Share

Kejutan dari Rama

BAB 3

"Malam juga Zea," jawabku sambil melihat ke arah Zea. Namun, dahiku mengerut seketika saat aku melihat tanda tidak asing yang berada di leher Zea. 

"Zea, itu leher kamu kenapa? Kok merah-merah kayak bekas cupangan?" 

"Uhuk, uhuk." Tiba-tiba saja Zea terbatuk saat meminum air putih hingga ia menyemburkan air tersebut dari dalam mulutnya. 

Tentu saja aku semakin merasa curiga dengan kelakuan nya ini. Bukankah hal ini menandakan kalau Zea tengah salah tingkah akibat ucapanku? 

"Kamu tidak apa-apa, Zea?" tanyaku pada Zea mencoba masih berpikiran positif. 

"Ah, e-enggak apa-apa kok, Mbak. I-ini tadi aku kerokan makanya merah-merah begini," ucap Zea lagi yang membuatku memicingkan mata menatap ke arahnya. Akan tetapi, Zea terlihat mencoba bersikap biasa saja seperti tidak ada sesuatu yang ia sembunyikan. Meskipun begitu tetap saja aku melihat jika memang ia tengah menyembunyikan sesuatu padaku. 

Baiklah, kalau sudah begini lebih cepat lebih baik aku akan mencari tahu masalah yang ia sembunyikan dariku. Aku yakin cepat atau lambat pasti akan ketahuan semuanya. 

Aku pun melanjutkan makanku yang tertunda sementara itu Zea sudah sibuk dengan ponselnya. Justru makanan yang ada di depannya belum ia sentuh sama sekali. 

Aku memperhatikan Zea yang senyum-senyum sendiri saat berkutat dengan ponselnya. 

"Zea, dimakan dulu itu nanti nasinya mekar karena sudah kecelup kuah sop," tegurku pada Zea. 

"Ya, Mbak, tunggu sebentar, ini lagi chat an sama Mas Rama, " ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya padaku. 

Baru saja aku akan menjawab ucapan Zea tiba-tiba saja ponselku di atas meja bergetar. Aku melihat ke layar ponsel ternyata terpampang nomor mas Rama yang tengah menghubungiku. 

Aku kembali menatap Zea yang masih sibuk dengan ponselnya dan senyum-senyum sendiri hingga tanpa kusadari telepon dari mas Rama sudah berakhir. 

Kalau dia bilang sedang berchat an dengan mas Rama lantas kenapa mas Rama malah menghubungiku? Tidak mungkin kan mas Rama yang menelponku juga berchat an dengannya? Ah, kepalaku semakin pusing memikirkan Zea yang seolah-olah menunjukkan siapa dirinya terhadapku secara terang-terangan. 

Ponselku kembali berdering dan untungnya makananku pun sudah habis. Aku segera beranjak dari tempat dudukku, sedikit menjauh dari meja makan dan mengangkat telepon dari mas Satria.

"Halo, Mas," ucapku saat ponsel sudah tersambung. 

"Halo Sayang, kamu sedang apa? Kamu baik-baik saja kan di sana? Jangan lupa makan karena kamu punya lambung akut. Mas gak mau kamu jatuh sakit kayak yang sudah-sudah." Beginilah suamiku kalau sedang menelponku. Maka ia akan memberondonku dengan banyak pertanyaan juga akan memberikan nasehatnya sebagai bentuk perhatian kepadaku. Mas Rama memang lebih sering menghubungiku daripada Zea. Bukan aku yang memintanya tapi mas Rama sendiri yang menginginkannya

Aku mengulas senyum meski aku tahu mas Rama tidak akan bisa melihatnya. 

"Iya Mas, Sayang, ini aku baru saja selesai makan kok. Kamu sendiri sudah makan belum?" tanyaku pada mas Rama. 

"Alhamdulillah sudah barusan juga. Oh iya, kalau Zea apakah sudah makan atau belum? Kalian di sana baik-baik saja kan?" tanya mas Rama lagi. 

"Lho, bukannya Mas tadi habis chat an sama Zea? Kok masih tanya sama aku?" tanyaku dengan kening yang berlipat karena kan tadi memang si Zea bilang sedang berkomunikasi sama mas Rama. 

"Enggak ah, dari tadi Mas belum ada pegang ponsel. Kan kamu tahu kebiasaan Mas kalau makan enggak pernah pegang ponsel. Ini saja Mas baru menghubungi lewat kamu makanya Mas tanya si Zea sudah makan atau belum." Aku bungkam sejenak hingga suara mas Rama kembali terdengar. 

"Memangnya kenapa Sayang? Kok kamu bisa bilang Mas sama Zea habis berchat an?" tanya mas Rama lagi. 

"Ah, enggak, Mas, mungkin aku yang tadi salah dengar. Ini kami baru saja selesai makan kok, Mas. Mas Rama kapan pulang? Aku rindu." 

"Baru juga satu minggu sudah rindu. Biasanya kan satu bulan Mas baru pulang." 

"Hehehe, iya sih, tapi yang namanya rindu kan gak bisa diprediksi dan ditahan, Mas, memangnya aku gak bolehkah rindu sama suamiku sendiri?" tanyaku lagi. 

"Hahahaha, boleh saja dong Sayang, masa iya merindukan suami sendiri mau Mas larang? Mas juga rindu padamu tapi, gimana lagi Mas posisi jauh tidak bisa setiap minggu pulang kayak biasanya." 

"Iya, Mas, aku ngerti kok. Ini kan hanya ungkapan perasaanku saja agar Mas tahu kalau di sini selalu ada istri yang merindukan dan menantikan kepulanganmu." 

"Iya, Mas tahu, terima kasih ya Sayang, hingga detik ini perasaanmu tidak berubah sedikit pun sama Mas. Mas minta maaf ya sama kamu." Keningku berkerut mendengar mas Rama berkata seperti itu. 

"Kenapa minta maaf, Mas?" 

"Yah, karena menghadirkan orang ketiga di pernikahan kita. Ini semua kan atas permintaan Mami. Kamu tahu lah Mami bagaimana." 

"Aku tahu kok, Mas. Aku tahu kalau kamu sebenarnya terpaksa. Yah mau bagaimana lagi pernikahan kita sudah delapan tahun tapi aku belum bisa memberikanmu seorang anak. Aku tahu dan sadar diri dengan kekuranganku jadi aku enggak berhak melarangmu menikah lagi. Toh perlakuanmu terhadapku tidak pernah berubah dari dulu sampai detik ini." 

"Tentu saja, mana mungkin Mas bisa merubah hati Mas terhadapmu. Karena kamulah ratu satu-satunya di hati Mas. Kalau bukan karena Mami, Mas tidak akan pernah menikah lagi. Hidup berdua dan menua bersamamu saja sudah membuat Mas merasa sangat bahagia. Anak adalah bonus bagi Mas jadi sebenarnya Mas tidak terlalu memikirkan hal itu."

"Ya mungkin memang harus begini jalan takdir rumah tangga kita, Mas. Aku pribadi sih tidak terlalu memikirkannya toh pada kenyataannya rasamu terhadapku yang aku rasakan tidak pernah berubah walau setitik." 

"Sayang," panggil mas Rama seolah-olah ragu ingin mengatakan suatu hal padaku. 

"Ya, Mas? Ada apa?" 

"Mas ingin mengalihkan semua harta atas namamu." Aku membelalak mendengar ucapan mas Rama meskipun keinginanku ada terbesit seperti ini tapi tetap saja aku terkejut karena ini keluar dari bibir mas Satria meski aku belum mengungkapkannya. 

"Ehm, Mas jangan  bercanda deh. Ini gak lucu tau." 

"Mas sedang tidak bercanda Sayang, Mas tidak tahu sampai kapan usia Mas. Mas hanya ingin memberikan hakmu karena kamu lah yang menemani Mas dari awal Mas tidak punya apa-apa. Mas rasa kamu berhak atas apa yang kita miliki.  Kalau Zea? Zea baru datang di saat kita sudah menjadi besar dan memiliki segalanya. Rumah yang Mas belikan dan juga motor yang Mas belikan untuknya itu sudah cukup Mas rasa. Mas hanya takut jika kelak usia Mas tidak sampai atau Mas berpaling hati. Kita tidak akan pernah tahu seperti apa perjalanan hidup kita kedepannya jadi sebelum semua itu terjadi lebih baik Mas melakukannya sekarang. Kamu setuju kan?" 

"I-ini serius, Mas? Akan membalik nama semua yng kita miliki atas namaku?" 

"Iya Sayang, Mas serius." 

"Tapi kan kita akan terus bersama, Mas, kok ucapan Mas kayak orang mau pergi jauh aja sih? Aku takut ah." 

"Hahaha, kenapa mesti takut Sayang. Ini kan hanya ucapan saja. Bukannya setiap manusia pasti akan menemui ajalnya masing-masing?" 

"Iya sih tapi kan …." 

"Tapi kenapa Sayang? Ini semua sudah Mas pikirkan matang-matang smenjak aku menikah dengan Zea. Aku tidak mau nanti harta ini akan menjadi perebutan antara kamu dengan Zea. Mas kalau bukan karena Mami yang meminta tidak akan pernah mau menikahi Zea. Mas ini bukannya orang bodoh yang tidak paham dengan tujuan Zea dan orang tuanya menikahkan dengan Mas. Jadi, Mas hanya ingin mempertahankan dan melindungi apa yang seharusnya menjadi milikmu." 

Aku menghela napas karena akhirnya mengerti kemana arah pembicaraan mas Rama. Feeling mas Rama denganku ternyata sama. Kami sudah menduga jika Zea mau menerima laki-laki yang usianya cukup jauh di atasnya juga kedua orang tuanya terutama ibunya Zea yang menginginkan Zea menikah dengan mas Rama lantaran harta yang kami miliki. 

Selama delapan tahun kami sudah mempunyai beberapa bidang tanah. Satu rumah besar yang aku tempati. Dua rumah kontrakan bulatan yang setiap tahunnya dengan harga sewa dua puluh juta per tahun. Ditambah kontrakan berbentuk rumah petak yang ada sekitar delapan belas pintu dengan harga sewa per bulannya lima ratus ribu rupiah. 

Belum lagi rumah makan aneka ikan bakar dan seafood yang juga kami miliki yang setiap bulannya memberikan pemasukan bersih ke rekeningku sekitar dua puluh juta per bulan. 

Sudah bisa dibayangkan bukan? Berapa nominal uang di dalam rekeningku? Ditambah lagi uang bulanan dari mas Satria yang cukup besar yakni, dua puluh lima juta setiap bulannya karena mas Satria adalah kontraktor atau pemborong besar yang bisa menghasilkan  ratusan juta rupiah bahkan milyaran dalam proyeknya itu. Itulah sebabnya aset yang kami miliki cukup banyak. 

Tuhan begitu maha baik karena sudah memberikan limpahan materi pada rumah tangga kami. Akan tetapi, tetap saja rumah tangga kami masih diuji dengan belum dihadirkannya anak dalam pernikahanku dan mas Rama. 

"Bagaimana, Anin? Kamu setuju kan?" 

"Lalu kalau Mami nanti marah gimana Sayang?" 

"Soal Mami itu biar jadi urusanku. Ini tidak ada sangkutpautnya dengan Mami. Yang terpenting jatah Mami tidak pernah aku kurangi karena aku juga tahu dengan kewajibanku sebagai seorang anak. Gimana? Mau kan?" 

"Yaudah, terserah Mas saja kalau memang begitu baiknya," ucapku pada akhirnya. 

Aku sedikit menyungingkan senyum karena ternyata secinta itu mas Rama mencintaiku sampai berpikiran hingga sejauh ini. 

Terima kasih, suamiku, aku sangat mencintaimu. Aku tidak salah telah melabuhkan dan menyerahkan hati ini seutuhnya untukmu. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status