Share

dear Gugi [ 3 ]

"Halo?" Aku menyapa. Gugup. Takut kamu mikir suara aku jelek atau kebapak-bapakan.

"Nat?"

"Gie? Suara aku ada?"

"Iya ada. Suara aku?"

"Ada."

"Seneng deh akhirnya bisa denger suara kamu." Kalimat panjang pertamamu kudengar dengan khusyuk.

"Mendoan kali enak. Katanya mau ngomongin sesuatu."

"Buru-buru amat. Nggak mau nanya kabar dulu nih?"

Aku tertawa. Kamu juga.

Aku gugup. Kamu juga.

Kita ngobrol lama. Tentang banyak hal. Juga mengulang beberapa topik yang pernah kita bahas sebelumnya. Sekedar memuaskan rasa ingin tahu bagaimana kalau pembahasan itu dibicarain langsung.

And then there you are.

"Nat, aku mau ngomong."

Mungkin kamu nggak tau, tapi aku nelan ludah berapa kali sebelum akhirnya berhasil respon kamu.

"Hm?"

Kamu diem. Ragu.

"Aku nggak tahu harus ngomongin ini gimana."

"Kamu udah ngulur waktu lama loh hanya untuk bahas ini. Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Toh nggak bakal berubahkan apa yang pengen kamu omongin?"

"Tapi Nat."

"Aku nunggu." Kataku sambil menggigit bibirku sendiri.

"Nat...."

"Hm?"

"Kamu pernah bilangkan nggak peduli mau aku udah punya pasangan apa belum?" Holy moly. This is it.

"Uhumm."

Ada jeda di situ. Lama.

"Nggak bisa. Aku nggak bisa ngomong ini."

"Apasih. Kaya nggak pernah ngomong sama cewek aja. Udah, nggak apa-apa. Ngomong aja."

"Nggak."

"Gi. Apa?"

"Nggak bisa Nat!"

"Apa? Kamu udah punya pasangan?" Saking nggak sabarnya, akhirnya aku mewakilimu mematahkan hatiku.

"Iya Nat. Maafin aku."

Blank. Aku

blank.

Aku mencoba menghirup udara sebanyak mungkin. Aku tercekat. Dikit lagi nangis.

"Ouh, ok." ucapku mencoba setenang mungkin.

"Maafin aku Nat. Aku nggak tahu kalau perasaan aku bisa sedalam ini ke kamu."

Brengsek.

"Aku nggak bisa nyalahin kamu."

"Tapi aku salah Nat."

"Iya kamu salah. Tapi aku juga. Udah tahu lama tapi pura-pura nggak peduli karena masih pengen komunikasi. Maafin udah egois."

"Aku yang egois. Aku harusnya bilang ini di depan kamu. Senggaknya aku bisa meluk kamu sambil mohon maaf Nat."

Aku diem. Saat itu, air mataku mulai netes.

"Tapi semakin aku pikir, semakin aku sadar kalau ini nggak adil buat kamu." Sambung cowok orang ini.

Aku masih belum bisa menjawab. Nangis itu ngerepotin.

"Aku tahu ini nggak bakal berhasil Nata. Hubungan ini. Makanya aku putusin buat jujur ke kamu."

"Dia tahu?"

"Dia udah curiga Nat."

"Kalian udah lama?"

"Perlu kita bahas ini?"

"Jawab aja."

"Lumayan."

"Kamu sayang sama dia? Bahagia ama dia?"

"Nggak usah dibahas Nat. Aku nggak mau nyakitin kamu lebih dari ini."

No

comment. Aku diem. Asik menangis.

Saat sayu-sayu kudengar kamu juga terisak di sana. Dua menit kita saling bertukar suara kesedihan.

Dan ternyata menyakitkan. Mendengarmu menangis aku tidak suka.

Menyakitkan.

"Aku jahat ya Nat. Aku brengsek. Jahat aku Nat. Kamu nggak pantes aku giniin. Tai emang aku."

"Udah Gi. Tahu udah punya pasangan, malam ini, aku bersyukur. Makasih sudah mau jujur sama aku."

Kudengar tangismu pun makin jadi. Haha Aku benci denger kamu nangis ternyata.

"Gugi diem ah. Apa coba cowok nangis." Kali ini kucoba lebih tenang lagi. Mengatur nafas agar kata-kataku terucap tanpa terpotong. Berhasil. Agak.

"Aku nggak mau berhenti komunikasi sama kamu Nat. Aku mau kita tetap ngobrol. Seminggu lagi? Setahun lagi? Aku nggak mau kita kaya gini. Tapi kalau dilanjutin, aku nyakitin kalian berdua.”

Kini tangismu lebih besar. Seolah-olah aku yang selingkuhin kamu. Brengsek.

"Gi aku ngerti. Udah. Stop. Jangan nangis lagi. Pokoknya aku seneng kamu jujur. Makasih. " Sekali lagi kata-kataku terpotong tangis.

"Nat, please jangan nangis lagi. Aku nggak pantes kamu tangisin." Halah.

"Aku tahu tapi aku nggak bisa berhenti Gi nangisnya. Kamu sih nangis mulu. Harusnya kamu lega. Kamu bisa fokus ke dia lagi."

"Tapi aku udah buat kamu nangis Nat. Aku brengsek. Kamu nggak pantes diperlakuin seperti ini."

Aku menarik nafasku. Mengaturnya. Menenangkan diri sendiri.

Menurutku cukup. Kamu udah bohongin aku, nggak pantes kalau sekarang kamu ngasihanin aku.

"Udahlah Gi. Doain aja biar aku cepet dapat Uda-uda ganteng. Haha," jawabku bercanda. Menyinggung Uda mengingat kamu orang Padang, yang begitu suka ketika ku panggil Uda.

Kudengar kamu cekikikan sesaat, sebelum akhirnya terdiam lagi. Pria Padang ini, entah apa yang sedang kamu pikirkan, kuharap candaanku barusan bisa menenangkanmu.

"Yaudah Gi, kamu sehat-sehat. Semoga kerjaan kamu lancar. Sukseslah pokoknya." Dengan sisa-sisa tangis yang masih bisa keluar. Brengsek.

"Kamu juga Nat. Bahagia ya."

"Iyalah. Masa kamu aja yang bahagia. Bye Gi."

Kututup telepon itu,sebelum kamu denger aku nangis lagi.

Sialnya malem ini, sakit hati terasa lebih menyakitkan. Mungkin karena kita belum pernah bertemu sebelumnya. Nelpon pun baru tadi. Ada ketidakrelaan-ketidakrelaaan kecil yang masih mengganjal.

Hpku bunyi. Line dari kamu.

"Please izininin aku buat denger suara kamu lagi."

Setelahnya kamu nelpon. Tidak ku hitung. Tidak ku angkat. Hingga aku memutuskan untuk membalas Linemu.

"Kita udahin aja Gi. Bener kata kamu. Ini nggak bakal berhasil. Tapi aku pengen kamu tahu, apapun yang kamu bilang ke aku malem ini, itu nggak ngurangin sedikitpun perasaan aku." 

"Tapi aku sayang sama kamu. Nggak bohong."

"Aku tahu. Makanya kamu jujur."

"Please Nat, kasih aku waktu lebih lama buat ngobrol sama kamu."

"Mau bahas apa lagi?"

"Denger nafas kamu aja aku udah seneng Nat. Please." Brengsek. Perasaan tidak rela itu makin membucah. Hingga aku kehilangan akal sehat, untuk sepersekian detik.

"Boleh aku liat foto kamu sama dia?" Aku meminta.

"Buat apa Nat? Aku nggak mau nyakitin kamu."

"Mungkin kalau aku lihat kamu bahagia sama dia, aku bakal relain kamu."

"Nggak. Itu bakal nyakitin kamu."

"Tapi aku bakal cepet moveon Gi." Kali ini aku yang memohon.

"Nggak! Aku nggak mau nyakitin kamu lebih dari ini. Cukup kamu tahu aku bahagia sama dia."

Sekali lagi aku tercegat. Tahu kamu nggak bakal ngirimin, entahlah. Ada perasaan kalah yang aku rasain.

Sampai akhirnya aku ngalah. Dan ngirimin kamu setumpuk chat di line.

Kamu nggak mau ngirim?

Fine! Nggak apa-apa. Aku nggak pernah nuntut apapun ke kamu.

Tapi malam ini tebak siapa yang memohon Gi? Memohon buat kamu sakitin lebih?

Aku!

You are such a beautiful breaker Gi.

Pecundang.

Kenal kamu, buang-buang waktu.

SENT!

Setelah mastiin kamu langsung baca chat panjang itu, keputusan selanjutnya adalah....

Block.

Lalu.....

Nangis.

Nangis sebodoh-bodohnya orang patah hati. Malem itu seperti ada perasaanku yang dengan sengaja aku hancurkan sendiri tapi lewat tanganmu.

Ingin rasanya menelan ego mentah-mentah, kemudian menelponmu. Memaksamu untuk menjadi pendosa yang terlanjur.

Pendosa yang nggak setia. Kalau memang sayangmu ke dia terlalu besar hingga kamu nggak mampu ngelepasin dia, maka nggak ada pilihan lain selain minta untuk berdosa bersamaku. Mungkin dalam dosa-dosa yang kita sengaja kelak, kita bisa berdoa. Untuk di ampuni, juga di jodohkan.

Tapi nggak. Ternyata aku wanita yang cukup baik. Wanita yang percaya bahwa menyakiti wanita lain dengan sengaja adalah suatu ketidakperluan, meski sempat aku lakuin.

Maka malam ini dengan mantap, aku ngelepasin juga ikhlasin kamu.

Bahagia ya sama dia.

Selamanya kalau perlu.

Aku nggak mau kamu kelak balik, hanya buat nyoba lagi.

Karena saat itu, mungkin, langkahku, sebagaimana kerasnyapun kamu paksain, nggak bakal bisa seirama sama langkah kamu lagi.

Lantas aku nangis. Lupa aku sedang berada dimana. Kuharap mbak Ana punya modal lebih dulu untuk memfasilitasi ruangan ini dengan pengedap suara. Minimal kecengenganku nggak kedengaran tamu lain.

Tapi no, keesokan harinya, jam sarapan,  ketika aku duduk di meja makan, sambil memegang segelas kopi item panas di tangan kananku,

Seseorang yang keluar dari kamar sebelah menyapa.

"Nggak baik habis nangis langsung minum kafein. Nih minum air putih dulu," sapanya, dengan suara bariton yang dalam.

Ah Gugiiiiii, kuharap pagi ini ban kendaraanmu pecah dan jauh dari bengkel.

Aamiin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status