"Oh ya, Zea, kamu memangnya lagi apa sih? Terus itu kertas apa yang kamu oegang?"
"Oh ini aku lagi ada tugas main drama sama dosen, Mbak, kan Mbak tahu kalau ini sudah mau ujian akhir semester dan dosennya memberi tugas seperti ini, yang aku pegang ini naskah drama kelompokku, Mbak, kalau enggak percaya nih lihat saja sendiri buktinya." Zea menyodorkan kertas itu padaku dan benar saja apa yang dikatakannya hingga membuatku terdiam lagi karena kulihat raut wajah Zea yang terlihat santai dan tidak gugup. Zea memang sedang menempuh pendidikan di universitas khususnya jurusan bahasa dan sastra. Katanya dia juga ingin selaras denganku yang lulusan sarjana biar gak malu-maluin sebagai istri dari mas Rama. Meski umurnya sudah sedikit terlambat masuk kuliah tapi dia tetap ingin kuliah makanya mas Rama juga tidak keberatan. Aku pun tidak terlalu menjadi masalah toh kampus dan jurusan yang Zea ambil tidak terlalu menguras kantong mas Rama. Ah, apa mungkin memang aku yang terlalu berlebihan berpikir?"Jadi tadi suara kamu itu lagi baca drama gitu?" Zea mengangguk pasti menjawab pertanyaanku. "Iya Mbak benar, aku sambil dengerin rekaman yang ada musiknya biar bisa menghayati makanya aku gak dengar saat Mbak Anin gedor pintu tadi.""Yaudah maaf kalau aku udah ganggu waktu kamu," ucapku pada akhirya. Biarlah kali ini aku mengalah terlebih dahulu tapi tetap aku akan menyelidikinya karena aku tidak bisa percaya begitu saja pada orang lain saat ini. Aku pun segera meninggalkan kamar Zea dan kembali ke kamarku pribadi. Aku membuka pintu dengan kunci yang selalu kubawa. Aku memang sengaja selalu mengunci pintu kamarku sebab aku memang sedari dulu tidak pernah terlalu mempercayai siapa pun termasuk suamiku sendiri. Yah, meskipun hingga saat ini mas Rama masih memperlakukanku dengan sangat baik tidak ada yang berubah tapi tetap saja aku tidak menaruh kepercayaanku padanya 100 persen. Aku hanya menjalankan semuanya sesuai kewajibanku sebagai seorang istri. Mencoba mempertahankan hak yang seharusnya menjadi milikku. Tidak mau melepas mas Rama karena selain cinta aku juga tak mau rugi. Rugi dalam arti jika kami berpisah harta bagi dua. Aku yang sudah capek menamninya dariawal belum punya apa-apa harus membaginya dengan seorang pelakor? Oh itu tentu tidak mungkin aku inginkan. Pokoknya selama mas Rama masih baik terhadapku akan aku pertahankan cinta ini sampai maut menjemput. Tapi jika mas Rama mulai berubah aku pasti akan mundur dan tentunya dengan kondisi semua harta sudah menjadi milikku. Aku bukan perempuan naif yang hanya bisa menangis dan menerima begitu saja. Aku adalah perempuan dan istri yang tangguh. Akan mempertahankan apa yang seharusnya menjadi milikku meski hingga titik darah penghabisan. Mungkin bagi sebagian orang harta bisa dicari. Memang benar adanya, tapi tetap daripada aku yang sakit sendiri lebih baik kita sakit bersama-sama. Jika aku tidak mendapatkan apa yang seharusnya jadi milikku maka siapa pun juga tidak boleh mendapatkannya. Boleh kan jika aku egois terhadap kepunyaanku sendiri?Aku merebahkan diri setelah melepaskan bju kerjaku. Memejamkan mata sejenak karena entah kenapa belakangan hari tubuhku rasanya pegal-pegal juga sakit-sakit. Mungkin saja aku akan kedatangan tamu bulananku karena biasanya seperti itu. ***Malam ini aku bersama Zea akan makan malam seperti biasa di meja makan. Mbak Siti sudah memasak menu sederhana seperti ayam goreng dan sayur sop tak lupa dengan sambal kecap juga buah-buahan dan air putih.
Awalnya Zea juga sok-sok an menolak makanan-makanan yang mbak Siti sediakan tapi, lagi-lagi Zea tak mampu berkutik karena ini rumahku jadi sudah sewajarnya aku lah yang menentukan bukan dia. Kalau di rumahnya sendiri sih bodo amat dia mau makan apa juga. Sayangnya di rumahnya tidak ada pembantu itulah kenapa Zea jauh lebih betah berada di rumahku karena selain besar juga ada art. Aku sih tidak mempermasalahkan soal itu selama tidak ada mas Ramaa. Akan tetapi, jika ada mas Rana maka jangan harap aku mau Zea berada di sini dan menunjukkan kemesraan mereka di depanku. Ah, aku tidak sekuat itu guys. Aku masa bodoh kalau merek bermesraan di rumah Zea asal tidak di rumahku. Itulah sebabnya jika tidak ada mas Ramaa baru Zea boleh menginap di sini. "Malam, Mbak Anin, " sapa Zea padaku saat ia baru saja keluar dari kamarnya. "Malam juga Zea," jawabku sambil melihat ke arah Zea. Namun, dahiku mengerut seketika saat aku melihat tanda tidak asing yang berada di leher Zea. "Zea, itu leher kamu kenapa? Kok merah-merah kayak bekas cupangan?"BAB 3"Malam juga Zea," jawabku sambil melihat ke arah Zea. Namun, dahiku mengerut seketika saat aku melihat tanda tidak asing yang berada di leher Zea. "Zea, itu leher kamu kenapa? Kok merah-merah kayak bekas cupangan?" "Uhuk, uhuk." Tiba-tiba saja Zea terbatuk saat meminum air putih hingga ia menyemburkan air tersebut dari dalam mulutnya. Tentu saja aku semakin merasa curiga dengan kelakuan nya ini. Bukankah hal ini menandakan kalau Zea tengah salah tingkah akibat ucapanku? "Kamu tidak apa-apa, Zea?" tanyaku pada Zea mencoba masih berpikiran positif. "Ah, e-enggak apa-apa kok, Mbak. I-ini tadi aku kerokan makanya merah-merah begini," ucap Zea lagi yang membuatku memicingkan mata menatap ke arahnya. Akan tetapi, Zea terlihat mencoba bersikap biasa saja seperti tidak ada sesuatu yang ia sembunyikan. Meskipun begitu tetap saja aku melihat jika memang ia tengah menyembunyikan sesuatu padaku. Baiklah, kalau sudah begini lebih cepat lebih baik aku akan mencari tahu masalah yang ia s
BAB 4Aku sedikit menyungingkan senyum karena ternyata secinta itu mas Satria mencintaiku sampai berpikiran hingga sejauh ini. Terima kasih, suamiku, aku sangat mencintaimu. Aku tidak salah telah melabuhkan dan menyerahkan hati ini seutuhnya untukmu. "Yasudah kalau begitu Mas tutup dulu ya teleponnya. Mas mau istirahat kebetulan besok ada matrial baru datang pagi. Jadi Mas pagi-pagi sekali harus ngecek dulu barangnya," ucap mas Rama berniat menyudahi obrolan kami. "Yasudah, Mas, selamat malam dan selamat beristirahat suamiku. I love you, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Sayang, i love you to."Aku pun merebahkan tubuhku ke atas pembaringan dan meletakkan ponselku di atas nakas di samping tempat tidur. Setelahnya aku memejamkan mata karena esok pagi aku pun harus berangkat ke sekolah tempatku mengajar. ***"Ah, Mas, mana lidahmu? Tapi jangan kencang-kencang begitu dong suaramu. Nanti kedengeran sama Mbak Anin lho. Tapi pasti yang tadi itu akan terasa geli dan nikmat." Aku menger
BAB 5Tentu saja rasanya darahku mendidih. Refleks tanganku menampar kuat pipinya hingga membuat Zea terhuyung dan kepalanya menoleh ke samping. "Jangan pernah pancing seekor buaya yang tengah kelaparan untuk menerkam. Karena sekali saja kau terkena gigitannya yang tajam aku jamin kau akan mati karenanya!" Aku meninggalkan Zea yang masih terpaku atas kemarahanku barusan. Dia kira dia siapa bisa seenaknya saja berbuat. Meskipun dia adalah pilihan mami tapi tetap saja akilah ratu bagi mas Rama. Aku percaya itu. Lagian di rumah ini akulah ratunya dan Zea hanyah tamu. Tamu yang kapan saja jika si pemilik rumah menghendaki maka bisa mengusir si tamu yang menyebalkan tersebut. Kubamting pintu kamarku karena sungguh kesal demgan Zea. Biar dia tahu seperti apa wajah asliku. Aku bukanlah istri pertama yang diam saja ketika ditindas. Meskipun mami menyanjung dan menyayanginya sekali lagi aku tidak peduli karena bagiku yang utama adalah mas Rama bukan mami karena yang menikah denganku adalah
Sesampainya aku di sekolah dan baru saja mendaratkan bokongku di atas kursi di dalam ruang guru tiba-tiba saja ponselku berdering. Meski lirih karena memang kuatur untuk tidak terlalu nyaring namun, ku masih bisa mendengarnya. Gegas aku mengambil ponselku di dalam tas yang kubawa, kuedarkan pandangan ke sekeliling ternyata yang datang baru tiga guru salah satunya termasuk aku. Kulihat nama mas Rama terpampang di layar ponsel. Aku mengukir senyum di kedua sudut bibirku dan lekas mengangkat sambungan telepon dari mas Rama. "Assalamualaikum, Sayangku, wah cantik sekali sepagi ini kamu Sayang?" ucap mas Rama sesaat aku mengangkat telepon darinya. Tentu saja ucapannya membuatku tersipu dan wajahku menghangat. Ditambah lagi di ruangan ini juga ada guru yang lain dan salah satunya adalah teman dekatku yakni, Pratiwi dan aku biasa memanggilnya Tiwi. "Waalaikumsalam, suamiku, jangan gombal pagi-pagi ah, kan malu didengar sama yang lain," ucapku sembari mengarahkan kamera ke sekeliling ru
Bel berbunyi, waktu juga sudah menunjukkan pukul satu kurang dua puluh menit. Itu artinya sekolah sudah usai. Aku pun bergegas kembali ke ruang guru untuk mengembalikan peralatan mengajarku ke dalam meja kerjaku. Tak lupa aku juga berpamitan pada Tiwi dan guru-guru yang lainnya.Setelahnya aku bergegas pulang tapi aku sebelumnya singgah terlebih dahulu ke masjid di dekat sini. Aku tidak pernah mau melewatkan kewajibanku meskipun sedang sibuk. Bahkan, saat sakit pun aku tetap akan melakukan kewajiban lima waktuku itu. Setelah selesai melaksanakan kewajibanku, aku pun kembali menjalankan motor sekop kesayanganku menuju rumah. Aku mematikan mesin motor saat sudah sampai di depan rumahku. Aku turun dari motor dan membuka pintu gerbang. Dahiku mengernyit saat melihat ada mobil yang biasa mami pakai. Benar saja saat mataku mengedar ke sekeliling, aku mendapati pak Yadi sedang duduk di kursi di teras. Huft, kuhembuskan napas untuk menetralkan dadaku yang terasa sesak secara tiba-tiba. Kar
"Astaga Zea? Ini beneran Zea? Tapi kenapa sampai seperti ini? Ya Allah, aku gak nyangka Zea sudah sejauh ini," gumamku lirih sembari masih menatap tak percaya pada layar ponsel yang masih aku genggam. Di dalam video itu jelas terlihat kalau Zea tengah meliuk-liukkan tubuhnya tanpa sehelai benang pun. Ia juga tengah melakukan gerakan seperti mengocok alat kelamin pria dan memainkan lidahnya seolah-olah tengah menjilati suatu benda yang membuatnya berhasrat. Hal itu berlangsung selama dua menit. Yah, hanya dua menit durasi video yang masuk ke nomor whatsappku. Bahkan, aku pun tidak tahu nomor siapa yang mengirimiku video ini. Kenapa orang misterius ini bisa tahu nomorku. Ah, aku malah jadi penasaran sama si pengirim video ini. Aku bangun dari posisi dudukku lalu aku berjalan ke arah kamar karena ingin mengganti baju kerjaku dengan daster kebanggaanku. Namun, baru saja aku melepas kancing bajuku bagian atas tiba-tiba terdengar suara pesan masuk kembali. Aku bergegas mengecek kembali
***Aku memejamkan mata untuk menetralisir degup jantungku. Baru saja aku dan mas Rama saling melepaskan hasrat. Yah, kami memang baru selesai menyelami indahnya surga dunia setelah kepergian mas Rama untuk merantau selama kurang lebih dua minggu. "Mas," panggilku pada mas Rama. Saat ini kami masih sama-sama merebahkan diri di atas kasur king size di kamarku dan masih sama-sama belum memakai apa pun, hanya memakai selimut saja. "Ya, Sayang? Ada apa?" tanya mas Ramaa. Kini wajahnya sudah menatapku. Aku pun kini menghadap ke arahnya dan juga menatapnya. "Aku boleh bertanya sesuatu? Mungkin ini agak sensitif tapi ini juga hal yang penting menurutku." "Ada apa memangnya?" "Tolong jawab dengan jujur. Apa kamu sudah melakukan hubungan seperti kita ini dengan Zea?""Kok kamu tiba-tiba tanya begitu? Kenapa memangnya?" "Jawab saja dulu, sudah ataukah belum. Nanti akan aku jelaskan.""Belum." Degh. Belum? Itu artinya selama tiga bulan ini mereka ngapain aja kalau saat satu rumah? "Bel
***Adzan maghrib berkumandang. Aku dan mas Rama sudah siap dengan pakaian wajib kami untuk sholat berdua. Yah, beginilah yang kami lakukan jika mas Rama sedang berada di rumah. Alih-alih mas Rama berjamaah di masjid, dia lebih suka jika berjamaah di rumah saja berdua denganku. Katanya sih biar aku juga mendapatkan pahala shalat berjamaah juga. Ah, betapa romantisnya suamiku ini. Alhamdulillah, aku memang tidak salah memilih imam. Iqamat pun sudah dikumandangkan. Kini aku dan mas satria sudah bersiap di tempat kami masing-masing untuk melakukan ibadah shalat maghrib. "Assalamualaikumwarrahmatullahiwabarakatuh.""Assalamualaikumwarrahmatullahiwabarakatuh." Setelah salam ke kanan dan ke kiri, aku meraih tangan kanan mas Rama dan mencium takzim punggung tangan yang sudah beberapa tahun ini mencarikan dan memberikanku nafkah dengan sangat layak. Setelahnya aku menengadahkan tanganku dan berdoa kepada sang pencipta agar rumah tanggaku dengan mas Rama dilanggengkan hingga akhir hayat d