Mag-log inIsabella mengutuk dalam hati saat ia berbalik dan mendapati Dominic, sepenuhnya bangun dan kini berbaring menyamping. Lengan menopang kepala, sedang menatapnya.
“Hai!” ucapnya riang sambil melambaikan tangan. Dominic mendengus. “Tiga kali usaha melarikan diri yang semuanya gagal tidak memberimu pelajaran ternyata. Kau tidak bisa melarikan diri, Isabel.” Semua sikap pura-pura Isabella selama ini menghilang mendengar pernyataan Dominic. “Apa itu tantangan?” “Aku tidak tahu, kau yang tahu jawabannya.” Isabella mendekat dengan wajah menantang. Dengan dagu terangkat ia membalas, “Aku pernah melakukannya dan berhasil. Kenapa yang ini tidak?” Wajah Dominic berubah. “Kau pernah melakukannya? Kenapa?” Karena ini bukan pertama kalinya ia berusaha melarikan diri, tapi Isabella tidak akan mengatakannya. Menjawab pertanyaan itu seperti mengorek luka yang berusaha ia abaikan. Ia tidak akan mengatakan kalau ini bukan pertama kalinya ia akan dijual. “Aku akan melarikan diri,” ulangnya, mencoba mengalihkan pembicaraan. “Kau tidak akan. Siapa pun yang membiarkanmu lolos aku akan memenggal kepalanya,” tukas Dominic tenang, hingga sesaat Isabella pikir pria itu hanya bercanda. “Ini bukan abad ke-18, kau tidak bisa memenggal orang begitu saja.” Dominic tersenyum, matanya bersinar seperti bintang malam, hanya saja yang ini tidak terlihat indah melainkan mengancam. “Coba saja dan kau akan lihat.” “Kenapa kau melakukan ini?” tanyanya benar-benar bingung. “Melakukan apa?” “Menjebakku bersamamu. Aku tidak mengenalmu dan aku cukup yakin kau juga tidak mengenalku.” “Benarkah?” Isabella mengerang frustrasi. “’Siapa kau dan apa yang kau lakukan pada hidupku?” Dominic berdiri, mendekati Isabella yang tiba-tiba mematung. Matanya membesar seperti rusa yang tersorot lampu mobil. Tangan besar dan kasar Dominic menyentuh dagu Isabella. “Aku suamimu, mungkin aku harus mengingatkanmu lebih sering agar kau tidak lupa.” Isabella menarik diri. “Pernikahan seharusnya terjadi atas persetujuan dua orang.” “Kau menandatanganinya waktu itu.” “Karena kau mengancamku.” Dominic menyentuh rambut cokelat Isabel, menggenggam dengan jarinya yang besar, kemudian menciumnya. “Aku masih bisa mengancammu.” “Kau mungkin menyesal menikah denganku, Dom.” “Benarkah?” ucap Dominic, sama sekali tidak terpengaruh. Apa mungkin ada yang salah dengan otaknya? Sepertinya pria itu tidak mengerti satu pun ucapannya. Mengabaikan perasaan gemetar karena sentuhan Dominic, Isabella mengangguk menanggapi ucapannya. “Aku bukan orang yang penurut Dom. Kau tidak bisa mengharapkanku menuruti semua ucapanmu, itu akan berdampak sebaliknya.” Dominic menunduk, kali ini mendaratkan hidungnya pada rambut yang ada di pundak Isabel. “Ada lagi yang harus kuketahui tentangmu?” lanjutnya tanpa menghentikan apa yang sedang dia lakukan. Dominic menyingkirkan rambut yang menutupi pundak Isabel, membuat bahunya terekspos. Isabel menahan napas. Getaran tidak diinginkan memenuhi pembuluh darahnya saat Dominic mengendus pundaknya seperti seorang pecandu. Ia bersyukur dengan pilihan baju tidurnya, yang menyembunyikan pundaknya dengan baik. “Aku sangat boros, aku tidak suka bekerja, aku menyukai hal-hal aneh. Bukan tipe yang akan disukai kebanyakan pria, aku jamin.” “Aku bukan kebanyakan pria, Malyshka. Kupikir kau tahu itu. Aku tidak menyukai hal-hal yang biasa. Jika ya, aku tidak akan menikahimu.” Isabella menggeleng-gelengkan kepala. Benar, Dominic pasti berusaha merayunya agar ia takluk. Pria itu tahu apa tepatnya yang harus dikatakan untuk membuatnya luluh. Itu tidak akan terjadi. “Bi-bisakah kau menjauh?” “Kenapa?” Dominic mendongak, menarik sudut mulutnya. “Apa aku membuatmu terganggu?” “Lebih tepatnya tidak nyaman. Aku—“ Dominic menjauh dan saat itulah ia merasa udara kembali memenuhi paru-parunya. Ia bernapas dengan lega. “Kau akan terbiasa. ” Dominic berjalan menuju pintu dan menghilang dibaliknya, meninggalkan Isabella yang mematung. Pembicaraan mereka sama sekali tidak membawa mereka ke mana pun. *** Isabella mandi dengan cepat, memilih gaun yang ada di lemari kemudian memoles bibirnya dengan lipstick berwarna cokelat gelap sebelum menemui Dominic seperti yang dikatakan pria itu. Begitu keluar seorang pria sudah menunggu di depan pintu dengan sikap seperti robot. “Ada apa?” tanyanya. “Di mana Dominic?” “Ada di ruang makan.” “Dan kenapa kau di sini?” “Aku pengawal pribadimu.” Isabella terdiam—kemudian tertawa keras seakan ucapan pria itu benar-benar lucu. “Maaf,” kekehnya setelah berhasil menguasai diri. “tapi lelucon ini benar-benar tidak menarik, tidak bermaksud menyinggung tentu saja.” Isabella berusaha keras mempertahankan wajah seriusnya, yang amat sulit dilakukan karena menurutnya ucapan pria itu benar-benar lucu. Hanya saja setelah beberapa saat wajah tanpa ekspresi pria itu sama sekali tidak berubah. “Kau… serius?” bisiknya ngeri. Tidak ada jawaban kecuali anggukan singkat nyaris tak kentara. Dan itu cukup untuk membuat Isabella melompat seperti sedang menginjak sesuatu yang berbahaya. Oh ya ampun, pengawal? Yang benar saja! “Tapi aku tidak butuh pengawal!” pekiknya, suaranya melengking. Pria itu masih membisu. Isabella menghela napas. “Apa ini perintah Dominic?” Isabella sudah tahu jawabannya sebelum laki-laki itu bahkan menjawab. Ini sudah kelewatan! “Aku akan menemui Dominic.” Sepertinya apa pun yang akan ia katakan tidak akan berpengaruh yang berarti jalan satu-satunya adalah menemui suaminya tercinta dan mengatakan isi pikirannya. Kali ini mereka benar-benar harus bicara. Hanya saja, begitu berada di ruang makan, Isabella menemukan dirinya ternganga. Ia disuguhi pemandangan paling aneh atau paling menakjubkan yang pernah ia lihat. Meja makan panjang yang setidaknya bisa menampung puluhan orang kini dipenuhi dengan orang-orang yang sedang mengobrol. Makanan memenuhi meja, tapi tidak seorang pun yang terlihat mengunyah. Isabella berkedip beberapa kali. “Kau pasti Isabella.” Tubuhnya ditarik dalam pelukan erat yang mengejutkan. Semua obrolan mendadak hilang. Setiap pasang mata sekarang menatapnya, tapi hanya sekejap sebelum mereka semua kembali fokus pada diri masing-masing. Ini hal paling aneh yang pernah terjadi padanya. Pandangannya bertabrakan dengan Dominic, tapi suami tercintanya tidak mengatakan apa pun selain menunjuk kursi yang ada di samping kanannya. Satu-satunya kursi yang tersisa. “Kita bisa berkenalan nanti, kau pasti kelaparan. Ayo.” Wanita yang memeluknya mengatarnya ke kursi yang kosong. “Apa ini?” bisiknya saat semua orang mulai makan. “Apa maksudmu?” Isabella menelan ludah. “Siapa merekan, Dom? Dan apa yang mereka lakukan di sini?” Dominic mengunyah makanannya. “Mereka sedang makan seperti yang kau lihat.” Isabella melempar tatapan sengit untuk jawaban itu. “Dan untuk menjawab pertanyaanmu yang lainnya mereka tinggal di sini.” Isabella menatapnya. “Mereka semua saudaramu?” bisiknya syok. Setidaknya ada lebih dari 20 orang di dalam ruang makan ini, termasuk beberapa wanita yang juga sibuk makan sambil mengobrol seolah tidak ada hal aneh yang baru saja terjadi. “Jangan ngaco. Tentu saja bukan. Mereka bagian dari perlindungan. Mereka bekerja untukku.” “Dan mereka tinggal di sini?” Dominic mengangguk. “Apa tepatnya yang mereka lindungi?” Sesuatu melintas di mata biru kobalt Dominic. Hanya sekilas sebelum ekspresinya kembali tertutup. “Kau, aku dan semua yang ada di sini. Kami saling melindungi di sini.” “Tepatnya dari apa?” “Musuh.” Isabellla mengedarkan pandangan. Tidak diragukan lagi mereka semua—khususnya para pria—bisa menggunakan senjata. Atau mungkin lebih dari itu. Isabella banyak mengalami kejadian aneh, tapi dikelilingi sekumpulan orang yang bisa bertarung dan tahu menggunakan senjata adalah hal lain. Ini seperti berada di camp perang. “Musuh seperti apa?” tanyanya penasaran. Isabella menatap makanannya. Ia tidak lapar. Lagipala sarapan di jam sepagi ini tidak pernah menarik minatnya. Ia menyerah, meletakkan sendoknya, kembali menatap Dominic dan mendapati pria itu melakukan hal sama padanya. “Tidak lapar?” “Aku jarang sarapan. Kau belum menjawab pertanyaanku, Domi,” ujarnya mengingatkan. “Memangnya apa yang kau lakukan sampai membutuhkan perlindungan sebanyak ini?” Dominic meletakkan sendoknya. “Kau akan tahu,” balasnya misterius. “Tidak bisa sekarang?” Dominic menggeleng. “Makan. Kau tidak bisa meninggalkan ruangan ini sebelum mengunyah sesuatu.” Ini dia! Perintah lainnya. Dan ia sudah muak mendengarnya. Seumur hidup, orang-orang di sekitarnya memerintahnya. Lakukan ini, lakukan itu, jangan begini, jangan begitu, dan sekarang Dominic juga melakukan itu padanya? Peduli apa? Persetan! “Aku tidak lapar.” “Isabel…” Dominic memejamkan mata, seperti mengukur kesabarannya, tapi Isabella sama sekali tidak peduli. Ia menyilang tangan dengan sikap keras kepala. “Tidak ada yang boleh meninggalkan ruangan ini sampai Isabella makan sesuatu,” tukas Dominic tegas. Dan anehnya, semua orang mengangguk tanpa kata. Sama sekali tidak ada yang mempertanyakan perintah bodoh itu, membuat Isabella meradang. Apa-apaan! Isabella berdiri, menatap Dominic marah. “Apa yang akan terjadi kalau mereka menolak? Kau membunuhnya?”Isabella mengutuk dalam hati saat ia berbalik dan mendapati Dominic, sepenuhnya bangun dan kini berbaring menyamping. Lengan menopang kepala, sedang menatapnya. “Hai!” ucapnya riang sambil melambaikan tangan. Dominic mendengus. “Tiga kali usaha melarikan diri yang semuanya gagal tidak memberimu pelajaran ternyata. Kau tidak bisa melarikan diri, Isabel.” Semua sikap pura-pura Isabella selama ini menghilang mendengar pernyataan Dominic. “Apa itu tantangan?” “Aku tidak tahu, kau yang tahu jawabannya.” Isabella mendekat dengan wajah menantang. Dengan dagu terangkat ia membalas, “Aku pernah melakukannya dan berhasil. Kenapa yang ini tidak?” Wajah Dominic berubah. “Kau pernah melakukannya? Kenapa?” Karena ini bukan pertama kalinya ia berusaha melarikan diri, tapi Isabella tidak akan mengatakannya. Menjawab pertanyaan itu seperti mengorek luka yang berusaha ia abaikan. Ia tidak akan mengatakan kalau ini bukan pertama kalinya ia akan dijual. “Aku akan melarikan diri,” ulangnya, men
“Kita kehilangan barang itu, Dom. Orang-orang Irlandia mencegat sopir kita dan mengambil alih situasi.” Dominic mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja. “Bagaimana mereka tahu kapan dan di mana harus menunggu, Jax?” tanya Dominic, menatap caponya. Alisnya kemudian terangkat saat matanya menggelap. “Ada yang membocorkannya.” Jax mengangguk singkat. Dominic menggerakkan kepalanya ke samping. Bekas luka di dekat matanya membuat tatapannya terlihat mengerikan saat kemarahan berkilau bagai lidah api di matanya. Ada pengkhianat di kelompoknya. Dominic memejamkan mata sejenak. Setelah semua yang terjadi, apa orang-orang bodoh itu tidak belajar sama sekali? “Temukan siapa pelakunya. Jangan membunuh mereka, aku yang akan menangani mereka, Jax.” Kedua bola mata Jax membulat, terkejut mendengar ucapannya. “Apa yang akan kau lakukan jika ternyata ini gerakan yang terorganisir?” Dominic menyeringai “Akan ada pertumpahan darah. Keberanian seperti itu pantas mendapat penghargaan.” Jax mengangg
Rasanya seperti lepas dari mulut buaya dan masuk ke sarang harimau. Isabella berusaha menyembunyikan gemetar yang mengguncang tubuhnya, yang mustahil dilakukan saat berada dalam satu ruangan dengan pria yang kehadirannya begitu mengintimidasi dan menakutkan.Malam ini ia mengalami kejadian paling menghancurkan dalam hidupnya. Ayahnya sendiri menjualnya. Dan kakak laki-lakinya… alih-alih melindunginya justru menghilang meninggalkannya.Seolah ia tidak berarti apa-apa.Panas di belakang matanya terasa menyakitkan, tapi Isabella sudah terlalu lelah hari ini. Tenaganya terkuras habis oleh sentakan emosi dan besarnya tekad yang dibutuhkan untuk berjuang.Meraih kebebasannya.Hanya untuk kembali terpengkap dalam cengkeraman lainnya.Isabella menatap siluet pria yang sudah menyelamatkannya. Atau mungkin memerangkapnya. Ia masih belum tahu tujuan pria itu datang untuknya.Dia ingin menikahimu, kau lupa?Isabella membersihkan tenggorokannya. “Ap-apa aku tidak bisa pergi saja?” tanyanya putus a
Dua bulan kemudian“Siapa pria itu?” Dominic menunjuk ke arah seorang pria tua yang sedang tertawa terbahak-bahak ditengah kerumunan. Suaranya keras, kasar dan mengganggu. Orang-orang disekitarnya hanya menatap dengan pandangan bosan, beberapa bahkan berpaling.“Dia belum pernah ke sini,” ujar Dominic datar. Ia hapal setiap wajah yang datang ke klubnya, dan pria itu bukan salah satunya.“Namanya Richard,” jawab Victor dari belakangnya. “Dan dia punya uang.”Dominic mendengus pendek. “Tapi tidak punya otak.”Ia memperhatikan pakaian pria itu sekilas. Bukan pakaian mewah, tapi dari ekpresinya, laki-laki tua itu terlihat seperti orang yang memiliki segalanya. Dominic sama sekali tidak menyukainya.“Awasi dia. Aku tidak ingin ada kekacauan malam ini.”Victor mengangguk. Dominic hendak melangkah keluar ketika suara keras menggelegar dari balik punggungnya.“Malam ini aku akan mentraktir kalian!”Sorakan dan tawa meledak. Dominic berhenti sejenak, menatap wajahnya lebih lama. Laki-laki tua
Saat ini. “Aku akan membunuhmu.” Dominic menarik rambut laki-laki itu keras, hingga jerit kesakitan memenuhi ruangan gelap yang mengelilingi mereka. “Kesempatan untuk membunuhku sudah lewat, Tupak,” bisiknya di depan wajah pria itu. "Sekarang waktunya untuk pembalasan.” Tatapan Tupak menjadi liar, penuh dengan kebencian yang akan membuat siapa pun ketakutan, tapi Dominic adalah pengecualian untuk segala hal yang bisa membuat Tupak puas. Sebagai gantinya ia menyeringai. Laki-laki tua bangka itu mungkin mencoba terlihat kuat, tapi ia bisa melihat ketakutan di matanya, tak peduli seberapa keras usaha untuk menyembunyikannya. Dan itu memberinya kepuasan liar. Ketakutan adalah sumber kehancuran dan ia akan pastikan Tupak hancur sampai ke ujung neraka. “Seharusnya kau mati! Kau dan keluargamu seharusnya membusuk di neraka.” Tupak meludah di wajah Dominic, meski yang keluar bukan air liur melainkan darah. Dominic menjauh sambil berdecak jengkel. “Paman, apa kau tidak punya standar? Mel
Trigger Warning Harap diperhatikan bahwa cerita ini mengandung konten yang mungkin membuat beberapa pembaca terganggu, seperti, penyebutan tentang kematian keluarga dekat, serta deskripsi yang sangat grafis mengenai kekerasan, penyiksaan dan adegan berdarah. ****Lima belas tahun lalu Langkah Dominic bergema pelan di halaman rumah mereka yang berlapis kerikil. Malam itu sunyi, hanya diselingi suara dedaunan yang berbisik ditiup angin dinihari. Jam tangannya menunjukkan pukul dua lewat seperempat. Ia pulang larut. Lagi. ia menarik napas dalam, membayangkan wajah ibunya yang akan mengerut sebelum mengomel panjang lebar begitu tahu putra sulungnya pulang di jam segila ini. “Suatu hari, kau akan membuat aku dan ayahmu terkena serangan jantung,” suara ibunya terngiang jelas di telinganya. Tangannya menyentuh gagang pintu, menariknya dengan hati-hati sebelum menutupnya sepelan mungkin. Ia berbalik—berhenti mendadak saat melihat ayahnya, Ivan, duduk di kursi menatapnya tajam. “Kau tahu