Share

OTW Menjanda
OTW Menjanda
Penulis: Melo_di_Kata

OTW 1

Renata tertegun menatap Bagastya. Mereka kini duduk berseberangan dipisahkan meja makan. Lelaki berusia tiga puluh tahun yang telah empat warsa menjadi suaminya itu hanya memandangi map plastik berwarna putih susu yang berisi bukti gugatan serta daftar berkas yang harus disiapkan untuk mengurus perceraian. Disentuh pun tidak, apalagi dibaca. Ia bahkan memasang mimik wajah datar seolah tengah menanggapi kabar tidak penting. Mimik wajahnya saat membaca koran bahkan lebih ‘hidup’ dari saat ini.

Renata mendorong map itu ke arah Bagastya hingga berada tepat di depan tubuh lelaki berperawakan sedang itu. “Nih, dibaca baik-baik, jangan sampai nggak paham.”

Bagastya memandang istrinya sejenak. Sorot matanya jelas-jelas menunjukkan rasa tidak terima. Ia tidak pernah menduga bahwa Renata bersungguh-sungguh dengan ancaman untuk mengajukan gugatan cerai. Pernikahan mereka memang diwarnai pertikaian tiada ujung. Ia bahkan telah memiliki kekasih untuk menghibur hati. Akan tetapi bercerai? Oh, tidak!

“Kamu kenapa, sih?” cecar Renata.

Bagastya mengerjap. Wanita di depannya sebenarnya sangat cantik. Wajahnya oval, matanya lebar, hidungnya runcing mancung, dan bibirnya tipis. Kata orang, wanita yang memiliki bibir tipis itu judes dan bawel. Ia tidak percaya. Selama setahun pacaran dengannya, sikap Renata manja-manja manis, bak kucing yang menempel pada tuannya. Ia baru tahu bibir tipis itu bisa mengeluarkan kata-kata pedas setelah pernikahan mereka menginjak tahun kedua.

“Aku lapar,” cetus Bagastya tanpa memedulikan kekesalan Renata.

“Bagas! Kita baru membahas perceraian. Jangan mengalihkan pembicaraan!”

“Aku nggak bisa mikir kalau lapar!” Ikut meninggi juga suara Bagastya. Ia pulang dari kantor sedianya berharap untuk makan. Namun bukan santapan yang terhidang di meja, melainkan gugatan cerai.

“Aku enggak masak. Mulai sekarang, kita makan sendiri-sendiri dan tinggal terpisah!”

“Loh, kita kan udah pisahkan. Mau pisah gimana lagi?”

Renata menatap tajam. “Maksudku pisah rumah, bukan pisah kamar!”

“Loh, terus aku tinggal di mana, dong?”

“Terserah!”

Bagastya melengos dengan mengembuskan napas kasar.

“Kenapa nggak ke rumah Dewi aja? Sekalian nikahan di sana?” tantang Renata.

“Aku nggak mau serumah sama Dewi.”

Renata mengerutkan kening. “Kamu udah pernah kumpul sama dia, kan? Kenapa nggak mau serumah?”

“Enggak!”

“Apa bedanya?”

“Nggak asyik. Nanti cepat bosan. Enakan di sini, kalau kangen atau kepingin … ehm … baru ke tempat dia.”

“Bagastyaaaa! Kamu mau membunuhku? Teganya ngomong begitu!” Renata memekik dengan emosi memuncak.

 Sementara yang diteriaki hanya meringis tanpa merasa dosa.

“Itu gunanya istri muda, Sayangku. Istri tua untuk keamanan dan kestabilan hidup. Istri muda untuk bersenang-senang.”

Renata sudah beberapa kali mendengar alasan itu. Tetap saja, saat mendengarnya kembali, dadanya naik turun tidak karuan. Sudah setahun pernikahan mereka membara bagai neraka. Pertengkaran demi pertengkaran mewarnai hari. Penyebabnya klasik, Bagastya jatuh ke pelukan wanita lain. Padahal selama ini yang banyak membanting tulang adalah Renata. Bekerja sebagai agen di perusahaan sekuritas, Renata menghandel klien-klien bermodal tebal. Bila beruntung, ia bisa mendapatkan tip yang sangat lumayan dari klien.

Lumayan dalam hal ini bukan hanya cukup untuk membeli baju, tas, atau alat rias, akan tetapi bisa untuk membeli sepetak tanah lalu membangun rumah kecil di daerah ekslusif di Bumi Serpong Damai di Tangerang Selatan.

Gaji Bagastya yang ASN di Kota Tangerang tidak bisa menandingi penghasilan Renata. Barang kali, itulah alasan utama Bagastya mencari perempuan lain yang inferior. Di depan Renata, keluhan yang selalu diungkapkan lelaki itu adalah sang istri tidak menghargai dan mencintai dirinya lagi. Renata telah menginjak-injak martabatnya sebagai lelaki.

Sudah pasti Renata tidak terima dituduh seperti itu. Yang namanya selingkuh, tetaplah selingkuh. Bukankah mereka sudah berjanji untuk tidak menduakan pasangan? Mengapa sekarang Bagastya ingin menikah kembali? Oh, Renata tidak rela. Biar bumi berputar terbalik, ia tak sudi dimadu!

“Kamu seharusnya senang aku bilang jujur apa adanya, nggak berbelit-belit kayak orang lain. Coba kayak si Andi itu, uh, pusing sendiri berhohong sana sini. Aku kan simpel. Mau begini, ya, aku bilang begini. Mau begitu, aku akan bilang seperti itu,” lanjut Bagastya.

“Bagastya! Cukup sudah kamu menyiksa aku dengan perselingkuhan, sekarang malah ngomong seperti itu tanpa merasa bersalah! Dasar lelaki hidung belang!” Kalimat itu dilanjutkan Renata dengan menyebut segala binatang yang melata di muka bumi.

“Heh! Dengar, ya. Aku nggak salah kalau punya istri lagi. Justru kamu yang salah kalau menghalangi!” 

Renata terhenyak ke sandaran kursi dengan lemas. Rasanya sudah putus asa untuk menagih bahwa janji lelaki itu sebelum menikah dulu. Lelaki, tetaplah lelaki. Tampan dan sehat, hasrat Bagastya seolah tak terpuaskan. Sedangkan dirinya adalah perempuan yang sebentar lagi melewati masa keemasan. Apa yang bisa ia berikan pada sang suami. Anak pun mereka belum diberi. Tanpa disadari, air mata Renata menggenang di pelupuk, siap untuk meluncur ke pipi.

Bagastya menatap iba. Ia masih menyukai Renata walau mulutnya lebih pedas dari tamparan sandal. Selain wajahnya cantik, tubuh Renata memiliki proporsi yang pas antara sintal dan ramping, sehingga sangat menggemaskan bila menggeliat di ranjang. Sayang sekali, mereka belum mendapat anak walau sudah mencoba berbagai jamu dan obat medis, bahkan berulang kali mendatangi ‘orang pintar’. Barangkali rahim wanita itu memang kering. Biarpun begitu, ia tidak mau melepas Renata. Oh, wanita seindah itu, jangan sampai jatuh ke tangan lelaki lain!

“Nggak usah nangis. Kamu kebanyakan tuntutan, sih, makanya sakit sendiri. Coba terima saja Dewi sebagai madu. Masalah selesai, kan?”

Renata menghapus air mata dengan kedua telapak tangan. Cukup sudah, ia tak mau mendengar kalimat menyakitkan itu lagi. 

“Jangan mengajak berantem! Nih, simpan daftarnya lalu disiapkan. Minggu depan harus kamu kasih aku!” Renata menegaskan sekali lagi permintaannya.

Ia sudah mendatangi Pengadilan Agama dan melakukan gugatan cerai. Bukti gugatan itu sudah ia sertakan dalam map yang sekarang tergeletak di hadapan Bagastya.

“Beneran aku enggak dikasih makan?”

“Enggak ada makanan! Capek , deh!”

“Ya udah. Aku mau beli sate kambing. Kamu mau enggak?”

“Enggak!”

Bagastya bangkit dari duduk lalu meraih kunci mobil, dompet dan ponsel dari atas meja. Ia berbalik begitu saja.

“Hei! Berkasnya dibawa, dong!”

“Nanti saja.” Lelaki itu terus melangkah tanpa menoleh.

“Enggak ada nanti! Bawa sekarang, sekalian baju – baju dan barang – barangmu!”

Mau tak mau Bagastya membalikkan badan. Keningnya berkerut. “Aku diusir, nih, kisahnya?”

“Harusnya enggak perlu diomongkan, kamu harus tahu sendiri. Kalau sudah digugat cerai itu, ya, harus keluar dari rumah ini!” 

Bagastya termangu sejenak, lalu mengangguk. Buat apa juga tinggal di sini kalau sudah tidak disiapkan makan dan tidak bisa menikmati ranjang? Lebih baik pulang ke rumah orang tua di daerah Karawaci.

“Tidak perlu diusir, aku bisa pergi sendiri,” ujar mulut berbibir tebal yang dulu membuat Renata jatuh hati. Sekarang sepasang bibir kemerahan itu justru membuatnya mual. Ia melihat dengan mata kepala sendiri benda kenyal itu mendarat di milik perempuan lain.

Cuih! Cuih! Jijik! Renata selalu ingin meludah bila mengingat adegan tak senonoh itu. 

“Habis ini kamu mau ke mana?” Bagastya balik bertanya.

Renata berkedip dengan keheranan. “Maksudmu?”

“Rumah ini, kan, harta gono-gini. Kalau aku keluar, kamu juga nggak berhak tinggal di sini!”

Kontan Renata memicing. “Kamu lupa uang siapa yang dipakai untuk membeli rumah ini? Bukan uangmu, kan? Mana andilmu, coba?”

“Aku, kan, bagian mengepulkan asap dapur. Kamu sudah aku kasih jatah bulanan. Apa masih kurang? Biarpun uang kamu yang dipakai, tetap saja, harta yang dibeli saat pernikahan itu adalah harta gono-gini, enggak peduli siapa yang membeli.”

Renata membelalakkan mata. “Aturan dari mana itu? Aku nggak percaya!”

“Ya sudah. Tanya saja sama pengacara kalau enggak percaya,” jawab Bagastya santai. Sebenarnya ia hanya menggertak saja. Aturannya seperti apa, ia tidak memahami. Melihat Renata kebingungan, ia senang sekali.

“Kamu! Enak bener! Aku yang banting tulang buat membangun rumah ini. Lantas mau dibagi dua! Mau kamu ke manakan uang bagianmu? Buat perempuan itu, hah? Sembarangan! Dia enggak merasakan perjuangan, tahu- tahu mau menikmati enaknya, gitu? Enggak bakalan! Ingat ya, sertifikatnya atas namaku!”

“Terserah. Tunggu aja apa kata pengacara.” Bagastya mengangkat bahu sambil mencibir.

“Kamu! Kamu!” Renata kehabisan kosa kata karena terlalu marah.

Suaminya malah berjalan ke lemari pendingin dan memeriksa isinya. Ia mengambil piring berisi potongan buah mangga, lalu kembali duduk di kursi makan dengan santai sambil menyuap potongan buah. Renata segera mengambil piringnya.

“Ini manggaku! Ini bukan gono-gini!”

Bagastya menghela napas panjang. Matanya berkilat marah. “Ya udah. Aku pergi sekarang! Mangga saja diributkan!”

“Silakan! Siapa juga yang melarang?” sergah Renata.

“Siapkan bajuku dalam koper!”

Mata Renata langsung melebar. “Apa?”

“Siapkan bajuku, masukkan ke dalam koper merah yang ditaruh di atas lemari.” Bagastya mengulang perintah dengan lebih pelan agar dimengerti oleh istrinya.

“Aaaa-paaaaaa? Kamu sudah gila? Mana ada orang mau pindah ke rumah selingkuhan minta disiapin baju dalam koper?”

Bagastya kembali mengulang gaya andalannya, mengangkat bahu. “Kalau kamu menyuruh aku keluar dari rumah ini, siapkan bajuku. Kalau enggak, ya, aku malas mengurusnya. Yang kepingin aku pergi itu kamu, kan?”

“Orang gilaaaaa!” Pekikan Renata membahana di seluruh rumah.

***

Bersambung... Ada yang mau baca lanjutannya nggak?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status