Share

OUCH IT'S YOU
OUCH IT'S YOU
Penulis: brokolying

dear Gugi [ 1 ]

Jadi tadi pagi kamu tiba-tiba chat. Bilang kalau semalem kamu mikirin soal hubungan kita dan bakal telepon aku jam sembilan malam.

Aku iyain dan kutahu kamu deg-degan.

Baca pesan dua baris itu doang aku udah bisa tahu kamu mau bilang apa. Tapi biarlah kamu yang jujur. Bukan tugasku untuk mematahkan hati sendirikan?

Dari pagi, dari setelah bales chat-mu itu, seharian aku nggak fokus kerja. Di kantor aku cuma pencet mouse sana-sini entah mau buka folder yang mana, software yang mana.

Akhirnya daripada iMac kantor yang mahal itu rusak karena jariku yang gelisah, aku memutuskan buat ngopi, dengan alasan mau ketemu klien ke orang kantor. Syukurnya di-Acc.

Jalanan Jakarta juga udah nggak terlalu rame. Mungkin karena orang-orang udah duduk manis di kantornya, nggak kaya aku yang kelayapan.

Selama nyetir, yang aku pikirin cuma kamu.

Nggak kaya biasanya.

Tapi kali ini kamu.

Dari awal kenal kamu, sampai tadi pagi, sampai chat-mu itu.

Flashback sambil nyetir itu menyenangkan ternyata. Coba deh sesekali. Aku mau kamu merasakan hal-hal menyenangkan yang pernah kubuktikan sendiri.

Aku masih ingat betul kita kenal dari kekurangajaran Mas Rumi yang dengan nggak sopannya ngasih ID LINE aku ke kamu. Mas Rumi ini mejanya dekat sama meja aku. Sebagai karyawan biasa yang kerja di satu ruangan ber-cubicle, notif apapun di HP temen itu gampang kedengeran.

Nah, hpnya Mas Rumi, saat itu bunyi terus.

Aku tanyalah dia yang juga sudah bermenit-menit senyum mulu padahal belum gajian.

"Senyumin apa sih? Berisik banget."

"Mana ada senyum yang brisik."

"Notif kamu tuh. Dari cewek yang mana lagi?" Tanyaku. Mas Rumi buru-buru membenarkan posisi duduknya yang semula nyender di meja.

"Kamu jomblo nggak dek?" Sebuah pertanyaan yang kecut.

"Sorry udah nikah," Ucapku menaikkan tangan kiri. Memamerkan cincin pernikahan yang seharusnya sudah ada di sana, tetapi belum.

"Ngigo! Aku kenalin ya. Cakep dek. Tajir pula."

"Dibilangin udah nikah." Tidak tertarik sama alur pembicaraan, aku akhirnya menarik earphone dari dalam kantong jaket jeans Zara yang kemarin kubeli pas ada diskon 50%.

Kutarik nafas dalam-dalam sebelum mulai membuka lilitan kabel yang, ya ampun kenapa bisa sekacau ini sih?

Perasaan sebelum dimasukin ke kantung jaket udah diikat baik-baik. Bener deh.

"Jomblo pasti." Mas Rumi terpantau masih yakin.

"Loh kok ngeyel ya anda."

"Pokoknya aku kenalin. Id LINE kamu aku bagi ke dia ya. Lumayan ada temen ngobrol. Dari pada ngobrol sama orang-orang ini lagi?" Tanyanya sambil nunjuk karyawan di ruangan kami.

Aku hanya merespon sekedarnya. Biar nggak dianggep kurang ajar. Tapi jelas dia tahu aku bukan tipe cewek yang suka main hp lantas chat orang-orang. Kerja setim bertahun-tahun ngebuat mereka cukup tahu aku gimana. Jangankan orang asing. Chat mereka aja sering aku anggurin berjam-jam bahkan berhari-hari. Termasuk chat pacar-pacar aku dulu. Beberapa bahkan nekat nyamperin ke kantor kalau ada yang lupa aku kabarin sehari dua hari karena lemburan.

But long story short, ternyata Mas Rumi beneran jadi ngasih ID aku ke temannya. Aku tebak saat liat notif LINE dari kamu di perjalanan sepulang kantor hari itu.

Nata ya? Aku Gugi, temennya Rumi.

Aku nggak lantas buka dan bales Line dari kamu. Setelahnya, hp itu kudiamkan. Kembali fokus nyetir dan nyanyi beberapa buah lagu hingga akhirnya jalanan mulai lenggang dan aku sampai di apartemen minimalis berukuran studio. Masih nyewa, belum beli. Belum.

Malemnya, sehabis mandi dan sambil nunggu mas Go-food nganter makanan yang aku pesan, aku mengambil HP dari tas kantor. Dan, benda itu panas. Banyak notif di sana dan 98% dari aplikasi Line.

Aku cepat-cepat berjalan ke arah sofa yang ku beli di ikea dua bulan lalu. Empuk. Sampingnya ada colokan.

Setelah nyaman, aku mulai membuka app yang membuat batre hpku panas itu. Ada sepuluh notif dari kamu dan sembilan puluhan dari Mas Rumi. Iya. sembilan puluhan. Dari laki-laki yang selama ini paling benci nge-chat aku. Menurutnya, mending dia nyamperin aku dari pada harus buang waktu buat nunggu aku bales chatnya.

Entah kenapa hari ini dia menjilat ludahnya sendiri.

Aku buka line dari Mas Rumi yang isinya cuma bacotan dan huruf P yang dikirim puluhan kali. Wajar. Dia salah satu penulis senior di kantor. Kalau cuma nulis huruf P puluhan kalipun aku yakin dia mampu.

Intinya dia ngomel kenapa aku nggak respon line kamu.

Padahal dia tahu aku lagi nyetir dan kejebak macet.

Sebelum membuka dan membaca chat yang kamu kirimin, yang aku lakuin adalah buka foto profil kamu. Cowok yang fotonya duduk di sebuah tempat, dengan baju tanpa lengan.

Awalnya berkenalan denganmu asik. Walaupun chatmu masih sering aku anggurin. Aku berasumsi, dengan foto secakep itu, kamu bisa ngajak ngobrol siapapun.

Lantas, hari berganti hari.

Aku ingat beberapa kali kamu memohon untuk aku memberitahumu banyak hal.

Dari nama panjang, akun I*, alamat, hingga alasanku kenapa tidak mengizinkanmu untuk bertanya macam-macam pada Mas Rumi tentang informasiku atau sekedar datang ke kantor dan bertemu.

Protes-protesmu juga masih kuingat saat chat-mu aku diamkan cukup lama.

Hingga akhirnya intensitas komunikasi kita meningkat pada satu malam. Waktu itu, kamu sedang berada di luar kota, kerja, dan aku di apartemen, bosan.

Banyak yang kita obrolin malam itu.

Setelahnya, kita lebih sering berkomunikasi. Bukan dalam artian setiap hari, tapi lebih sering dibanding awal-awal dulu, karena ternyata kesibukanku dan kesibukanmu yang nggak bisa dihindarin. Sampai akhirnya kita berdua berkemungkinan bertemu di satu kota yang sama karena kerjaan kantor.

Dan menurutku, inilah puncaknya.

Ternyata kita nggak ketemu di kota itu karena ternyata jaraknya cukup jauh. Ada ratusan kilo. Dan kamu balik Jakarta lebih dulu dibanding aku.

Selang sehari kamu balik, kota yang aku tempatin kena musibah. Musibah yang cukup besar hingga mengakibatkan seluruh kota listriknya padam dan koneksi internet terputus.

But well, aku nggak mau bahas itu karena kamu tau aku masih agak trauma.

And then, selang seminggu, aku baru bisa ke kota lain. Evakuasi. Hal pertama yang kulakukan setelah mendapat jaringan dan listrik adalah membuka hpku. Ada ratusan pesan di sana, salah satunya darimu.

Di antara doa-doa dan kekhawatiran orang-orang yang kukenal, ada satu orang asing yang kulihat begitu khawatir dari kalimat-kalimatnya. Aku tersenyum.

Aku mengabarimu. Dan kau lega katamu.

Kok ada ya orang kaya kamu. Kenal nggak, pacar bukan, mantan apa lagi, tapi mau capek-capek khawatir. Atau aku aja yang naif?

Yang pasti, sejak saat itu ada yang berubah dari gaya komunikasi kita.

Lebih sering.

Lebih perhatian.

Lebih kasmaran. Aku nggak nyangka bisa sedekat ini dengan orang yang hanya kutahu namanya.

Nggak.

Aku bahkan nggak yakin itu nama asli kamu atau bukan. I mean aku bisa tanya ke Rumi, tapi enggan.

Lagian kupikir siapapun namamu itu nggak masalah. Toh ntar kamu aku panggil -sayang- juga.

Hell yes.

Aku menyukaimu, entah sejak kapan, dan aku memutuskan untuk menyampaikan itu padamu.

Dan I did.

Kan?

Jadi aku nggak terkejut saat kamu bilang dan respon ungkapan aku dengan kalimat kagum. Karena sekarang, cewek yang ngungkapin duluan itu masih sangat jarang. Banggalah kamu.

Pokoknya, seingatku, kamu bilang kamu kagum, sekaligus merasa bodoh. Merasa kalah. Merasa pecundang karena nggak berani ngungkapin duluan. Tapi aku nggak masalah. Selama aku pikir kita punya perasaan yang sama, nggak ada yang perlu dipermasalahin siapa yang ngungkapin duluankan?

Lagian saat itu, bagiku, kamu tahu perasaanku saja sudah cukup.

Aku nggak expect kamu punya rasa yang sama, atau bakal ngeresmiin hubungan ini. Nggak.

Aku nggak mau Expect terlalu tinggi karena aku tahu, kamu punya pasangan di sana.

Aku tahu.

Sebut saja aku punya banyak pengalaman dengan pria-pria sibuk.

Nah, sibukmu itu, sibuk yang lain. Tidak seperti sibuk pria-priaku dulu.

Sibukmu sibuk yang bingung memilah waktu.

Mana untukmu,

Kerjaanmu,

Aku,

dan pacarmu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status