Share

Tanda merah di leher

BAB 2

"I-ini, Bu, kuncinya," ucap mbak Siti sembari menyerahkan kunci itu padaku. 

Bergegas aku membuka pintu kamar Zea menggunakan kunci cadangan dan seketika mataku membelalak saat melihat keadaan di dalam sana. 

"Zea …." Aku terbelalak melihat di dalam kamar ternyata Zea tengah memegang sebuah kertas dan ia yang memakai pakaian kurang bahan membuat dahiku mengernyit dan sejenak aku terpaku hingga saat terdengar suara Zea membuyarkan lamunanku tentangnya. 

"Mbak Anin? Kok tiba-tiba masuk? Mbak Anin kok gak sopan banget buka-buka pintu kamar orang tanpa izin?!" tanya Zea tapi dengan raut wajah tidak suka dan dari nada bicaranya juga ia sangat ketus. Mendadak aku merasa sedikit bersalah karena sudah berpikiran jauh sekali. Namun, aku sangat yakin jika telingaku tidaklah salah mendengar. Zea seperti sedang bergurau dan bermanja dengan pasangannya. Apa iya aku hanya menghalu saja? 

"Zea, kenapa tadi aku gedor-gedor pintu kamu enggak dengar dan enggak langsung bukain pintu? Memangnya telingamu tuli? Terus tadi kata Mbak Siti kamu lagi keluar tapi sekarang kamu di sini?" tanyaku memberondong beberapa pertanyaan pada Zea. 

"Tadi aku pakai headphone, Mbak, tuh lihat headphone nya ada di sana! Lagian aku sudah pulang sejak tadi pas Mbak Anin belum pulang juga Mbak Siti yang gak tahu kemana," ucap Zea lagi sembari menunjuk ke arah atas kasurnya yang memang kulihat ada headphone di sana. Lalu aku menatap mbak Siti sekilas, dapat kutelisik raut wajah mbak Siti yang Menurutku sedikit aneh.

"Ah maaf, Bu, tadi setelah Bu Zea pamit sama saya, saya langsung keluar, Bu, buang sampah di ujung jalan sana. Nah di tengah jalan saya ketemu sama Lia jadi kami saling bercengkrama dulu deh, Bu, hehehe," ucap Siti yang semakin membuatku sedikit curiga. 

Namun, kali ini aku tidak boleh gegabah, entah kenapa aku memiliki rasa curiga yang besar terhadap Zea juga Siti. Akan aku cari tahu aa yang sebenarnya terjadi di saat aku dan mas Rama tidak berada di rumah. 

"Oh ya, Zea, kamu memangnya lagi apa sih? Terus itu kertas apa yang kamu oegang?" 

"Oh ini aku lagi ada tugas main drama sama dosen, Mbak, kan Mbak tahu kalau ini sudah mau ujian akhir semester dan dosennya memberi tugas seperti ini, yang aku pegang ini naskah drama kelompokku, Mbak, kalau enggak percaya nih lihat saja sendiri buktinya." 

Zea menyodorkan kertas itu padaku dan benar saja apa yang dikatakannya hingga membuatku terdiam lagi karena kulihat raut wajah Zea yang terlihat santai dan tidak gugup. Zea memang sedang menempuh pendidikan di universitas khususnya jurusan bahasa dan sastra. Katanya dia juga ingin selaras denganku yang lulusan sarjana biar gak malu-maluin sebagai istri dari mas Rama. Meski umurnya sudah sedikit terlambat masuk kuliah tapi dia tetap ingin kuliah makanya mas Rama juga tidak keberatan. Aku pun tidak terlalu menjadi masalah toh kampus dan jurusan yang Zea ambil tidak terlalu menguras kantong mas Rama. 

Ah, apa mungkin memang aku yang terlalu berlebihan berpikir?

"Jadi tadi suara kamu itu lagi baca drama gitu?" Zea mengangguk pasti menjawab pertanyaanku. 

"Iya Mbak benar, aku sambil dengerin rekaman yang ada musiknya biar bisa menghayati makanya aku gak dengar saat Mbak Anin gedor pintu tadi."

"Yaudah maaf kalau aku udah ganggu waktu kamu," ucapku pada akhirya. Biarlah kali ini aku mengalah terlebih dahulu tapi tetap aku akan menyelidikinya  karena aku tidak bisa percaya begitu saja pada orang lain saat ini. 

Aku pun segera meninggalkan kamar Zea dan kembali ke kamarku pribadi. Aku membuka pintu dengan kunci yang selalu kubawa. Aku memang sengaja selalu mengunci pintu kamarku sebab aku memang sedari dulu tidak pernah terlalu mempercayai siapa pun termasuk suamiku sendiri. 

Yah, meskipun hingga saat ini mas Rama masih memperlakukanku dengan sangat baik tidak ada yang berubah tapi tetap saja aku tidak menaruh kepercayaanku padanya 100 persen. Aku hanya menjalankan semuanya sesuai kewajibanku sebagai seorang istri. Mencoba mempertahankan hak yang seharusnya menjadi milikku. Tidak mau melepas mas Rama karena selain cinta aku juga tak mau rugi. Rugi dalam arti jika kami berpisah harta bagi dua. Aku yang sudah capek menamninya dariawal belum punya apa-apa harus membaginya dengan seorang pelakor? Oh itu tentu tidak mungkin aku inginkan. 

Pokoknya selama mas Rama masih baik terhadapku akan aku pertahankan cinta ini sampai maut menjemput. Tapi jika mas Rama mulai berubah aku pasti akan mundur dan tentunya dengan kondisi semua harta sudah menjadi milikku. 

Aku bukan perempuan naif yang hanya bisa menangis dan menerima begitu saja. Aku adalah perempuan dan istri yang tangguh. Akan mempertahankan apa yang seharusnya menjadi milikku meski hingga titik darah penghabisan. Mungkin bagi sebagian orang harta bisa dicari. Memang benar adanya, tapi tetap daripada aku yang sakit sendiri lebih baik kita sakit bersama-sama. Jika aku tidak mendapatkan apa yang seharusnya jadi milikku maka siapa pun juga tidak boleh mendapatkannya. Boleh kan jika aku egois terhadap kepunyaanku sendiri?

Aku merebahkan diri setelah melepaskan bju kerjaku. Memejamkan mata sejenak karena entah kenapa belakangan hari tubuhku rasanya pegal-pegal juga sakit-sakit. Mungkin saja aku akan kedatangan tamu bulananku karena biasanya seperti itu. 

***

Malam ini aku bersama Zea akan makan malam seperti biasa di meja makan. Mbak Siti sudah memasak menu sederhana seperti ayam goreng dan sayur sop tak lupa dengan sambal kecap juga buah-buahan dan air putih. 

Awalnya Zea juga sok-sok an menolak makanan-makanan yang mbak Siti sediakan tapi, lagi-lagi Zea tak mampu berkutik karena ini rumahku jadi sudah sewajarnya aku lah yang menentukan bukan dia. Kalau di rumahnya sendiri sih bodo amat dia mau makan apa juga. Sayangnya di rumahnya tidak ada pembantu itulah kenapa Zea jauh lebih betah berada di rumahku karena selain besar juga ada art. 

Aku sih tidak mempermasalahkan soal itu selama tidak ada mas Ramaa. Akan tetapi, jika ada mas Rana maka jangan harap aku mau Zea berada di sini dan menunjukkan kemesraan mereka di depanku. Ah, aku tidak sekuat itu guys. Aku masa bodoh kalau merek bermesraan di rumah Zea asal tidak di rumahku. Itulah sebabnya jika tidak ada mas Ramaa baru Zea boleh menginap di sini. 

"Malam, Mbak Anin, " sapa Zea padaku saat ia baru saja keluar dari kamarnya. 

"Malam juga Zea," jawabku sambil melihat ke arah Zea. Namun, dahiku mengerut seketika saat aku melihat tanda tidak asing yang berada di leher Zea. 

"Zea, itu leher kamu kenapa? Kok merah-merah kayak bekas cupangan?" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status