LOGINZelda menatap lama selembar kartu nama yang baru saja diberikan Noah. Pandangannya kosong, seolah pikirannya masih tertinggal pada rasa takut yang baru saja ia alami.
“Aku yakin, setelah ini, kita pasti banyak menghabiskan waktu, apalagi kau jadi mahasiswaku di sini.” Hah!? Zelda hanya menggelengkan kepala. Jadi, dugaannya selama ini benar, Noah memiliki motif tertentu. “Hubungi aku nanti malam. Aku ingin berkenalan lebih baik. Lagipula, kita akan sering bekerja bersama, bukan?” Zelda terdiam beberapa detik. “Uh, aku rasa—” “Jangan terlalu dipikirkan,” ucap Noah dengan nada sedikit memerintah, menyelipkan kartu nama itu ke telapak tangan Zelda sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya. “Aku adalah laki-laki sejati. Aku pasti tanggung jawab terhadap perbuatanku dua bulan lalu, Zelda.” Zelda tertohok. Kata-kata itu menyambar hati kecilnya. “Be-bertanggung jawab? A-apa maksudnya, Prof?” Zelda menggigil ketakutan ketika wajah Noah semakin dekat dengannya. “Prof, to-tolong jangan di sini!” Zelda terus menundukkan kepalanya, coba menghindari wajah Noah yang semakin mendekat. Saat jemari mereka bersentuhan, gadis itu coba memberanikan diri dan mendorong Noah. Meski tidak terlalu keras, Noah akhirnya mundur tiga langkah. Momen ini langsung dimanfaatkan Zelda pergi, meninggalkan Noah seorang diri di dalam ruangan. “A-aku tidak bermaksud, Prof, aku harus pergi sekarang!” Noah menatapnya sebentar, lalu kembali duduk dengan ekspresi netral, seolah dorongan barusan adalah bukti bahwa Zelda benar-benar membuatnya terobsesi. Perlawanan Zelda terasa seperti angin sejuk bagi Noah. Saat kembali ke meja, Noah membuka buku catatannya. Ternyata, selama ini dia tahu kalau Zelda kuliah di sini dan sudah mencatat jadwalnya secara keseluruhan. Itu berarti Noah menjadi dosen di sini bukan kebetulan, tapi karena dia memang terobsesi dengan Zelda, sejak pertemuan pertama mereka. Disisi lain, Zelda akhirnya berhasil keluar dari ruang dosen Noah sembari menghembuskan napas dengan gusar. “Pria itu …, apa dia sudah tidak waras?!” gumamnya kesal. Beberapa detik kemudian, udara sekitar menebal. Dan entah mengapa, ia merasakan keberadaan sejumlah mahasiswa lainnya—di koridor kampus yang sama—menatap sinis pada Zelda sekaligus bisik-bisik yang sangat terlihat jelas seakan disengaja. Tatapan mereka mengisyaratkan betapa irinya melihat dirinya yang seolah berhasil menaklukan pria incaran mereka dan sudah bergerak lebih cepat dari mereka. “Ah, sial!” bisiknya tajam, lebih ke gumaman. Zelda baru ingat, para mahasiswa hari ini sudah berusaha menggerubungi—bahkan mengejar Noah untuk setidaknya meminta foto bersama. Tapi Noah tidak mengindahkan permintaan para gadis se-fakultas. “Perempuan itu … Namanya Zelda, bukan?” “Wah, gila! Si penerima Beasiswa itu?! Hebat juga bisa menarik perhatian si dosen baru itu!” “Dia ngapain di ruang Dosen tadi??” “Benar juga. Apa rahasianya, ya?? Apa gadis itu berusaha menggoda Profesor Noah?” “Kuakui dia memang manis. Tapi lihat dia—penampilannya terlalu lusuh dan kuno untuk bisa bersanding dengan Profesor Noah!” Zelda samar-samar bisa mendengar bisikan demi bisikan para gadis yang telah menilai rendah dirinya. Zelda hanya tertawa ironi mendengar komentar pedas para gadis itu. Ketika Zelda menatap mereka satu per satu, orang-orang sekitar membuang muka dan berpura-pura fokus pada urusan masing-masing. Jemari Zelda mencengkeram erat tas yang sedari tadi ia bawa. Tanpa menoleh ke arah siapapun, ia melangkah cepat menuju kelas berikutnya, seolah ingin segera menjauh dari tatapan-tatapan yang menusuk di belakangnya. Langkah Zelda berbelok masuk ke kelas dan langsung menghampiri meja di spot yang biasanya ia duduki. Zelda pun duduk bersama salah satu mahasiswa berkacamata yang dikenal pendiam di kelas. Namun tak berhenti sampai disitu, Zelda kembali mendengar sayup-sayup suara para gadis di kelasnya berada. Masih seputar rumor dirinya yang mendekati Noah hingga gosip kedekatan dirinya dan pria itu. Zelda merasa gelisah, hingga tak sadar tangannya mengepal untuk menahan gejolak yang ia sendiri tak mengerti. Yang jelas, rasanya begitu menyiksa daripada orang lain pikir. “Ha-Hai, Zelda.” Suara lembut disampingnya membuat Zelda tersadar, dan ia menoleh ke gadis yang duduk disampingnya. Zelda menyunggingkan senyuman kecil yang dipaksakan. “Kau tak apa-apa?” Zelda mengerjap. Paham maksud gadis itu di balik pertanyaannya, “Aku … akan baik-baik saja,” “Jangan terlalu diambil hati, ya?” ucapnya khawatir. Zelda tersenyum singkat sembari mengangguk. “Iya. Terimakasih.” Zelda menoleh ke depan dan menghela napas panjang. Beberapa detik kemudian, Dosen muncul di kelas untuk memulai mata kuliah berikutnya. Berjalannya waktu yang begitu panjang, kelas telah selesai. Dan ia cepat-cepat beranjak keluar dari kelas dan berjalan terburu-buru sebelum ia terlambat masuk shift kerja sore di kedai kopi. Tak mempedulikan setiap reaksi orang sekitarnya, ia hanya fokus pada tujuan selanjutnya: Berusaha menghindar dari sorotan banyak orang mengenai hubungannya dan Noah sejak pertemuan di ruang dosen hari ini. Setelah ia hampir berhasil mencapai gerbang kampus untuk keluar, sebuah mobil hitam Mercedes membunyikan klakson singkat hingga ia terperanjat kaget. Zelda menoleh dengan kesal saat sebuah mobil berhenti tepat di dekatnya, sambil membuka kaca pintu. Noah menyembulkan kepalanya dari dalam dengan seringai khas nya. “Buru-buru sekali?” Zelda mengerjap panik sembari menatap sekitarnya, dimana masih banyak para gadis yang berjalan di area kampus. “Ke-Kenapa berhenti disini?!” tanyanya berbisik setengah panik. Noah terkekeh pelan dengan suara beratnya. “Aku hanya ingin mengingatkan. Jangan lupa hubungi aku malam ini,” ucapnya enteng sembari mengedipkan matanya sebelah. “Butuh tumpangan? Aku bisa mengantarmu, kalau mau,” tawarnya. Zelda mengerjap dan tersenyum lebar dengan paksaan, “Tidak, terimakasih atas tawaran anda, Profesor. Sekarang tolong, biarkan aku sendiri.” ucapnya dengan nada sarkastik penuh tekanan. Noah menaikkan alis sebelah nya, kurang lebih ia paham maksud Zelda hingga ia tertawa sinis. “Oke, kalau itu maumu. Aku duluan,” Kepala Noah kembali masuk ke dalam sambil menutup rapat kaca pintu mobilnya. Tanpa menoleh, Noah langsung menancap gas, meninggalkan area kampus dengan cepat. Zelda berdiri terpaku sesaat sebelum akhirnya menghela napas panjang—lega sekaligus jengah. Namun, kelegaan itu tak bertahan lama ketika ia mulai menyadari bisikan-bisikan lirih dan tatapan sinis dari beberapa orang di sekitarnya yang jelas-jelas mengarah padanya. Rahang gadis itu mengeras, dan mulai berasumsi —lebih ke dirinya sendiri. “Apa pria itu sengaja melakukan ini padaku?” gumamnya tercekat. Zelda mendengus dan melangkah cepat meninggalkan area kampus, berharap angin sore bisa menyapu bersih semua tekanan dan pandangan tajam yang menghantui nya sejak tadi. Namun, semakin jauh ia berjalan, semakin terasa beban di dadanya tak juga hilang—seolah kejadian hari ini akan terus menempel di ingatannya. *** Pukul 08:20 pagi, Zelda berjalan cepat menuju ruang kelasnya. Tiba-tiba, sebuah tangan kuat membekap mulutnya dari belakang. “T-Tolong …!! To —.” Tiba-tiba sebuah tangan ikut membekap mulutnya dengan kasar dan tidak bisa dilepas, karena terlalu kuat. Zelda panik, mencakar lengan itu, namun ia ditarik dengan paksa ke dalam kegelapan tangga darurat yang sepi. Punggungnya terbentur keras ke dinding beton yang dingin. Rasa sakit itu langsung tertutup oleh rasa terkejut yang mematikan. Napas Zelda terengah. Matanya yang membulat menatap lurus pada sosok yang kini mengurungnya di antara tubuhnya dan dinding. Zelda berusaha mendorong tubuh yang lebih besar darinya sekuat tenaga namun tubuh di hadapannya tak berkutik, tak bergerak sama sekali. Pemuda itu mendekatkan kepalanya dan mulai berbisik tepat di telinga gadis itu. Suaranya begitu dalam dan sedikit serak, hingga Zelda seketika bergeming. “Ini aku. Kau tak perlu panik.”Kevin berdiri tegak di atas atap van yang dimodifikasi itu, satu tangan masih terangkat. Senyumnya santai, tapi cukup percaya diri untuk menarik perhatian ratusan pasang mata. Beberapa detik hening berlalu. Lalu, bisik-bisik mulai menjalar seperti riak air. “Eh, itu siapa?” “Kenapa ada coffee truck …?” “The Daily Grind? Bukannya itu kedai terkenal di dekat sini?” “Temannya Zelda, ya?” “Seriusan? Bagi kopi di kampus?” “Ini acara apa, sih?” Zelda sendiri justru paling kebingungan. Ia menatap logo The Daily Grind di sisi van itu lama, alisnya berkerut halus. Jantungnya berdegup tidak sinkron. Sejak kapan …? Kevin punya coffee truck? Selama ia bekerja shift dulu—menutup kedai, menyeduh kopi, dan melayani pelanggan sampai larut malam—Kevin tak pernah sekalipun menyebut soal ini. Tidak ada bocoran, tidak ada rencana, maupun tidak ada isyarat sekalipun. “Apa yang aku lewatkan …?” gumam Zelda berbisik. Sebelum pikirannya semakin liar, suara tepuk tangan tunggal terd
Mobil berhenti tepat di depan gerbang utama. Zelda menatap keluar jendela, mata membulat perlahan—seolah tak percaya apa yang dilihatnya.Ratusan mahasiswa berdiri berbaris rapi di dua sisi jalan setapak menuju gedung fakultas. Mereka memegang spanduk kecil berwarna putih dengan tulisan tangan ….“WELCOME BACK, ZELDA!”“MAAFKAN KAMI.”“KAU INSPIRASI KAMI.”Dan spanduk besar di tengah bertuliskan ….“SELAMAT DATANG KEMBALI, ZELDA LYNN!”Bunga-bunga segar—mawar putih, lily, dan daisy—digantung di pagar dan dipegang oleh mahasiswa. Udara sore dipenuhi aroma bunga yang manis, bercampur suara tepuk tangan pelan yang mulai bergema saat mobil berhenti.Zelda menutup mulutnya dengan tangan. Air mata langsung menggenang.Noah membuka pintu mobil, lalu mendorong kursi roda Zelda keluar dengan hati-hati. Zara mengikuti di belakang, matanya berkaca-kaca tapi senyumnya lebar.Begitu Zelda muncul, tepuk tangan meledak.“Zelda!!”“Selamat datang!!”“Maafkan kami!!”Suara-suara itu bercampur—ada yang
“Zelda …” suara Michael parau, rendah. “Terima kasih sudah mau datang.”Zelda tidak langsung menjawab. Ia menatap pria itu lama—mencari sesuatu di wajah yang selama ini hanya jadi bayangan buruk di cerita ibunya.Michael menelan ludah. “Aku … tidak tahu harus mulai dari mana.”Zelda mengangguk pelan. “Mulai dari mana saja, Sir.”Michael tersenyum kecil—pahit. “Aku sudah gagal sebagai ayah. Untuk Noah. Untuk Noelle.”Zelda menegang. Zara di sampingnya diam saja, tapi tangannya menggenggam tangan Zelda lebih erat.Michael menghela napas panjang dengan suara rendah yang tercekat. “Sebelas tahun yang lalu ….”Ia mulai melanjutkan. “Selama ini, aku tahu semua yang terjadi di St. Andrews,” lanjut Michael pelan. “Aku tahu Noelle yang sebarkan rumor itu. Aku tahu itu salah. Tapi aku diam—karena takut kehilangan kontrak Vayne.”Suara itu bergetar halus. “Aku pilih uang daripada kebenaran. Daripada martabat seorang wanita yang tidak bersalah.”Ia mengangkat wajahnya, mata berkaca-kaca. “Dan sek
Beberapa hari berlalu sejak pesan ancaman itu masuk. Noah tidak banyak bicara soal itu—hanya bilang “semua sudah ditangani”. Tapi, Zelda tahu pria itu tidak main-main. Saat itu juga Noah merekrut dua bodyguard dari tim Halden yang kini selalu ada di sekitar mereka.Satu mengikuti Zara setiap kali ibunya keluar masuk rumah sakit—membeli makanan, mengambil obat, atau sekadar bernapas di luar. Yang satu lagi berjaga di depan pintu kamar Zelda, bergantian shift tanpa suara.Hingga hari itu telah tiba, Zelda sudah boleh rawat jalan. Tubuhnya masih lemah—setiap langkah terasa berat, perban di dada dan perut masih menempel rapat—tapi dokter mengizinkan pulang dengan syarat istirahat total. Kuliah masih harus ditunda. Aktivitas berat dilarang keras.Sore itu, apartemen terasa lebih tenang dari biasanya. Cahaya senja menyusup lewat jendela besar, membentuk garis kuning lembut di lantai marmer. Zelda duduk di sofa, selimut tipis menutupi kakinya, secangkir teh hangat di tangan. Zara duduk di
Sel penjara itu terasa lebih pengap sore itu. Udara lembab menempel di kulit, bau disinfektan murahan bercampur keringat dan logam karat. Noelle Grimm duduk di ranjang bawah, lutut ditarik ke dada, tangan memeluk kaki sendiri. Matanya kosong menatap lantai—seolah mencari sesuatu yang sudah lama hilang. Rambut hitamnya kusut, wajahnya pucat tanpa riasan, tapi sisa-sisa keanggunan Grimm masih terlihat di garis rahangnya yang tegas. Chloe berbaring di ranjang atas, satu kaki menggantung santai, jari-jarinya memainkan ujung borgol yang sudah dilepas. Senyum tipis masih menggantung di bibirnya—senyum yang membuat Noelle semakin muak setiap kali melihatnya. Di luar sel, dua sipir wanita sedang bergosip pelan sambil minum kopi. Suara mereka terbawa angin koridor, cukup jelas untuk sampai ke telinga tahanan. “Eh, kau sudah dengar? Michael Grimm itu … katanya masih di tahanan, tapi kelihatannya dia beda dengan tahanan biasa,” kata sipir pertama, suara rendah tapi penuh rasa ingin tah
Pagi itu terasa lebih cerah dari biasanya. Cahaya matahari menyusup lewat tirai yang sedikit terbuka.Zelda sudah setengah duduk di ranjang, bantal menyangga punggungnya, secangkir teh hangat di tangan—pemberian Zara yang baru saja keluar sebentar untuk mengambil sarapan.Ia menatap ponsel di pangkuannya, mencoba membaca berita ringan untuk mengalihkan pikiran dari nyeri yang masih tersisa di tubuhnya. Semua terasa lebih tenang hari ini. Noah mengirim pesan pagi tadi—singkat, tapi cukup untuk membuatnya tersenyum ….“Aku baik-baik saja. Jangan khawatir. Aku akan datang sebentar lagi.”Zelda tersenyum kecil mengingat kata-kata itu. Ia baru saja hendak membalas ketika ponselnya bergetar pelan.Drrt. Drrrt ….Satu pesan masuk.Dari nomor tak dikenal.Zelda mengerutkan kening dan membukanya—mungkin dari rumah sakit, atau teman kampus yang baru tahu nomor barunya. Tapi, saat membaca baris pertama, napasnya langsung tertahan ….“Zelda Lynn …. Noah terus mempertahankanmu untuk berada di s







