Share

dear Gugi [ 2 ]

Setelah flashback berjam-jam, aku sampai nggak sadar kalau dikit lagi mobil yang kukendarai ini memasuki kawasan Bandung.

Entah apa yang aku pikirin. Tapi terserahlah. Hari ini sedang tidak punya tujuan ngopi yang pasti.

Mungkin Bandung adalah pilihan yang paling baik untuk ngopi, maupun patah hati.

Sekarang hampir jam empat sore. Berarti ada sekitar lima jam lagi sebelum kamu nelpon. Itupun kalau jadi.

Tapi bodohnya aku masih deg-degan.

Aku mengarah ke salah satu kedai kopi yang lumayan enak di Bandung. Enak menurutku ya. Aku ingat betul Coffee Shop ini aku temukan secara tidak sengaja di satu mendung yang dulu banget.

Selain tempatnya di tengah kota, desain interior cafenya yang tidak begitu ramai, aku suka barista-barista di sana. Ramah. Dan ganteng-ganteng. Segerlah lihatnya. Berasa cuci mata. Oh nggak lupa, kopinya enak. Cookies-nya juga nggak bisa dianggap remeh.

"Eh si Teteh. Masuk Teh. Pasti ice cappucino double shot lagi kan?" Tanya salah satu barista yang namanya Leo. Lebih tua dua tahun dari aku, tapi ngotot panggil aku Teteh.

"Tahu aja. Buat tiga shot deh A.

Almond

milk

ya." Ucapku sembrono. Pesanan macam apa itu.

"Wets, ada apa ini? Sore-sore udah pengen yang kuat. Lagi banyak kerjaan?"

"Banget." Ucapku sambil tersenyum ringan.

"Emang doyan yang pahit? Pahit loh itu kalau tiga."

"Nggak tahu. Makanya buatin biar tahu."

"Haha yaudah tungguin ya Teh."

"Tempat biasa lagi ada yang tempatin nggak A?"

"Nggak ada Teh. Sok langsung aja. Ntar saya anterin ke atas."

Setelah setuju, aku langsung naik. Di lantai dua ada ruangan full ac juga, dengan dinding kaca yang menghadap ke jalan.

Aku menargetkan salah satu kursi yang letaknya agak ke pojok, tapi nggak pojok banget. Dari spot itu aku bisa langsung melihat ke arah lapangan basket. Biasanya banyak cowok cakep yang main di sana. Dede-dede kuliahan yang kumisnya baru tumbuh beberapa helai juga masuk hitungan.

Tapi langkahku terhenti. Tempat itu, no. Maksudku kursi itu, kursi yang ingin kududuki itu, sedang ditempati seseorang. Pria, berkacamata, pake kemeja, ya Lord, brewok sama kumisnya nggak usah aku jelasin ya.

Oke, mari kita ganti prinsip. Nggak liat Aa-Aa main basket, tapi ngeliat Aa-Aa brewokan serius depan laptop, totally not a big lose.

Win-win solution.

Aku duduk di kursi depannya. Sekitar dua meja dari mejanya.

Baru berapa menit duduk, tiba-tiba di meja depan, meja cowok itu, ada seorang perempuan yang datang ngehampirin dia. 

"Udah lama, Yang?" Tanyanya. Bisa kudengar jelas.

Yang.

Sayang?

Cih.

Udah ada cewek dia rupanya. Aa-Aa bewokan berkacamata, tercoretlah kamu dari daftar calon gebetan.

Nggak lama, A Leo naik ngebawain pesananku.

"Ice cappuccino. Triple shots. Dicobain dulu. Kalo kepaitan aku buatin yang baru lagi."

Aku mencobanya.

Dan ya. 

Ya Ampun.

Pahit ternyata.

Tergambar jelas di ekpresiku.

Juga dari A Leo yang langsung ngakak, dan, dan, dia. Cowok itu juga senyum melihat ekpresiku. Waw, dia baru ngelihat aku setelah aku duduk hampir bermenit-menit di depannya?

Lambat tanggap juga dia. Tapi aku nggak peduli. Mungkin kalau disenyumin sama Aa-Aa brewokan berkacamata yang masih jomblo sih aku senang-senang aja.

Cepat-cepat kuperbaiki ekspresiku dan natap A Leo yang entah sejak kapan sudah duduk di samping.

"Pahit?" Tanyanya dengan tawa yang masih tersisa.

Aku mengangguk.

Malu.

Hilang sudah dua puluh persen harga diri.

"Pahit he he."

"Yaudah," dia mengambil HT di pinggangnya, kemudian berbicara dengan seseorang yang kupercaya sedang berada di lantai satu.

"Don, buatin satu lagi ice

cappuccino ya. Double

shot. Anter ke atas. Aku tunggu." Dan yang dipanggil Don Don itu hanya menjawab.

"Siap Kang."

"Canggih ya sekarang. Apa-apa pake HT." Sambarku.

"Bukan canggih. Males ke bawah kalo cuma mesen segelas."

"Bener juga. Terus kenapa nggak pakai HP aja A? Malah pake HT."

"Ya itu. Biar dibilang canggih sama customer."

"Iya juga sih."

"Haha serius. Eh gimana kerjaan? Lagi ada event atau kerjaan ke Bandung ya? Tumben baru main lagi."

Dan itulah awal aku ngobrol dengan A Leo. Dari bahas kerjaanku, kerjaan dia, dan semua-semuanya.

Selama ngobrol mataku beberapa kali papasan sama mata Aa-Aa di depan sana. Tapi terlewat begitu saja,

since

ceweknya duduk di samping.

Begitulah aku menghabiskan soreku hari ini. Di bandung. Ditemani A Leo, es kapucino, sama tatapan tatapan singkat Aa-Aa yang udah punya pacar. Bandung selalu punya cerita baik, selama kita bisa menikmatinya dengan baik kayaknya.

Aku sampai lupa soal telponmu untuk beberapa saat. Dua jam mungkin? Pokoknya, setelah bayar kopi dan dan masuk mobil, di radio lagi kumandangin azan magrib.

Sebelum jalan, aku buka aplikasi BNBAIR. Melihat apa kamar yang selalu aku pake tiap ke Bandung lagi kosong apa nggak. Dan ternyata lagi kosong.

Waw. Such a lucky ass. Kenapa? Ini kamar jarang kosong, apa lagi kalau mau di-Booking dadakan. Selalu aja penuh sama booking-an baik yang mau nginep atau sekedar foto. Maklum, tempatnya I*-able.

Aku langsung meluncur ke lokasi. Nggak jauh. Di tengah kota juga. Hanya lima belas menit dari tempatku sekarang. Kalau nggak macet. Mari berdoa.

Aku sampai di sana ternyata lima menit lebih cepat dari perkiraan. Nggak apa-apa.

Aku disambut sama staf yang juga nggak kalah ramahnya. Oh sama owner bnbnya sekalian. Mbak Ana namanya. 

Aku sempat ngobrol beberapa menit sama dia, sebelum akhirnya masuk kamar. Dan ternyata semua kamar hari itu emang dapat booking-an dadakan

juga. Salah satunya aku, sedang yang satu lagi, udah booking tapi belum datang kata Mbak Ana.

A quick explanation.

Jadi di BNB ini ada dua kamar berukuran studio. Dua-duanya bagus, dan punya private entrance masing-masing. Jadi bener-bener nyaman menurut aku.

Soal desain kamar, udahlah nggak usah diraguin. Secara yang punya adalah dosen interior design. Jadi ketebak lah ya selera doi gimana. Ada dua hal yang ngehubungin dua kamar milik Mbak Ana ini. Taman hijau yang hijau banget, sama tempat sarapan yang juga ada di taman itu.

Jadi bisa dibilang, breakfast adalah waktu yang biasanya memperkenalkan tamu dari dua kamar.

Aku masuk ke kamar. Sebelah kanan. AC udah nyala. Padahal Bandung sore itu agak mendung. Ademnya luar biasa. Cuma harap maklum. Aku anak yang udah bertahun-tahun kerja di Jakarta.

Aku menaruh tas dan laptop di atas tempat tidur, juga bathrobe yang aku ambil dari mobil. Kenapa di mobilku ada bathrobe, karena aku cewek aneh. Bathrobe kok dibawa kemana-mana. Kaya yang sering mandi aja.

Tapi aku mandi kok malem itu. Nyampo pula. Berharap nyampo bisa ngilangin sedikit pikiran aku tentang kamu. Berhubung aku nggak bawa baju lain, akhirnya yang kupakai setelah mandi hanya bathrobe itu lagi. Karena siapa yang tahu kalau aku bakal ke Bandung tiba-tiba? Jadi, keanehanku soal bathrobe kuharap bisa kau maklumi. Atau contohi mungkin? Boleh aja.

Aku duduk di tempat tidur. Dengan rambut basah yang kulilit dengan handuk yang disediain. Kunyalakan TV karena rasa bosan udah sampe ubun-ubun.

Nggak ada acara TV bagus kayaknya. Lagian aku jarang nonton. Acara TV jaman sekarang udah nggak mendidik. Kalaupun ada film yang mendidik, pasti sudah pernah diputar di bioskop dua tahun lalu. Sangat mencemaskanlah pertelepisian Indonesia sekarang, Gi.

Akhirnya aku mutusin biat buka laptop. Nyari film di N*****x. Jelas banyak yang bagus. Kalo nggak, ngapain bela-bela daftar perbulan. Kamu pakai N*****x juga?

Well anyway, aku nonton salah satu film yang menurutku lumayan bagus. Bukan film sih, tapi series. Berepisode. Ber-season.

THE

100 judulnya. Bagus tapi nggak ada romantisnya. Mungkin karena masih di awal.

Bukannya emang gitu? Awal-awal masih malu buat nunjukin keromantisan?

Satu episode, dua episode, dan there you are.

Kamu nelpon. Nggak langsung aku angkat.

Entah karena ini pertama kalinya kita bakal telponan setelah tiga bulan ngobrol dan baper-baperan di LINE. Atau karena apa yang bakal kamu sampein ke aku? Nggak tau.

Pokoknya aku ngatur nafas dulu sebelum ngangkat telepon kamu yang selanjutnya.

"Halo?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status