LOGIN“Kita kehilangan barang itu, Dom. Orang-orang Irlandia mencegat sopir kita dan mengambil alih situasi.”
Dominic mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja. “Bagaimana mereka tahu kapan dan di mana harus menunggu, Jax?” tanya Dominic, menatap caponya. Alisnya kemudian terangkat saat matanya menggelap. “Ada yang membocorkannya.” Jax mengangguk singkat. Dominic menggerakkan kepalanya ke samping. Bekas luka di dekat matanya membuat tatapannya terlihat mengerikan saat kemarahan berkilau bagai lidah api di matanya. Ada pengkhianat di kelompoknya. Dominic memejamkan mata sejenak. Setelah semua yang terjadi, apa orang-orang bodoh itu tidak belajar sama sekali? “Temukan siapa pelakunya. Jangan membunuh mereka, aku yang akan menangani mereka, Jax.” Kedua bola mata Jax membulat, terkejut mendengar ucapannya. “Apa yang akan kau lakukan jika ternyata ini gerakan yang terorganisir?” Dominic menyeringai “Akan ada pertumpahan darah. Keberanian seperti itu pantas mendapat penghargaan.” Jax mengangguk kaku. “Aku akan mencaritahu dan memberimu informasi secepatnya.” Dominic membalas anggukannya. Begitu Jax keluar dari pandangan, Dominic mengeluarkan ponselnya dan melakukan panggilan. “Apa yang dia lakukan?” tanyanya langsung. Tidak adanya jawaban langsung membuat Dominic duduk tegak. “Apa dia baik-baik saja?” “Dia baik-baik saja, hanya… dia sudah mencoba melarikan diri setidaknya 3 kali dalam satu hari ini.” Dominic terdiam. Kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Ia tidak bisa menghentikan dirinya sendiri. Tentu saja istrinya akan melarikan diri. Itu sesuai dengan karakternya saat mereka bertemu pertama kali. Ia tahu diamnya Isabel berarti sesuatu, ternyata istrinya sedang merencanakan pelarian. Dominic menggeleng, tersenyum lebar membayangkan upaya Isabella untuk melarikan diri. Sayang sekali, pikirnya, wanita itu tidak akan pernah bisa melarikan diri. Tidak selama Dominic masih bernapas. Isabella miliknya. Dan mungkin, sudah saatnya ia membuat wanita itu mengerti hal itu. Dominic memandang langit-langit kantornya. Akhirnya ada yang membuat hari-harinya menarik. “Dan sekarang apa yang dia lakukan?’ tanyanya setelah jeda selama beberapa saat. “Istri Anda mengurung dirinya di kamar.” “Biarkan tetap seperti itu.” Sambungan dimatikan tepat saat pintu ruangannya kembali dibuka. Dominic mendongak melihat kedatangan Samuel—CFO-nya. “Apa aku salah dengar atau kau baru saja tertawa?” Dominic tidak mengubrisnya. “Ada apa?” tanyanya langsung. Samuel tentu tidak akan melewatkannya begitu saja. “Kenapa kau tertawa? Terlebih, sejak kapan kau tahu bagaimana caranya tertawa?” Samuel mengambil tempat duduk di depan Dominic, tangan disilang di depan dada. “Bukan urusanmu. Sekarang katakan tujuanmu atau keluar,” tukasnya tajam. “Siapa Richard? Kenapa kau memberikan uang padanya?” Samuel bertanya dengan nada serius. “Dia sampah yang ingin kusingkirkan. Apa kau sudah melakukan apa yang kuminta?” Samuel menyerahkan map berwarna biru padanya. “Aku sudah memberikan sejumlah uang yang cukup besar padanya, membuatnya menandatangani perjanjian bahwa apa pun yang terjadi dia tidak akan pernah mencari putrinya dan tidak akan berada di dekatnya dalam radius 500km.” “Dan bagaimana reaksinya dengan itu?” Samuel mendengus. “Kau seharusnya melihat seperti apa wajahnya. Dia menjijikkan. Dia menandatanganinya saat itu juga bahkan tanpa perlu repot-repot membacanya. Aku heran kenapa ada manusia sebodoh itu.” Samuel memiringkan kepalanya, tatapan matanya yang penuh selidik kini tertuju pada Dominic. “Ada apa dengan putrinya? Apa hubunganmu dengannya?” “Dia istriku,” balas Dominic tenang. Samuel menatap Dominic seakan dia memiliki dua kepala. “Kau yakin tidak mabuk? Kau… menikah? Di planet mana kita sekarang tinggal?” Samuel menatap sekeliling dengan dramatis. “Pasti yang kau maksud Dominic Volkov yang lain, karena Dominic yang kutahu…” Sam menunjul Dominic tanpa malu. “sama sekali tidak tertarik untuk menikah.” Dominic mengabaikan sindirannya. Ia berdiri, memasukkan map biru ke brankas miliknya. Saat Dominic selesai ia melihat Samuel masih di tempat semula, menatapnya. “Siapa wanita yang cukup berani menikah denganmu itu? Apa yang sudah dia lakukan sampai kau mau menikahinya? Tidak, itu pasti sebaliknya. Ancaman apa yang kau berikan sampai dia mau menikahimu? Apa kau—“ “Pergi.” “Kau membuatku penasaran di sini. Siapa Isabella? Apa yang dia lakukan sampai kau bertindak sejauh ini?” Dominic mengebuskan napas kasar. “Tidak ada.” “Tidak ada? dan kau mau aku percaya kalau kau menikah dengannya karena cinta?” “Sejak kapan kau penasaran dengan hidupku?” “Sejak hari ini. Jadi katakan apa yang dia lakukan sampai dia bahkan rela menyengsarakan hidupnya dengan menikahimu.” Dominic sedang mempertimbangkan apa sebaiknya ia mematahkan leher Samuel atau menendang pantatnya keluar, saat pria itu bersedekap dengan sikap menantang. Dominic akhirnya menyerah. Samuel bisa sangat gigih jika dia mau. Itu menguntungkan terkadang, tapi bisa sangat menjengkelkan seperti sekarang, terutama karena Samuel adalah satu-satunya orang yang tidak terintimidasi bahkan takut padanya. Mungkin sekarang tidak lagi. “Dia membuatku menyelamatkan kucing,” ujarnya kemudian. “Dan?” Dominic mengangkat bahu, menolak menjelaskan lebih jauh. "Itu saja." "Dia membuatmu menyelamatkan kucing dan kau menikahinya? Memangnya kau apa? relawan kucing? Apa dia bahkan tahu berapa banyak darah yang melumuri tanganmu?" Tidak. "Pergi saja bajingan." “Dan sekarang kau mengusirku. Jangan lupa, kau tidak bisa hidup tanpaku, Dom.” Satu alisnya terangkat. “Apa maksudnya itu?” Samuel menyentuh pundaknya sendiri dengan gerakan seperti mengusir debu. “Aku yang mengelola semua uangmu, ingat? Membuatnya menjadi berlipat ganda dan memastikan semua uangmu ‘bersih’.” “Kau tahu aku bisa menggantimu semudah membalikkan telapak tangan kan?” Samuel tertawa. “Lucu dan mereka pasti akan kabur begitu melihatmu. Bukan hanya wajahmu matamu juga mengerikan. Akui saja, hanya aku satu-satunya yang bisa menghadapimu." Samuel tidak segan mengolok-olok lukanya, mengeluarkan komentar yang pasti akan membuat leher seseorang patah jika diucapkan orang lain. Samuel ada di sana saat ia hancur, ketika keluarganya terbakar dan pamannya mengambil alih pimpinan di Brathva. Begitu bisa mengendalikan situasi dan merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya, Dominic memberinya posisi sebagai CFO untuk memastikan semua berjalan seperti seharusnya sementara ia sendiri mengambil jabatan sebagai CEO. Bagi dunia luar mereka hanyalah seorang pengusaha sementara di bawah tanah, mereka menguasai organisasi kriminal New York. “Pergi, Sam. Aku tidak ingin melihat wajahmu sekarang.” “Tidak, kecuali kau berjanji akan mengenalkan istrimu padaku.” “Tidak akan kecuali nereka membeku,” ucapnya datar, bergegas pergi, sepenuhnya mengabaikan sumpah serapah Samuel. Sudah malam saat Dominic sampai di rumahnya. Lampu-lampu sudah dinyalakan. Pendar keemasan memenuhi ruangan saat Dominic menaiki tangga dan membuka pintu kamar Isabella. Gadis itu terlelap di atas sofa, dadanya naik turun, mengikuti napasnya yang perlahan dan teratur. Rambutnya jatuh menutupi sebagian wajahnya. Pandangannya tertumbuk pada benda yang tergeletak di atas dadanya, di mana satu tangan terkulai lemah menjaganya. Sebuah buku tua dengan sampul keras yang tampak usang. Dominic membungkuk, menariknya dengan sangat perlahan. Alisnya melengkung melihat judul buku yang dibaca Isabel. Danish Folk Tales & Lengends karya H.C Andersen. Dominic membaca beberapa baris yang kebetulan terbuka, kalimat terakhir yang mungkin dibaca Isabella sebelum tidur. “… Dan ibu itu menjawab, ‘Ambillah mataku, ambillah rambutku, ambillah segalanya, tapi kembalikan anakku padaku…” Dominic mencengkeram buku itu erat, membuat buku-buku tangannya memutih saat ingatan masa kecil menghantam benaknya. Mengabaikan rasa pahit di tenggorokannya, Dominic meletakkan buku itu dan mengangkat Isabella dengan kedua tangannya. Dia tidur begitu pulas, sama sekali tidak terganggu saat Dominic meletakkannya di atas ranjang dan menyelimutinya. “Apa yang harus kulakukan padamu?” bisiknya saat mengelus rambutnya. Dominic menarik selimut dan ikut berbaring di samping istrinya. Ia menarik Isabella sampai gadis itu menempel padanya. Satu tangannya mendarat di pinggang sementara tangan yang lain dijadikan bantal. Hangat napas Isabella membelai kulit dadanya. Anehnya, terasa menenangkan. Dominic mencium puncak kepalanya sebelum ia sendiri memejamkan mata dan tidur. *** Isabella terlelap dalam kehangatan yang begitu asing, namun menenangkan. Tanpa sadar kepalanya menyuruk mencari sumber kenyamanan itu, hingga detik berikutnya ia membuka mata. Tunggu! Kenapa… Tidak mungkin! Isabella mendongak. Dan jantungnya seketika membeku melihat wajah keras yang beberapa hari terakhir memenuhi pandangannya. Dominic tidur sambil memeluknya, lengannya yang kuat melingkari pinggang Isabella erat, seolah mencengahnya lari. Butuh beberapa detik bagi Isabella untuk memahami di mana dan kenapa ia berada bersama pria asing ini. Bukan pria asing. Suaminya. Isabella menatap, tidak bisa menghentikan dirinya sendiri dari memandangi wajah Dominic. Apa yang terjadi sampai Dominic mendapatkan luka itu? Tangannya terangkat, ingin menyentuh, merasakan kulit itu di bawah sapuan jemarinya, tapi ia menarik diri. Apa yang kau lakukan? Kau harusnya melarikan diri! Kenyataan itu menyentak kesadarannya. Ia melirik jam yang ada di atas meja. Pukul 02.00 dini hari. Semua orang pasti tertidur sekarang. Waktu yang sempurna untuk melarikan diri. Ia akan melarikan diri dan menghilang dari semua kegilaan ini. Perlahan, Isabella menarik tangan Dominic yang melingkar di pinggangnya. Ia bahkan menahan napas, takut pria itu terbangun. Isabella menahan sorak kemenangan saat berhasil melepaskan diri. Kakinya menapak di lantai yang dingin, berusaha melangkah tanpa menimbulkan suara. Hanya tinggal beberapa langkah. Setelah itu… “Mencoba melarikan diri, malyshka?”Isabella mengutuk dalam hati saat ia berbalik dan mendapati Dominic, sepenuhnya bangun dan kini berbaring menyamping. Lengan menopang kepala, sedang menatapnya. “Hai!” ucapnya riang sambil melambaikan tangan. Dominic mendengus. “Tiga kali usaha melarikan diri yang semuanya gagal tidak memberimu pelajaran ternyata. Kau tidak bisa melarikan diri, Isabel.” Semua sikap pura-pura Isabella selama ini menghilang mendengar pernyataan Dominic. “Apa itu tantangan?” “Aku tidak tahu, kau yang tahu jawabannya.” Isabella mendekat dengan wajah menantang. Dengan dagu terangkat ia membalas, “Aku pernah melakukannya dan berhasil. Kenapa yang ini tidak?” Wajah Dominic berubah. “Kau pernah melakukannya? Kenapa?” Karena ini bukan pertama kalinya ia berusaha melarikan diri, tapi Isabella tidak akan mengatakannya. Menjawab pertanyaan itu seperti mengorek luka yang berusaha ia abaikan. Ia tidak akan mengatakan kalau ini bukan pertama kalinya ia akan dijual. “Aku akan melarikan diri,” ulangnya, men
“Kita kehilangan barang itu, Dom. Orang-orang Irlandia mencegat sopir kita dan mengambil alih situasi.” Dominic mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja. “Bagaimana mereka tahu kapan dan di mana harus menunggu, Jax?” tanya Dominic, menatap caponya. Alisnya kemudian terangkat saat matanya menggelap. “Ada yang membocorkannya.” Jax mengangguk singkat. Dominic menggerakkan kepalanya ke samping. Bekas luka di dekat matanya membuat tatapannya terlihat mengerikan saat kemarahan berkilau bagai lidah api di matanya. Ada pengkhianat di kelompoknya. Dominic memejamkan mata sejenak. Setelah semua yang terjadi, apa orang-orang bodoh itu tidak belajar sama sekali? “Temukan siapa pelakunya. Jangan membunuh mereka, aku yang akan menangani mereka, Jax.” Kedua bola mata Jax membulat, terkejut mendengar ucapannya. “Apa yang akan kau lakukan jika ternyata ini gerakan yang terorganisir?” Dominic menyeringai “Akan ada pertumpahan darah. Keberanian seperti itu pantas mendapat penghargaan.” Jax mengangg
Rasanya seperti lepas dari mulut buaya dan masuk ke sarang harimau. Isabella berusaha menyembunyikan gemetar yang mengguncang tubuhnya, yang mustahil dilakukan saat berada dalam satu ruangan dengan pria yang kehadirannya begitu mengintimidasi dan menakutkan.Malam ini ia mengalami kejadian paling menghancurkan dalam hidupnya. Ayahnya sendiri menjualnya. Dan kakak laki-lakinya… alih-alih melindunginya justru menghilang meninggalkannya.Seolah ia tidak berarti apa-apa.Panas di belakang matanya terasa menyakitkan, tapi Isabella sudah terlalu lelah hari ini. Tenaganya terkuras habis oleh sentakan emosi dan besarnya tekad yang dibutuhkan untuk berjuang.Meraih kebebasannya.Hanya untuk kembali terpengkap dalam cengkeraman lainnya.Isabella menatap siluet pria yang sudah menyelamatkannya. Atau mungkin memerangkapnya. Ia masih belum tahu tujuan pria itu datang untuknya.Dia ingin menikahimu, kau lupa?Isabella membersihkan tenggorokannya. “Ap-apa aku tidak bisa pergi saja?” tanyanya putus a
Dua bulan kemudian“Siapa pria itu?” Dominic menunjuk ke arah seorang pria tua yang sedang tertawa terbahak-bahak ditengah kerumunan. Suaranya keras, kasar dan mengganggu. Orang-orang disekitarnya hanya menatap dengan pandangan bosan, beberapa bahkan berpaling.“Dia belum pernah ke sini,” ujar Dominic datar. Ia hapal setiap wajah yang datang ke klubnya, dan pria itu bukan salah satunya.“Namanya Richard,” jawab Victor dari belakangnya. “Dan dia punya uang.”Dominic mendengus pendek. “Tapi tidak punya otak.”Ia memperhatikan pakaian pria itu sekilas. Bukan pakaian mewah, tapi dari ekpresinya, laki-laki tua itu terlihat seperti orang yang memiliki segalanya. Dominic sama sekali tidak menyukainya.“Awasi dia. Aku tidak ingin ada kekacauan malam ini.”Victor mengangguk. Dominic hendak melangkah keluar ketika suara keras menggelegar dari balik punggungnya.“Malam ini aku akan mentraktir kalian!”Sorakan dan tawa meledak. Dominic berhenti sejenak, menatap wajahnya lebih lama. Laki-laki tua
Saat ini. “Aku akan membunuhmu.” Dominic menarik rambut laki-laki itu keras, hingga jerit kesakitan memenuhi ruangan gelap yang mengelilingi mereka. “Kesempatan untuk membunuhku sudah lewat, Tupak,” bisiknya di depan wajah pria itu. "Sekarang waktunya untuk pembalasan.” Tatapan Tupak menjadi liar, penuh dengan kebencian yang akan membuat siapa pun ketakutan, tapi Dominic adalah pengecualian untuk segala hal yang bisa membuat Tupak puas. Sebagai gantinya ia menyeringai. Laki-laki tua bangka itu mungkin mencoba terlihat kuat, tapi ia bisa melihat ketakutan di matanya, tak peduli seberapa keras usaha untuk menyembunyikannya. Dan itu memberinya kepuasan liar. Ketakutan adalah sumber kehancuran dan ia akan pastikan Tupak hancur sampai ke ujung neraka. “Seharusnya kau mati! Kau dan keluargamu seharusnya membusuk di neraka.” Tupak meludah di wajah Dominic, meski yang keluar bukan air liur melainkan darah. Dominic menjauh sambil berdecak jengkel. “Paman, apa kau tidak punya standar? Mel
Trigger Warning Harap diperhatikan bahwa cerita ini mengandung konten yang mungkin membuat beberapa pembaca terganggu, seperti, penyebutan tentang kematian keluarga dekat, serta deskripsi yang sangat grafis mengenai kekerasan, penyiksaan dan adegan berdarah. ****Lima belas tahun lalu Langkah Dominic bergema pelan di halaman rumah mereka yang berlapis kerikil. Malam itu sunyi, hanya diselingi suara dedaunan yang berbisik ditiup angin dinihari. Jam tangannya menunjukkan pukul dua lewat seperempat. Ia pulang larut. Lagi. ia menarik napas dalam, membayangkan wajah ibunya yang akan mengerut sebelum mengomel panjang lebar begitu tahu putra sulungnya pulang di jam segila ini. “Suatu hari, kau akan membuat aku dan ayahmu terkena serangan jantung,” suara ibunya terngiang jelas di telinganya. Tangannya menyentuh gagang pintu, menariknya dengan hati-hati sebelum menutupnya sepelan mungkin. Ia berbalik—berhenti mendadak saat melihat ayahnya, Ivan, duduk di kursi menatapnya tajam. “Kau tahu