduk di sofa.

"Kamu ... terlalu sempurna untuk laki-laki sepertiku, Wi. Aku ...."

"Jangan bercanda, Mas!" potong Dewi. "Ini enggak lucu. Jangan sampai ucapan kamu itu menjadi talak. Hati-hati kalau bicara, Mas!"

Dewi masih menepis berbagai prasangka yang menyerbu rongga dadanya. Ia yakin kalau pernikahannya dengan Gibran baik-baik saja. Tidak ada masalah sama sekali. Bahkan selama ini mereka jarang sekali bertengkar karena Gibran lebih sering memilih diam dan mengalah.

Bisa saja saat ini Gibran sedang mengerjainya. Bisa saja laki-laki itu ingin memberi kejutan sehingga ingin membuatnya menangis terlebih dahulu. Begitu yang Dewi tanamkan di kepala.

"Aku enggak lagi bercanda, Wi. Aku serius." Gibran menatap mata Dewi.

Pada saat itu Dewi baru menyadari kalau suaminya tidak sedang bercanda atau ingin mengerjainya.

"Tapi kenapa, Mas? Aku salah apa? Bukankah selama ini kita baik-baik aja?" Mata Dewi mulai memanas. Ia sama sekali tidak pernah berpikir suaminya akan mengatakan hal semengerikan ini kepadanya.

"Sekali lagi, kamu enggak salah apa-apa, Wi. Aku yang punya banyak salah."

"Emang kamu ngelakuin apa, Mas? Kamu selingkuh?"

Gibran menggeleng. "Enggak. Aku cuma ngerasa kamu itu terlalu sempurna untuk laki-laki sepertiku yang banyak sekali kekurangannya, Wi. Kamu shalihah, kamu independen, urusan rumah tangga pun kamu sempurna. Kamu enggak punya celah kekurangan sedikit pun, Wi. Dan itu buat aku jadi ngerasa enggak ada apa-apanya di depan kamu."

"Aku enggak ngerti maksud kamu, Mas. Jadi, aku harus kayak gimana? Aku harus jadi istri yang kayak gimana biar kamu enggak merasa kaya gitu?"

"Aku enggak ingin kamu berubah jadi gimana-gimana, Wi. Kamu sempurna sebagai seorang perempuan. Hanya saja, sepertinya lelaki seperti aku enggak sebanding sama kamu. Aku yakin, di luar sana kamu akan bertemu dengan lelaki yang sepadan sama kamu. Bukan lelaki yang seperti aku."

Dewi menghela napas. Berusaha mengelola emosi yang datang laksana ombak yang bergulung di dadanya. "Sebenarnya ada masalah apa? Apa kamu punya wanita lain yang ingin kamu nikahi?"

"Enggak, Wi! Enggak! Aku cuma ngerasa capek harus terus berusaha ngejar level kamu, nyamain posisi kamu. Aku capek, Wi. Aku juga capek, setiap saat aku yang harus mengalah saat kita berdebat. Aku kayak enggak punya ... sesuatu yang bisa membuat aku kayak untuk ada di atas kamu. Kamu selalu merasa kalau kamu itu paling benar, kamu paling pintar, kamu paling ngerti segalanya. Aku laki-laki, Wi. Aku enggak bisa terus-menerus mengalah dan ada di bawah kendali kamu."

"Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Mas. Enggak harus bercerai!"

"Enggak, Wi. Itu sudah jadi watak kamu. Dan aku yakin, watak itu akan sulit sekali diubah."

Dewi menatap Gibran tidak percaya. Dari sorot mata Gibran Dewi bisa melihat kalau lelaki itu sudah sangat yakin untuk bercerai dengan dirinya.

"Aku udah mikirin ini matang-matang. Besok pagi, aku yang akan pergi dari rumah ini. Rumah, mobil, silakan kamu pakai. Untuk tabungan lain, nanti kita bahas di persidangan sebagai harta gono-gini."

Gibran bangkit, berjalan menuju ranjang mengambil bantal dan selimut. Kemudian ia memilih tidur di ruang keluarga.

Sementara Dewi masih duduk di tempat semula. Ia benar-benar tidak menyangka dengan apa yang terjadi dalam pernikahannya yang selama ini ia pikir sempurna.

Semalaman Dewi tidak bisa tidur. Ia terus berpikir harus melakukan apa agar Gibran mau mengubah keputusannya. Dewi benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya jika akhirnya pernikahannya dengan Gibran berakhir. Sementara keberadaan Gibran benar-benar seperti penyempurna hidupnya.

Dewi ingin bercerita dengan ibunya, tetapi takut membuat wanita itu jadi kepikiran, stress, dan akhirnya sakit. Ingin menelepon ibu mertuanya, tetapi ia merasa lebih baik besok pagi datang langsung ke sana. Sementara kalau harus menghubungi sahabatnya, Dewi merasa belum sanggup karena ia memang ingin semua orang jangan sampai melihat permasalahan yang sedang dihadapinya.

Keesokan paginya saat keluar kamar, Dewi sudah tidak melihat Gibran. Hanya selimut dan bantal yang semalam dipakai Gibran tidur kini teronggok di sofa. Di ruangan rumah yang lainnya pun lelaki itu tidak ada.

"Mas Gibran benar-benar sudah pergi?" tanya Dewi pada dirinya sendiri. Sakit sekali rasanya menyadari kalau ternyata selama ini Gibran telah merencanakan perceraian mereka. Padahal dulu Gibranlah yang memintanya untuk menikah, Gibran yang meyakinkannya kalau dirinya akan menjadi suami yang baik untuk Dewi. Namun, ternyata ... lelaki itu juga yang mengakhiri tanpa alasan yang pasti.

"Ya Allah, aku sebenarnya salah apa?" Tubuh Dewi luruh. Ia bersimpuh di atas karpet ruang keluarga. Rasanya sakit sekali harus bercerai di saat ia menganggap semua baik-baik saja. Bahkan pagi hari sebelum malamnya Gibran minta bercerai pun, mereka masih sarapan bersama seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda sama sekali Gibran akan meminta cerai dengannya.

"Aku salah apa sebenarnya?" Air mata Dewi luruh. Ia puas-puaskan menangis lagi itu sebelum akhirnya berangkat kerja.

Setelah puas menangis, Dewi bersiap untuk berangkat kerja. Pagi ini ia tak sarapan, tidak seperti pagi-pagi sebelumnya. Ia belum sanggup jika harus sarapan sendiri sementara tiga tahun terakhir ini ia selalu sarapan bersama Gibran.

Sebelum ke kantor, Dewi memutuskan untuk ke rumah ibu mertuanya terlebih dahulu. Ia ingin meminta ibu mertuanya untuk menasehati Gibran agar suaminya itu mau membatalkan niatnya untuk bercerai.

Tiba di rumah ibu mertuanya, Dewi agak heran karena sepagi ini sudah ada mobil yang terparkir di halaman rumah.

"Siapa tamu sepagi ini?" gumam Dewi. Namun, ia tidak begitu memikirkan hal itu. Ia hanya ingin bertemu ibu mertuanya dan memintanya untuk menasehati Gibran.

Pintu ruang tamu tidak terkunci, jadi setelah mengucap salam, Dewi langsung masuk. Ruang tamu tampak kosong, Dewi kemudian masuk ke ruang keluarga yang di ruangan itu juga terdapat meja makan.

Mata Dewi melebar seketika saat memasuki ruang keluarga. Pasalnya di sana ia melihat suaminya sedang disuapi seorang wanita sembari terkikik begitu asyiknya.

Dada Dewi terbakar melihat itu. Kontan ia langsung berkata dengan suara keras nyaris menggelegar. "Oh, jadi dia perempuan yang kamu anggap sepadan dengan kamu, Mas? Dasar pengkhianat!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Susi Munsiah
akhirnya up date jg di goodnovel
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status