MasukSeharian penuh Emma berusaha menutupi memar-memar di tangannya. Ketika rekannya tak sengaja melihat dan menanyakan apa yang terjadi, ia beralasan bahwa dirinya terjatuh.
Beruntung, bekas tamparan Chris di pipinya tidak sampai meninggalkan bekas yang terlalu tebal, hanya memerah selama beberapa jam saja, tetapi gusinya sempat berdarah. Sementara memar di tangan kanannya, justru lumayan parah hingga berwarna merah keunguan. Emma pulang tepat waktu hari ini. Begitu sampai di rumah, ia langsung masuk ke kamar dan mengambil koper miliknya dari atas salah satu lemari di ruang pakaian. Tadi pagi setelah bertengkar hebat dengan Chris, karena ia harus berangkat bekerja, ia berusaha untuk bersabar dulu, menahan diri agar bisa tetap profesional dengan pekerjaannya dan tidak terlambat ke rumah sakit. Sekarang, karena ia sudah pulang dan untungnya tidak lembur, ia bergegas mengemasi pakaiannya sekaligus barang-barang penting yang akan ia bawa. Tidak semua pakaian ia bawa, hanya seperempat saja dari semua pakaian yang ia miliki. Sisanya akan ia ambil lagi nanti. Yang penting, ia harus pergi dari rumah itu sekarang juga. Emma masih berada di dalam kamar dan sedang menyusun barang di koper ketika ia mendengar bunyi alarm singkat mobil Chris di garasi. Tampaknya suaminya itu juga pulang tepat waktu hari ini. Tapi Emma tak menghiraukan. Ia tetap berlanjut mengemasi barang dan tidak ingin peduli pada keberadaan Chris sekalipun pria itu nantinya sudah masuk ke dalam kamar. Tepat saat Emma sudah selesai menutup resleting koper, pun juga mengambil tas jinjing berukuran sedang yang sudah ia siapkan, serta memakai tas di bahunya, Chris membuka pintu kamar dan melangkah masuk. “Apa yang kau lakukan?” tanya Chris dengan kening yang mengerut dalam melihat Emma telah siap untuk pergi. Emma tak menjawab, hanya melirik Chris sekilas sebelum melangkahkan kaki menuju pintu dan keluar dari kamar. Ia sudah memesan taksi. Hanya perlu menunggu sebentar lagi, pasti taksinya akan segera datang. Dan karena ia tak mau bicara apa-apa pada Chris—bahkan melihat wajah suaminya itu saja ia enggan—ia berniat untuk menunggu di luar sampai taksinya datang. “Kau mau ke mana, Emma?!” hardik Chris yang panik dan terlihat cemas seraya menggenggam lengan kanan Emma, membuat langkah istrinya itu akhirnya tertahan saat baru sampai di dekat ruang tamu. Genggaman Chris sangat kuat. Tangan kanan Emma yang masih terasa lemas akibat kejadian tadi pagi, membuat Emma langsung menjatuhkan tas jinjingnya ke lantai. Chris pun juga menarik koper Emma yang sejak tadi Emma seret dari kamar, merebut pegangan koper itu secara paksa dari tangan kiri Emma, kemudian langsung mendorong koper itu sampai sejauh mungkin supaya Emma tidak bisa mengambilnya. “Lepas!” bentak Emma sambil berusaha melepaskan tangan dari genggaman Chris. “Dan kembalikan koperku!” “Tidak akan kulepaskan jika kau tidak mengatakan padaku ke mana kau akan pergi,” tegas pria berkemeja abu-abu itu. “Untuk apa aku mengatakan padamu? Mari cerai saja dan anggap kita tidak pernah punya hubungan apa-apa. Aku tidak ingin tinggal di sini lagi bersamamu. Lepaskan tanganku!” Chris berdecak pelan. Dia memegang kedua bahu Emma dan menatap Emma dengan tatapan yang campur aduk, termasuk merasa bersalah. Namun Emma tak peduli. Ia mendorong Chris agar pria itu menjauh dan berhenti menyentuhnya. Tapi karena Chris justru makin kencang memegangi bahunya, Emma frustrasi dan mulai menangis. “Lepas, Bajingan! Aku ingin cerai!” pekik Emma ketika tangisannya mulai menggaung memenuhi seluruh penjuru ruangan. “Emma, hey ... kau ini bicara apa? Aku mohon dengarkan aku dulu,” ucap Chris dengan suaranya yang berusaha dia lontarkan selembut mungkin dan terdengar penuh kekhawatiran. Dia merengkuh tubuh Emma dan membawa Emma ke dalam pelukannya. Tapi jelas Emma berontak dan memukul-mukul dada Chris berkali-kali. Namun karena tenaganya kalah besar dari Chris, ia berujung pasrah. Emma menangis tersedu-sedu sampai hampir sepuluh menit kemudian. Usai tangisan Emma benar-benar berhenti, barulah Chris merenggangkan pelukannya supaya bisa menatap Emma. Tangan kanannya menyentuh pipi Emma, dia menatap Emma dengan kedua matanya yang tak Emma sangka memerah dan berair, menandakan kalau dari tadi dia menangis juga. “Aku benar-benar minta maaf, Sayang .... Maafkan aku karena berbuat kasar padamu tadi pagi ...,” ucap Chris, suara beratnya bergetar hebat. Emma bergeming, membalas tatapan Chris dengan sorot mata birunya yang sangat tajam dan menyuratkan kemarahan besar. Chris mengelus rambut Emma dan berpindah mengusap lembut pipi kiri Emma yang tadi pagi dia tampar berkali-kali. Sambil tertegun susah payah, dia melanjutkan, “Aku sendiri tidak menyangka kalau aku akan melakukan hal seperti itu padamu. Aku benar-benar kelepasan, Sayang .... Aku tidak bermaksud melukaimu ....” “Aku ini istrimu dan aku sedang hamil! Orang waras mana yang tega memukuli istrinya, hah?! Sialan kau! Minggir! Aku ingin ke rumah orang tuaku. Kita cerai saja.” *** Bersambung .....(Tiga Tahun Kemudian)Televisi yang ada di dapur menyala, Emma membuat jus dan memotong buah sambil terus menonton video yang terputar di televisi itu dengan senyum yang tak henti tersungging.Televisi tidak sedang menayangkan film atau acara komedi. Tidak pula menayangkan film romantis. Melainkan menayangkan video pernikahan Andrew dan Emma.Pada bagian ia dan Andrew berdansa, senyum Emma kian melebar. Sesekali ia tertawa kecil ketika dalam video itu ia dan Andrew tiba-tiba tertawa tanpa sebab di tengah Dansa Waltz yang mereka lakukan.Sejak ia dan Andrew menikah dua tahun lebih, ia sudah menonton video pernikahan itu puluhan kali. Atau mungkin ratusan.Emma tak ingat.Tapi yang pasti, segala yang ada dalam acara pernikahan itu, mulai dari gaun pengantinnya, tuksedo Andrew, dekorasi tempat acara dilaksanakan, suasananya, ciuman pertama setelah resmi menjadi suami-istri, buket dan mawar pink yang bertaburan indah, hingga dansa pertama mereka ... semuanya tak pernah membuat Emma bosan.
“Andrew!”Andrew menoleh ke belakang dan berbalik.Senyum pria yang mengenakan kemeja abu-abu tua itu merekah hangat saat melihat Emma berlari menghampirinya. Ia langsung menyambut Emma ke dalam pelukan erat saat Emma tiba tepat di hadapannya.“Sudah kuduga, memang ada yang aneh. Dari kemarin aku tidak bisa menghubungimu sama sekali. Ternyata kau diam-diam datang ke New York, ya?” tutur Emma setengah terharu sambil memeluk Andrew erat-erat.Andrew tertawa, tangannya membelai rambut cokelat Emma yang tergerai.Aroma parfum mahal Andrew yang selalu terasa segar di hidung dan sangat menonjolkan sosok maskulinnya, makin lekat di indra penciuman Emma saat ia memeluk erat. Itu membuat Emma semakin senang. Ia rindu sekali pada aroma tubuh Andrew yang tak bisa ia hirup dari dekat begini selama dua bulan belakangan.“Kau membuatku khawatir sekali, Andrew,” keluh Emma seraya mengendurkan pelukan dan mendongak untuk menatap Andrew. “Kau tidak bisa dihubungi. Aku takut sesuatu terjadi padamu ...
“Siapa Tuan Putri paling cantik di dunia?”Nancy yang sudah mulai belajar bicara, menunjuk wajah Emma sambil tersenyum lebar dan berkata, “Ma-ma ....”Emma tertawa gemas dan mencium pipi Nancy. “Itu kurang tepat, Sayang. Kaulah Tuan Putri paling cantik di dunia. Siapa nama Tuan Putri paling cantik ini?”“Nanci.”Tawa Emma makin lebar. “Nanci? Apakah kau menyebut dirimu Nanci karena ibu sering bergurau menyebutnya, lalu mengatakan bahwa sebutan itu adalah namamu yang bisa disebut dengan cara berbeda di belahan dunia lain?”Nancy tak tahu makna kalimat panjang lebar Emma, tetapi dia merespons bunyi akhir kalimat yang menyuratkan tanda tanya, sehingga dia tetap tersenyum lebar dan mengangguk seolah paham.“Nan-cy. Namamu Nancy, Sayang. Cy dibaca ‘si’ seperti dalam bahasa Spanyol. Tapi tidak apa-apa. Kau baru sebelas bulan. Kau adalah bayi paling hebat!”Selama bermain di ruang tengah bersama Nancy, Emma melirik ponselnya untuk menunggu telepon dari Andrew.Dua bulan terakhir, selama Andr
Emma sudah bersiap untuk keluar dari apartemennya. Ia akan pergi ke Gedung Pengadilan Wilayah bersama Jack pagi ini.Jack akan mengurus dokumen dan identitas kenegaraan Andrew sebelum nanti Andrew kembali ke New York.Andrew memiliki kewarganegaraan ganda selama belasan tahun terakhir, semenjak Medtronic melebarkan sayap cabang sampai ke Australia dan Andrew yang memegang tanggung jawab atas cabang tersebut. Jadi, Andrew adalah warga negara Amerika Serikat dan mendapatkan legalisasi kewarganegaraan Australia juga setelah berjalan empat tahun berbisnis di sana.Maka dari itu, Jack sebagai asisten pribadi Andrew, perlu mengurus beberapa dokumen kenegaraan Andrew yang memang harus diperbarui secara rutin, baik di Amerika Serikat maupun di Australia, sebagai bentuk registrasi legal yang juga dibutuhkan untuk keperluan perusahaan di dua negara. Apalagi Andrew akan memiliki ekspansi besar di New York.Emma meminta untuk ikut dengan Jack, sebab hari ini jam praktiknya dimulai pukul tiga sore
Lift sudah sampai di lantai dasar gedung utama Cornell Hill. Emma melangkah keluar dari lift sembari membenarkan posisi tas yang tersampir di bahu kanannya.Saat ini waktu menunjukkan pukul empat sore. Emma akan pulang ke apartemennya menggunakan taksi.Ia tidak mau naik mobil selagi sedang hamil lagi, bahkan meskipun kehamilannya baru berjalan tiga bulan dan belum kelihatan sama sekali. Perutnya masih datar.Tapi sebelum sempat sampai ke pintu keluar di lobi Cornell Hill, langkah Emma terhenti. Ia melihat seorang pria yang sedang duduk di salah satu kursi ruang tunggu lobi, berkutat dengan iPad.Itu Jack. Asisten pribadi Andrew.Emma berjalan menghampiri Jack, lalu setelah Jack menyadari kedatangannya dan langsung berdiri, ia berkata, “Apa yang kau lakukan di sini, Jack? Aku, ‘kan, sudah bilang, kau tidak perlu repot-repot mengikutiku terus. Sana, pergilah ke Sydney!” “Kau mengatakan kalimat yang sama pada Tuan Andrew untuk memintanya membawaku kembali ke Sydney, tapi Tuan Andrew me
Tangan mungil Nancy yang lembut terus menggenggam jari telunjuk Emma sejak setengah jam yang lalu.Ketika sadar kalau Nancy sepertinya benar-benar sudah pulas dalam tidur, pelan-pelan Emma menarik jarinya dari genggaman putrinya tersebut, lalu menjauh dari ranjang bayi Nancy, yang mana ranjang bayi itu sudah disiapkan oleh pelayan rumah Keluarga Maurice di dalam salah satu kamar tamu yang disediakan untuknya.Saat ini waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Emma belum mengantuk sama sekali dan tidak bisa tidur. Ia berpikir mungkin berkeliling sebentar di halaman depan rumah yang sangat luas bisa membuatnya cepat lelah, lalu lebih mudah tertidur nantinya.Setelah memastikan kamera pada monitor bayi portable yang ia bawa sudah aktif dan terhubung ke ponselnya, ia keluar dari kamar. Jadi, ia tetap bisa memantau Nancy lewat ponselnya untuk mengantisipasi keadaan putrinya tersebut.Saat Emma melewati ruang keluarga, di mana di sana terdapat pohon Natal yang sangat besar dan dihias sangat i







