Di sebuah gedung perkantoran elit Jakarta, seorang wanita terlihat lembur bekerja di saat para teman-teman kantornya sudah pulang ke kediaman masing-masing.
Besok adalah hari ulang tahun anaknya, dan dia berencana untuk merayakan bersama anaknya di sebuah restoran pizza favorit anaknya. Untuk itu, dia memilih lembur hari ini supaya besok dia bisa meminta izin pulang lebih awal pada sang bos di kantor.
"Misch, kamu tidak pulang?" tanya Abdul salah satu karyawan yang bekerja di bagian HRD.
"Oh ya, sebentar lagi aku pulang kok, mau menyelesaikan laporan untuk presentasi dulu," sahut Mischa dari balik kubikel meja kerjanya.
"Oke deh kalau begitu, aku pulang duluan ya?" kata Abdul lagi.
"Oke," Mischa tersenyum seraya mengacungkan ibu jarinya ke arah Abdul.
Sepeninggal Abdul, Mischa kembali fokus pada layar komputernya. Laporan ini harus selesai malam ini juga supaya besok tugasnya bisa lebih ringan.
Mischa masih terus bergumul dengan pekerjaannya saat tiba-tiba ponselnya berdering. Wanita itu sedikit terkejut sebab kondisi sunyi di ruangan itu serta pencahayaan yang sudah dipadamkan sebagian cukup membuat suasana terkesan horor dan menakutkan.
Mischa melihat nomor baru memanggil.
Siapa?
Pikirnya membatin.
Daripada bertanya-tanya sendiri, wanita berbulu mata lentik itupun mengangkat panggilan itu.
"Halo, selamat malam," sapa Mischa sopan.
"Halo, selamat malam, apa ini wali dari Arsenio Malik Akbar? Kami menemukan informasi kontak anda pada dirinya. Arsen terluka dan kini di rawat di rumah sakit Citra Medika, anda bisa menemuinya di ruang UGD, terima kasih,"
"Apa? Halo? Halo?"
Tut- tut- tut!
Sambungan telepon itu langsung terputus begitu saja.
Mischa yang panik langsung mematikan komputernya dan beranjak dari meja kerjanya.
Tak ada hal yang lebih penting selain keselamatan Arsen.
Buah hatinya tersayang.
*****
Sesampainya di UGD, Mischa langsung menerobos masuk dan mencari keberadaan Arsen.
Dilihatnya Arsen sedang dalam penanganan pihak medis.
Mischa berteriak dengan tangisnya yang semakin merebak. Dia berhambur ke sisi ranjang anaknya yang belum sadarkan diri. Pakaian Arsen kotor dengan luka-luka memar di sekujur tubuhnya.
"Arsen... Bangun Nak... Arsen... Ini Mamah... Banguuunnn..." tangis Mischa seraya mengguncang bahu Arsen.
"Apa anda keluarga anak ini?" tanya salah satu suster yang sedang menangani Arsen.
"Iya, iya, Sus. Saya Ibu anak ini," jawab Mischa dengan berderai air mata. "Bagaimana keadaan anak saya?"
"Arteri dari kakinya terluka, menyebabkan dia kehilangan terlalu banyak darah," jelas sang Dokter.
"Lantas apa yang harus di lakukan, tolong selamatkan anak saya, Dok... Tolong..."
"Dia mengalami syok dan itu menyebabkan pendarahannya semakin parah. Dia membutuhkan transfusi darah sekarang atau hidupnya akan berada dalam bahaya,"
Tangis Mischa semakin pecah. "Kalau begitu berikan transfusi darah kepadanya, berapapun biayanya saya akan bayar, Dok... Tolong..."
"Apa golongan darah anda?" tanya Dokter itu pada Mischa.
"B, golongan darah saya B, Dok..."
"Apakah ada keluarga atau kerabat dekat anda yang golongan darahnya sama dengan anak ini?"
Mischa terhenyak. Keluarga?
Mischa bahkan tak memiliki keluarga yang bisa menolongnya saat ini. Dia harus menjawab apa?
"Sa-saya tidak tahu, Dok..." jawab wanita itu dengan suara putus asa. Mischa menunduk dalam. Dia benar-benar bingung.
Di tengah kekalutan itu, seorang suster tiba-tiba datang dengan membawa sebuah kabar.
"Dokter Afwan, semua bank darah telah kami hubungi, golongan darah yang di butuhkan anak ini sudah didapat, tapi ada kemungkinan akan memakan waktu selama enam sampai tujuh jam untuk bisa sampai ke sini," jelas si suster yang baru saja datang.
"Apa? Tujuh jam? Itu terlalu lama, nyawa anak ini bisa terancam, kita tidak bisa menunggu lagi," jawab sang Dokter.
Dokter Afwan menggeleng lemah. "Maafkan saya Nyonya, saya tidak bisa memastikan lebih jauh apa anak anda bisa bertahan untuk menunggu sampai tujuh jam ke depan, siapkan mental anda untuk kabar terburuk nantinya,"
Tubuh Mischa mencelos. Bahu wanita itu merosot seiring dengan semakin menipisnya harapan hidup sang buah hatinya tercinta.
"Arsen..." gumam Mischa. Dia memeluk tubuh anaknya dan menangis tersedu-sedu.
Ya Tuhan... Tolong anakku...
Bisik batin Mischa pedih.
Hidupnya tak akan berarti apa-apa tanpa Arsen.
Bahkan, selama ini, hanya Arsen yang menjadi tumpuan harapan Mischa untuk melanjutkan kehidupan yang serba sulit. Karena Arsenlah Mischa mampu bertahan hingga saat ini.
Mischa masih terus menangis sambil memeluk anaknya saat didengarnya sebuah suara dari arah belakang yang bertanya pada suster yang masih menangani luka di kaki Arsen.
"Permisi Suster, bagaimana keadaan anak ini?"
Suara itu...
Dan bahkan hanya mendengar suaranya saja, Mischa sudah tahu siapa laki-laki yang kini berbicara di belakangnya.
Itu suara Xander.
*****
Xander baru saja selesai mengurus seluruh biaya administrasi pengobatan anak kecil yang tadi dia tolong.
Dia hendak pulang, tapi entah kenapa hatinya tergugah untuk kembali melihat kondisi anak itu. Hingga akhirnya, kakinya terus melangkah menuju ruang UGD tempat di mana anak kecil itu kini sedang mendapat penanganan serius oleh tim medis.
Xander tahu, sepertinya luka-luka yang dialami anak itu cukup parah.
Begitu sampai di UGD, dilihatnya seorang wanita sedang menangis tersedu-sedu sambil memeluk anak yang tadi dia tolong. Mungkin saja itu Ibunya, pikir Xander membatin.
"Permisi Suster, bagaimana keadaan anak ini?" tanya Xander kemudian.
"Apa anda keluarganya Tuan?"
"Oh, bukan,"
"Maaf Tuan, lebih baik anda menunggu di luar saja. Kami sedang sibuk," jawab sang suster acuh.
Xander mengangguk tanda mengerti. Lagi pula, dengan melihat keberadaan Ibu anak itu saat ini, perasaan Xander cukup tenang untuk meninggalkan anak itu di rumah sakit.
Lelaki berkemeja putih itu pun memilih untuk pergi.
Tatapan Xander sempat tertuju pada Ibu sang Anak yang saat itu sedang menatap ke arahnya, meski setelahnya dia tetap berlalu dari ruangan itu.
"Tunggu!" panggil sebuah suara seorang wanita.
Xander menoleh, dilihatnya Ibu si anak itu berdiri dibelakangnya masih dalam keadaan berderai air mata.
"Anda berbicara dengan saya?" tanya Xander saat itu.
"Bisakah kamu menyelamatkan anakku?" tanya Mischa dengan sekujur tubuhnya yang gemetar. Bahkan untuk melangkahkan kakinya saja Mischa merasa begitu sulit.
"Menyelamatkan dia?" tanya Xander dengan kerutan di keningnya yang tercetak jelas. "Bagaimana caranya? Apa yang bisa aku lakukan?"
"Jika kamu bersedia memberikan darahmu, dia akan bertahan hidup," ucap Mischa dengan dadanya yang kian sesak. Rasanya, dia hampir tak bisa bernapas saat ini.
"Apa? Mengapa bisa?" Xander jadi bertambah bingung. Apa maksud wanita ini sebenarnya?
"Karena golongan darah kalian sama. Aku mohon padamu... Selamatkan dia... Selamatkan anakku... Aku mohon..." Mischa kembali terisak. Dia tahu ini tidak mudah. Bahkan hal ini tak seharusnya dia lakukan, tapi apalah dayanya saat ini, Arsen membutuhkan pertolongan dan hanya Xander yang bisa menolongnya.
Xander masih memasang ekspresi dingin dan datar. Dia berjalan mendekat ke arah Mischa. Berbagai tanda tanya besar hadir dalam benak lelaki itu.
"Bagaimana kamu tahu golongan darahku?" tanya Xander dengan suaranya yang mengintimidasi.
Mischa terpojok. Deru napasnya semakin tersengal. Dia benar-benar kehabisan kata-kata.
"Ka-karena.... Karena..."
"Karena apa?" potong Xander tak sabar, nada suaranya naik beberapa oktaf.
Kebuntuan Mischa semakin menjadi. Dia tak sanggup menjelaskan hingga akhirnya dia memilih untuk berlutut di bawah kaki Xander.
Dengan berderai air mata, Mischa memohon dan menghiba agar Xander bersedia menolong Arsen.
Tapi sayangnya, Xander bukanlah lelaki bodoh. Dia harus tahu alasan apa yang membuat wanita asing yang kini berlutut di kakinya itu tahu mengenai golongan darahnya. Bukankah itu hal aneh?
"Jika kamu tidak bisa menjawab pertanyaanku dengan jelas, jangan harap aku akan membantumu," tegas Xander dengan wajahnya yang mendongak angkuh.
"Tolong... Jangan seperti itu. Anakku membutuhkan pertolonganmu... Tolong selamatkan dia... Tolong... Aku mohon... Selamatkan anakku..." Mischa menahan kaki Xander yang hendak pergi dengan memeluk sebelah kaki laki-laki itu.
"Jawab dulu pertanyaanku, darimana kamu bisa tahu bahwa golongan darahku sama dengan golongan darah anakmu? Hah?" Xander mulai terpancing emosi.
Dengan napas yang masih tersengal dan ke dua tangan yang memeluk erat kaki Xander akhirnya Mischa pun menjawab pertanyaan itu dengan sangat berat hati.
"Karena..."
Xander masih menunggu.
"Karena..."
"Karena dia adalah anakmu!"
Detik itu juga, dunia Xander seolah berhenti berputar.
Apa perempuan ini gila?
Makinya geram dalam hati.
"Karena dia adalah anakmu..."
Kalimat itu terus terngiang ditelinga Xander.
Sebuah kalimat yang menjadi pukulan telak bagi seorang Xander, manusia berhati dingin yang bahkan tak pernah berpikir seujung jari kukupun sebelumnya untuk memiliki anak dari wanita manapun. Itulah sebabnya Xander tak pernah lupa untuk bermain aman dengan semua wanita malam yang pernah menjadi teman tidurnya.
Kecuali, satu wanita.
Ya, satu orang wanita yang pernah dia tiduri sekitar lima tahun yang lalu di sebuah Club Malam langganannya.
Pelacur sialan yang sudah mengobrak-abrik ketenangan hidup Xander selama lima tahun belakangan.
Rahang Xander sudah mengeras, bersamaan dengan ke dua kepalan tangannya yang sudah memanas. Mungkin, seandainya ini bukan tempat umum, ingin rasanya Xander menjambak rambut wanita yang kini tengah bersujud di bawah kakinya itu untuk menceritakan apa yang membuat wanita itu berani mengatakan hal yang begitu privasi di hadapan banyak orang.
Bahkan, beberapa perawat di ruangan UGD langsung berbisik-bisik tetangga.
Xander tahu posisinya kini terpojok, terlebih di saat dokter yang menangani Arsen mendekat ke arah mereka.
"Maaf, anda Tuan Xanderkan? Yang pernah memberikan dana bantuan untuk rumah sakit ini beberapa minggu yang lalu? Tuan, keadaan Arsen saat ini memang sedang dalam kondisi darurat, dia harus cepat mendapatkan donor darah. Jika golongan darah Tuan AB, saya harap Tuan bisa membantu kami menolong anak ini,"
Kalimat panjang sang dokter menjadi gema yang terus bersahut-sahutan di kepala Xander.
Dan saat kepala lelaki itu kembali menoleh ke belakang, tepatnya ke arah brankar tempat dimana tubuh tak berdaya Arsen terbaring dalam keadaan tak sadarkan diri, Xander seolah teringat pada kekejaman Ibu kandungnya yang tak pernah mengakui keberadaannya selama ini. Lantas, haruskah dia kini juga bersikap kejam terhadap Arsen?
Meski, Xander memang tak akan mempercayai begitu saja kata-kata wanita itu yang mengatakan Arsen adalah anak kandungnya sebelum adanya bukti atas tes DNA dari rumah sakit. Namun, Xander tahu bahwa dirinya masih memiliki hati nurani sebagai seorang manusia. Tak mungkin dia mengabaikan anak kecil tak berdosa itu meregang nyawa begitu saja.
"Golongan darah saya memang AB, Dok. Lakukan yang terbaik, selamatkan anak itu," tuturnya pelan.
Beberapa perawat pun bergerak cepat dan langsung menginstruksikan Xander untuk melakukan donor darah.
Dan di sana, ketika sosok Xander menghilang di balik pintu ruangan UGD bersama beberapa perawat itu, Mischa masih terus menatap punggung Xander.
Dalam hati dia terus berucap dengan deraian air matanya.
Terima kasih Tuhan...
Terima kasih...
Terima kasih...
Terima kasih...
Xander...
Satu Bulan sebelum prolog... Malam kian larut tapi suasana di Club malam elit The Dragon's Club justru semakin meriah. Lima orang lelaki berpakaian casual tampak asik bercengkrama di pojokan ruangan. Yakni sebuah tempat yang sudah menjadi lokasi base camp mereka jika sedang bebas tugas. Ya, mereka adalah Alvin, Roni, Tio, Bagas dan Arsen. Lima orang tentara berpangkat mayor yang sedang menikmati waktu luang mereka dengan berpesta pora. Sekedar merelaksasi otot-otot tubuh yang tegang setelah bertugas di medan perang. "Udah lama kita nggak main Truth Or Dare," celetuk Alvin setelah menenggak habis botol vodkanya. Alvin memposisikan botol kosong itu di tengah-tengah meja yang melingkar. "Ah, nggak usah mulai deh Vin!" sahut Tio tidak setuju. "
Acara pernikahan mewah itu baru saja berlangsung. Kedua mempelai sudah berada di dalam kamar pengantin mereka. Handaru menghampiri Mitha yang tampak kesulitan membuka gaun pengantinnya. "Sini, aku bantu," ucap Handaru dengan senyuman ramahnya. Lelaki itu membantu sang istri melepas satu persatu pakaian yang melekat di tubuh Mitha hingga menyisakan pakaian dalam saja yang membalut tubuh mungil itu. Merasa malu karena ini pertama kalinya dia berada satu kamar dengan Handaru, Mitha buru-buru mengambil jubah mandi dan mengenakannya. "Kamu mau mandi?" tanya Handaru pada Mitha, wanita yang kini sudah resmi menjadi istrinya. Menjadi seorang Nyonya Handaru Pratama. Sang Milyuner yang kekayaannya tak akan habis tujuh turunan. Mitha mengangguk, pipi wanita itu merona. "Boleh aku ikut?" ucap Handaru dengan kerlingan nakal. Mitha memukul bahu
Enam bulan kemudian...Di sebuah tanah lapang berumput hijau dengan pemandangan alam yang indah di sekitarnya, sebuah keluarga tampak berkumpul menikmati indahnya hari.Sudah menjadi rutinitas wajib bagi keluarga Malik untuk mengadakan piknik keluarga di akhir pekan."Arsen, ayo makan dulu," teriak Diana yang ikutan berlari mengejar sang cucu yang asik bermain bola bersama Dirga.Sarah yang tampak asik mengobrol dengan Berta. Mereka duduk di atas tikar piknik dengan berbagai macam makanan lezat yang mereka bawa.Sementara itu, di sisi lain lokasi tersebut Xander, Jarvis dan Aldrian tampak asik menikmati indahnya pemandangan."Kamu sudah pantas menggendong anak, Al. Mau sampai kapan menjomblo terus?" ucap Xander menggoda Aldrian yang saat itu sedang menggendong salah satu bayi kembar sang Kakak.
Seorang wanita tampak menarik napas dalam-dalam. Peluh menetes membanjiri wajahnya yang pucat. Sesekali terdengar rintihan dan teriakan dari arah brankar ruangan bersalin itu tatkala si wanita merasa dirinya tak mampu lagi menahan nyerinya kontraksi.Sejak kepulangan keluarga Malik usai menghadiri acara pernikahan Jarvis dan Aliana, lalu mereka melangsungkan acara pesta barbeque di halaman rumah kediaman Malik yang luas, seharian itu Mischa memang kurang istirahat. Terlebih efek gembira ketika dirinya mampu berjalan kembali seperti sedia kala.Mischa terus beraktifitas, berjalan mondar-mandir ke sana kemari dengan keadaan perutnya yang buncit.Hingga pesta usai, Mischa justru harus kembali melakukan aktifitas ranjang bersama sang suami hingga waktu mendekati pagi.Itulah sebabnya, menjelang fajar di pagi hari, Mischa merasakan perutnya mulas dan kram."Xander..." gumam Mischa lirih.
Acara sakral itu berlangsung begitu khidmad dan lancar.Jarvis sangat tenang saat melafalkan kalimat ijab dan kabulnya.Setelah ijab dan kabul usai, lalu kedua mempelai menyambut tamu undangan yang hendak bersalaman di atas pelaminan, sore harinya acara pun selesai.Jarvis dan Aliana sudah berganti pakaian. Kini mereka sedang berkumpul di lapangan parkir gedung hendak pulang. Saat itu keluarga Malik terlihat berkumpul di sekitar area parkir, mereka menunggu kedatangan pasangan pengantin baru. Malam ini, keluarga Xander berencana mengundang Jarvis dan Aliana untuk makan malam bersama di kediaman utama keluarga Malik.Baik Jarvis dan Aliana, yang memang sama-sama tak memiliki keluarga, jelas sangat senang atas undangan itu. Bahkan jika hari weekend tiba, mereka seringkali ikut nimbrung dalam acara piknik keluarga Malik. Dan bagi keluarga Malik, mereka sudah layaknya keluarga sendiri.Saat it
Mentari pagi terlihat bersinar cerah di angkasa. Cahayanya menerobos jendela kaca bening sebuah kamar besar nan mewah yang terletak di salah satu perumahan elit Jakarta.Mischa menggeliat tatkala wajahnya terkena pantulan cahaya matahari langsung. Dia mengernyitkan kening, menguap satu kali seraya mengucek ke dua bola matanya secara bersamaan.Ketika kedua bola matanya berhasil terbuka, Mischa tak mendapati sosok Xander di sisinya.Mungkin, suaminya itu sedang di kamar mandi, pikirnya.Tubuh Mischa kembali menggeliat. Dia merentangkan ke dua tangannya ke atas. Entah kenapa, pagi ini dia bangun dengan keadaan tubuh yang lebih segar dari kemarin-kemarin.Apa mungkin karena...?Kedua pipi Mischa mendadak merona, saat otaknya kembali memutar kejadian tadi malam di dalam kamar ini.Bahkan setelah hampir dua bulan berlalu tanpa adanya aktifitas ranjang dalam bid