Tubuh Ameera terhuyung ke belakang setelah sebuah tamparan melandas mulus di pipinya. Untuk beberapa saat Ameera mencoba menyesuaikan diri dengan situasi yang sedang ia hadapi. Suara tamparan yang begitu keras membuat kesadaran Akbar terpulihkan. Ameera berdiri di depannya sambil menatapnya bingung. “Ameera? Kenapa kamu yang di sini?” tanya Akbar tak kalah bingung. Semua kejadian yang melibatkan mereka berdua tadi ternyata hanya ilusi semata. Akbar mengusap kedua matanya berusaha menetralkan pandangan yang sebelumnya buram. “Aku di sini sejak tadi. Menemani kamu melewati banyak hal. Tapi aku rasa kamu terlalu fokus dengan Valentine sehingga tidak ingat ada aku di sini.” Ameera bicara dengan nada yang sedikit dinaikkan. Mendengar betapa Ameera berusaha keras untuk menahan emosinya, Akbar menunjukkan sedikit rasa bersalah di wajah tampan pria itu.“Jadi.. Valentine yang aku lihat tadi..” “Dia hanya halusinasimu,” sela Ameera cepat menampar balik pria itu agar sadar dengan keadaan ya
Suhu dingin di ruangan ini terasa menusuk bagi Ameera. Entah kenapa sekujur tubuhnya terasa lemas. Ameera menggeliat di atas kasur besar yang ia tempati saat ini. Kepala pening dan berat tubuh yang kehilangan banyak tenaga, ada apa ini sebenarnya? Ia mencoba membuka mata, melihat ke sekeliling dengan pandangan yang masih belum fokus. Kini ia berada di sebuah kamar yang terasa asing baginya. Kamar ini juga baru pertama kali ia singgahi. “Apakah aku masih di vila milik Akbar?” Ameera bergumam sendiri. Sadar tidak ada orang lain selain dirinya di sana. Pintu kamar terkunci rapat. Nuansa kamar yang serba putih ini membuat Ameera cukup kesulitan menyeimbangkan kinerja otaknya setelah bangun tidur. Dengan langkah tertatih, Ameera berjalan menuju pintu. Kepalanya masih terasa berat seolah ada benda yang membebaninya saat ini. Di luar sepi, tidak ada tanda-tanda kehidupan lain selain suara sandal yang dipakai Ameera. Ia menatap sekeliling namun tidak menemukan satupun tanda Akbar ada di
Ameera dan sahabatnya, Vira menyusuri lorong rumah sakit sambil sesekali membalas sapaan rekan kerja mereka yang berlalu lalang. Tepat ketika mereka sampai di lobi, Ameera menyapa salah satu suster yang tengah berkutat dengan beberapa dokumen pasien. “Sus, saya ke kantin untuk makan siang. Kamu mau ikut?” tanya Ameera pada wanita itu.“Baik, Dok. Saya di sini saja, dok. Sudah ngemil tadi, dokter saja tidak apa. Saya sedang menyiapkan data untuk pasien terakhir nanti,” jawab suster bernama Maya itu sopan sambil menyunggingkan senyum.“Baiklah kalau begitu, saya pergi ke kantin dulu.” Ameera membalikkan tubuhnya hendak melangkahkan kakinya menuju kantin sambil memainkan ponselnya. Di belakangnya Vira menggoda Ameera yang sejak tadi fokus dengan ponsel. Jiwa ke kepoan nya kembang kempis, meski ia tahu, saat ini Ameera masih sendiri, melihat intensitas sahabatnya dengan ponsel membuat Vira menaruh curiga. “Kamu lagi apa sih? Belakangan aku perhatikan intens sekali sama hp. Jangan-jangan
Tok! Tok! Tok! “Masuk!” Teriak Ameera dari dalam ruangan kerjanya. Seorang suster muncul dari balik pintu. Di tangannya tumpukan dokumen tertata rapih kemudian disodorkan ke depan Ameera.“Pasien terakhir sudah datang, dok. Dan ini dokumen data diri beliau,” ucap suster sopan. Ameera mengambil alih map biru dari genggaman suster.“Terima kasih, suster. Tolong persilahkan pasien masuk.” “Baik, dok.” Suster pergi meninggalkan Ameera, beberapa detik kemudian bayangan wanita berganti menjadi sosok pria jangkung yang memasuki ruangan berukuran 3x5 itu. “Selamat siang, dok.” Tubuh Ameera sontak menegang kala suara yang barusan ia dengar seolah tak asing di telinga. Ia mendongak, dan mendapati sosok pria yang ia temui setengah jam lalu.“Kamu?” ucap Ameera tak percaya. Ia memalingkan pandangannya dari pria itu ke map berisi data diri pasien. Nama Akbar dimitri beserta selembar pas foto terpampang di sana. Wajah pria di foto dengan sosok yang berdiri di dekat pintu sama persis. Bahkan,
Waktu liburan yang Ameera nantikan akhirnya tiba. Setelah melewati lika-liku permasalahan pasien, kini waktu untuk dirinya melepas penat. Salah satu aktivitas yang sudah masuk ke dalam daftar prioritas hal yang harus ia lakukan adalah berbelanja. Saat ini langkah kakinya tengah menyusuri selasar salah satu swalayan paling besar di kota. Waktunya Ameera mengisi ulang stok kebutuhan dapurnya untuk bulan depan.Semua bahan makanan terhampar sepanjang mata Ameera memandang. Lauk pauk, makanan olahan, buah-buahan hingga peralatan dapur menjadi salah satu alat terapi untuk memanjakan mata. “Sayang, aku mau beli buah-buahan. Kamu mau buah apa?” Suara lembut seorang wanita entah kenapa membuat pikiran Ameera langsung terdistraksi. Suara itu terdengar jelas berdayun di telinganya. Ameera menduga wanita itu kini tengah berdiri di belakangnya. Awalnya Ameera mengabaikan interaksi sepasang kekasih yang terdengar menggemaskan itu. Tangan Ameera terulur ke depan, hendak meraih kotak sereal yang
Orang-orang di sekitar swalayan yang berada di dalam mall ini masih memaku pandangan mereka ke arah Ameera dan Akbar. Ameera memutuskan untuk membawa pria itu keluar dari lingkaran orang-orang yang tidak memahami situasinya.“Ikutlah denganku. Kita bicara di luar,” katanya tegas. Ameera menarik pelan tangan Akbar yang masih diam membisu. Pria itu mengikuti langkah Ameera tanpa menunjukkan sedikitpun pemberontakan. Mendadak Ameera was-was. Khawatir jika ucapannya tadi membuat Akbar sakit hati.Mereka berdua masuk ke dalam sebuah kafe yang cukup sepi pengunjung. Ameera memesan minuman untuk sekedar formalitas lalu mendudukkan Akbar di kursi seberangnya. “Duduk, dan tenangkan dirimu.” “Aku tidak bisa tenang sebelum dia ikut denganku, Ameera,” sentak Akbar tiba-tiba. Ameera pikir, kediaman Akbar tadi karena pria itu setidaknya sudah sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Nyatanya, hal itu hanyalah sebuah kamuflase belaka.Ameera menghela napas pelan, menguraikan kesabarannya yang mulai m
Ameera melirik akbar lewat ujung matanya. Pria itu kini tengah menatapnya lamat dengan sedikit perasaan curiga.Buru-bury Ameera melepas rangkulan Akbar dari pundaknya seraya berkata. “Lebih baik kita masuk terlebuh dahulu. Aku akan menjelaskannya di dalam,” putus Ameera kemudian mengepalai langkah mereka menuju rumah. Kedatangan Akbar di rumah bergaya minimalis modern itu disambut oleh pemandangan design interior yang memanjakan mata. Ameera mempersilahkan Akbar untuk duduk di sofa ruang tamu sedangkan ia melenggang pergi menuju dapur.Akbar mengedarkan pandangannya ke sekitarnya. Memperhatikan setiap sudut rumah Ameera dengan lamat. Dua buah bingkai foto keluarga tergantung di salah satu sisi dinding tepat di atas nakas tingkat berisi ornamen pajangan. Foto keluarga yang terlihat harmonis menunjukkan senyuman sepasang suami istri penuh wibawa diapit oleh dua wanita muda. Salah satu dari dua wanita itu adalah Ameera. Rambut sebahu dengan wajah cantiknya yang khas berhasil menarik
Ameera menghempaskan tasnya secara sembarang ke atas kasur bersamaan dengan tubuhnya yang melandas tepat di tempat yang sama. Pandangannya menerawang, menatap ke segala sudut kamar yang kosong. Plafon putih di atasnya bak sebuah layar besar yang ia jadikan sebagai tempat untuk melampiaskan imajinasinya sendiri. Setelah pulang dari rumah Akbar, gejolak perasaan aneh mulai mengganggunya. Perbincangan singkat namun serius tadi membuat Ameera berpikir berulang kali, apa yang membuat mantan kekasih Akbar mencampakkan pria itu demi pria lain?Sekelumit pertanyaan tak kunjung mendapatkan jawaban. Jiwa-jiwa penasaran mulai meronta dalam dada namun tak bisa dengan mudan Ameera lepaskan. Ini bukan tentang dirinya, melainkan tentang sosok pria yang hampir mati karena ditinggal cinta.Sial! Ameera harus menelan mentah-mentah nasibnya yang harus terjerembab ke dalam lingkaran masa lalu orang lain.“Ah, andai saja aku tidak bertemu dengan dia, pasti hari-hariku tidak akan seperti ini,” gumam Ameer