Beranda / Romansa / Obsesi Seorang Calon Raja / BAB 6 : Kilau Sang Gadis Desa

Share

BAB 6 : Kilau Sang Gadis Desa

Penulis: Lifi Yamanaka
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-29 02:04:23

Pagi itu, rumah keluarga Evelyne dipenuhi semangat dan kegembiraan yang belum pernah mereka rasakan sejak lama. Sejak matahari mengintip dari balik pegunungan Aerondale, Ibu Evelyne sudah sibuk di dapur. Aroma roti gandum panggang dan sup kentang hangat memenuhi seluruh ruangan. Di sudut meja, Harlan sedang memoles sepatu lamanya agar terlihat lebih layak dikenakan ke pesta. Ayah mereka memeriksa kerah pakaian bangsawan yang diberikan oleh Nyonya kemarin, memastikan tidak ada benang yang lepas.

Evelyne yang baru selesai mencuci wajah, berdiri di depan cermin kecil di kamarnya. Ia menyisir rambut panjangnya yang bergelombang alami. Tak ada bedak atau lipstik, tak ada alat kosmetik lainnya. Ia hanya memakai pelembap sederhana dari minyak zaitun yang biasa ia gunakan untuk tangan dan kaki. Namun begitu ia tersenyum pada bayangannya, tetap saja wajah itu memancarkan pesona alami yang lembut dan menenangkan.

“Pagi ini terasa seperti mimpi,” gumam Evelyne sambil menarik napas panjang. Gaun yang diberikan Nyonya tergantung anggun di balik pintu. Warna gold putih lembutnya berkilau ketika terkena cahaya matahari pagi.

Sarapan berlangsung sederhana namun hangat. Meski lauknya masih hasil kebun sendiri, semua terasa lebih istimewa karena suasana hati mereka sedang bahagia. Tak jarang mereka tertawa dan saling bercanda, membayangkan seperti apa pesta nanti malam. Tapi di balik kegembiraan itu, Evelyne menyadari satu hal: dirinya tak memiliki satu pun alat make up. Ia hanya bisa tampil sebagaimana adanya.

Waktu berlalu cepat. Ketika jarum jam menunjukkan pukul lima sore, rumah itu mulai dipenuhi suara-suara panik kecil—sepatu mana yang cocok, rambut diikat atau dilepas, kancing baju yang longgar, dan sebagainya. Evelyne memilih untuk berdandan terakhir. Ia mengenakan gaunnya dengan hati-hati, kemudian berdiri di depan cermin. Meski tanpa perhiasan atau riasan, gaun itu jatuh sempurna di tubuhnya. Ia tersenyum, walau dalam hatinya ada sedikit rasa canggung—ia merasa cantik, tapi juga sadar dirinya tampak terlalu polos untuk pesta kerajaan.

Tepat pukul enam sore, kereta kuda pertama berhenti di depan rumah. Lyra turun dari kereta dengan elegan, mengenakan gaun merah marun yang mengalir seperti angin malam. Matanya langsung mencari Evelyne.

“Evelyne?” panggil Lyra.

Dari balik pintu, Evelyne muncul. Lyra terdiam sesaat. Gadis itu tampak memesona dengan cara yang berbeda—alami, lembut, dan murni.

“Kamu… luar biasa cantik,” kata Lyra, mendekat. “Tapi…”

“Ada yang kurang, ya?” Evelyne tersenyum malu.

Lyra membuka tas kecilnya, mengeluarkan palet make up sederhana dan kuas kecil. “Sedikit sentuhan, izinkan aku?”

Evelyne mengangguk pelan. Mereka duduk berdua di ruang tamu, Lyra mulai menyapukan bedak tipis, merapikan alis Evelyne, dan memberi sentuhan ringan di kelopak matanya. Sentuhan tangannya lembut, penuh perhatian.

“Kulitmu bagus sekali, Evelyne. Aku cuma menekankan apa yang udah kamu punya,” ujar Lyra sambil tersenyum.

Setelah sepuluh menit, Evelyne menatap pantulan dirinya di cermin. Ia hampir tak percaya itu dirinya sendiri. Kecantikannya kini terlihat lebih anggun, tanpa kehilangan kesan lembut dan hangatnya.

“Terima kasih, Lyra… Aku merasa seperti putri dari buku cerita,” bisiknya.

Lyra menggenggam tangannya. “Kamu memang putri malam ini.”

Jam tujuh malam, dua kereta kuda siap berangkat. Kereta pertama diisi oleh Nyonya—nenek Lyra, Ayah Evelyne, dan Ibu Evelyne. Mereka semua tampak berbeda malam ini—bersih, rapi, dan penuh semangat.

Sementara itu, kereta kedua menjadi tempat Evelyne, Lyra, dan Harlan. Harlan mengenakan setelan bangsawan berwarna gelap, rambutnya disisir rapi. Ia sempat terdiam saat melihat kakaknya turun dari tangga.

“Kak… Kamu… seperti dari dunia lain,” ucapnya kagum.

Evelyne tertawa kecil. “Jangan berlebihan.”

Mereka bertiga naik ke dalam kereta. Di jalan menuju istana, lampu-lampu mulai dinyalakan. Kota berubah menjadi lautan cahaya yang indah. Masyarakat berdiri di tepi jalan, memberi salam pada setiap kereta yang lewat. Beberapa bahkan bersorak ketika melihat kereta mereka.

“Banyak yang mengenal Nenekku,” kata Lyra sambil melambai dari jendela.

Evelyne tak bisa berhenti menatap keluar. Ini semua terlalu indah. Hatinya berdebar, bukan hanya karena akan menghadiri pesta, tapi karena ia tahu—hidupnya sedang berubah.

“Terima kasih sudah mengajakku,” bisiknya ke Lyra.

Lyra menoleh padanya, menatap penuh arti. “Kamu memang seharusnya ada di sini, Evelyne. Malam ini adalah permulaan dari segalanya.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 37: Kengerian dan Kelembutan yang Kontradiktif

    Setelah adegan mengerikan di ruang bawah tanah, Leonhart menggendong Evelyne keluar dari tempat yang dingin dan lembap itu. Evelyne tidak bisa berbicara. Tubuhnya terasa kaku, pikirannya dipenuhi oleh gambaran Lady Thorne yang melepuh. Ia hanya bisa bersandar lemas di dada Leonhart, membiarkan Duke itu membawanya. Leonhart tidak mengatakan apa-apa, hanya terus berjalan dengan langkah mantap hingga mereka tiba di kamar utama. Leonhart menurunkan Evelyne dengan sangat lembut di atas tempat tidur, seolah gadis itu terbuat dari porselen yang rapuh. Ia menatap wajah Evelyne yang pucat, menyentuh lembut pipi gadis itu. "Aku akan mandi sebentar," katanya, suaranya kini kembali lembut dan penuh perhatian. "Kau bisa berbaring dan beristirahat." Sebelum masuk ke kamar mandi, Leonhart menunduk, dan dengan lembut, ia mengecup puncak kepala Evelyne. Sentuhan itu terasa kontradiktif, membuat Evelyne semakin bingung. Suara gemericik air dari kamar mandi mulai terdengar, menandakan Leonhart sudah m

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 36: Kengerian di Ruang Bawah Tanah

    Setelah makan malam yang diwarnai kecemasan, Evelyne kembali ke kamarnya. Jam dinding berdetak pelan, setiap detik terasa begitu panjang. Pukul sembilan malam, namun Leonhart tak kunjung kembali. Kekhawatiran merayapi hati Evelyne. Ia mondar-mandir di dalam kamar, lalu mendekat ke pintu, mencoba mendengar suara di luar. "Tuan Leonhart ke mana?" Evelyne bertanya lirih pada penjaga yang berdiri di depan kamarnya, suaranya dipenuhi kecemasan. "Maaf, Nona. Saya tidak tahu," jawab penjaga itu dengan nada formal. Evelyne menghela napas. Ia kembali duduk di tepi kasur, memandangi pintu dengan tatapan kosong. Beberapa saat kemudian, sebuah ketukan pelan terdengar. Jantung Evelyne berdegup kencang. Ia segera bangkit dan membuka pintu. Di ambang pintu, berdiri seorang prajurit Leonhart dengan seragam gelapnya. "Nona Evelyne Mireille?" Prajurit itu bertanya. Evelyne mengangguk. "Yang Mulia Duke Leonhart meminta Anda untuk mengikutiku ke ruang bawah tanah." Tubuh Evelyne langsung menegang

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 35: Misteri Ruang Bawah Tanah

    Evelyne Mireille telah selesai membersihkan diri. Noda anggur di gaun birunya telah diganti dengan gaun ungu muda yang baru dan bersih. Rasa dingin di tubuhnya sudah hilang, namun sisa-sisa kemarahan dan rasa malu masih melekat. Saat ia duduk di ujung kasur, ia baru menyadari ada sedikit perih di telapak tangannya. Ia melihatnya, ada luka gores kecil akibat gesekan dengan lantai saat ia didorong tadi. "Ah, cuma luka kecil," pikirnya, tidak terlalu mempermasalahkannya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan dorongan pelan. Leonhart Valezair berdiri di ambang pintu. Raut wajahnya tidak lagi marah seperti sore tadi, melainkan dipenuhi kekhawatiran yang mendalam. Matanya langsung tertuju pada Evelyne, memindai dirinya dari atas ke bawah. Tanpa berkata-kata, Leonhart melangkah cepat ke arah Evelyne, lalu berlutut di hadapan gadis itu. Raut wajahnya menunjukkan campur aduk emosi. "Aku mendengar laporan dari pelayan," suaranya serak dan tegang. "Lady Thorne… dia menyerangmu." Evelyne menu

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 34: Kecemburuan Sang Bangsawan dan Api Evelyne

    Sinar mentari pagi mengintip dari balik tirai sutra tebal, perlahan membangunkan kamar tidur megah itu. Kali ini, Leonhart Valezair-lah yang terbangun lebih dulu. Ia tidak langsung bangkit, melainkan berbaring miring, mengamati wajah Evelyne yang terlelap dalam pelukannya. Rambut gelap Evelyne tergerai di bantal, pipinya merona lembut, dan bibirnya sedikit terbuka. Dalam tidurnya, Evelyne terlihat begitu damai, begitu polos, begitu… sempurna. Sebuah senyum tipis, penuh kelembutan yang jarang ia tunjukkan kepada siapa pun, terukir di bibir Leonhart. Ia mengangkat tangannya, dan dengan sangat perlahan, ia mengecup dahi Evelyne, lalu turun ke pipinya, dan kemudian ke bibirnya, sentuhan-sentuhan ringan yang penuh kasih. Ia mengulanginya beberapa kali, menikmati kelembutan kulit Evelyne di bawah bibirnya. Evelyne menggeliat pelan, matanya mengerjap. Ia terkejut saat menyadari betapa dekatnya wajah Leonhart, dan sensasi lembut ciuman di wajahnya. Pipi Evelyne langsung merona merah sempur

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 33: Penyesalan Sang Duke dan Pengakuan Terlarang

    Pintu kamar utama terbuka dengan suara berderit, dan Leonhart Valezair melangkah masuk. Aura marahnya masih terasa kuat, namun kini bercampur dengan sesuatu yang lain—kekalutan dan keraguan. Matanya yang tajam langsung tertuju pada Evelyne yang duduk di meja makan kecil di sudut kamar, makanannya belum habis, dan bibirnya masih bengkak akibat ciuman brutal sore tadi. Evelyne yang mendengar suara pintu, langsung mengangkat kepalanya. Begitu melihat Leonhart, tubuhnya menegang. Rasa takut kembali menyelimutinya, membuatnya menunduk, tidak berani menatap mata Duke itu. Ia menunggu kemarahan berikutnya. Leonhart tidak langsung mendekat. Ia berdiri di ambang pintu selama beberapa saat, matanya mengamati Evelyne yang tampak begitu kecil dan rapuh. Pikirannya dipenuhi oleh perkataan Eldrin di ruang makan tadi: "Cepat atau lambat, Evelyne akan muak, dia akan menemukan cara untuk meninggalkanmu, Leonhart." Kalimat itu menusuknya dalam-dalam, menyentuh ketakutan terbesarnya. Ia tidak akan pe

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 32: Badai di Meja Makan Raja

    Malam itu, di ruang makan utama Istana Aerondale, meja makan yang biasanya ramai kini terasa hampa bagi Evelyne. Setelah insiden di dapur dan hukuman brutal Leonhart, Evelyne tidak diizinkan keluar kamar. Leonhart sendiri yang memerintahkan para pelayan untuk membawa makan malam ke kamarnya. Evelyne makan dalam keheningan yang mencekam, bibirnya masih perih dan bengkak, menjadi pengingat pahit akan kemarahan Duke. Ia merasa terkurung, sendirian, dan sangat ketakutan. Sementara itu, di ruang makan utama, Raja Alfonse, Ratu Seraphina, dan Pangeran Eldrin sudah duduk di kursi mereka. Suasana makan malam seharusnya tenang, namun kecemasan terpancar jelas dari wajah Ratu. Ia terus-menerus melirik kursi di sebelah Leonhart yang kosong, tempat Evelyne biasanya duduk. "Leonhart," Ratu Seraphina memulai, suaranya terdengar cemas. "Di mana Evelyne? Kenapa dia tidak ikut makan malam?" Ada nada kekhawatiran yang jelas dalam pertanyaannya, mengingat apa yang ia saksikan di dapur sore tadi. "Dia

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status