Waktu liburan yang Ameera nantikan akhirnya tiba. Setelah melewati lika-liku permasalahan pasien, kini waktu untuk dirinya melepas penat.
Salah satu aktivitas yang sudah masuk ke dalam daftar prioritas hal yang harus ia lakukan adalah berbelanja. Saat ini langkah kakinya tengah menyusuri selasar salah satu swalayan paling besar di kota. Waktunya Ameera mengisi ulang stok kebutuhan dapurnya untuk bulan depan.Semua bahan makanan terhampar sepanjang mata Ameera memandang. Lauk pauk, makanan olahan, buah-buahan hingga peralatan dapur menjadi salah satu alat terapi untuk memanjakan mata.“Sayang, aku mau beli buah-buahan. Kamu mau buah apa?” Suara lembut seorang wanita entah kenapa membuat pikiran Ameera langsung terdistraksi. Suara itu terdengar jelas berdayun di telinganya. Ameera menduga wanita itu kini tengah berdiri di belakangnya.Awalnya Ameera mengabaikan interaksi sepasang kekasih yang terdengar menggemaskan itu. Tangan Ameera terulur ke depan, hendak meraih kotak sereal yang ada di depannya. Bersamaan dengan itu, sebuah tangan lain juga meraih kotak sereal yang sama. Ameera tertegun beberapa saat lalu menoleh ke samping.Sosok wanita cantik dengan pakaian yang modis juga tengah menatap Ameera dengan pandangan bingung. Sadar dirinya mengambil alih barang yang sudah seharusnya milik orang lain lantas menarik tangannya.“Maaf, silahkan ambil,” kata Ameera tak enak hati.Wanita itu juga turut melepaskan pegangannya di kotak sereal, melakukan hal yang sama dengan yang Ameera lakukan.“Tidak, mbak. Seharusnya aku yang meminta maaf. Kamu mengambilnya lebih dulu dibandingkan aku,” kata wanita itu. Ia mengambil kotak sereal yang tinggal tersisa satu buah kemudian memberikannya pada Ameera. Ameera terkejut melihat perlakuan wanita di hadapannya yang begitu sopan. Menolak pun ia segan.“Apakah tidak apa-apa?” Ameera memastikan lagi. Wanita itu mengangguk.“Tidak apa-apa, mbak. Lagi pula saya hanya ingin melihat kandungan gizinya saja. Jadi ambilah,” ucapnya sambil tersenyum manis. Ameera lega, ia hendak kembali berucap namun niatnya terhenti ketika sosok pria dengan seragam pilot lengkap menghampiri wanita itu.“Sayang, aku mau beli ini,” katanya, belum menyadari interaksi antara Ameera dan wanita yang Ameera duga sebagai kekasihnya.“Iya, sayang. Kita akan membelinya,” balas wanita itu. Kini ia mengalihkan pandangannya pada Ameera yang diam membisu. Menjadi saksi kemesraan antara dua sejoli yang cintanya masih ranum.“Kalau begitu, saya permisi dulu ya, mbak,” ucapnya.Ameera mengangguk pelan seraya berkata, “iya, mbak. Terima kasih.”Wanita itu pun beralih. Menghampiri sang kekasih yang berdiri tak jauh darinya. Pria itu menatap Ameera tanpa sengaja kemudian mengangguk sopan.Selang beberapa saat mereka pergi, Ameera masih memandangi bayangan dua sejoli yang terlihat serasi itu. Pikiran nakalnya mulai membayangi wanita yang ada di sana adalah dirinya. Dicintai oleh pria dengan segenap perlakuan lembut adalah hal yang Ameera idamkan sejak lama.Apa daya, di usianya yang sudah menginjak angka 26 ini Ameera masih harus berkutat dengan pekerjaan demi masa depannya. Berbeda dengan kebanyakan wanita yang sudah memiliki gandengan untuk menemani mereka melewati hari-hari berat.“Ah, bagaimanapun aku bahagia meski sampai sekarang masih berstatus jomblo. Aku percaya Tuhan akan mendatangkan pangeran untukku di waktu yang tepat,” gumamnya pada diri sendiri. Memberikan suntikan semangat untuk tak menaruh iri pada apapun yang bukan miliknya.Kembali Ameera melanjutkan langkah, ia terhanyut dalam suasana menenangkan. Alunan musik berdendang dengan syahdu menemani momennya memilih bahan makanan dengan kualitas terbaik. Belanja bulanan adalah salah satu momen yang paling ia tunggu-tunggu. Menghabiskan waktu sendirian ditemani hamparan pemandangan buah dan sayuran berbagai warna cukup membuat pikiran Ameera tenang.Ketenangan itu bisa Ameera rasakan hingga sebuah suara yang saling bersahutan keras membuat kenyamanannya terusik.“Aku gak mau ikut kamu! Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, biarkan aku bahagia dengan kekasihku!” teriak seorang wanita memaki seseorang di hadapannya.Ameera mengerutkan kening melihat wanita yang tadi sempat berinteraksi dengannya berdiri di area kasir sambil memaki seorang pria. Di sampingnya, pria yang menjadi kekasih wanita itu mencoba melerai keributan yang terjadi, namun sikap pria lain yang menarik tangan wanita itu semakin menjadi-jadi hingga membuatnya kehilangan kesabaran.“Saya bilang lepaskan pacar saya! Kamu hanya mantan tak berguna yang mengganggu waktu kebersamaan kami. Dia sudah memilih saya, seharusnya kamu bisa menerima keputusannya!” bentak pria itu di hadapan banyak orang.Tetapi, bukan itu yang menjadi masalah bagi Ameera. Pandangannya justru tertuju pada sosok pria tinggi dengan bahu lebar yang berdiri memunggunginya. Dari segi postur pria itu rasanya tak asing bagi Ameera.Penasaran, ia mencoba mendekat, hingga akhirnya wajah pria itu bisa melihatnya dengan jelas.“Akbar?” ucap Ameera refleks. Pertikaian panas yang tengah terjadi sontak terhenti. Semua orang mengalihkan pandangan mereka ke arah Ameera. Tak terkecuali Akbar yang terlihat terkejut dengan apa yang ia lihat barusan.“Ameera? Apa yang kamu lakukan di sini?” gumam Akbar pelan namun tangannya tak bisa melepaskan pegangannya di tangan wanita yang menjadi rebutan dua pria sekaligus.“A-aku sedang belanja kebutuhan rumah. Kamu sendiri—“Sebelum benar-benar melanjutkan ucapannya, Ameera terpaksa bungkam ketika melihat sikap Akbar yang seolah langsung menutup aksesnya untuk bicara. Pria itu kembali beralih pada wanita tadi.“Ikutlah denganku, Valentine. Aku tidak rela jika kamu harus bersama berandal ini. Dia tidak pantas untukmu. Hanya aku yang bisa menerima kamu apa adanya,” ucap Akbar pada wanita yang baru Ameera ketahui bernama Valentine.Valentine mati-matian memberontak. Pergelangan tangannya merah karena perlawanan yang ia kerahkan. Menatap Akbar penuh kebencian.“Tidak akan! Aku tidak akan kembali padamu meski kamu adalah pria terakhir sekalipun di dunia ini,” tandas Valentine kejam. Di saat yang bersamaan, pegangan keduanya terlepas. Valentine bergegas menarik diri dan berlindung di balik tubuh sang kekasih.“Jangan ganggu kekasihku lagi jika kamu ingin nyawamu selamat! Sayang, ayo kita pergi.”Valentine mengangguk, lalu pasangan itu cepat-cepat mengambil langkah untuk menghindar. Akbar hilang kendali, wajahnya memerah menahan amarah. Kedua kakinya siaga untuk menyusul pasangan yang berseteru dengannya.“Valentine tunggu! Aku belum selesai bicara! Vale!” teriak Akbar tanpa malu.Ameera yang memahami situasi semakin keruh, menarik tangan Akbar. Menahan niat pria itu untuk menyusul sang mantan kekasih.“Akbar, Akbar, cukup. Diam di sini. Biarkan mereka pergi,” ucap Ameera mencoba menenangkan pasiennya. Namun, Akbar bertingkah bagaikan seekor harimau kelaparan yang hendak menerkam mangsanya. Sorot mata tajam kini beralih pada Ameera. Niat Akbar yang tertahan membuat emosinya semakin mendidih.“Tahu apa kamu tentang aku sampai beraninya kamu menghentikan rencanaku?”Deg!Kalimat Akbar langsung menghantam relung hati Ameera yang lembut. Ameera tersinggung, namun berusaha keras untuk tetap tenang.“Dengarkan aku. Meskipun kamu mengejarnya hingga ke ujung dunia jika dia memilih kebahagiaan lain, pada akhirnya kamu satu-satunya orang yang merugi di sini,” balas Ameera tegas. Kalimatnya langsung membuat tubuh Akbar seketika lemas.Suhu dingin di ruangan ini terasa menusuk bagi Ameera. Entah kenapa sekujur tubuhnya terasa lemas. Ameera menggeliat di atas kasur besar yang ia tempati saat ini. Kepala pening dan berat tubuh yang kehilangan banyak tenaga, ada apa ini sebenarnya? Ia mencoba membuka mata, melihat ke sekeliling dengan pandangan yang masih belum fokus. Kini ia berada di sebuah kamar yang terasa asing baginya. Kamar ini juga baru pertama kali ia singgahi. “Apakah aku masih di vila milik Akbar?” Ameera bergumam sendiri. Sadar tidak ada orang lain selain dirinya di sana. Pintu kamar terkunci rapat. Nuansa kamar yang serba putih ini membuat Ameera cukup kesulitan menyeimbangkan kinerja otaknya setelah bangun tidur. Dengan langkah tertatih, Ameera berjalan menuju pintu. Kepalanya masih terasa berat seolah ada benda yang membebaninya saat ini. Di luar sepi, tidak ada tanda-tanda kehidupan lain selain suara sandal yang dipakai Ameera. Ia menatap sekeliling namun tidak menemukan satupun tanda Akbar ada di
Tubuh Ameera terhuyung ke belakang setelah sebuah tamparan melandas mulus di pipinya. Untuk beberapa saat Ameera mencoba menyesuaikan diri dengan situasi yang sedang ia hadapi. Suara tamparan yang begitu keras membuat kesadaran Akbar terpulihkan. Ameera berdiri di depannya sambil menatapnya bingung. “Ameera? Kenapa kamu yang di sini?” tanya Akbar tak kalah bingung. Semua kejadian yang melibatkan mereka berdua tadi ternyata hanya ilusi semata. Akbar mengusap kedua matanya berusaha menetralkan pandangan yang sebelumnya buram. “Aku di sini sejak tadi. Menemani kamu melewati banyak hal. Tapi aku rasa kamu terlalu fokus dengan Valentine sehingga tidak ingat ada aku di sini.” Ameera bicara dengan nada yang sedikit dinaikkan. Mendengar betapa Ameera berusaha keras untuk menahan emosinya, Akbar menunjukkan sedikit rasa bersalah di wajah tampan pria itu.“Jadi.. Valentine yang aku lihat tadi..” “Dia hanya halusinasimu,” sela Ameera cepat menampar balik pria itu agar sadar dengan keadaan ya
Ameera memandangi sebuah rumah di depannya dengan pandangan yang tak biasa. Di sekitar rumah itu dikelilingi dengan taman bunga yang nampak indah. Ia tidak menyangka Akbar akan membawanya ke sini setelah insiden yang mendebarkan terjadi.“‘Masuklah. Setidaknya di sini aman,” kata Akbar setelah mengunci mobilnya. Pria itu berjalan tergopoh sambil memegangi tangannya yang luka. “Perlahan saja, aku juga merasa di sini aman,” balas Ameera. Ia membantu Akbar yang kesakitan untuk menaiki tangga menuju teras rumah itu. Akbar termangu melihat perlakuan Ameera yang begitu lembut padanya. “Arggh!” “Kamu tunggu sini, aku akan mencari kotak P3K untuk menangani lukamu.” Ameera bergegas pergi menyusuri setiap sudut rumah ini. Tidak peduli apakah Akbar akan mengizinkannya atau tidak. Bagi Ameera, keselamatan Akbar saat ini adalah yang utama. Rumah ini terbagi menjadi beberapa bagian. Ruang tengah di dominasi dengan cat dinding berwarna biru yang menyejukkan. Seperti rumah pada umumnya, ruang ten
Akbar melenggang pergi dari hadapan Ameera dengan obat-obatan yang ia abaikan.Sebagai orang yang berniat untuk membantu, tentu ada rasa tersinggung akan sikap Akbaryang terkesan seenaknya.“Kalau kamu tidak meminum obat ini, kamu akan terus dihantui perasaan gelisah. Tidak adasalahnya untuk rileks sebentar, Akbar,” kata Ameera mencoba membujuk.“Aku bukan orang gila, Ameera. Harus berapa kali aku katakan padamu?” balas Akbardengan nada sedikit tinggi.“Baiklah kalau begitu. Kita pulang sekarang. Aku akan mengantarmu sampai ke rumah.”Ameera bangkit dari tempatnya, menarik lengan Akbar dan menyeret pria itu keluar darikamar hotel.Sebelum benar-benar meninggalkan hotel, Ameera harus menyelesaikan tanggung jawabatas ulah yang dilakukan Akbar. Membayar denda untuk aset hotel yang hancur karenalampiasan emosi Akbar.Sedangkan Akbar sendiri hanya diam termangu menatap ke sekitar dengan pandanganmalas. Benar-benar seperti orang yang tak berniat untuk hidup.“Totalnya j
Beberapa hari sudah berlalu setelah pertemuan terakhir Ameera dengan Valentine waktu itu.Ameera melanjutkan hari-harinya dengan perasaan gelisah.Semenjak itu pula Akbar kembali menghilangkan jejak. Pikir Ameera, mungkin saja pria itusedang sibuk dengan pekerjaannya. Terakhir kali informasi yang Ameera dapatkan, Akbarmulai aktif kembali untuk menjalankan tugasnya sebagai pilot. Setidaknya dengan informasiyang ia dapatkan itu Ameera bisa sedikit membuatnya tenang.“Bu Ameera, apakah anda masih menangani klien atas nama Akbar?” Seorang suster yangduduk di depan Ameera bertanya di sela-sela jam istirahat mereka. Ameera yang hendakmenyuapkan makanan menghentikan niatnya.“Beliau masih menjadi klienku, sus. Tapi beberapa waktu ini beliau ada kesibukan. Ada apa,sus?” Ameera bertanya balik.“Tidak apa, bu. Kemarin saya lihat beliau sempat mengunjungi rumah sakit. Saya pikir beliaumau konsultasi dengan Bu Ameera, tapi ternyata menjemput seorang wanita yang dokterobgyn,”
Kamu hati-hati di jalan ya.” Vira menempelkan kedua pipinya secara bergantian di wajah Ameera. Jam praktik mereka sudah habis dan waktunya untuk pulang.“Iya, kamu juga hati-hati. Aku duluan ya.” Ameera pamit sembari melanjutkan langkahnya menuju parkiran. Mobil putih miliknya terparkir di area paling ujung. Membuat Ameera mau tak mah harus berjalan lebih jauh dari biasanya. Setelah bercengkrama dengan Vira, rasanya sebagian besar bebannya terangkat meski Ameera tidak menceritakan dengan gamblang masalahnya.“Ameera.” Langkah Ameera terhenti saat seseorang memanggil namanya. Ameera tidak langsung membalikkan tubuhnya untuk mencari tahu siapa orang itu. Ia memilih diam. Tak sedikitpun berkutik. Derap langkah kaki orang itu terdengar semakin jelas dan dekat. Rasanya, Ameera harus menunjukkan sikap lebih waspada sebelum berbagai hal tak diinginkan terjadi.“Ameera, apakah kamu sudah mau pulang?” tanya orang itu sambil menepuk pundak Ameera. Tubuh Ameera seketika menegang.“Ameera ini
Suasana hati Ameera mendadak kacau karena rencana yang tadi malam dicanangkan oleh mamanya. Beban pikiran semakin bertambah dikala Ameera tak memiliki pilihan lain. Lalu, bagaimana ia bisa mengatasi semuanya? Sepertinya kapasitas otaknya tak mampu lagi menahan beban pikiran yang semakin menumpuk. Wajahnya terlihat semakin frustasi. Tak tahu lagi bagaimana ia harus bersikap saat ini. Deretan data pasien sudah menjadi makanannya sehari-hari. Namun masalah di luar pekerjaan justru yang paling dirasa berat bagi Ameera.“Wajah kamu kusut banget. Ada apa?” Vira tiba-tiba datang dari ruang konsultasi di sebelah ruangan Ameera yang hanya dibatasi oleh tirai. “Astaga, sejak kapan kamu di sana, Vira?” ucap Ameera terkejut. Sebelah tangannya mengelus dada. Vira nyengir kuda. Memampang raut wajah tak bersalah di depan Ameera. “Ku lihat sejak tadi pagi sahabatku begitu frustasi. Apa yang sedang mengganggu pikiranmu wahai sobat?” Goda Vira sambil mengedipkan sebelah matanya. Jangan heran deng
Bukan aku yang mau mencari masalah denganmu. Tapi kamu yang memulai masalah,” jawab Ameera ketus. Tak ada lagi rasa takut dan khawatir yang hinggap di dalam dirinya. Satu hal yang paling penting baginya saat ini adalah, mengamankan Valentine dari segala macam ancaman bahaya yang mungkin saja Akbar rencanakan.Persetan dengan apapun yang ada dipikiran Akbar. Ia hanya ingin semuanya selamat. Tidak peduli juga pria itu akan membenci Ameera setelah ini.“Ameera, tolong bawa pergi pacarmu ini. Aku tidak sudi kembali dengannya,” pungkas Valentine setengah memohon.Sorot matanya menunjukkan betapa wanita itu ingin lepas dari jeratan Akbar. Ameera sebagai sesama wanita pun menaruh iba padanya.“Sudahlah, Akbar. Lebih baik kita pergi dari sini sebelum aksimu menjadi bulan-bulanan warga komplek.” “Tidak. Aku tidak akan pulang tanpa Valentine. Kamu memang kekasihku tapi bukan berarti kaku bisa mengaturku, Ameera,” tandas Akbar kejam. Tak hanya Ameera, Valentine pun terkejut dengan reaksi yang
Bukan aku yang mau mencari masalah denganmu. Tapi kamu yang memulai masalah,” jawab Ameera ketus. Tak ada lagi rasa takut dan khawatir yang hinggap di dalam dirinya. Satu hal yang paling penting baginya saat ini adalah, mengamankan Valentine dari segala macam ancaman bahaya yang mungkin saja Akbar rencanakan.Persetan dengan apapun yang ada dipikiran Akbar. Ia hanya ingin semuanya selamat. Tidak peduli juga pria itu akan membenci Ameera setelah ini.“Ameera, tolong bawa pergi pacarmu ini. Aku tidak sudi kembali dengannya,” pungkas Valentine setengah memohon.Sorot matanya menunjukkan betapa wanita itu ingin lepas dari jeratan Akbar. Ameera sebagai sesama wanita pun menaruh iba padanya.“Sudahlah, Akbar. Lebih baik kita pergi dari sini sebelum aksimu menjadi bulan-bulanan warga komplek.” “Tidak. Aku tidak akan pulang tanpa Valentine. Kamu memang kekasihku tapi bukan berarti kamu bisa mengaturku, Ameera,” tandas Akbar kejam. Tak hanya Ameera, Valentine pun terkejut dengan reaksi yang d