Mungkin Bandung adalah pilihan yang paling baik untuk ngopi, maupun patah hati.
Tapi bodohnya aku masih deg-degan.
Aku sampai lupa soal telponmu untuk beberapa saat. Dua jam mungkin? Pokoknya, setelah bayar kopi dan dan masuk mobil, di radio lagi kumandangin azan magrib.
Waw. Such a lucky ass. Kenapa? Ini kamar jarang kosong, apa lagi kalau mau di-Booking dadakan. Selalu aja penuh sama booking-an baik yang mau nginep atau sekedar foto. Maklum, tempatnya I*-able.
THE
100 judulnya. Bagus tapi nggak ada romantisnya. Mungkin karena masih di awal.Bukannya emang gitu? Awal-awal masih malu buat nunjukin keromantisan?
Satu episode, dua episode, dan there you are.
Kamu nelpon. Nggak langsung aku angkat.
Entah karena ini pertama kalinya kita bakal telponan setelah tiga bulan ngobrol dan baper-baperan di LINE. Atau karena apa yang bakal kamu sampein ke aku? Nggak tau.
Pokoknya aku ngatur nafas dulu sebelum ngangkat telepon kamu yang selanjutnya.
"Halo?"
"Halo?" Aku menyapa. Gugup. Takut kamu mikir suara aku jelek atau kebapak-bapakan."Nat?""Gie? Suara aku ada?""Iya ada. Suara aku?""Ada.""Seneng deh akhirnya bisa denger suara kamu." Kalimat panjang pertamamu kudengar dengan khusyuk."Mendoan kali enak. Katanya mau ngomongin sesuatu.""Buru-buru amat. Nggak mau nanya kabar dulu nih?"Aku tertawa. Kamu juga.Aku gugup. Kamu juga.Kita ngobrol lama. Tentang banyak hal. Juga mengulang beberapa topik yang pernah kita bahas sebelumnya. Sekedar memuaskan rasa ingin tahu bagaimana kalau pembahasan itu dibicarain langsung.And then there you are."Nat, aku mau ngomong."Mungkin kamu nggak tau, tapi aku nelan ludah berapa kali sebelum akhirnya berhasil respon kamu."Hm?"Kamu diem. Ragu."Aku nggak tahu harus ngomongin ini gimana.""Kamu udah ngulur waktu lama loh hanya untuk bahas ini. Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Toh nggak bakal berubahkan apa yang pengen kamu omongin?""Tapi Nat.""Aku nunggu." Kataku sambil menggigit bibirku sendiri.
Aku melipat kedua bibirku ke dalam sambil mendongak. Menahan ekspresi yang demi Tuhan aku sedang malu semalu-malunya.Dan pria itu di sana. Dengan Lengan kirinya terjulur menawarkan sebotol air mineral yang ada rasa manis-manisnya.Aku menelan ludah dengan susah payah, sebelum akhirnya menerima uluran botol itu."Jadi kedengeran ya?" Kataku membuka percakapan yang tidak kuinginkan ini."Banget." Jawabnya singkat sambil menarik kursi makan di depanku, dan duduk di sana. Mengambil selembar roti, kemudian menggigitnya. Tanpa selai, dan tanpa malu-malu menatapku."Well, I thought there's some kind of soundproof.""Nope, there's not." Jawabnya sekali lagi, singkat dan mulai menjengkelkan. Tatapannya itu. Gelengannya juga."Well, sorry. And oh, thank you." Ucapku seraya berdiri dan menggoyangkan botol minuman itu, kemudian berbalik dan masuk ke kamarku. Memalukan. Mbak Anaaaaaa....Tapi dia!Hey!Kebetulan macam apa ini!Pria di kedai kopi kemarin, pria brewok dan berkacamata itu, kenapa di
Aku baru saja menyuapkan sendok terakhir makan siangku hari ini ketika seorang wanita berteriak di pintu masuk, memanggil nama seseorang. Yang jika kulihat dari ekspresi pria yang tengah duduk di depanku, kemungkinan besar, wanita itu memanggilnya. "BEN! YOU KIDDING ME? APA-APAAN INI? KAMU NGGAK NGANGKAT TELEPON AKU, WA AKU NGGAK KAMU BALAS SATUPUN, TERUS TAHU-TAHU SEKARANG INI ALASANNYA? IYA? MAKAN SIANG SAMA CEWEK LAIN! SIAPA NI CEWEK? PEREK KAMU?" Mie goreng jawa yang rasanya ternyata memang lebih enak dari mie goreng jawa di kantorku itu dengan susah payah kutelan ketika mendapati diriku jadi pusat amukan seseorang, dan pusat perhatian seisi ruangan. Aku menatapnya. Pria itu. "Kamu yang namanya Ben?" Tanyaku sambil meneguk es jeruk dengan setenang mungkin. Mengkonfirmasi saat baru sadar kami berdua bahkan belum berkenalan satu sama lain. Bagaimana mungkin aku mau-mau aja diajak makan oleh orang yang namanya aja belum aku tahu? Dan ya, dia mengangguk. Ben mengangguk. "Is she
Melihat Ben yang masih tidak bergeming, aku menarik tanganku dari genggamnya. "Ben?" "Hm?" “You ok?” Ben mengangguk meyakinkan. “Ben..” Panggilku sekali lagi. “Hm?” "Pengen desert." Ucapku membuka topik baru. Apapun, karena aku engap berdua saja dalam lift dengan keadaan yang aneh ini. "Tadikan udah." "Yang mana?" Ini bukan pura-pura bodoh. Tapi memang aku nggak inget apapun soal makanan penutup. Yang mana yang dia maksud dessert tadi? Momen kita dilabrak mantannyakah? "Es jeruk." Keterlaluan. "Itu minuman Ben." Ben akhirnya tertawa.Ah leganya. "Aku traktir desert besok ya. Boleh?" Kuangguki setuju. Sesampainya di lantai yang Ben tuju, kami berjalan keluar dengan tidak lagi berpegangan tangan. Ah sayang sekali. Aku melihat plang yang di gantung di salah satu sisi.Ada nama kantor Ben di situ. Kami berjalan menelusuri sekat-sekat hingga berhenti di depan sebuah pintu kaca di ujung ruangan. Ben membukanya dan mempersilahkanku masuk. "Ini ruangan kamu?" "Bukan. Jabata
Ben mengantarku pulang. Ke kantor.Di perjalanan kami berdua nggak ngobrol banyak sejak kecupan dan ketukan itu. Bahkan sesampainya di apartemen, aku langsung mandi, uring-uringan, berguling-guling kesana kemari seperti adonan moci di tepung kacang, sampai hpku bunyi. Telepon masuk.Ben."Hm?" Sapaku tidak semangat."Assalamualaikum kek Nat.""Waalaikumsalam.""Lagi apa?" Tanyanya ragu."Uring-uringan." Jawabku jujur."Maaf soal yang tadi.""Yang mana?""Jangan judes makanya biar aku nggak takut jelasinnya."Aku hampir ngakak.Apa iya aku judes? Tapi pas ngomong gitu dia lucu. Cakep pula.."Iya Ben. Minta maaf soal yang mana? Gitu?""Iya gitu Nat." Sambungnya ketika mendengar intonasiku lebih halus."Yaudah jawab.""Tapi kamu pasti tahulah aku mau minta maaf soal apa.""Kamu kalau nggak niat minta maaf, nggak usah nelepon!" Bentakku.Dan sedetik sebelum telepon dari Ben kuputuskan, aku mendengar pria itu berbicara di ujung sana."Maafin aku udah nyium kamu tanpa izin. Maafin aku udah
Sudah hampir seminggu sejak perihal kalimat Ben waktu itu. Yang dengan polosnya menyebutku sayang. Ingat? Good. It’s been a whole week. Dan kalian tahu apa? That’s it.Selebihnya, tidak lagi.Dia tidak menghubungiku.Tidak ke kantorku.Tidak melakukan apapun untuk membuktikan kalimatnya sendiri. Apa aku mencari tahu alasan Ben atas tingkahnya yang di luar dugaan ini?Tentu saja tidak.Sesuai permintaannya, aku sempat meneleponnya seusai meetingku kelar hari itu.Kami ngobrol tidak lama. Tidak sampai lima menit.Selebihnya tidak terjalin hubungan apa-apa lagi. Kalian bingung? Sama. Aku juga. Sekarang aku sedang di salah satu salon langgananku. Salon tidak begitu ramai. Mungkin karena ini sudah jam enam sore. Biasanya sih cewek-cewek yang mau nge-date, ke salon sejak siang. "Mbak Nata?" Seru yang berhasil membuatku mendongak, melihat sosok yang baru saja menyebut namaku. Seorang gadis berjilbab coklat dengan makeup bold yang luar biasa bold.Mungkin dia baru dari kondangan.Bisa
Oke mungkin ini salahku. Kecewaku belakangan ini, semua salahku.Bermain-main dengan perasaan yang belum sembuh.Berpikir bahwa baik-baik aja memulai secepat ini.Tapi, siapa yang bisa nolak perlakuan manis saat lagi galau? Apa lagi perlakuan itu datang dari sosok setampan Ben.Percaya deh, Ben bukan sosok yang bisa kalian hindarin gitu aja.Tatapannya yang nggak mampu untuk nggak kalian balas, ucapan-ucapan manisnya yang spontan, sentuhannya yang begitu hati-hati.Nggak butuh aku waktu lama untuk ingin tetap ada di samping Ben.Untuk ngebayangin gimana kedepannya.Serius. Ben se-magic itu.Ben tipe pria yang membuat 'suka' itu mudah untuk kita rasain. Nggak tahu deh.Pokoknya, kecewaku yang kali ini pure kesalahan sendiri. Bukan salah Ben, bukan waktu.Salahku.Aku yang salah.Well, kurasa Jenata Soebandono sampai pada umur cukup dewasa untuk nggak nyalahin siapapun atas patah hatinya.Rupanya, cinta itu mendewasakan.Mendewasakan siapapun yang mau berpikir di sela-sela tangisnya, ba
Angin malam yang berhasil lolos melalui pintu balkon yang kubiarkan terbuka lebar ternyata cukup kurang ajar dalam menciptakan suasana super kikuk antara aku dan Gugi. Berdua, aku dan dia duduk di depan tv. Tidak di sofa. Di lantai beralaskan karpet yang belum pernah kucuci sejak kubeli setahun yang lalu. Kami duduk berhadapan. Dia bersila, aku juga. Setelah memastikan air es yang kugunakan untuk merendam handuk di mangkok sudah meresap, aku mengangkat dan memerasnya sedikit, kemudian menatap Gugi yang juga tengah menatapku. Kutempelkan handuk itu pada luka samping bibirnya. Dia belum berteriak sampai aku mulai menekan dan sedikit menggesekan handuk di sana. Biar darah yang sudah mengering itu bisa terangkat. Sekalian bersama beberapa buliran pasir halus yang terjebak di sana. "Nat, pelan. Sakit. Aw!" Ucapnya terpotong-potong. Menahan tanganku agar tidak bergerak dengan kasar. "Oh." "OH?" "Mau dibersihin nggak ini?" Dia mengangguk. "Tapi pelan-pelan Nat," mohonnya. Aku meliha