"Halo?" Aku menyapa. Gugup. Takut kamu mikir suara aku jelek atau kebapak-bapakan.
"Nat?"
"Gie? Suara aku ada?"
"Iya ada. Suara aku?"
"Ada."
"Buru-buru amat. Nggak mau nanya kabar dulu nih?"
Aku tertawa. Kamu juga.
Aku gugup. Kamu juga.
Kita ngobrol lama. Tentang banyak hal. Juga mengulang beberapa topik yang pernah kita bahas sebelumnya. Sekedar memuaskan rasa ingin tahu bagaimana kalau pembahasan itu dibicarain langsung.
"Nat, aku mau ngomong."
Mungkin kamu nggak tau, tapi aku nelan ludah berapa kali sebelum akhirnya berhasil respon kamu.
"Hm?"
Kamu diem. Ragu.
"Aku nggak tahu harus ngomongin ini gimana."
"Kamu udah ngulur waktu lama loh hanya untuk bahas ini. Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Toh nggak bakal berubahkan apa yang pengen kamu omongin?" "Tapi Nat.""Nat...."
"Hm?"
"Kamu pernah bilangkan nggak peduli mau aku udah punya pasangan apa belum?" Holy moly. This is it.
"Uhumm."
Ada jeda di situ. Lama.
"Nggak bisa. Aku nggak bisa ngomong ini."
"Apasih. Kaya nggak pernah ngomong sama cewek aja. Udah, nggak apa-apa. Ngomong aja."
"Nggak."
"Gi. Apa?"
"Nggak bisa Nat!"
"Apa? Kamu udah punya pasangan?" Saking nggak sabarnya, akhirnya aku mewakilimu mematahkan hatiku.
"Iya Nat. Maafin aku."
Blank. Aku
blank.Aku mencoba menghirup udara sebanyak mungkin. Aku tercekat. Dikit lagi nangis.
"Ouh, ok." ucapku mencoba setenang mungkin.
Brengsek.
"Aku nggak bisa nyalahin kamu."
"Iya kamu salah. Tapi aku juga. Udah tahu lama tapi pura-pura nggak peduli karena masih pengen komunikasi. Maafin udah egois."
"Aku yang egois. Aku harusnya bilang ini di depan kamu. Senggaknya aku bisa meluk kamu sambil mohon maaf Nat."
Aku diem. Saat itu, air mataku mulai netes.
"Tapi semakin aku pikir, semakin aku sadar kalau ini nggak adil buat kamu." Sambung cowok orang ini.
Aku masih belum bisa menjawab. Nangis itu ngerepotin.
"Aku tahu ini nggak bakal berhasil Nata. Hubungan ini. Makanya aku putusin buat jujur ke kamu."
"Dia tahu?"
"Dia udah curiga Nat."
"Kalian udah lama?"
"Jawab aja."
"Lumayan."
"Kamu sayang sama dia? Bahagia ama dia?"
"Nggak usah dibahas Nat. Aku nggak mau nyakitin kamu lebih dari ini."
No
comment. Aku diem. Asik menangis.Saat sayu-sayu kudengar kamu juga terisak di sana. Dua menit kita saling bertukar suara kesedihan.
Dan ternyata menyakitkan. Mendengarmu menangis aku tidak suka.
Menyakitkan.
"Aku jahat ya Nat. Aku brengsek. Jahat aku Nat. Kamu nggak pantes aku giniin. Tai emang aku."
"Udah Gi. Tahu udah punya pasangan, malam ini, aku bersyukur. Makasih sudah mau jujur sama aku."
Kudengar tangismu pun makin jadi. Haha Aku benci denger kamu nangis ternyata.
"Gugi diem ah. Apa coba cowok nangis." Kali ini kucoba lebih tenang lagi. Mengatur nafas agar kata-kataku terucap tanpa terpotong. Berhasil. Agak.
"Aku nggak mau berhenti komunikasi sama kamu Nat. Aku mau kita tetap ngobrol. Seminggu lagi? Setahun lagi? Aku nggak mau kita kaya gini. Tapi kalau dilanjutin, aku nyakitin kalian berdua.”
Kini tangismu lebih besar. Seolah-olah aku yang selingkuhin kamu. Brengsek.
"Gi aku ngerti. Udah. Stop. Jangan nangis lagi. Pokoknya aku seneng kamu jujur. Makasih. " Sekali lagi kata-kataku terpotong tangis.
"Nat, please jangan nangis lagi. Aku nggak pantes kamu tangisin." Halah.
"Aku tahu tapi aku nggak bisa berhenti Gi nangisnya. Kamu sih nangis mulu. Harusnya kamu lega. Kamu bisa fokus ke dia lagi."
"Tapi aku udah buat kamu nangis Nat. Aku brengsek. Kamu nggak pantes diperlakuin seperti ini."
Aku menarik nafasku. Mengaturnya. Menenangkan diri sendiri.
Menurutku cukup. Kamu udah bohongin aku, nggak pantes kalau sekarang kamu ngasihanin aku.
"Udahlah Gi. Doain aja biar aku cepet dapat Uda-uda ganteng. Haha," jawabku bercanda. Menyinggung Uda mengingat kamu orang Padang, yang begitu suka ketika ku panggil Uda.
"Iyalah. Masa kamu aja yang bahagia. Bye Gi."
Kututup telepon itu,sebelum kamu denger aku nangis lagi.
Sialnya malem ini, sakit hati terasa lebih menyakitkan. Mungkin karena kita belum pernah bertemu sebelumnya. Nelpon pun baru tadi. Ada ketidakrelaan-ketidakrelaaan kecil yang masih mengganjal.
Hpku bunyi. Line dari kamu.
"Please izininin aku buat denger suara kamu lagi."
Setelahnya kamu nelpon. Tidak ku hitung. Tidak ku angkat. Hingga aku memutuskan untuk membalas Linemu.
"Kita udahin aja Gi. Bener kata kamu. Ini nggak bakal berhasil. Tapi aku pengen kamu tahu, apapun yang kamu bilang ke aku malem ini, itu nggak ngurangin sedikitpun perasaan aku."
"Tapi aku sayang sama kamu. Nggak bohong."
"Aku tahu. Makanya kamu jujur."
"Please Nat, kasih aku waktu lebih lama buat ngobrol sama kamu."
"Mau bahas apa lagi?"
"Denger nafas kamu aja aku udah seneng Nat. Please." Brengsek. Perasaan tidak rela itu makin membucah. Hingga aku kehilangan akal sehat, untuk sepersekian detik.
"Boleh aku liat foto kamu sama dia?" Aku meminta.
"Buat apa Nat? Aku nggak mau nyakitin kamu."
"Mungkin kalau aku lihat kamu bahagia sama dia, aku bakal relain kamu."
"Nggak. Itu bakal nyakitin kamu."
"Tapi aku bakal cepet moveon Gi." Kali ini aku yang memohon.
"Nggak! Aku nggak mau nyakitin kamu lebih dari ini. Cukup kamu tahu aku bahagia sama dia."
Sekali lagi aku tercegat. Tahu kamu nggak bakal ngirimin, entahlah. Ada perasaan kalah yang aku rasain.
Sampai akhirnya aku ngalah. Dan ngirimin kamu setumpuk chat di line.
Kamu nggak mau ngirim?
Fine! Nggak apa-apa. Aku nggak pernah nuntut apapun ke kamu.Tapi malam ini tebak siapa yang memohon Gi? Memohon buat kamu sakitin lebih?
Aku!You are such a beautiful breaker Gi.Pecundang.Kenal kamu, buang-buang waktu.SENT!
Nangis.
Nangis sebodoh-bodohnya orang patah hati. Malem itu seperti ada perasaanku yang dengan sengaja aku hancurkan sendiri tapi lewat tanganmu.
Ingin rasanya menelan ego mentah-mentah, kemudian menelponmu. Memaksamu untuk menjadi pendosa yang terlanjur.
Pendosa yang nggak setia. Kalau memang sayangmu ke dia terlalu besar hingga kamu nggak mampu ngelepasin dia, maka nggak ada pilihan lain selain minta untuk berdosa bersamaku. Mungkin dalam dosa-dosa yang kita sengaja kelak, kita bisa berdoa. Untuk di ampuni, juga di jodohkan.
Tapi nggak. Ternyata aku wanita yang cukup baik. Wanita yang percaya bahwa menyakiti wanita lain dengan sengaja adalah suatu ketidakperluan, meski sempat aku lakuin.
Maka malam ini dengan mantap, aku ngelepasin juga ikhlasin kamu.
Bahagia ya sama dia.
Selamanya kalau perlu.
Aku nggak mau kamu kelak balik, hanya buat nyoba lagi.
Karena saat itu, mungkin, langkahku, sebagaimana kerasnyapun kamu paksain, nggak bakal bisa seirama sama langkah kamu lagi.
Lantas aku nangis. Lupa aku sedang berada dimana. Kuharap mbak Ana punya modal lebih dulu untuk memfasilitasi ruangan ini dengan pengedap suara. Minimal kecengenganku nggak kedengaran tamu lain.
Tapi no, keesokan harinya, jam sarapan, ketika aku duduk di meja makan, sambil memegang segelas kopi item panas di tangan kananku,
Seseorang yang keluar dari kamar sebelah menyapa."Nggak baik habis nangis langsung minum kafein. Nih minum air putih dulu," sapanya, dengan suara bariton yang dalam.
Ah Gugiiiiii, kuharap pagi ini ban kendaraanmu pecah dan jauh dari bengkel.
Aamiin.
Aku melipat kedua bibirku ke dalam sambil mendongak. Menahan ekspresi yang demi Tuhan aku sedang malu semalu-malunya.Dan pria itu di sana. Dengan Lengan kirinya terjulur menawarkan sebotol air mineral yang ada rasa manis-manisnya.Aku menelan ludah dengan susah payah, sebelum akhirnya menerima uluran botol itu."Jadi kedengeran ya?" Kataku membuka percakapan yang tidak kuinginkan ini."Banget." Jawabnya singkat sambil menarik kursi makan di depanku, dan duduk di sana. Mengambil selembar roti, kemudian menggigitnya. Tanpa selai, dan tanpa malu-malu menatapku."Well, I thought there's some kind of soundproof.""Nope, there's not." Jawabnya sekali lagi, singkat dan mulai menjengkelkan. Tatapannya itu. Gelengannya juga."Well, sorry. And oh, thank you." Ucapku seraya berdiri dan menggoyangkan botol minuman itu, kemudian berbalik dan masuk ke kamarku. Memalukan. Mbak Anaaaaaa....Tapi dia!Hey!Kebetulan macam apa ini!Pria di kedai kopi kemarin, pria brewok dan berkacamata itu, kenapa di
Aku baru saja menyuapkan sendok terakhir makan siangku hari ini ketika seorang wanita berteriak di pintu masuk, memanggil nama seseorang. Yang jika kulihat dari ekspresi pria yang tengah duduk di depanku, kemungkinan besar, wanita itu memanggilnya. "BEN! YOU KIDDING ME? APA-APAAN INI? KAMU NGGAK NGANGKAT TELEPON AKU, WA AKU NGGAK KAMU BALAS SATUPUN, TERUS TAHU-TAHU SEKARANG INI ALASANNYA? IYA? MAKAN SIANG SAMA CEWEK LAIN! SIAPA NI CEWEK? PEREK KAMU?" Mie goreng jawa yang rasanya ternyata memang lebih enak dari mie goreng jawa di kantorku itu dengan susah payah kutelan ketika mendapati diriku jadi pusat amukan seseorang, dan pusat perhatian seisi ruangan. Aku menatapnya. Pria itu. "Kamu yang namanya Ben?" Tanyaku sambil meneguk es jeruk dengan setenang mungkin. Mengkonfirmasi saat baru sadar kami berdua bahkan belum berkenalan satu sama lain. Bagaimana mungkin aku mau-mau aja diajak makan oleh orang yang namanya aja belum aku tahu? Dan ya, dia mengangguk. Ben mengangguk. "Is she
Melihat Ben yang masih tidak bergeming, aku menarik tanganku dari genggamnya. "Ben?" "Hm?" “You ok?” Ben mengangguk meyakinkan. “Ben..” Panggilku sekali lagi. “Hm?” "Pengen desert." Ucapku membuka topik baru. Apapun, karena aku engap berdua saja dalam lift dengan keadaan yang aneh ini. "Tadikan udah." "Yang mana?" Ini bukan pura-pura bodoh. Tapi memang aku nggak inget apapun soal makanan penutup. Yang mana yang dia maksud dessert tadi? Momen kita dilabrak mantannyakah? "Es jeruk." Keterlaluan. "Itu minuman Ben." Ben akhirnya tertawa.Ah leganya. "Aku traktir desert besok ya. Boleh?" Kuangguki setuju. Sesampainya di lantai yang Ben tuju, kami berjalan keluar dengan tidak lagi berpegangan tangan. Ah sayang sekali. Aku melihat plang yang di gantung di salah satu sisi.Ada nama kantor Ben di situ. Kami berjalan menelusuri sekat-sekat hingga berhenti di depan sebuah pintu kaca di ujung ruangan. Ben membukanya dan mempersilahkanku masuk. "Ini ruangan kamu?" "Bukan. Jabata
Ben mengantarku pulang. Ke kantor.Di perjalanan kami berdua nggak ngobrol banyak sejak kecupan dan ketukan itu. Bahkan sesampainya di apartemen, aku langsung mandi, uring-uringan, berguling-guling kesana kemari seperti adonan moci di tepung kacang, sampai hpku bunyi. Telepon masuk.Ben."Hm?" Sapaku tidak semangat."Assalamualaikum kek Nat.""Waalaikumsalam.""Lagi apa?" Tanyanya ragu."Uring-uringan." Jawabku jujur."Maaf soal yang tadi.""Yang mana?""Jangan judes makanya biar aku nggak takut jelasinnya."Aku hampir ngakak.Apa iya aku judes? Tapi pas ngomong gitu dia lucu. Cakep pula.."Iya Ben. Minta maaf soal yang mana? Gitu?""Iya gitu Nat." Sambungnya ketika mendengar intonasiku lebih halus."Yaudah jawab.""Tapi kamu pasti tahulah aku mau minta maaf soal apa.""Kamu kalau nggak niat minta maaf, nggak usah nelepon!" Bentakku.Dan sedetik sebelum telepon dari Ben kuputuskan, aku mendengar pria itu berbicara di ujung sana."Maafin aku udah nyium kamu tanpa izin. Maafin aku udah
Sudah hampir seminggu sejak perihal kalimat Ben waktu itu. Yang dengan polosnya menyebutku sayang. Ingat? Good. It’s been a whole week. Dan kalian tahu apa? That’s it.Selebihnya, tidak lagi.Dia tidak menghubungiku.Tidak ke kantorku.Tidak melakukan apapun untuk membuktikan kalimatnya sendiri. Apa aku mencari tahu alasan Ben atas tingkahnya yang di luar dugaan ini?Tentu saja tidak.Sesuai permintaannya, aku sempat meneleponnya seusai meetingku kelar hari itu.Kami ngobrol tidak lama. Tidak sampai lima menit.Selebihnya tidak terjalin hubungan apa-apa lagi. Kalian bingung? Sama. Aku juga. Sekarang aku sedang di salah satu salon langgananku. Salon tidak begitu ramai. Mungkin karena ini sudah jam enam sore. Biasanya sih cewek-cewek yang mau nge-date, ke salon sejak siang. "Mbak Nata?" Seru yang berhasil membuatku mendongak, melihat sosok yang baru saja menyebut namaku. Seorang gadis berjilbab coklat dengan makeup bold yang luar biasa bold.Mungkin dia baru dari kondangan.Bisa
Oke mungkin ini salahku. Kecewaku belakangan ini, semua salahku.Bermain-main dengan perasaan yang belum sembuh.Berpikir bahwa baik-baik aja memulai secepat ini.Tapi, siapa yang bisa nolak perlakuan manis saat lagi galau? Apa lagi perlakuan itu datang dari sosok setampan Ben.Percaya deh, Ben bukan sosok yang bisa kalian hindarin gitu aja.Tatapannya yang nggak mampu untuk nggak kalian balas, ucapan-ucapan manisnya yang spontan, sentuhannya yang begitu hati-hati.Nggak butuh aku waktu lama untuk ingin tetap ada di samping Ben.Untuk ngebayangin gimana kedepannya.Serius. Ben se-magic itu.Ben tipe pria yang membuat 'suka' itu mudah untuk kita rasain. Nggak tahu deh.Pokoknya, kecewaku yang kali ini pure kesalahan sendiri. Bukan salah Ben, bukan waktu.Salahku.Aku yang salah.Well, kurasa Jenata Soebandono sampai pada umur cukup dewasa untuk nggak nyalahin siapapun atas patah hatinya.Rupanya, cinta itu mendewasakan.Mendewasakan siapapun yang mau berpikir di sela-sela tangisnya, ba
Angin malam yang berhasil lolos melalui pintu balkon yang kubiarkan terbuka lebar ternyata cukup kurang ajar dalam menciptakan suasana super kikuk antara aku dan Gugi. Berdua, aku dan dia duduk di depan tv. Tidak di sofa. Di lantai beralaskan karpet yang belum pernah kucuci sejak kubeli setahun yang lalu. Kami duduk berhadapan. Dia bersila, aku juga. Setelah memastikan air es yang kugunakan untuk merendam handuk di mangkok sudah meresap, aku mengangkat dan memerasnya sedikit, kemudian menatap Gugi yang juga tengah menatapku. Kutempelkan handuk itu pada luka samping bibirnya. Dia belum berteriak sampai aku mulai menekan dan sedikit menggesekan handuk di sana. Biar darah yang sudah mengering itu bisa terangkat. Sekalian bersama beberapa buliran pasir halus yang terjebak di sana. "Nat, pelan. Sakit. Aw!" Ucapnya terpotong-potong. Menahan tanganku agar tidak bergerak dengan kasar. "Oh." "OH?" "Mau dibersihin nggak ini?" Dia mengangguk. "Tapi pelan-pelan Nat," mohonnya. Aku meliha
Matahari pagi masuk dari celah tirai jendela yang lupa ditutup semalem. Nggak hanya menghangatkan wajahku, tapi juga berusaha menembus kelopak mataku. Aku yang masih belum sadar penuh pun, meregangkan semua urat-urat juga tulang-belulang di tubuh seperti biasa, hingga tanganku menyentuh seseorang di sebelah kiri. Demi apapun aku kaget. Sedang yang kusentuh, yang ternyata sudah terbangun lebih dulu itu, menatapku dengan kepala yang bertumpuh pada lengan kanannya. Aku membeku. Kutahan posisi itu barang sekian detik. Memastikan aku sudah benar-benar bangun. Dengan berkedip-kedip beberapa kali, aku berusaha melihat wajah orang itu dengan jelas. Memastikan. Dia, Maksudku Gugi. Dia menopang kepala dengan lengan kanan yang membuat posisinya jadi lebih tinggi dari kepalaku. Pria itu maju mendekat dan mengecup keningku berulang kali, lalu pucuk hidungku, sebelum akhirnya satu kecup lembut mendarat di bibirku. Guuuuys, when I said lembut, it really is. Kelembutan bibirnya mengingatkanku p