Letta hanya melirik sebentar, dan langsung mengalihkan pandangannya. Nathan memang tersenyum ramah, hanya saja, Letta tak terbiasa dengan senyumannya yang seperti barusan.
“Oke, sekarang ikut aku dulu,” ajak Nathan. Belum sempat ia menjawab, Nathan sudah bangun dari tempatnya dan berjalan meninggalkan tempat. Letta buru-buru mengikuti dan naik mobil yang dimana Nathan sudah naik duluan. Pria itu menyelahkan tablet kepada Letta. Awalnya Letta ragu mengambilnya, tapi, akhirnya dia menerima dan melihat di atas layar tertera beberapa gambar dari sebuah apartemen. “Sekarang, kamu harus pindah dulu. Sulit kalau kamu masih tinggal di kosmu yang jauh itu,” ujar Nathan. “Apa? Tapi, aku tidak ada u-“ “Jangan pikirkan soal uang. Karena kamu asistenku, kamu harus siap dipanggil 24 jam dalam jarak yang dekat. Aku tak suka menunggu, Letta,” sela Nathan. Pertama kalinya Letta melihat Nathan dalam mode serius. Pria itu memancarkan kharisma yang tidak pernah Letta lihat sebelumnya. Ia menggeser berkali-kali layar tersebut, dan hanya melihat yang mewah. Ia tidak mau aji mumpung. Setelah beberapa saat, Letta menemukan sebuah apartemen yang kelihatan simpel, dan tidak terlalu mewah, tapi masih bersih kelihatannya. “Ini bagus,” ucap Letta sambil memperlihatkan kepada Nathan. Nathan melihat dan mengerutkan dahi melihat pilihan Letta yang terbilang terlalu sederhana. Ia sempat melihat ke arah Letta yang tampak menyukai tempat tersebut. “Tempat ini? Kamu yakin?” Nathan memastikan. “Iya. Tempatnya tidak terlalu besar, dan rapi,” ucap Letta. Nathan mengiyakan saja ucapan Letta. “Beritahu alamat kosmu. Nanti aku pesankan petugas pindahan rumah agar mengangkut barangmu dari sana ke tempat yang baru,” ucap Nathan. “Secepat itu? Tidak bisa esok hari saja?” Letta terkejut. “Letta,” Nathan menoleh, “kamu harus bekerja denganku, segera,’ tegas Nathan. Mode serius Nathan memang sedikit membuat tekanan. Tapi, Letta yakin bahwa itu karena ini menyangkut pekerjaan, jadi Nathan berusaha profesional. Setelah memberitahukan alamt kos, Nathan akhirnya menjalankan mobil dan entah akan berjalan kemana. Dengan pemandangan yang apik, Letta melihat ke kanan dan ke kiri untuk mencaritahu kemana dirinya akan diajak. Setelah berjalan beberapa saat, akhirnya mereka berhenti di sebuah toko pakaian wanita yang kelihatan sedikit fancy. “Kamu mau membelikan Jenna baju?” Letta bertanya. “Untukmu, bukan Jenna. Penampilanmu itu terlalu kasual, Letta. Kalau kamu bekerja denganku, pakaianmu harus rapi dan enak dilihat,” jelas Nathan. Letta hanya manut saja dengan jawaban Nathan. Ia tidak pernah bekerja sebelumnya. Jadi, ia tidak terlalu tahu bagaimana harus berpenampilan di depan seseorang. Masuk ke dalam sana, Letta disungguhi dengan berbagai design yang menarik. Letta bingung, padahal Jenna juga pemilik butik, kenapa tidak bertanya di sana saja? Saat Letta melirik ke arah lain, tampak Nathan sudah berbicara dengan salah satu karyawan di sana. Buru-buru Letta mendekat karena ia lengah. “Kalian bicara apa?” tanya Letta, saat melihat karyawan itu sudah pergi. “Aku minta dia mengambilkan beberapa pakaian yang cocok untukmu,” sahut Nathan, dengan murah senyum. Sebenarnya Letta ingin menanyakan dahulu palaian macam apa yang dibelikan. Hanya saja, sekarang Letta tak berani bertanya. Seperti ada yang sengaja menahan mulutnya. Tak lama, pakaiannya sudah ada dalams ebuah paper bag yang isinya lumayan banyak. Letta jelas kaget, ia tidak tahu kalau ia tidak akan melihat dahulu isi tasnya. “Apa aku boleh lihat isinya?” pinta Letta. Nathan yang sudah mengambil dahulu paper bag tersebut dan berjalan meninggalkannya menuju ke dalam mobil. “Nathan!” “Ayo, kita lihat bagaimana apartemenmu,” ucap Nathan. Letta kembali berusaha menolak, tetapi, Nathan sudah duluan masuk ke dalam sana. Entah kenapa, sekarang Nathan seperti ada yang disembunyikan dengan sengaja. Bahkan ia kelihatan lebih bersemangat memperhitungkan apa yang harus Letta lakukan. Dalam perjalanan, terlihat raut wajah Nathan yang sangat bersemangat. Letta terus menaruh rasa curiga karena tatapan itu tak biasanya dipasang oleh Nathan. “Apa Jenna tahu, soal kamu yang menyewakan aku apartemen?” tanya Letta. “Tentu dia tahu. Dia bilang kalau aku perlu bantuanmu, kamu bisa segera datang dan tidak merepotkannya,” sahut Nathan. Letta hanya mengangguk pelan. ‘Jenna merasa direpotkan sampai mana? Padahal, selama ini dia lebih banyak marah-marah ke Nathan,’ batin Letta. Tak lama dari perjalanan mereka, apartemen yang dimaksud oleh Nathan sudah ada di depan mata mereka. Jaraknya sekitar 3 km dari rumah Nathan, jauh lebih dekat daripada jarak dari kosnya. Ia terpukai berdiri di depan gedung itu. Letta tak pernah menduga bahwa dia bisa tinggal di dalam sebuah gedung besar ini. Ia selama ini sudah tercekik hutang yang memaksanya untuk menghemat segala kebutuhan, sekarang, ia akan punya penghasilan tetap untuk bisa menutupinya. Di dalam lift pun Letta lebih sibuk memperhatikan sekitar. Hingga sampai di lantai gedung tempat Letta tinggal. Kunci yang sudah diambil Nathan itu kini diserahkan kepada Letta. Baru saja Letta hendak membuka pintu, ia terdiam dan mengingat sesuatu. “Kamu akan ikut masuk?” Letta setengah memutar badannya. “Aku tidak boleh?” tanya Nathan. Ia melepaskan kunci yang ia pegang dan kini berbalik badan melihat ke arah Nathan. Pria ini benar-benar tidak tahu bahwa tak seharusnya dia ikut masuk, apalagi kalau hanya mereka berdua yang ada di sana. “Ya. Apa kata orang kalau melihat kita berdua masuk ke dalam sana? Kamu pikir Jenna takkan marah? Kamu pikir dia akan terima?” Letta meminta Nathan memikirkannya. “Santai saja, Letta. Kamu ini sahabat istriku. Kamu takut aku akan melakukan hal buruk padamu?” tanya Nathan, berusaha sedikit menggodanya. Wajah Letta memerah setelah Nathan mengatakan hal barusan. Benar juga, ia ini sahabat Jenna. Tak mungkin juga Nathan akan melakukan hal buruk seperti pikirannya yang tidak benar tersebut. “Baiklah. Awas kamu macam-macam ya!” Letta memperingatkan. Nathan hanya tertawa menanggapinya. Mereka berdua kemudian masuk. Letta makin dibuat terpukai setiap ia memijakkan kakinya. Ruangan ini jauh lebih besar dari kosnya. Bahkan di dalamnya ada barang-barang yang bukan milik. “I- Ini-“ “Aku membelikannya untukmu. Yah, ini juga pesan Jenna. Dia bilang padaku untuk membelikan semua yang kurang,” sahut Nathan. Letta berbinar dan merasa terharu mendengar ucapan Nathan. Jenna benar-benar baik. Ia tidak bisa berkata apa-apa setelah mengetahui bahwa Jenna mau membelikannya barang-barang mahal ini. “Benar-benar malaikat,” gumam Letta, dengan suara kecil. Ia jadi bersemangat menelusuri tempat, dan kini segera berjalan dengan perasaan yang senang ke dalam sana. Sementara Nathan, ia mengubah senyuman polosnya menjadi sedikit menyeringai. ‘Dia bilang kamu akan menggantikannya. Kupastikan semua tugas Jenna dikerjakan olehmu, Letta.’ Seringai Nathan tak bisa ia sembunyikan. Lagian, dari awal ia sudah merasa tertarik dengan Letta. Dia jauh lebih telaten, lebih sabar, dan bahkan bodynya lebih dari Jenna itu sendiri.Nathan langsung melahap bibir Letta dengan rakus, bahkan terkesan seperti seseorang yang tengah membuat Letta kehabisan seluruh napasnya begitu saja. Letta merasakan Nathan mulai mengangkat baju beserta memasukkan tangannya ke dalam celananya.Bahkan saat Nathan mulai mengecupi lehernya, Letta membiarkan dan membuat Nathan semakin ganas membuat Letta di bawah kendalinya.“Ahhh… ahhh… Nathan….” Panggil Letta.“Your mine, Letta,” ucap Nathan.Merasa hasratnya yang semakin menggila, Nathan tak perlu berpindah tempat lagi, ia merebahkan tubuh Letta di atas sofa, dan menerjangnya dengan lebih ganas di sana. Ia membuat Letta tak memakai sehelai benangpun di bawah kungkungannya.“Eumhhh, Damn…..” Nathan merasa semakin menggila.Semakin dibiarkan, Nathan membuat Letta terus mendesah tiada henti karena rasa geli yang terus muncul setiap kali Nathan memberikan kecupannya yang terasa begitu panas.Sambil menyesap pucuk payu-daranya yang ranum, Nathan mulai memainkan klit Letta sampai Letta menja
Letta terdiam. Ia baru menyadari, bahwa seharusnya ia tidak menanyakan perihal Jenna kalau bukan dia yang bilang duluan kepadanya. Akhirnya, Nathan yang mengalihkan obrolan mereka yang terasa tidak nyaman itu.(“Aku mau membelikan hadiah untukmu. Tapi, aku tidak tahu kamu suka apa. Jadi, kamu maunya apa?”) Nathan tampak malu untuk mengajukan pertanyaan kepada Letta.Letta terdiam sejenak. Ia memikirkan jawaban apa saja yang bisa ia berikan kepada Nathan. Di pikirannya terbayang apa yang ingin dia minta dari Nathan. Meski hubungan ini sedikit menyimpang, Letta masih merasa tidak rela melepaskan hubungan ini.“Hmm, apa saja tidak masalah. Aku tidak tahu harus meminta apa,” sahut Letta.Nathan tertawa di seberang sana mendengar jawaban Letta. Tak lama, Letta mulai merasa mengantuk dan tiduran sejenak di atas sofa. Nathan yang mendengar suara Letta mulai sayup-sayup juga langsung memberitahukan.(“Darling. Kamu tidur saja dulu. Aku akan lanjut bekerja,”) ucap Nathan.“Iya, Love. Semangat
Letta yang melihat hari mulai sore, menyadari bahwa sudah seharusnya ia membawakan berkas ini ke perusahaan Nathan untuk dievaluasi oleh tim Nathan. Akhirnya, Letta pulang terlebih dahulu, berganti pakaian, kemudian berangkat.Kali ini, Letta memakai baju yang lebih longgar. Di dalam taksi, Letta menjawab panggilan dari Nathan dengan hati-hati.“Ada apa?” tanya Letta dengan nada yang sedikit manja.(“Kamu sedang apa sekarang? Apa sudah ke perusahaan?”)“Iya, aku jalan ke sana sekarang. Tadi mamamu datang ke rumah. Sepertinya ada yang dicari,” ucap Letta.(“Mama? Dia tidak marah padamu?”) tanya Nathan, khawatir.“Tidak. Hanya saja, dia bertingkah sedikit aneh. Syukurnya waktu pulang dia tidak bilang apa-apa,” balas Letta.Nathan terdengar menghela napas panjang di seberang sana. Seolah dia merasa senang bahwa tidak terjadi hal buruk pada Letta saat menghadapi mamanya.(“Kamu tidak memakai pakaian yang aku suka, kan, Darling?”) tanya Nathan.“Haha, of course not, Love. Kamu tahu kalau b
Mama Nathan, Neira, mencoba mencaritahu bagaimana sang anak bisa menyalurkan hasratnya. Ia tahu betul bahwa Nathan punya salah satu kelainan yang membuat Neira akhirnya mengizinkan Nathan menikah.Pasti ada sesuatu yang membuat Nathan bisa tak menyentuh Jenna lagi. Ada pelarian yang tidak Neira tahu sebagai orang tua Nathan.Tempat pertama yang ia kunjungi adalah rumah Nathan itu sendiri. Baru berdiri di halamannya saja, Neira sudah bisa tahu kalau ada orang di dalam rumahnya.‘Jenna tak mungkin bisa pulang. Pasti wanita yang pernah kulihat ada di dalam lagi,’ batinnya.Dengan cepat, ia melangkah masuk ke dalam sana, mencari siapa yang tengah berada di dalam. Baru saja masuk, Neira melihat sosok wanita itu lagi. Kali ini dia membawa kain pel beserta lap kotor di bahunya, dan ember kotor berisikan air yang sudah sedikit keruh.Letta yang melihat kedatangan mama Nathan jelas kaget. Ia tidak tahu kalau akan ada orang yang datang hari ini. Ia kira, hari ini akan sepi.“Ta- Tante!” Letta t
Jenna membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa pusing dan bahkan ia kesakitan hanya dengan membuka matanya. Ia merasakan tubuhnya berbaring pada tempat yang empuk. Tetapi, rasanya langsung menyentuh kulit tubuhnya. Setelah beberapa saat mencoba mengumpulkan nyawa, Jenna dibuat terkejut saat melihat tubuhnya hanya tersisa dalaman semata. Ia spontan bangun dan melihat ke sekitar. Tak ada siapapun di sana, tetapi, ruangan ini asing. ‘Apa ini?! Di mana aku?!’ batin Jenna sambil menyilangkan tangan di depan dadanya. Ia merasa malu karena sebagian besar tubuhnya terekspos begitu saja. Turun dari ranjang dan menyentuh lantai, Jenna mencari ke sembarang arah pakaiannya yang tak ada. Ruangan yang hanya ada kasur itu membuat Jenna semakin kebingungan. ‘Aku hanya minum setegak minuman, tapi kenapa aku pingsan?! Siapa pria itu?!’ Jenna merasa tak terima. CKLEKK. Pintu yang terbuka di belakang spontan membuat Jenna langsung menoleh ke belakang. Betapa terkejut dirinya saat melihat sang mam
Baru saja melangkah cukup jauh hendak mencari tempat untuk membeli kopi, sebuah tangan mendadak memegangnya dari belakang, sontak membuat Letta langsung menoleh.Betapa terkejutnya Letta saat melihat sosok Jenna. Sang sahabat yang biasanya selalu tampil cantik dan mencoba terlihat menarik, kini terlihat seperti orang yang sudah kelimpungan untuk sekedar mengurusi dirinya sendiri.“Jenna?!” Letta terbelalak melihatnya.“LE- Letta!” seru Jenna.Pertemuan tak terduga itu membuat Letta memilih mengajak Jenna untuk mampir ke tempat terdekat dari tempat mereka berdua saat ini. Hanya sekedar memesan makanan, Jenna terlihat begitu rakus sekali melahap setiap makanan yang ada di meja.“Ummm, Jenna, kamu bisa makan pelan-pelan. Nanti kamu bisa pesan lagi kok,” Letta mencoba mengajaknya bicara dengan santai.Jenna yang daritadi terus melahap setiap makanan yang ada di atas meja itu melirik. Dia terlihat kelaparan sekali.“Boleh?” tanya Jenna.Letta menganggukkan kepala.“Apa… kamu bisa membayar