Share

OTW 2

Ternyata mengurus perceraian ASN itu tidak semudah membalikkan tangan. Setelah Renata mengajukan gugatan cerai, tidak serta merta kasus mereka diproses. Bagastya harus mendapatkan izin dari atasannya. Itu berarti, pria itu harus membuat surat permohonan untuk mendapatkan surat rekomendasi dari atasannya. Tidak hanya selembar surat itu saja yang harus diurus Bagastya di kantor, melainkan beberapa berkas seperti berita acara pemeriksaan oleh unit kerjanya. 

“Bagas, mana surat rekomendasi dan berita acara pemeriksaan dari atasanmu?” pinta Renata di ruang tengah saat pria itu pulang kerja.

Mereka tidak jadi pisah rumah karena Bagastya mengotot tidak mau pindah bila tidak dibereskan barang-barangnya. Renata menahan gengsi dengan tidak mau melakukan perintah suaminya. Ia sendiri malas bertengkar. Pernah terpikir untuk melempar benda-benda milik sang suami ke jalan. Setelah dipikirkan kembali, ia tidak tega merusak citra diri sebagai wanita terhormat. Masa iya, mengamuk seperti ibu - ibu dalam sinetron? Jelas sekali itu bukan dirinya.

“Aneh! Kamu minta berita acara pemeriksaan? Kapan kamu datang untuk diperiksa?” tukas Bagastya mau kalah.

Renata cuma berkedip saja. “Apa nggak bisa cuma lewat telepon?”

“Enggak bisa, dong, Renata Sayang. Namanya saja berita acara, ya, pasti harus ada acaranya. Kalau enggak sebutannya menjadi berita khayalan.”

“Ya udah, kapan mau ketemu bos kamu?”

“Hmm, sebulan lagi. beliau masih cuti besar untuk umroh.” Bagastya menahan senyum saat melihat reaksi Renata. Mata wanita itu melebar dan membulat bila kesal.

“Jangan bohong!” sergah istrinya. 

“Terserah. Mau percaya silakan, enggak juga nggak ada pengaruhnya.” Bagastya menyeringai dengan penuh kemenangan. Padahal sebelum pergi, bosnya telah menunjuk wakilnya untuk menangani urusan kantor sementara.

“Aku nggak mau nyerah begitu aja. Besok kita ketemu wakilnya. Bosmu punya wakil, kan?” cecar Renata tak mau kalah. 

Bagastya melengos. Ternyata wanita berusia 27 tahun itu cukup cerdik dan tidak mudah dibohongi. “Oke.”

“Besok, ya! Jam delapan! Jangan kabur dan banyak alasan. Aku nggak mau tahu, pokoknya waktu aku sampai di sana, kamu harus siap di tempat!”

“Siap!” Hanya mulut Bagastya saja yang berbicara, hatinya tidak.

“Ya, udah. Kenapa diam?”

“Enggak ada apa-apa.” Setelah itu, Bagastya masuk ke kamarnya di lantai dua. 

Renata menatap punggung yang menjauh itu dengan curiga. Rasanya ada yang salah dengan sikap Bagastya. Ia selalu tahu bila ada yang tidak benar karena instingnya tajam. Jauh sebelum ia sadar pria itu mencintai perempuan lain, Renata telah merasakan perubahan sikapnya. Kali ini pun, ia merasakan hal serupa, seperti firasat akan terjadinya hal yang tidak menyenangkan.

Benar sekali firasat Renata. Begitu sampai di kantor Bagastya, ia langsung diajak ke bagian administrasi kepegawaian. Seorang wanita paruh baya menyambut mereka berdua.

“Ah, Pak Bagastya, ini calon istri barunya? Cantik sekali. Pantas yang kemarin kalah bersaing,” komentar wanita yang dipanggil Bu Dian oleh Bagastya itu.

Pria yang sehari-hari bertugas di bagian keuangan Kantor Walikota itu langsung membuang muka. 

“Saya istri yang sah, bukan calon istri!” Renata tidak menunggu untuk menyemprot. 

Wanita itu terkaget. “Wah, cantik - cantik begini, kenapa ditinggal buat perempuan yang … maaf, di bawahnya?”

“Dia selingkuh!” cetus Bagastya. Ia sengaja membuat Renata marah. Kapan lagi melihat wajah oval dan putih itu merah padam? Pipinya menjadi semakin menggemaskan.

Sontak Renata terbelalak. “Siapa selingkuh? Jangan menuduh orang lain! Dasar!”

“Eeeh, jangan berkelahi di sini!” seru wanita itu. Tangannya sibuk bergerak-gerak untuk menahan Renata dan Bagastya yang telah berhadapan dan saling mendelik. “Pak Bagastya mau apa, pagi – pagi datang ke sini?”

Renata langsung menyerobot. “Saya mau minta rekomendasi untuk bercerai. Apa sudah jadi suratnya?”

“Oh, itu. Belum ada, Bu. Pak Bagastya harus membuat surat permohonan dulu. Apa sudah ada suratnya?”

Sontak Renata melengos ke suaminya. “Bagas! Kamu nggak bikin suratnya?”

Bagastya menahan senyum. Ia sengaja tidak membuat surat itu agar proses perceraian mereka tertahan. “Loh, harus bikin surat permohonan? Tidak bisa secara lisan saja, Bu Dian?”

Kontan telinga Renata gatal, begitu pula hatinya. Bagastya benar-benar ingin menjegal niatnya untuk menggugat cerai. Masa iya, pemegang gelar magister setolol itu?

“Bagas! Kamu ini bagaimana, sih? Masa nggak tahu kalau surat resmi itu harus diminta secara tertulis, bukan lisan?” pekik Renata.

“Loooh, kamu cuma menyodorkan daftar syarat dan enggak menjelaskan secara detail. Mana aku paham? Surat permohonan itu enggak ada di dalam daftar yang kamu kasih kemarin.”

Darah Renata langsung mengalir ke ubun-ubun. Bila batok kepalanya berlubang, pasti darahnya sudah muncrat bak air mancur.

“Kamu sengaja, iya?” sergah wanita itu.

Suaminya tidak menjawab, malah berpura–pura sibuk memainkan ponsel. 

“Kalau Pak Bagastya tidak sempat membuat, nanti saya bantu,” ujar Bu Dian.

“Jangan!” tukas Bagastya.

“Bagus, Bu. Saya setuju!” potong Renata. Ia segera menyelipkan selembar uang berwarna biru di salah satu map di atas meja Bu Dian.

“Ah, jangan! Saya cuma membantu saja.” Tangan Bu Dian segera menahan tangan Renata.

“Loh, tidak apa–apa, Bu. Saya ikhlas.” Renata mengambilkan uang itu ke balik map kembali.

Bu Dian tersipu malu. “Oh, terima kasih, Bu. Saya jadi tidak enak.”

Dalam hati Renata merutuk. Mana ada orang menolak rezeki? “Kapan bisa jadi, Bu?”

“Hari ini juga bisa. Pak Bagastya tinggal tanda tangan saja.”

Renata kembali mendapat firasat buruk. Jangan sampai surat itu ditinggalkan bersama Bagastya. Pasti akan disabotase kembali.

“Oh, bisakah dibuat sekarang, Bu?”

“Enggak bisa, Bu Dian sibuk!” tukas Bagastya dengan cepat.

“Enggak, kok, Pak. Tunggu sebentar, ya.”

Renata tersenyum penuh kemenangan. Dengan punggung tegak dan dagu terangkat, ia duduk di hadapan Bu Dian. Dengan cara ini, suaminya tidak akan berkelit lagi. 

“Aku mau kerja!” ujar Bagastya seraya bergerak ke arah pintu.

“Awas! Jangan kabur!” ancam Renata.

Pria itu mengembuskan napas kasar sebelum menghilang di balik pintu. Dengan cara itu, Renata berhasil mendapatkan selembar surat sebagai syarat untuk satu persyaratan perceraian. Itu baru satu syarat. Masih ada sederet lagi daftar dokumen yang harus disiapkan. Saat melangkah keluar dari kantor Pemkot, tubuh Renata telah lunglai. Serasa energinya tersedot habis. Kata - kata Bagastya kembali terngiang. Lebih baik pasrah dimadu daripada menggugat cerai. Seketika rasa geram memenuhi dada.

Bagastya! Aku punya teori yang lebih bagus! Lebih baik tidak menikah sama sekali daripada hidup bersama lelaki hidung belang seperti kamu! 

Hari itu juga, setelah meminta cuti satu hari, Renata mengepak barang – barang di rumahnya dibantu asisten rumah tangga ibunya. Beberapa kardus telah diisi dan dipindahkan ke rumah sebelah. 

Rumah mereka berdampingan, hanya dibatasi satu petak kosong milik kakak Renata, dan terletak di kompleks yang cukup nyaman di BSD. Semua akses masuk ke kompleks menggunakan kartu dan dijaga petugas keamanan. Rumah milik mereka terletak di pinggir, langsung menghadap taman kota. Ada sebuah sungai memisahkan jalan kompleks dengan area terbuka hijau itu. suasana yang terbentuk sangat tenang dan nyaman.

Dulu, ia dan Bagastya mengontrak rumah di dekat kantor Pemkot. Karena hasil kerja Renata cukup besar, uang yang dimiliki cukup untuk membeli tanah di samping milik orang tuanya dan membangun rumah mungil. Mereka pindah ke rumah itu satu tahun yang lalu.

“Renata, kenapa mengangkut barang ke sini?” Mama Renata, yang bernama Hetty, keheranan. 

“Aku pulang, Ma,” jawab Renata. Jawaban itu terasa aneh, karena jarak rumah mereka yang hanya dua puluh meter. “Rumahku mau dikontrakkan.”

“Heh? Lalu suamimu bagaimana?” Ibu yang telah berusia lebih dari setengah abad itu semakin ternganga.

“Enggak tahu, Ma. Biar dia mikir sendiri.”

“Loh, ada apa ini? Kalian bertengkar? Bagastya masih main-main dengan perempuan yang dulu itu?”

“Bukan bertengkar lagi. Renata mau cerai!”

Bu Hetty sejenak hanya bisa mengerjap. Tak lama kemudian, ia tersenyum senang. “Apa Mama bilang? Anak itu memang kelihatan kok kurang ajarnya. Mama tidak kaget kalau dia bisa mengkhianati kamu. Ya sudah, cari yang lain saja!”

“Mama enggak sedih anaknya jadi janda?”

“Sedih sih sedih. Tapi lebih baik begitu daripada makan hati terus seumur hidup.” Perempuan itu kemudian membantu putrinya memasukkan barang - barang.

Di tengah kesibukan itu, Renata sempat termangu. Satu demi satu barang yang dikeluarkan itu membuat ingatannya melayang ke saat membelinya. Sebagian barang itu ia dapatkan saat menghabiskan waktu bersama Bagastya. Lihatlah ada blender berbentuk tabung panjang berwarna biru. Itu ia beli saat masih pengantin baru. Mereka bergandengan tangan sepanjang toko swalayan, mencari kebutuhan rumah tangga untuk mengisi rumah kontrakan.

Ada pula bed cover berwarna pelangi yang cantik. Oh, ia ingat mengapa membelinya. Apa lagi kalau bukan untuk menikmati malam dengan saling menyatukan hasrat? Melihat bed cover itu, ia seperti melihat tayangan ulang adegan mereka di ranjang ketika semuanya masih baik – baik saja. Bagastya seorang yang ekspresif, begitu pula dalam hal bercinta. Pria itu tidak segan untuk mencoba hal – hal baru yang membuat malam semakin panas. 

Renata segera menepis bayangan masa lalu itu saat sebutir air mata gugur dari pelupuk.

***

Mau lanjut g? Komen dan share cerita ini, ya. Biar saya semangat lanjut

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sakura Asahara
lanjutttt thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status