Hari ini adalah hari terakhir Mas Gibran di London. Selama di sana, pria tampan itu selalu menyempatkan waktu itu melakukan facetime denganku walau hanya satu atau dua menit. Kecuali kemarin, Mas Gibran bilang, kemarin dia sedang super sibuk, sehingga tidak bisa walau hanya sekedar sekian detikpun facetime denganku.Okelah, sebagai kekasih yang pengertian, aku tidak mau banyak protes. Kasihan juga Mas Gibran pasti sudah lelah dengan urusan bisnisnya, jadi aku tidak mau menambah level kelelahannya hanya karena rengekan manjaku.Walau sejujurnya rasa rinduku sudah semakin memuncak. Ya namanya juga pasangan kekasih baru yang masih anget-anget kuku. Eh, malah harus berpisah 10 hari. Kemput-kemput rasanya hati ini 'kan!"8,5 dari 10 untuk kopi caramel ini," terdengar suara Shabina di salah satu sudut meja makan rumahku. Aku dan mama sedang mengundang dua komentator terbaik, Shabina dan Mentari, untuk menilai 2 menu kopi dan 1 menu cake terbaru kreasi mama dan Tim Alina Gump."9 dari 10 unt
Seperti biasa, soreku di hari Senin adalah mengajar Gea dan Luna. Dengan motor matik kesayanganku aku bergerak dari kampus ke rumah mewah keluarga kekasihku itu."Sore, Audrey," sapa Mama Elma ketika melihatku berjalan menuju kamar belajar Gea dan Luna."Sore, Ma.""Nanti makan malam di sini ya. Mama masak rendang kesukannmu. Gibran juga sebentar lagi pulang."Akupun mengangguk untuk mengiyakan permintaan Mama Elma. Walau sebenarnya aku masih malas bertemu Mas Gibran, tapi Aku tidak sampai hati menolak permintaan sang mama.Jujur, aku masih kesal mengingat tulisan di situs berita online kemarin terkait kebersamaannya dengan Clara. Apalagi mengingat foto-foto mesra mereka berdua, beh ... rasanya ingin aku cocolin sambal kecombrang buatan Mama ke wajah Mas Gobran dan mantan terindahnya itu!"Tante Audrey ... " terdengar suara cempreng khas anak-anak dari arah ruang belajar Gea dan Luna. Bisa dipastikan dua kakak beradik itu sudah tidak sabar bertemu denganku. Karena hari ini kami akan m
"Aku tidak tau jika Clara juga sedang di London. Tiba-tiba dia menghubungiku. Hari itu dia bilang sedang free dan tidak ada teman jadi dia memutuskan untuk menemaniku bekerja seharian."Jangan bilang Clara sengaja menyusul Mas Gibran ke London? Dan ... Kenapa juga dia harus menemani Mas Gibran seharian? Mau jadi baby sitter Mas Gibran? Huft!"Kebetulan hari itu jadwal pekerjaan Kami memang padat. Maka dari itu Aku tidak bisa menghubungimu."Oya? Sepadat itu?"Ooo ... karena jadwal pekerjaan yang padat ya? Bukan karena jadwal berdua bersama Mantan Terindah yang padat?""Audrey ... " lirih Mas Gibran. Matanya menatap manik coklat mataku dengan sangat lekat. "Saat itu Kami tidak hanya berdua. Ada Tian, Revan, dan asisten Revan."Aku coba selami tatapan Mas Gibran. Mencari titik kebohongan si sorot matanya. Namun tidak aku temukan sedikitpun titik itu.Akupun mengehela nafas panjang. Mencoba tetap berpikir sejernih mungkin. Tapi apa daya, visual foto-foto Clara dan Mas Gibran yang ditampi
Hujan deras mengguyur Jakarta pagi ini. Audrey yang baru saja akan menuju kampus segera menepi di sebuah halte untuk memakai jas hujannya. Tanpa dia sadari, ada dua pasang mata sedang mengawasi gerak geriknya.Dua pasang mata tersebut sedang berada di dalam sebuah mobil mewah yang terparkir 100 meter dari posisi Audrey. Keduanya adalah wanita. Yang satu berambut panjang, sedangkan satu lagi berambut pendek.Keduanya sudah mengikuti Audrey sejak dari rumahnya. Dengan sengaja mereka ingin melihat lebih dekat seperti apa rupa kekasih Gibran Maharsa Adinata itu.Keduanya menatap lekat setiap garis wajah Audrey. Memperhatikan setiap air muka Audrey ketika menggunkan jas hujannya. Ada kekaguman yang tersirat di ekspresi dua wanita itu."Dia memang cantik. Selera Gibran memang yang seperti ini. Wajah blasteran, dan ... cerdas. Seperti Marry, selingkuhan Gibran ketika aku mengandung anaknya," ujar salah satu dari dua orang di mobil itu, yaitu si wanita berambut panjang.Wanita itu menatap nan
Setibanya di kampus, aku bergegas ke Toilet, merapikan penampilanku yang sedikit acakadut karena menerjang hujan pagi ini. "Pagi, Mbak Audrey," sapa Pak Widi, salah satu satpam kampusku. Bukannya aku famous alias mahasiswa beken sampai satpam saja mengenaliku. Hanya saja istri pak Widi kebetulan salah satu pegawai Alina Gump. "Pagi, Pak. Bu Sinta sudah datang belum ya" "Baru saja datang, Mbak." Baguslah, aku bisa langsung menemuinya. Hari ini aku sudah membuat janji dengan dosen cantik kesayangan banyak mahasiswa itu. Kebetulan Bu Sinta adalah dosen pembimbing skripsiku. Rencananya hari ini aku akan bimbingan skripsi untuk yang terakhir, sebelum aku harus masuk ke proses sidang. Bismillah, semoga lancar, amin. Setelah itu ... Kawin! Eh, kerja maksduku, hehehe. 60 menit berselang, aku sudah keluar dari ruangan dosen pembimbingku. Jam menunjukkan pukul 12 siang. Cuaca sudah mulai cerah, akupun menuju taman di kampusku. Rencananya aku akan menghabiskan waktu di taman yang begitu nyam
- FLASHBACK ON -"Audrey ... " terdengar suara panik Revan. Sepupu Gibran dan Clara itu tidak sengaja berada di sekitar daerah tempat Audrey kecelakaan. Saat itu Revan berencana akan makan siang dengan Mentari. Di perjalanan menuju rumah makan, mereka berpapasan dengan motor matic Audrey yang hancur tak berbentuk. Hanya plat nomernya yang masih dapat dikenali. Mentari yang hafal betul dengan plat nomor motor matik sahabatnya itu segera meminta Revan menepi.Seketika kaki Mentari terasa lemas tak bertulang. Di hadapannya tampak Audrey berlumur darah. Sahabatnya itu tidak sadarkan diri. Beberapa orang tampak berusaha menolongnya."A-Audrey ... " suara Mentari bergetar. Rasanya dadanya seperti terhimpit benda padat yang begitu kuat. Pikirannya kacau meilihat sahabatnya dalam kondisi yang cukup mengenaskan. Apalagi Audrey tidak bereaksi sama sekali ketika dibangunkan. "Mas dan mbak kenal orang ini?" tanya salah satu warga yang hendak menolong Audrey."Ya, dia teman Kami."Revan segera me
"Sayang ... " terdengar suara mama. Sangat lembut, nyaman, dan menenangkan.Dimana Aku? Apa ini alam kubur? Kenapa bentuknya mirip kamar tempatku di rawat?"Sayang ... " terdengar lagi suara mama. Aku menoleh ke arah datangnya suara itu.Mama? Di alam kubur aku masih bisa melihat mama?Satu detik, dua detik, tiga detik, dan ... aku masih terpaku memandangi wajah cantik mama."Audrey ... " kini giliran suara Mas Gibran yang terdengar di runguku.Wah ... di alam kubur aku juga bisa mendengar suara kekasihku?"Audrey ... " kembali runguku menangkap suara bariton yang sangat aku kagumi itu.Akupun menoleh ke arah datanganya suara tersebut. Wah ... di alam kubur ternyata aku juga masih bisa bertemu Mas Gibran. Ah, tampannya kekasihku.Tak lama tampak tiga orang menggunakan baju rumah sakit berjalan ke arahku.Lah? Di alam kubur juga ada dokter dan perawat? Bukannya di alam kubur isinya manusia yang sudah meninggal? Lalu untuk apa ada dokter dan perawat? Orang yang meninggal masih bisa mera
Dua bulan sudah Gibran tidak pulang ke rumahnya. Selama Audrey dirawat di rumah sakit, Gibran memang hanya mengenal kantor dan rumah sakit sebagai tempat kesehariannya menghabiskan waktu. Kini Audrey sudah semakin membaik. Perdarahan dan cidera di dalam tubuhnya sudah berangsur sembuh, tangan kirinya sudah bisa berfungsi dengan baik. Bahkan gips di kakinya sudah dilepas, hanya saja kekuatan kakinya masih belum bisa kembali seperti sebelumnya. Dokter orthopedi yang merawatnya berpesan, Audrey harus sering latihan di rumah maupun di fisioterapi yang sudah ditunjuk orang tua Shabina untuk membantu mempercepat pemulihannya. Jika itu semua Audrey kerjakan, kemungkinan hanya butuh dua minggu lagi kekuatan kakinya sudah akan kembali normal. Melihat semua kemajuan yang ditunjukkan Audrey, tentu kelegaan dirasakan oleh semua orang yang menyayangi Audrey, terutama sang kekasih. Hanya saja, masih ada yang mengganjal di hati Gibran. Dia masih belum menemui otak di balik