Share

konsultasi pertama

Tok! Tok! Tok!

“Masuk!” Teriak Ameera dari dalam ruangan kerjanya. Seorang suster muncul dari balik pintu. Di tangannya tumpukan dokumen tertata rapih kemudian disodorkan ke depan Ameera.

“Pasien terakhir sudah datang, dok. Dan ini dokumen data diri beliau,” ucap suster sopan. Ameera mengambil alih map biru dari genggaman suster.

“Terima kasih, suster. Tolong persilahkan pasien masuk.”

“Baik, dok.”

Suster pergi meninggalkan Ameera, beberapa detik kemudian bayangan wanita berganti menjadi sosok pria jangkung yang memasuki ruangan berukuran 3x5 itu.

“Selamat siang, dok.”

Tubuh Ameera sontak menegang kala suara yang barusan ia dengar seolah tak asing di telinga. Ia mendongak, dan mendapati sosok pria yang ia temui setengah jam lalu.

“Kamu?” ucap Ameera tak percaya. Ia memalingkan pandangannya dari pria itu ke map berisi data diri pasien. Nama Akbar dimitri beserta selembar pas foto terpampang di sana.

Wajah pria di foto dengan sosok yang berdiri di dekat pintu sama persis. Bahkan, pria itu seolah tak mengganti pakaiannya.

“Bu Ameera?” Susul Akbar menyebut nama Ameera dengan sangat mulus. Ia sama terkejut ya dengan Ameera hingga tak mampu mengontrol raut wajahnya.

“Silahkan duduk, Pak Akbar.” Nada bicara Ameera langsung berubah formal. Ia sadar situasi saat ini bukanlah momen yang sama dengan yang ia hadapi sebelumnya. Setelah mempersilahkan Akbar untuk duduk, Ameera menyiapkan beberapa catatan untuk merekam jejak-jejak informasi penting pasiennya.

“Saya tidak menyangka kamu yang akan membantu saya,” ucap Akbar. Seulas senyum terlukis indah di wajah tampannya. Dua bola mata biru menyorot tepat di kedua manik mata Ameera dalam. Seolah ia bisa mengeruk banyak-banyak kenyamanan yang terkuak dari sana.

“Sepertinya ini kebetulan, tapi, saya berharap bisa sedikit meringankan beban yang sedang kamu hadapi saat ini. Jadi, apakah kita bisa memulainya sekarang?” tanya Ameera lembut. Sikapnya saat ini sedikit berbeda dengan yang ia tunjukkan saat perkenalan tadi. Ameera tetap menjaga profesionalitasnya sebagai seorang Psikolog meski pasien yang ia tangani saat ini adalah orang yang ia kenal.

Ameera menunggu respon Akbar dengan sabar. Dalam hati menduga masalah yang sedang dihadapi oleh pria itu adalah masalah yang cukup berat. Namun, tak bisa disanggah ada kekhawatiran yang tiba-tiba muncul di benak Ameera. Khawatir Akbar justru segan untuk membagikan keluhannya pada Ameera karena pertemuan awal mereka tadi.

“Jika kamu masih merasa ragu, kita bisa mengobrol banyak hal lain yang mungkin bisa membuatmu sedikit rileks,” saran Ameera. Ia tak bisa memaksakan siapapun untuk menumpahkan keluh kesahnya.

“Bagaimana caranya melupakan masa lalu, Ameera? Bolehkah aku memanggilmu demikian? Aku pikir itu akan membuatku merasa lebih leluasa.” Akbar menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Menghela napas pelan dan berat.

“Kamu bisa memanggilku dengan nama saja selama itu bisa membuatmu nyaman.” Ameera mengulas senyum yang tak pernah ia lepaskan dari wajahnya. Sikap lembutnya tak ayal sering kali membuat para pasien nyaman ketika berada di dekatnya.

Akbar menatap lurus ke arahnya, seketika itu pula jantung Ameera berdegup kencang di luar batas normal. Siapa yang bisa mengelak ketampanan pria ini? Wanita norma seperti Ameera saja kesulitan mengontrol diri.

“Panggil saja Akbar, baiklah, bagaimana cara melupakan masa lalu yang paling efektif?” Akbar mengulang lagi pertanyaannya. Masih konsisten dengan tatapan penuh misteri untuk Ameera.

Jika biasanya Ameera bisa dengan mudah menjawab pertanyaan pasien, kali ini satu pertanyaan pembuka saja sudah membuat dadany kembang kempis. Ameera menghela napas pelan sebelum menjawab. Di otaknya sudah diatur sedemikian rupa untuk menjawab sesuai teori psikologis yang sudah ia hafal di luar kepala.

“Tentunya, dengan melepaskan semua hal yang dirasa menjerat diri kita dari masa lalu itu. Apakah belakangan ini kamu mengalaminya?” Ameera balik bertanya.

Akbar sontak mengalihkan pandangan ke arah lain kala pertanyaan itu terlontar dari mulutnya. Raut wajahnya berubah tegang apalagi saat Ameera mencoba mendeteksi keluhan yang ada dalam diri pria itu.

“Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia terlihat frustasi sekali?” Batin Ameera bergejolak. Menyimpan rasa penasaran yang begitu besar akan latar belakang pria ini.

“Ya, belakangan aku sering kali merasa cemas akan masa lalu dan masa depan. Apakah itu hal yang normal untuk orang-orang seusia kita?” tanya Akbar lagi. Jarinya yang tergeletak di atas meja ia ketuk-ketukan senada dengan detak jarum jam yang suaranya mendominasi di kala hening.

Tiap kali Ameera hendak mengajukan pertanyaan, ribuan kali pula ia menimbang-nimbang. Pria ini terlihat kokoh di luar namun gestur tubuhnya menunjukkan hal sebaliknya.

“Aku tidak bisa tidur nyenyak tiap kali aku mengingat masa lalu, apakah ini yang dinamakan trauma?” Akbar menyambung lagi seolah tak sabar ingin mendengar jawaban Ameera. Kini, Ameera yang bersikap seolah ia adalah tersangka penyebab keluhan yang dialami oleh Akbar. Mendadak Ameera tak bisa mengatur suasana. Pesona Akbar terlalu kuat bahkan untuk diabaikan.

“Sebelum aku menjawab lebih jauh, bolehkah aku mengetahui inti masalah kamu terlebih dahulu?” kata Ameera mencoba membalikkan keadaan.

Tatapan mereka kembali bertemu, sedangkan bibir Akbar bagaikan gerbang yang dikunci rapat. Tak sedikitpun bersuara.

“Apakah aku bisa memberimu kepercayaan untuk menjaga rahasia terbesarku?”

“Tentu, aku memiliki tanggung jawab untuk hal itu. Kamu bisa membagi keluhanmu dengan berproses,” balas Ameera ramah.

Hidung mancung dan bibir tipisnya seolah menggoda lelaki manapun yang melihatnya. Paras cantik dengan segudang talenta yang Ameera miliki kelihatannya mampu membuat Akbar cukup banyak menaruh perhatian padanya.

“Aku baru saja kehilangan seseorang yang sangat berarti bagiku. Mengikhlaskan seseorang yang pernah memberikan banyak kontribusi dalam hidupku ternyata tidak semudah yang aku kira. Aku terlalu percaya bahwa dia tidak akan direnggut dariku hingga…. ,” Akbar sengaja menggantungkan kalimatnya. Di depannya.

Momen diskusi menjadi momen paling menegangkan selama perjalanan karir Ameera sebagai seorang psikolog. Kehadiran Akbar yang tiba-tiba langsung membuat segenap perhatian dan rasa penasaran disematkan pada pria itu.

“Aku mengalami kegagalan cinta. Psikologku terdahulu mengatakan bahwa aku mengalami Obsession Love Syndrome yang membuat aku tak bisa melepaskan kepergian kekasihku. Ketika kamu mengetahui hal ini, apakah kamu bisa membantuku?” tanya Akbar. Untuk sekejap ruangan serba putih itu diselingi oleh keheningan. Meski pekerjaan yang Ameera lakoni saat ini akan berkesinambungan dengan kondisi mental seseorang, bagaimanapun ia tetaplah manusia biasa. Meski tahu apa itu Obsession Love Syndrome, Ameera tak menyangka, di balik wajah tampan dan tubuh atletis Akbar menyimpan banyak kerapuhan.

“Aku akan membantumu selama kamu bisa mengikuti prosedurnya, Akbar. Dan ini semua butuh proses. Kamu tidak perlu khawatir, selama kamu mengikuti semua aturannya aku yakin kamu bisa terlepas dari keluhan ini,” ucap Ameera. Membuka diri untuk mengenal lebih jauh pasien yang hari ini membuatnya meluangkan waktu lebih banyak untuk mendengarkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status