ENAM TAHUN KEMUDIAN...
Dalam sebuah pertarungan pasti hanya akan mengenal dua kata akhir yakni menang dan kalah.
Begitu pula halnya dengan bisnis.
Para pengusaha sukses tidak melakukan hal yang biasa dilakukan oleh orang biasa. Cara berpikir dan tindak tanduk mereka cenderung aneh bahkan sebagian menganggapnya istimewa.
Mereka hanya berbagi cara tanpa menjelaskan pola pikirnya saat menjalankan bisnis. Fakta ini tentu mengejutkan mengingat banyak orang cenderung mengikuti sikap pengusaha saja tanpa tahu bagaimana rahasia dibalik kesuksesan para pengusaha itu dalam mengembangkan bisnisnya.
Beda orang, beda cara.
Jika kebanyakan pengusaha memakai metode umum dalam membangun bisnisnya lain halnya dengan yang dilakukan oleh seorang pengusaha sukses bernama Alexander Gavin Malik.
Dalam dunia bisnis, Xander memang dikenal kejam dan tak memiliki belas kasihan pada tiap-tiap rival bisnisnya. Kecerdikan Xander dalam berbisnis memang patut di acungi jempol.
Xander cenderung bekerja dengan pola pikirnya yang sulit di tebak oleh lawan. Dan hal itu cukup membuat para pesaingnya kewalahan, jika sudah berhadapan dengan Xander.
Seperti hari ini, ketika Xander memulai tak tik cerdiknya dalam berbisnis. Dimana dirinya sedang mengadakan rapat tertutup dengan seorang presiden pemegang saham terbesar Hotel Buttefly. Hotel bintang lima yang menjadi incaran Xander sejak bertahun-tahun lamanya dia berkecimpung di dunia perbisnisan.
Tuan Gandhi Bharata Yuda, terlihat terbatuk beberapa kali. Dirinya memang sudah tua dan mulai sakit-sakitan. Namun minatnya dalam berbisnis tak pernah surut.
Hotel Butterfly, menjadi satu-satunya perusahaan kebanggaan milik Gandhi. Hotel yang kesuksesannya dia rintis sejak dini. Satu-satunya perusahaan yang begitu dia banggakan. Sudah seperti sebagian dari hidupnya dalam mengurus dan membesarkan hotel ini. Itulah sebabnya, Gandhi merasa perlu waspada ketika seperempat sahamnya kini berhasil menjadi milik Xander.
Gandhi terus berusaha untuk mempertahankan apa yang memang sudah seharusnya menjadi miliknya dari beberapa pebisnis muda yang lihai bermain culas, seperti Xander.
"Aku sudah terlalu tua dan tidak berguna lagi," ucap Gandhi dengan tawa kecil setelah meminum air jahe hangat yang disuguhkan oleh pelayan Xander.
"Apa anda merasa lebih baik sekarang?" tanya Xander dengan nada datar.
Gandhi mengangguk beberapa kali. "Baiklah, kita mulai saja sekarang," Gandhi memberi aba-aba untuk memulai pembicaraan utama mereka.
Xander masih diam dengan wajah dingin dan datarnya. Dia menunggu apa yang akan dikatakan Gandhi mengenai kerja sama perusahaan mereka.
"Maaf sebelumnya, aku bukan mencoba membuat semua halnya menjadi lebih sulit bagimu, selama kamu tidak menyentuh ke dua bidang tanah propertiku, aku akan mundur dari pertunjukan seperti yang kamu inginkan, Xander," ungkap Gandhi dengan senyuman miring. Dia cukup percaya diri setelah berhasil menggali beberapa infomasi penting mengenai tak tik Xander untuk menjatuhkannya kali ini.
"Presiden Gandhi, walaupun anda memegang 10 persen saham di perusahaanku saat ini, posisimu tidak sebanding denganku karena aku masih pemegang saham utama, tapi pada akhirnya kamu masih pemilik hotel ini, jika kamu tidak mengacaukan upacara pembukaan hari ini, apa sebenarnya motifmu?" balas Xander dengan sedikit kerutan dikeningnya. Dia menatap sinis wajah pria tua renta dihadapannya saat itu.
Gandhi tertawa renyah. Tawa yang menunjukkan kemenangan. "Sebenarnya sederhana saja, Xander, jika kamu mengizinkan aku menguasai tanah di Boulevard, aku akan menemanimu untuk menghadiri pertunjukan hari ini, namun jika kamu tidak setuju, aku pastikan headline majalah bisnis besok akan menampilkan skandal tentang perusahaanmu. Bukankah ini bentuk kerjasama yang menarik, Xander?"
Ketukan jemari Xander di atas meja menandakan lelaki itu sedang berpikir keras saat ini. Dan hal itu semakin membuat Gandhi tersenyum menang.
Tapi bukan Xander namanya jika dia tidak memilimi manuver hebat lain untuk melumpuhkan lawannya dalam berbisnis. Xander tersenyum kecut. Tatapan sinisnya terlihat semakin dingin dan menusuk.
"Presiden Gandhi, aku memang hanya memiliki 20 persen saja saham di Hotel Butterfly, tapi aku tak merasa berkecil hati meski hanya menjadi pemilik saham minoritas. Karena aku memang sudah tak tertarik lagi dengan perusahaanmu,"
Gandhi kembali tertawa. "Tuan Xander yang terhormat, anda sungguh pintar membuat lelucon, tiga buah toko milikku sudah siap untuk dipasarkan dan dijual, pada saat itu harga saham akan terus meningkat tajam, aku paham betul bagaimana kondisi keuangan perusahaanmu sekarang, hingga membuatmu berpikir untuk mengakusisi perusahaanku yang kini sedang maju pesat? Tidak semudah itu, Xander..."
"Untuk ke tiga propertimu yang belum berlisensi, kamu masih belum mendapatkan lisensi itu bukan?" potong Xander tiba-tiba. Tak tiknya baru akan dimulai.
"Maksudmu?"
Kali ini Xander yang tersenyum. "Grup Adighuna, selalu menjadi kontraktormu bukan? Tetapi, mereka juga telah mencari kesempatan untuk mengakusisi Hotel kebanggaanmu itu, ketiga properti itu akan dianggap terjual dengan baik, sehingga semua orang ingin memiliki sahamnya, sejauh yang aku tahu, mereka juga memiliki 32 persen saham di Hotel Butterfly bukan? Jika mereka mendapatkan saham yang aku miliki, mungkin perusahaanmu tidak akan menjadi milik keluarga Bharata Yuda lagi!" Xander terdiam sejenak. Senyuman mempesonanya terlihat mengerikan.
"Pikirkan tentang anak dan istrimu, jika kamu mau bekerja sama denganku, mungkin kamu masih bisa mempertahankan hotel Butterfly untuk tetap menjadi milikmu. Tapi..." Xander memajukan kepalanya. Kedua bola matanya menyipit. Wajah renta Gandhi yang mulai gelisah membuatnya ingin tertawa.
"Jika kamu tetap pada pendirianmu untuk menghancurkan aku karena skandal itu, jangan salahkan aku jika besok, Butterfly akan sepenuhnya menjadi hak perusahaan Adhiguna!"
Gandhi terpojok.
Tawa penuh kemenangannya mendadak sirna.
Ancamannya kini justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Lelaki tua itu meraih tissue di meja dengan tangan gemetar untuk menyeka buliran keringat yang tiba-tiba saja menetes di pelipisnya.
"Tuan Xander, kamu tidak perlu memakai cara yang terlalu ekstreem untuk menggulingkan perusahaanku. Butterfly itu sudah menjadi bagian dari hidupku, aku tak mungkin bisa bertahan hidup jika Butterfly sampai jatuh ke tangan orang lain! Jadi tolong, kita bisa mencari jalan keluar yang terbaik untuk menyelesaikan semua ini tanpa harus mengancam keberlangsungan perusahaanku! Ingat Xander, istriku yang saat ini sedang sekarat di rumah sakit, dia itu masih Ibumu! Dia tidak akan sanggup bertahan jika sampai mengetahui perusahaan suaminya hancur akibat perbuatan darah dagingnya sendiri!"
Mendengar hal itu, kedua rahang Xander langsung mengeras. Tangannya terkepal hingga buku-buku jarinya memutih.
"AKU ALEXANDER GAVIN MALIK, TIDAK MEMILIKI SEORANG IBU ATAU PUN ISTRI! Aku tidak perlu jalan keluar untuk menyelamatkan diri!" Ucap Xander dengan penuh penekanan. Kalimat Gandhi tadi membuatnya marah.
Sangat marah!
Xander berdiri dan hendak keluar dari dalam ruangan itu, tapi langkahnya terhenti oleh suara panggilan Gandhi.
Gandhi yang ikutan berdiri dan menyamai posisinya dengan Xander.
"Tuan Xander, aku akui taktik cerdasmu kali ini, sangat mengesankan. Kamu menang," Gandhi mengulurkan tangannya mengajak Xander bersalaman dan terpaksa menuruti semua alur permainan Xander kali ini. Gandhi tak memiliki pilihan lain. Ancaman Xander benar-benar menciutkan nyalinya hingga ke dasar.
Xander menerima jabatan tangan itu dengan senyuman miring.
Mungkin, kali ini aku masih bisa berbaik hati untuk tidak menghancurkan Butterfly! Tapi lihat saja Gandhi, kehancuran hidup ayahku, sebab ulahmu, akan terbalas seiring dengan hancurnya Butterfly ditanganku!
Itu janjiku!
Ucap Xander membatin.
*****
"Apa jadwalku selanjutnya, Jarvis?" tanya Xander begitu dirinya masuk ke dalam mobil super mewahnya.
Xander duduk di jok belakang sementara Jarvis duduk di samping kemudi.
Jarvison Hasibuan, adalah orang kepercayaan Xander di perusahaan. Dia adalah tangan kanan Xander sekaligus tempat Xander berbagi mengenai keluh kesah kisah pilu hidupnya.
Seluruh hal mengenai Xander dari yang paling pribadi, Jarvis mengetahuinya.
"Seluruh meeting sudah ditangani Gendhis di kantor. Tadi, Nona Mendy meminta anda menjemputnya di Hotel T-Five. Dia baru saja mengisi acara di konser Boy Band Black White, apa kita langsung ke sana saja?" jelas Jarvis, dia menoleh ke arah belakang menatap wajah sang Bosnya yang memiliki paras tampan namun sangat jarang tersenyum itu.
Xander terlihat berpikir keras.
Sosok Mendy kerap membuat Xander dilanda Frustasi. Xander tahu, pesona kecantikan Mendy memang tak dapat terelakkan.
Mendy Clarissa adalah seorang aktris papan atas Indonesia yang namanya sedang naik daun. Aktris multitalented itu memang sudah lama dikabarkan menjalin hubungan dekat dengan Xander meski hubungan itu belum juga mendapat konfirmasi lebih jelas dari ke dua belah pihak yang bersangkutan.
Di mata Xander, Mendy itu tak lebih dari seorang wanita licik yang rela menghalalkan segala cara demi mendapatkan dirinya.
Sebuah Video berdurasi dua menit yang memperlihatkan sosok Xander dan Mendy yang sedang berhubungan badan tersebar luas di media dan sempat menjadi buah bibir khalayak ramai. Tak sampai disitu, gara-gara Video itu viral, Xander sempat mendapatkan hujatan dari beberapa rekan bisnisnya yang memutuskan untuk mengakhiri kerja sama mereka.
Satu tahun berlalu sejak tersebarnya Video itu, kini mau tak mau, Xander harus rela menjalin hubungan palsu dengan Mendy untuk mengembalikan nama baik dirinya maupun Mendy. Hubungan itu terjalin benar-benar di atas perjanjian hitam dan putih tanpa melibatkan perasaan. Sebab Xander sama sekali tak menyukai Mendy sedikit pun.
Dia melakukan semua ini karena terpaksa. Dan sejauh ini, Xander hanya perlu membuktikan bahwa video itu pasti ada sangkut pautnya dengan Mendy.
Jika sampai hal itu terbukti, Xander tak akan segan-segan menjebloskan Mendy ke dalam penjara.
"Sebenarnya aku sedang malas bertemu dengan wanita itu! Katakan saja padanya aku sedang sibuk!" Jawab Xander seraya mengendurkan dasi yang melilit dilehernya.
Perjalanan pun kembali dilanjutkan setelah Xander meminta Jarvis untuk mengantarnya ke Rumah Sakit Jiwa Grogol, tempat di mana sang Ayah tercintanya kini di rawat.
******
Xander menepikan mobilnya di sebuah jembatan layang, untuk sementara menjauh dari tengah-tengah hiruk pikuknya kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya Ibu kota.
Dari atas sini Xander bisa merasakan sepoi-sepoi angin malam yang menerpa tubuhnya. Dia menggulung lengan kemejanya sebatas siku dan duduk setengah bersandar di atas kap mobil bagian depan.
Malam ini Xander ingin sendiri, itulah sebabnya dia meminta Jarvis dan sang supir pulang lebih dulu menggunakan taksi sepulangnya mereka dari rumah sakit tadi.
Masih tak ada perubahan yang berarti dari perilaku yang ditunjukkan sang Ayah. Lelaki paruh baya itu masih saja sering mengamuk dan memanggil-manggil nama istrinya.
Sedalam itukah Ayah mencintai Ibu? Sampai Ayah lupa, bahwa selama ini, ada aku yang senantiasa menjaga Ayah.
Ibu sudah lama meninggalkan kita, tapi Ayah terus saja mengingat dia.
Xander hanya bisa menggerutu dalam hati. Menumpahkan kepedihannya seorang diri.
Masih lekat dalam ingatannya tahun-tahun di mana dirinya seringkali mendatangi kediaman Ibunya, hanya untuk memohon pada sang Ibu supaya bersedia melihat kondisi Ayahnya.
Meski setelahnya, hanya kecewa yang dia dapatkan.
"Bu... Ibu... Pulang Bu... Ayah sakit Bu... Ayah butuh Ibu..." mohon Xander kecil di kaki Ibunya. Dia menangis berderai air mata meminta belas kasihan sang Ibu yang bahkan tak pernah mau menoleh ke arahnya.
"Pergi kamu dari sini! Kamu bukan anakku! Urus Ayahmu sendiri, dia bukan suamiku lagi! PERGI!" usir sang Ibu dengan ayunan satu kakinya yang terus dipegangi Xander.
Tubuh Xander kecil terhempas ke aspal jalanan dengan beberapa luka lecet di kulitnya.
Xander kembali berlari saat pintu gerbang rumah Ibunya hendak di tutup.
"BU... IBU... PULANG BU... AYAH SAKIT BU... AYAH BUTUH IBU..." teriak Xander sembari memegangi besi pintu gerbang, memperhatikan sang Ibu yang kembali masuk ke dalam mobil mewahnya dan meninggalkannya sendirian.
"Ibu..." gumam Xander untuk terakhir kalinya, sebelum dirinya pun menyerah untuk terus menerus mengemis perhatian sang Ibu yang kini telah bahagia dengan keluarga barunya.
"Kenapa Ibu jahat padaku? Kenapa Ibu tidak menyayangiku? Apa salahku, Bu?"
Sejak saat itu, Xander tak pernah lagi mendatangi kediaman Bharata Yuda. Dia tak pernah lagi mau tahu mengenai apapun hal tentang keluarga mereka, terkecuali perusahaan Butterfly yang kini menjadi incarannya.
Xander terhenyak dari lamunannya, saat tiba-tiba sebuah benturan keras dia dengar dari arah ujung jalan.
Dilihatnya beberapa orang berlarian ke arah suara, sepertinya tengah terjadi kecelakaan di sana.
Meski dirinya dikenal sebagai manusia super dingin dan kejam, namun dalam dirinya Xander masih memiliki jiwa sosial yang tinggi terhadap sesama. Xander ikut berlari mendekat ke arah kerumunan orang itu, dilihatnya seorang bocah kecil terkapar di aspal jalanan dengan luka menganga di bagian kaki kirinya. Darah mengucur deras dari luka itu.
Xander langsung menerobos kerumunan dan hendak menolong di saat tak ada satu pun dari warga yang mengambil tindakan.
"Mana orang tua anak ini?" tanya Xander dengan wajah panik sambil menatap satu persatu manusia di sekelilingnya. Tak ada yang menyahut, dan itu artinya orang tua anak ini tak ada di sekitar lokasi kejadian.
"Siapa yang menabrak?" tanya Xander lagi. Dia berjongkok dan memangku kepala bocah itu.
"Penabraknya langsung melarikan diri Pak," jawab salah satu saksi mata.
Brengsek!
"Biar saya yang akan membawa anak ini ke rumah sakit," tanpa menunggu lagi, Xander pun langsung menggendong anak itu dan membawanya ke rumah sakit.
Satu Bulan sebelum prolog... Malam kian larut tapi suasana di Club malam elit The Dragon's Club justru semakin meriah. Lima orang lelaki berpakaian casual tampak asik bercengkrama di pojokan ruangan. Yakni sebuah tempat yang sudah menjadi lokasi base camp mereka jika sedang bebas tugas. Ya, mereka adalah Alvin, Roni, Tio, Bagas dan Arsen. Lima orang tentara berpangkat mayor yang sedang menikmati waktu luang mereka dengan berpesta pora. Sekedar merelaksasi otot-otot tubuh yang tegang setelah bertugas di medan perang. "Udah lama kita nggak main Truth Or Dare," celetuk Alvin setelah menenggak habis botol vodkanya. Alvin memposisikan botol kosong itu di tengah-tengah meja yang melingkar. "Ah, nggak usah mulai deh Vin!" sahut Tio tidak setuju. "
Acara pernikahan mewah itu baru saja berlangsung. Kedua mempelai sudah berada di dalam kamar pengantin mereka. Handaru menghampiri Mitha yang tampak kesulitan membuka gaun pengantinnya. "Sini, aku bantu," ucap Handaru dengan senyuman ramahnya. Lelaki itu membantu sang istri melepas satu persatu pakaian yang melekat di tubuh Mitha hingga menyisakan pakaian dalam saja yang membalut tubuh mungil itu. Merasa malu karena ini pertama kalinya dia berada satu kamar dengan Handaru, Mitha buru-buru mengambil jubah mandi dan mengenakannya. "Kamu mau mandi?" tanya Handaru pada Mitha, wanita yang kini sudah resmi menjadi istrinya. Menjadi seorang Nyonya Handaru Pratama. Sang Milyuner yang kekayaannya tak akan habis tujuh turunan. Mitha mengangguk, pipi wanita itu merona. "Boleh aku ikut?" ucap Handaru dengan kerlingan nakal. Mitha memukul bahu
Enam bulan kemudian...Di sebuah tanah lapang berumput hijau dengan pemandangan alam yang indah di sekitarnya, sebuah keluarga tampak berkumpul menikmati indahnya hari.Sudah menjadi rutinitas wajib bagi keluarga Malik untuk mengadakan piknik keluarga di akhir pekan."Arsen, ayo makan dulu," teriak Diana yang ikutan berlari mengejar sang cucu yang asik bermain bola bersama Dirga.Sarah yang tampak asik mengobrol dengan Berta. Mereka duduk di atas tikar piknik dengan berbagai macam makanan lezat yang mereka bawa.Sementara itu, di sisi lain lokasi tersebut Xander, Jarvis dan Aldrian tampak asik menikmati indahnya pemandangan."Kamu sudah pantas menggendong anak, Al. Mau sampai kapan menjomblo terus?" ucap Xander menggoda Aldrian yang saat itu sedang menggendong salah satu bayi kembar sang Kakak.
Seorang wanita tampak menarik napas dalam-dalam. Peluh menetes membanjiri wajahnya yang pucat. Sesekali terdengar rintihan dan teriakan dari arah brankar ruangan bersalin itu tatkala si wanita merasa dirinya tak mampu lagi menahan nyerinya kontraksi.Sejak kepulangan keluarga Malik usai menghadiri acara pernikahan Jarvis dan Aliana, lalu mereka melangsungkan acara pesta barbeque di halaman rumah kediaman Malik yang luas, seharian itu Mischa memang kurang istirahat. Terlebih efek gembira ketika dirinya mampu berjalan kembali seperti sedia kala.Mischa terus beraktifitas, berjalan mondar-mandir ke sana kemari dengan keadaan perutnya yang buncit.Hingga pesta usai, Mischa justru harus kembali melakukan aktifitas ranjang bersama sang suami hingga waktu mendekati pagi.Itulah sebabnya, menjelang fajar di pagi hari, Mischa merasakan perutnya mulas dan kram."Xander..." gumam Mischa lirih.
Acara sakral itu berlangsung begitu khidmad dan lancar.Jarvis sangat tenang saat melafalkan kalimat ijab dan kabulnya.Setelah ijab dan kabul usai, lalu kedua mempelai menyambut tamu undangan yang hendak bersalaman di atas pelaminan, sore harinya acara pun selesai.Jarvis dan Aliana sudah berganti pakaian. Kini mereka sedang berkumpul di lapangan parkir gedung hendak pulang. Saat itu keluarga Malik terlihat berkumpul di sekitar area parkir, mereka menunggu kedatangan pasangan pengantin baru. Malam ini, keluarga Xander berencana mengundang Jarvis dan Aliana untuk makan malam bersama di kediaman utama keluarga Malik.Baik Jarvis dan Aliana, yang memang sama-sama tak memiliki keluarga, jelas sangat senang atas undangan itu. Bahkan jika hari weekend tiba, mereka seringkali ikut nimbrung dalam acara piknik keluarga Malik. Dan bagi keluarga Malik, mereka sudah layaknya keluarga sendiri.Saat it
Mentari pagi terlihat bersinar cerah di angkasa. Cahayanya menerobos jendela kaca bening sebuah kamar besar nan mewah yang terletak di salah satu perumahan elit Jakarta.Mischa menggeliat tatkala wajahnya terkena pantulan cahaya matahari langsung. Dia mengernyitkan kening, menguap satu kali seraya mengucek ke dua bola matanya secara bersamaan.Ketika kedua bola matanya berhasil terbuka, Mischa tak mendapati sosok Xander di sisinya.Mungkin, suaminya itu sedang di kamar mandi, pikirnya.Tubuh Mischa kembali menggeliat. Dia merentangkan ke dua tangannya ke atas. Entah kenapa, pagi ini dia bangun dengan keadaan tubuh yang lebih segar dari kemarin-kemarin.Apa mungkin karena...?Kedua pipi Mischa mendadak merona, saat otaknya kembali memutar kejadian tadi malam di dalam kamar ini.Bahkan setelah hampir dua bulan berlalu tanpa adanya aktifitas ranjang dalam bid