LOGINTangan Zelda membeku di atas buku catatan. Dia masih memandang wajah Noah, lekat-lekat, untuk memastikan kembali bahwa laki-laki bernama Noah Grimm itu sama dengan Noah Grimm yang sudah mengambil mahkotanya dua bulan lalu.
Namun, lamunan itu seketika pudar ketika teman akrabnya, Sarah, menyikutnya pelan. “Ya Tuhan … Apakah dia titisan Dewa Ares yang sering aku dengar di mitologi Yunani itu? Tampan sekali!” Zelda mengerjap cepat dan tak mengindahkan ucapan Sarah yang sangat terlihat mengagumi pria di balik podium itu. Tatapan Noah menyapu kelas dan berhenti tepat di matanya. Itu cukup untuk menghancurkan seluruh tembok pertahanan yang Zelda susah payah bangun. Ia tersenyum tipis. Senyum yang Zelda kenal. Senyum yang dulu datang bersamaan dengan aroma musk bercampur citrus, dan asap rokok di kamar hotel bintang tiga malam itu. Zelda menunduk cepat, pura-pura menulis. Dalam kepalanya, hanya ada satu kalimat, “Dia ingat. Ya Tuhan, dia ingat!” Kali ini, ada sedikit kilatan licik dan rasa memiliki di sudut matanya yang tajam itu. “Mata kuliah ini …,” kata Noah, menekankan setiap kata, “menuntut disiplin, fokus, dan pemahaman yang mendalam tentang resiko dan konsekuensinya.” “Dalam bisnis, dan dalam hidup, setiap keputusan memiliki harga yang harus dibayar. Terutama, keputusan yang diambil di saat kita berpikir kita bisa melarikan diri dari segalanya.” Zelda membelalakkan mata, tapi tidak berani menoleh ke arah Noah. “Keputusan dan harga yang dibayar, berpikir bisa melarikan diri, apa dia menyindirku?” Zelda bergumam dengan sendirinya, tapi tiba-tiba pandangan matanya menyapu celana levis abu yang berhenti tepat di depan mejanya. “Pro-Profesor Noah.” Dari tatapan matanya, Noah memberi isyarat agar Zelda memperhatikannya selama perkuliahan berlangsung. Meski tidak berbincang satu sama lain, gadis itu paham bahwa Noah mengirim pesan tersirat melalui materi kuliah. Pun ketika kelas berakhir, Zelda masih duduk di bangkunya. Sepanjang materi tadi, keringat dingin terus mengucur dari dahi Zelda karena dia sangat ketakutan. Ingatan dua bulan lalu kembali terpampang jelas di benaknya, apalagi ketika dirinya dan Noah berada dalam satu ranjang yang sama. “Eh, Zelda, kau nggak mau ikut tanya-tanya ke Prof. Noah?” Sarah menepuk pundak Zelda. “Di-dia tampan, bukan? Kenapa kau nggak tertarik? Ayo, cepat, sebelum kita keduluan yang lain.” “Aku kurang enak badan,” singkat Zelda, kemudian dibalas anggukan lesu Sarah. Keduanya hanya melihat dari kejauhan saat mahasiswa lain langsung mengerubungi Noah. Beberapa perempuan yang duduk di belakang Sarah dan Zelda, berbisik-bisik kagum. Semuanya memuji Noah, terlebih ketika ada salah satu mahasiswi teriak karena mengetahui informasi bahwa Noah masih lajang. "Sumpah, Zelda, kamu kalau lihat Profesor Noah pasti ikutan terpikat. Dia tampan sekali, mirip model. Suaranya juga, uhh ... berat dan agak serak basah. Sejauh ini, dia adalah pria paling idaman yang pernah aku lihat!" Zelda coba menanggapinya biasa saja dan berharap Noah tidak ingat dengan kejadian malam itu. Namun, kalimat teman dekatnya tiba-tiba membuatnya tersentak. "Dia lajang, sumpah, dan itu infonya valid. Kamu lihat gadis tadi teriak, kan? Aku yakin, sekelas dia, pasti suka dengan perempuan pintar. Kalau aku pikir lagi, kamu kayaknya cocok dengan dia!” Zelda tiba-tiba tersedak saat mendengar ocehan teman terdekatnya di luar dugaan. Sarah buru-buru menepuk punggung Zelda sambil cekikikan pelan. “Sarah.” Zelda berdiri cepat. “Aku duluan, ya.” “Dasar aneh! Ternyata masih ada gadis yang tak tertarik dengan pesona Prof. Noah.” Zelda menoleh sambil terlihat berpikir. “Aku … ada urusan. Sebentar.” “Oke! Sampai jumpa lagi!” Zelda melangkah cepat keluar kelas, mencoba menenangkan napas. Istirahat ini dia habiskan untuk membeli americano terlebih dahulu, merenung, sekaligus khawatir karena Noah adalah laki-laki malam itu. Memang, Noah adalah tipikal laki-laki idaman, bahkan semua mahasiswi di kelasnya, berebut meminta foto bareng Noah di pertemuan pertama. Kabar Noah yang masih lajang pun dengan cepat menyebar ke kelas lain. Beberapa mahasiswi di kantin, banyak yang mengeluh, apalagi mereka yang tidak mendapat dosen seperti Noah di mata kuliah mereka. Zelda yang mulai risih, dia memilih keluar dari lingkungan sekitarnya terlebih dahulu. Nama “Noah” membuat perutnya mual. Namun, saat tak sengaja melewati ruang Dosen, langkahnya berhenti ketika suara itu memanggil dari belakang. “Zelda.” Suara rendah dan serak yang belakangan ini menghantui setiap mimpinya terdengar lagi. Zelda membeku sejenak. Ia berbalik, jantungnya berdebar kencang. Noah sudah berdiri di ambang pintu. "Tolong tunggu sebentar. Ada yang ingin aku diskusikan denganmu, terkait materi kuliah semester ini." Noah menghentikan kalimatnya, lalu menambahkan dengan senyum kecil yang sama sekali tidak ramah. “Oh. Bagaimana, Prof?” Zelda menjawab ketus, sengaja untuk menyembunyikan rasa takutnya. “Masuk dan duduk dulu, tidak usah terburu-buru.” Noah mempersilakan Zelda menempati kursi di ruangan pribadinya, sedangkan dia sendiri berdiri. “Jadi, biasanya menggunakan metode apa ketika Profesor James masih mengajar?” “Mmm, diskusi biasa.” Noah mencoba memecah suasana dengan pura-pura tidak ingat kejadian malam itu. Dia sebenarnya tahu kalau Zelda masih mengingatnya. Hanya saja, Noah berusaha bersikap biasa saja seperti sekarang. “Diskusi biasa itu seperti apa? Bisa jelaskan?” Noah terkekeh singkat, berusaha berlagak profesional. “Kau mengerti, bukan, aku hanya Dosen pemula disini?” Noah bertingkah selayaknya dosen baru, meski Zelda sendiri paham—dari nada bicaranya—Noah memiliki tujuan lain agar mereka bisa berdua di satu ruangan yang sama “Beliau biasanya pakai sistem diskusi kelompok di minggu kedua perkuliahan,” jelas Zelda. “Kadang pula, beliau memberi studi kasus agar mahasiswa bisa latihan analisis setiap ada materi khusus.” Noah mengangguk pelan. “Ah, aku mengerti,” gumamnya. “Dari hasil tugas hari ini, kelihatannya kalian masih terbawa gaya belajar itu.” Zelda menoleh, bingung. “Maksudnya gimana?” Noah tersenyum kecil. “Ya, kalian baru bisa fokus kalau dosennya mengajar atau bicara terus. Begitu dosennya diam sebentar, kelas langsung ramai.” Zelda terkekeh pelan. “Benar juga, ya.” Zelda tersenyum kecil, kali ini lebih rileks. “Mungkin karena Profesor James jarang mengajar secara satu arah. Beliau selalu mengatakan, ‘kalau kamu tidak berdebat, kamu tidak belajar’.” “Sounds like him,” gumam Noah sambil memutar pena di jarinya. Ia lalu membuka map berisi daftar hadir mahasiswa. “Baik, aku akan coba mengkombinasikan metode itu. Tolong bantu aku memantau absensi mereka di kelas, bisa?” “Bisa,” jawab Zelda singkat. “Aku keluar dulu, Prof, setelah ini ada mata kuliah lain. Maaf, aku tidak bisa berlama-lama di sini.” Belum sempat Zelda melangkah, suara Noah kembali membuatnya tersentak. “Zelda! Aku dengar dari dosen lain, kau jarang berada di ruang dosen. Kau juga sering bolos mata kuliah dengan alasan ada kesibukan. Apa kau bekerja sambil kuliah?” “Iya,” jawabnya. “Aku bekerja paruh waktu di sebuah kedai kopi dekat apartemen. Shift sore, pulang jam 10 malam.” Noah mengerutkan dahinya. “Sebentar. Kuliahmu pagi sampai siang, lalu sore harinya, kau bekerja sampai jam 10 malam? Itu belum terhitung tugas kuliahmu. Lalu, waktu istirahatmu kapan? Bukannya uang beasiswa cukup untuk memenuhi kebutuhanmu?” “Aku sudah terbiasa, Profesor. Lagipula, itu tidak terlalu penting diceritakan.” Zelda menghela napas berat, kemudian menarik diri dari ruangan. “Sudah setengah satu, aku pergi dulu.” Namun ketika Zelda sudah hampir sampai di pintu, suaranya kembali terdengar. “Zelda, masih ada 10 menit lagi, kan?” Noah berdiri dari kursinya. Pria itu melangkah pelan menuju gadis yang hendak akan menyentuh kenop pintu. Zelda tiba-tiba merasakan firasat aneh yang membuat bulu kuduknya berdiri saat Noah mendekat. Ia tak sadar kedua kakinya melangkah mundur, sementara langkah Noah terus mengikutinya hingga jarak di antara mereka nyaris lenyap. Punggung Zelda menabrak pintu. Ia bisa mendengar degup jantungnya sendiri, terlalu keras hingga mungkin Noah pun bisa mendengarnya. “Kumohon, jangan lagi! Oh Tuhan, jangan sampai dia kembali melakukannya di sini!” Zelda hanya bisa berharap kalau Noah tidak segila itu melakukan hal tabu di dalam kampus. Tapi, apa Noah peduli? Tentu tidak. Mungkin. Sang dosen sudah terlalu obsesi dengan Zelda dan terus mendekat dengan senyum penuh kemenangan. Saat jarak keduanya sudah dua jengkal, Noah mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Zelda meneguk ludah, membayangkan barang apa yang akan dikeluarkan Noah dari sakunya. Ketika barang itu sudah diangkat, tatapannya terbelalak. “Prof, a-apa ini?”Tiga pria itu sontak menoleh bersamaan.Zelda masih tak berkutik dipenuhi ketakutan yang sudah terlanjur memenuhi dirinya. Namun di bawah alam sadar, ia seperti mengenal suara berat itu. Bayangan seseorang muncul di bawah lampu jalan yang temaram—tinggi, tegap, dan berwibawa.Zelda tertegun. Sosok itu berjalan mendekat tanpa sedikitpun keraguan.“Aku bilang, lepaskan!” ulangnya.Salah satu pria tertawa sinis sembari bangkit dan melepaskan tubuh Zelda, disusul oleh lainnya.“Siapa lagi bedebah ini?!” Tanya salah satu pria itu, lalu menunjuk Zelda, “kau kenal dengan jalang ini??”Zelda menatap bayangan pria itu yang awalnya terlihat masih samar menjadi terlihat sangat jelas, ketika pria itu terus melangkah maju. Kedua mata Zelda membulat terperangah lemah.“Prof …?” suara Zelda nyaris pecah.Tanpa menoleh pada gadis itu, Noah menatap para pria yang masih berdiri dengan ekspresi bingung dan takut.“Pilih,” ucapnya datar, “kabur sekarang … atau aku pastikan kalian tak bisa berdiri lagi.”
Kevin menoleh ke arah pintu. “Pelanggan baru, aku handle—”“Tidak usah,” potong Noah dengan nada tenang, langkahnya mantap mendekat. “Aku hanya ingin berbicara dengan salah satu staf yang bersama kamu itu.”Kevin menatap Zelda sekilas. “Kau kenal dia?”Zelda menggeleng cepat. “T-tidak!” Sembari ia buru-buru bangkit dan kembali di balik counter.Alis Noah naik sebelah sambil tersenyum licik. Ia berdiri di depan counter sekarang. “Long Black, 2 shots espresso. Tidak pakai gula. Takeaway”Suara itu membuat Zelda kehilangan napas. Ia berusaha tampak profesional, meraih gelas plastik tanpa menatap wajahnya.“Baik, Profesor.”“Profesor?” Kevin menatap mereka bergantian, keningnya berkerut.Noah hanya menatap Zelda lebih lama, seperti mengingatkan siapa yang memegang kendali. Saat minuman sudah siap, Noah menerimanya dengan dingin dan membayar pesanannya.“Sampai jumpa setelah kau selesai bekerja,” katanya pelan. “Kita belum sempat bicara panjang.”Lonceng pintu kembali berbunyi ketika ia ke
"Kenapa kamu tidak menghubungiku?"Zelda tergagap. Jantungnya bertalu-talu dengan keras, sehingga ia tak sadar memalingkan wajah. Noah tak memberinya kesempatan. Ia menangkup wajah Zelda, memaksa gadis itu menatapnya. Cengkramannya terasa dominan."Jangan buang muka dariku, Zelda. Aku membencinya." Geram pria itu tertahan."A-aku ketiduran, Profesor," Zelda berbohong, suaranya gemetar. "Aku pulang … s-sangat larut dari kerja shift malam.."Noah menyeringai licik. "Lelah?"Tanpa aba-aba, Noah menarik tubuh Zelda dengan kasar ke dekapannya. Zelda menjerit kecil, tubuhnya terperangkap rapat.“Profesor —!” Panggil Zelda tercekik. Noah menundukkan kepalanya. Hidung mancungnya menyusuri setiap kontur wajah Zelda hingga ke leher jenjangnya. Ia mulai memberi kecupan liar yang berakhir pada hisapan keras. “Ngh ….” Desahan pelan lolos dari bibirnya, sementara tangannya meronta mendorong bahu Noah. “Prof —!”“Shh …,” desis Noah sambil tangan kanannya kembali menutup bibirnya. “Kamu teriak, s
Zelda menatap lama selembar kartu nama yang baru saja diberikan Noah. Pandangannya kosong, seolah pikirannya masih tertinggal pada rasa takut yang baru saja ia alami. “Aku yakin, setelah ini, kita pasti banyak menghabiskan waktu, apalagi kau jadi mahasiswaku di sini.” Hah!? Zelda hanya menggelengkan kepala. Jadi, dugaannya selama ini benar, Noah memiliki motif tertentu. “Hubungi aku nanti malam. Aku ingin berkenalan lebih baik. Lagipula, kita akan sering bekerja bersama, bukan?” Zelda terdiam beberapa detik. “Uh, aku rasa—” “Jangan terlalu dipikirkan,” ucap Noah dengan nada sedikit memerintah, menyelipkan kartu nama itu ke telapak tangan Zelda sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya. “Aku adalah laki-laki sejati. Aku pasti tanggung jawab terhadap perbuatanku dua bulan lalu, Zelda.” Zelda tertohok. Kata-kata itu menyambar hati kecilnya. “Be-bertanggung jawab? A-apa maksudnya, Prof?” Zelda menggigil ketakutan ketika wajah Noah semakin dekat dengannya. “Prof, to-tolong jang
Tangan Zelda membeku di atas buku catatan. Dia masih memandang wajah Noah, lekat-lekat, untuk memastikan kembali bahwa laki-laki bernama Noah Grimm itu sama dengan Noah Grimm yang sudah mengambil mahkotanya dua bulan lalu. Namun, lamunan itu seketika pudar ketika teman akrabnya, Sarah, menyikutnya pelan. “Ya Tuhan … Apakah dia titisan Dewa Ares yang sering aku dengar di mitologi Yunani itu? Tampan sekali!” Zelda mengerjap cepat dan tak mengindahkan ucapan Sarah yang sangat terlihat mengagumi pria di balik podium itu. Tatapan Noah menyapu kelas dan berhenti tepat di matanya. Itu cukup untuk menghancurkan seluruh tembok pertahanan yang Zelda susah payah bangun. Ia tersenyum tipis. Senyum yang Zelda kenal. Senyum yang dulu datang bersamaan dengan aroma musk bercampur citrus, dan asap rokok di kamar hotel bintang tiga malam itu. Zelda menunduk cepat, pura-pura menulis. Dalam kepalanya, hanya ada satu kalimat, “Dia ingat. Ya Tuhan, dia ingat!” Kali ini, ada sedikit kilatan licik dan r
"Kamu cantik sekali, Zelda," bisik Noah, kali ini benar-benar mendekat, suaranya nyaris hilang ditelan musik. Jari-jarinya dengan lembut menyentuh helai rambut Zelda yang jatuh ke bahu.Zelda tidak bisa bicara, hanya menelan ludah. Kepalanya berputar karena efek alkohol. Entah bagaimana ceritanya,Zelda tiba-tiba pusing dan gairahnya meningkat. Seolah, dia sedang dijebak oleh seseorang.Malam ini sebenarnya perayaan ulang tahun ke-19 Zelda, malam di mana dia memutuskan untuk berhenti menjadi gadis beasiswa yang selalu sempurna, baik akademis ataupun sikap.Ini adalah kali pertama dia mengunjungi bar, tanpa tahu apa efek samping alkohol dan bagaimana dia bersikap ketika mabuk nanti."Aku tahu tempat yang lebih tenang dari ini," Noah melanjutkan, tatapan matanya mengunci mata Zelda.Tanpa kata-kata, Zelda berdiri memandang Noah.Efek alkohol membuat kesadaran Zelda mulai pudar hingga pada akhirnya, dia berjalan mengikuti Noah meninggalkan bar.Di dalam taksi, mereka tidak bicara lagi hi







