Letta hanya berani berucap pada hatinya semata. Sementara Nathan kelihatan sedikit frustrasi setelah Jenna merespon demikian. Letta yang sudah selesai dengan urusannya, segera mengambil perlengkapannya.
“Aku pulang dulu, Nathan. Ada beberapa lauk yang aku taruh di kulkas. Kalau lapar, hangatkan saja,” ujar Letta. Nathan yang sudah menatap kosong itu mendongakkan sedikit kepalanya. Matanya masih tertuju pada tubuh Letta yang terlihat press dengan baju Jenna. Sampai-sampai Nathan jadi sedikit hilang fokus. “Nathan? Kamu kenapa?” Letta beberapa kali melambaikan tangan di depan wajah Nathan yang melamun. Tersentak Nathan seketika. Ia langsung menggelengkan kepala sambil tertawa kecil. “Haha, tidak. Hanya saja, kamu terlihat cantik dengan balutan baju Jenna,” puji Nathan. Pujian tidak biasa itu malah membingungkan Letta. Selama ia mengenal Nathan, pria itu tak pernah memuji wanita lain selain Jenna itu sendiri. Dan ia bingung harus merespon bagaimana. “Terima…, kasih?” Letta menjawab, ragu. “Kamu bilang mau pulang? Mau aku antarkan?” Nathan menawarkan diri. “Tidak usah, Nathan. Aku bisa pulang sendiri. Lagipula, tak baik kamu mengantarkanku pulang. Ingat, aku ini sahabat Jenna,” Letta mengingatkan. Nathan sedikit tertawa mendengar ucapan Letta. “Ya, hati-hati di jalan,” sahut Nathan. Nathan memperhatikan Letta yang keluar sampai pintu sana. Ia tak bisa berbohong bahwa ia sangat takjub dengan tubuh Letta yang tidak pernah ia lihat demikian sebelumnya. Selesai makan, Nathan juga sudah mendapati ada kopi yang masih terasa panas. Ia segera mengambilnya, dan menyeruput dengan perasaan yang tenang. “Hmm. Dia bahkan lebih tahu takaran kopi yang kusuka,” ucap Nathan. Tak berselang lama, Nathan mendapatkan pesan singkat dari sebuah nomor yang ia kenal, memberikan informasi yang singkat, namun membuat Nathan sempat terpaku. (Tuan, Nyonya Jenna kembali ke hotel yang sama dengan pria yang sama.) Tangan Nathan gemetar seketika. Kecurigaan yang tidak ia harapkan kebenarannya, kini menunjukkan petunjuk kuat. Nathan yang dari awal sudah curiga kini mencoba menguatkan dirinya agar bersiap mendapati bukti yang ada. Dibalasnya pesan itu. (Sudah kamu lakukan seperti yang kuminta?) (Sudah, Tuan.) Dengan sekali tegak, Nathan menghabiskan kopinya. Ia berjalan menuju ruang kerja pribadinya, dan segera menuju ke arah laptopnya. Rekaman langsung kamera pengawas yang sengaja Nathan minta selinapkan sudah menunjukkan sosok Jenna di dalam sana. Duduk di atas kursi, dengan sebelah tangan berada di atas meja menutupi mulutnya, Nathan menahan sakit hatinya yang tidak terbantahkan sama sekali. ‘Begini kamu Jenna. Aku kira kamu benar-benar sibuk dengan pekerjaanmu,’ batin Nathan. Dalam rekaman tersebut, terdengar jelas suara Jenna yang mengobrol dengan orang yang sudah lama Nathan curigai. Seorang designer ternama yang selalu Jenna sebut selama ini, James. (“Kau tidak mendapatkan uangnya?”) ucap James. (“Hahh. Tenang, nanti juga dia kirim padaku. Percayalah, suamiku sangat mencintaiku. Bahkan aku yakin dia tidak akan melirik wanita lain meski disodorkan tubuh langsung.”) Tawa Jenna terdengar melengking. Dada Nathan berdebar kencang. Ia tak menyangka bahwa uang yang selama ini diminta oleh Jenna bukan untuk keperluan butiknya. Tetapi, ternyata untuk berselingkuh. (“Kamu harus cepat, Sayang. Bukankah kamu ingin masuk undangan berkelas para designer ternama?”) (“Tunggu ya, Sayang. Habis ini aku bujuk dia lagi, dan akan kuberikan padamu.”) Nathan mengepal kuat tangannya. Jenna bodoh. Ia sudah dimanfaatkan oleh James, tapi dia dibutakan akan popularitas yang ia inginkan. Sambil mengatur napas dan mencoba untuk mengendalikan emosi, Nathan marah. Di dalam kamera pengawas itu, dengan mata kepalanya sendiri, Nathan melihat bagaimana Jenna melayani pria itu dengan sangat liar dan juga bergairah. Tak pernah ia melakukan itu kepada Nathan. Tetapi, dengan pria itu, Jenna seolah telah menyerahkan seluruh tubuh dan hidupnya. Manusia serakah. Nathan sengaja menyimpan rekaman dari rekaman tersebut. Ia segera menutup laptopnya dan bangung. Ia berjalan menuju jendela yang ada di dekat ruangannya. Pemandangan yang asri membuat pikirannya sedikit tenang. Nathan memegang jendelanya, kemudian memandangi pantulan tipis dari bayangannya. “Begitu maumu, Jenna? Aku bisa melakukan hal yang sama, dan bahkan lebih buruk,” gumamnya sendirian. Dalam pikirannya, kembali terlintas sahabat sang istri yang tidak bisa lepas dari pikirannya. Caranya memperlakukan Nathan, bahkan lebih tahu soal dirinya, membuat pikiran Nathan jadi kacaru. “Aku juga sudah punya mangsa yang jauh lebih menggoda,” smirk lebarnya menunjukkan ada rencana yang ia sudah siapkan. Nathan segera mengirimkan uang kepada Jenna seperti bagaimana permintaannya. Ia akan menjalankan pembalasan dendam yang selama ini tidak pernah ia duga pastinya. Jenna juga langsung mengirimkan pesan setelah mendapatkan uang dari Nathan. Ia akan mengikhlaskan uang 3M itu sekarang. Tetapi, esok ia akan membayar jauh lebih mahal dari yang sekarang. Kalau bagi Jenna dirinya ini mudah dimanfaatkan, maka Nathan akan melakukan hal yang sama, dengan risiko yang ditanggung orang lain. *** Letta kembali ke rumah Jenna atas permintaan Jenna. Baru saja ia selesai memasak dan menyajikan makanan, Jenna nampak duduk di sebelah Nathan dengan wajah sumringah. “Terima kasih ya, sayang,” ujar Jenna. ‘Wah, sepertinya Nathan memberikan permintaan Jenna, makanya dia di rumah sekarang,’ batin Letta. Baru saja ia meletakkan lauk terakhir, Jenna memanggilnya. “Letta, bisa duduk sebentar? Ada yang mau aku bicarakan,” ucap Jenna. “Oh, bisa,” sahut Letta. Letta mencuci terlebih dahulu tangannya agar bersih. Kemudian ia mengelapnya, dan duduk di kursi di depan Jenna dan juga Nathan. Jenna kelihatan sumringah sekali memandangi Letta. “Bagaimana, kalau kamu menjadi asisten Nathan?” tawar Jenna. “Apa? Asisten?” Letta terpaku sejenak. “Iya. Asisten pribadi. Nanti kalau ada apa-apa, Nathan akan langsung memberitahukanmu. Jadi, kamu tak perlu repot-repot menunggu tugas dariku. Dengan begitu, kamu punya penghasilan tetap,” ucap Jenna. Letta diam sejenak, sempat melirik ke arah Nathan yang santai duduk di sebelah Jenna. Ia juga tampak tidak keberatan dengan ucapan Jenna barusan. “Nanti, Nathan akan memberitahukan apa saja tugasmu. Jadi, kalau ada apa-apa, Nathan bisa memanggilmu langsung menggantikan tugasku,” seru Jenna. Tawarannya jelas sangat menggoda. Mengingat bahwa ia tak bisa mendapatkan pekerjaan selama ini, membuat Letta menemukan sebuah kesempatan emas. Kedua jempolnya saling bertautan, ia sedikit memikirkan tawaran tersebut. “Ayolah, Letta. Kamu punya banyak hutang kalau kamu lupa. Daripada pusing harus mengerjakan naskahmu yang tak seberapa itu, lebih baik terima tawaran ini! Anggap saja uang tambahan!” Jenna mulai kesal. Jenna yang tadi terlihat senang kini memasang wajah masam yang sebal. Letta menelan ludahnya seketika. Tawaran uang memang selalu menggiurkan. ‘Jadi, tidak apa aku bekerja dengan Nathan?’ batin Letta. “Ah, kamu kelamaan! Pokoknya kamu bekerja dengan Nathan! Turuti saja perintahnya! Aku harus buru-buru ke butik!” kesal Jenna, yang langsung beranjak meninggalkan mereka berdua. ‘Rencana pertama, berjalan sempurna.’Letta yang melihat hari mulai sore, menyadari bahwa sudah seharusnya ia membawakan berkas ini ke perusahaan Nathan untuk dievaluasi oleh tim Nathan. Akhirnya, Letta pulang terlebih dahulu, berganti pakaian, kemudian berangkat.Kali ini, Letta memakai baju yang lebih longgar. Di dalam taksi, Letta menjawab panggilan dari Nathan dengan hati-hati.“Ada apa?” tanya Letta dengan nada yang sedikit manja.(“Kamu sedang apa sekarang? Apa sudah ke perusahaan?”)“Iya, aku jalan ke sana sekarang. Tadi mamamu datang ke rumah. Sepertinya ada yang dicari,” ucap Letta.(“Mama? Dia tidak marah padamu?”) tanya Nathan, khawatir.“Tidak. Hanya saja, dia bertingkah sedikit aneh. Syukurnya waktu pulang dia tidak bilang apa-apa,” balas Letta.Nathan terdengar menghela napas panjang di seberang sana. Seolah dia merasa senang bahwa tidak terjadi hal buruk pada Letta saat menghadapi mamanya.(“Kamu tidak memakai pakaian yang aku suka, kan, Darling?”) tanya Nathan.“Haha, of course not, Love. Kamu tahu kalau b
Mama Nathan, Neira, mencoba mencaritahu bagaimana sang anak bisa menyalurkan hasratnya. Ia tahu betul bahwa Nathan punya salah satu kelainan yang membuat Neira akhirnya mengizinkan Nathan menikah.Pasti ada sesuatu yang membuat Nathan bisa tak menyentuh Jenna lagi. Ada pelarian yang tidak Neira tahu sebagai orang tua Nathan.Tempat pertama yang ia kunjungi adalah rumah Nathan itu sendiri. Baru berdiri di halamannya saja, Neira sudah bisa tahu kalau ada orang di dalam rumahnya.‘Jenna tak mungkin bisa pulang. Pasti wanita yang pernah kulihat ada di dalam lagi,’ batinnya.Dengan cepat, ia melangkah masuk ke dalam sana, mencari siapa yang tengah berada di dalam. Baru saja masuk, Neira melihat sosok wanita itu lagi. Kali ini dia membawa kain pel beserta lap kotor di bahunya, dan ember kotor berisikan air yang sudah sedikit keruh.Letta yang melihat kedatangan mama Nathan jelas kaget. Ia tidak tahu kalau akan ada orang yang datang hari ini. Ia kira, hari ini akan sepi.“Ta- Tante!” Letta t
Jenna membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa pusing dan bahkan ia kesakitan hanya dengan membuka matanya. Ia merasakan tubuhnya berbaring pada tempat yang empuk. Tetapi, rasanya langsung menyentuh kulit tubuhnya. Setelah beberapa saat mencoba mengumpulkan nyawa, Jenna dibuat terkejut saat melihat tubuhnya hanya tersisa dalaman semata. Ia spontan bangun dan melihat ke sekitar. Tak ada siapapun di sana, tetapi, ruangan ini asing. ‘Apa ini?! Di mana aku?!’ batin Jenna sambil menyilangkan tangan di depan dadanya. Ia merasa malu karena sebagian besar tubuhnya terekspos begitu saja. Turun dari ranjang dan menyentuh lantai, Jenna mencari ke sembarang arah pakaiannya yang tak ada. Ruangan yang hanya ada kasur itu membuat Jenna semakin kebingungan. ‘Aku hanya minum setegak minuman, tapi kenapa aku pingsan?! Siapa pria itu?!’ Jenna merasa tak terima. CKLEKK. Pintu yang terbuka di belakang spontan membuat Jenna langsung menoleh ke belakang. Betapa terkejut dirinya saat melihat sang mam
Baru saja melangkah cukup jauh hendak mencari tempat untuk membeli kopi, sebuah tangan mendadak memegangnya dari belakang, sontak membuat Letta langsung menoleh.Betapa terkejutnya Letta saat melihat sosok Jenna. Sang sahabat yang biasanya selalu tampil cantik dan mencoba terlihat menarik, kini terlihat seperti orang yang sudah kelimpungan untuk sekedar mengurusi dirinya sendiri.“Jenna?!” Letta terbelalak melihatnya.“LE- Letta!” seru Jenna.Pertemuan tak terduga itu membuat Letta memilih mengajak Jenna untuk mampir ke tempat terdekat dari tempat mereka berdua saat ini. Hanya sekedar memesan makanan, Jenna terlihat begitu rakus sekali melahap setiap makanan yang ada di meja.“Ummm, Jenna, kamu bisa makan pelan-pelan. Nanti kamu bisa pesan lagi kok,” Letta mencoba mengajaknya bicara dengan santai.Jenna yang daritadi terus melahap setiap makanan yang ada di atas meja itu melirik. Dia terlihat kelaparan sekali.“Boleh?” tanya Jenna.Letta menganggukkan kepala.“Apa… kamu bisa membayar
Melihat raut wajah Nathan yang memelas melihat ke arahnya membuat Letta sempat tergelitik sejenak. Ia tidak percaya bahwa Nathan bisa mengatakan hal tersebut kepadanya.“Astaga, tidak. Haha, siapa juga yang mau denganku, Nathan,” Letta menertawakan.“Ya pasti ada! Kamu ini cantik, Letta. Apalagi, tubuhmu itu terlalu menggoda untuk tak didekati,” balas Nathan sambil memujinya.Wajah Letta mendadak memerah setelah mendapatkan pujian mendadak dari Nathan. Ia tidak tahu kenapa mendadak saja perasaannya tak bisa ia kendalikan.Dengan segera, Letta mendapati sinyal Nathan yang sengaja mendatanginya. Malam yang panas membuat Nathan tak usai untuk terus menikmati tubuh Letta. Sebelum pergi jauh dalam kurun waktu yang tidak diketahui, paling tidak Nathan ingin terus membayangkan rasa tubuh yang ia rasa sekarang.“Apa ada yang ingin kamu coba, sebelum kita tak bertemu dalam jangka waktu yang cukup lama?” tanya Nathan, yang
Letta buru-buru menuju ke rumah sakit dengan perasaan yang tidak karuan. Ia sangat senang mendengar kabar bahwa adiknya telah sadar. Kakinya melangkah dengan segera, mencari kamar baru adiknya ditempatkan.Ketika sampai di pintu kamar, ia melihat adiknya sudah terduduk memandangi jendela melihat keluar dunia yang terang. Air matanya tak tertahankan, perasaan senangnya tak terbendung, Letta begitu senang.“Kyla..” panggil Letta dengan suara yang gemetar.Kyla yang tado melihat ke arah jendela kini berbalik memandangi Letta yang baru saja tiba. Adiknya tersenyum dengan lebar meski wajahnya masih sedikit pucat.“Kak?” ucapnya.Letta berlari menghampiri Kyla, segera memeluknya dengan erat. Ia menangis bahagia. Penantiannya yang tak pernah ia duga kini sudah ia dapatkan. Tak sia-sia bagaimana selama ini Letta memperjuangkan keselamatan Kyla meski kemungkinannya hidup hanya sedikit.Membalas pelukannya, Kyla juga sama