Beranda / Romansa / Obsesi Seorang Calon Raja / BAB 7: Sang Duke di Tengah Kilau Pesta

Share

BAB 7: Sang Duke di Tengah Kilau Pesta

Penulis: Lifi Yamanaka
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-29 03:04:30

Malam itu, Istana Aerondale bagaikan permata yang baru dipoles. Ribuan lentera kristal menggantung di setiap sudut, memancarkan cahaya keemasan yang menari-nari di atas lantai marmer dan jubah-jubah sutra para bangsawan. Aroma bunga lili dan anggur mahal berbaur di udara, menciptakan suasana kemewahan yang memabukkan. Namun, di tengah hiruk-pikuk persiapan pesta yang megah, ada satu sosok yang bergerak dengan ketenangan mutlak, seolah dunia di sekelilingnya tak mampu menyentuh ketenangannya.

Di kamar pribadinya yang luas di sayap utara istana, Duke Leonhart Valezair baru saja menyelesaikan mandinya. Uap hangat masih mengepul tipis dari tubuhnya yang kokoh, menempel pada kulit kecokelatan yang dipahat sempurna oleh latihan pedang dan medan perang. Setiap otot di lengan, bahu, dan dadanya menonjol dengan definisi yang mengagumkan, bukti dari disiplin keras yang telah membentuknya sejak kecil. Ia bukan hanya seorang pangeran, melainkan juga seorang prajurit, dan tubuhnya adalah cerminan dari kekuatan serta ketahanan yang tak tertandingi. Rambut hitam legamnya yang basah jatuh ke dahi, menonjolkan fitur wajahnya yang tajam—garis rahang yang tegas, hidung mancung, dan bibir tipis yang jarang sekali melengkung dalam senyuman.

Seorang pelayan pribadi, yang sudah terbiasa dengan keheningan dan efisiensi Leonhart, dengan sigap menyiapkan pakaiannya. Di atas ranjang berkanopi yang megah, terhampar jubah kebesaran yang dirancang khusus untuknya malam ini. Warnanya hitam pekat, namun di bagian bahu dan kerah, sulaman benang emas membentuk pola rumit yang melambangkan lambang keluarga Valezair—singa yang mengaum dengan mahkota di kepalanya. Di bagian dalam jubah, lapisan sutra merah marun berkilau, memberikan sentuhan kemewahan yang kontras dengan eksteriornya yang gelap dan berwibawa.

Leonhart mengambil jubah itu, merasakan berat kain dan dinginnya sulaman emas di jemarinya. Ia mengenakannya dengan gerakan yang presisi, seolah setiap helaan napasnya adalah bagian dari strategi perang. Jubah itu jatuh sempurna di tubuhnya, menonjolkan lebar bahunya dan pinggangnya yang ramping. Di pinggangnya, ia mengikatkan sabuk kulit hitam dengan gesper perak berukir. Sebuah bros kecil berbentuk elang perak disematkan di kerah tinggi jubahnya, satu-satunya perhiasan yang ia kenakan.

Ketika ia berdiri di depan cermin setinggi tubuh, pantulannya menunjukkan seorang pria yang bukan hanya tampan, melainkan juga memancarkan aura kekuatan yang tak terbantahkan. Matanya yang abu-abu kebiruan, yang biasanya dingin dan penuh perhitungan, kini memancarkan kilau misterius di bawah cahaya lilin. Ia tampak gagah, berwibawa, dan tak diragukan lagi, mampu membuat setiap wanita di pesta itu menahan napas. Namun, ekspresinya tetap netral, seolah semua kemegahan itu hanyalah formalitas yang harus ia jalani.

"Sudah siap, Yang Mulia," ujar pelayan dengan suara rendah, nyaris berbisik.

Leonhart mengangguk, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia melangkah keluar dari kamarnya, menyusuri koridor-koridor istana yang kini dipenuhi para bangsawan yang juga bersiap menuju aula utama. Beberapa menunduk hormat saat ia lewat, yang lain buru-buru menyingkir, takut menghalangi jalannya. Ia merasakan tatapan-tatapan penasaran dan sedikit ketakutan yang mengikutinya, namun ia tak peduli. Pikirannya sudah tertuju pada apa yang akan terjadi di aula—pidato pembukaan, interaksi yang membosankan, dan tatapan menilai dari Raja Alfonse.

Ketika ia tiba di ambang pintu aula utama, suara musik orkestra dan riuh rendah percakapan langsung menyambutnya. Aula itu adalah lautan warna dan kemewahan. Gaun-gaun sutra, perhiasan berkilauan, dan seragam militer yang gagah memenuhi setiap sudut. Di tengah-tengah keramaian, ia melihat Raja Alfonse sudah duduk di singgasana sementara yang diletakkan di panggung kehormatan, diapit oleh Ratu Seraphina.

Leonhart melangkah masuk, setiap langkahnya penuh bobot dan otoritas. Kerumunan seolah terbelah, memberikan jalan baginya. Ia tak mencari siapa pun, tak menyapa siapa pun, hanya berjalan lurus menuju panggung. Raja Alfonse menatapnya dengan pandangan puas, senyum tipis tersungging di bibirnya.

"Kau datang tepat waktu, Leonhart," ujar Raja Alfonse begitu Leonhart tiba di samping singgasana. Ia menunjuk kursi kosong di sebelah kanannya. "Duduklah."

Leonhart membungkuk sebentar, lalu menduduki kursi yang empuk. Dari posisinya, ia bisa melihat seluruh aula, termasuk area yang telah disiapkan untuk rakyat jelata di luar. Kerumunan di sana tampak lebih riuh, lebih bebas, dan entah mengapa, lebih menarik baginya.

"Pesta ini berjalan sesuai rencana," kata Raja Alfonse, suaranya pelan, hanya bisa didengar oleh Leonhart. "Para bangsawan puas, dan rakyat merasa dihargai. Ini adalah simbol kekuatan dan persatuan Aerondale."

Leonhart hanya mengangguk. "Sebuah langkah yang cerdas, Ayah."

"Tentu saja," timpal Raja Alfonse, menyesap anggurnya. "Dan kau, sebagai pembuka acara, harus menunjukkan wajah yang meyakinkan. Bukan hanya pedang, tapi juga mahkota."

"Aku akan melakukan tugasku," jawab Leonhart datar. Ia tahu maksud ayahnya. Raja ingin ia tampil sebagai calon raja yang berkarisma, bukan hanya panglima perang. Itu adalah bagian dari ujian yang tak pernah berakhir.

"Ingat, Leonhart," lanjut Raja Alfonse, mencondongkan tubuh sedikit. "Malam ini adalah kesempatanmu untuk menunjukkan kepada semua orang, termasuk para bangsawan yang masih ragu, bahwa kau adalah penerus yang tak terbantahkan. Mereka akan melihatmu, menilai setiap gerak-gerikmu."

Leonhart hanya menghela napas dalam hati. Ia sudah terbiasa dengan tekanan seperti ini. Namun, ada sesuatu yang berbeda malam ini. Sebuah firasat samar yang berbisik di benaknya, mengatakan bahwa di tengah keramaian dan kemewahan ini, akan ada sesuatu yang tak terduga. Sesuatu yang akan mengubah semua rencana dan ekspektasi. Ia hanya belum tahu apa itu, atau siapa dia.

Ia mengalihkan pandangannya ke arah pintu masuk aula, lalu ke arah kerumunan di luar, seolah mencari sesuatu yang tidak terlihat. Di tengah lautan wajah yang asing, ia merasakan adanya benang takdir yang mulai terentang, menghubungkan dirinya dengan seseorang yang belum ia kenal.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 37: Kengerian dan Kelembutan yang Kontradiktif

    Setelah adegan mengerikan di ruang bawah tanah, Leonhart menggendong Evelyne keluar dari tempat yang dingin dan lembap itu. Evelyne tidak bisa berbicara. Tubuhnya terasa kaku, pikirannya dipenuhi oleh gambaran Lady Thorne yang melepuh. Ia hanya bisa bersandar lemas di dada Leonhart, membiarkan Duke itu membawanya. Leonhart tidak mengatakan apa-apa, hanya terus berjalan dengan langkah mantap hingga mereka tiba di kamar utama. Leonhart menurunkan Evelyne dengan sangat lembut di atas tempat tidur, seolah gadis itu terbuat dari porselen yang rapuh. Ia menatap wajah Evelyne yang pucat, menyentuh lembut pipi gadis itu. "Aku akan mandi sebentar," katanya, suaranya kini kembali lembut dan penuh perhatian. "Kau bisa berbaring dan beristirahat." Sebelum masuk ke kamar mandi, Leonhart menunduk, dan dengan lembut, ia mengecup puncak kepala Evelyne. Sentuhan itu terasa kontradiktif, membuat Evelyne semakin bingung. Suara gemericik air dari kamar mandi mulai terdengar, menandakan Leonhart sudah m

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 36: Kengerian di Ruang Bawah Tanah

    Setelah makan malam yang diwarnai kecemasan, Evelyne kembali ke kamarnya. Jam dinding berdetak pelan, setiap detik terasa begitu panjang. Pukul sembilan malam, namun Leonhart tak kunjung kembali. Kekhawatiran merayapi hati Evelyne. Ia mondar-mandir di dalam kamar, lalu mendekat ke pintu, mencoba mendengar suara di luar. "Tuan Leonhart ke mana?" Evelyne bertanya lirih pada penjaga yang berdiri di depan kamarnya, suaranya dipenuhi kecemasan. "Maaf, Nona. Saya tidak tahu," jawab penjaga itu dengan nada formal. Evelyne menghela napas. Ia kembali duduk di tepi kasur, memandangi pintu dengan tatapan kosong. Beberapa saat kemudian, sebuah ketukan pelan terdengar. Jantung Evelyne berdegup kencang. Ia segera bangkit dan membuka pintu. Di ambang pintu, berdiri seorang prajurit Leonhart dengan seragam gelapnya. "Nona Evelyne Mireille?" Prajurit itu bertanya. Evelyne mengangguk. "Yang Mulia Duke Leonhart meminta Anda untuk mengikutiku ke ruang bawah tanah." Tubuh Evelyne langsung menegang

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 35: Misteri Ruang Bawah Tanah

    Evelyne Mireille telah selesai membersihkan diri. Noda anggur di gaun birunya telah diganti dengan gaun ungu muda yang baru dan bersih. Rasa dingin di tubuhnya sudah hilang, namun sisa-sisa kemarahan dan rasa malu masih melekat. Saat ia duduk di ujung kasur, ia baru menyadari ada sedikit perih di telapak tangannya. Ia melihatnya, ada luka gores kecil akibat gesekan dengan lantai saat ia didorong tadi. "Ah, cuma luka kecil," pikirnya, tidak terlalu mempermasalahkannya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan dorongan pelan. Leonhart Valezair berdiri di ambang pintu. Raut wajahnya tidak lagi marah seperti sore tadi, melainkan dipenuhi kekhawatiran yang mendalam. Matanya langsung tertuju pada Evelyne, memindai dirinya dari atas ke bawah. Tanpa berkata-kata, Leonhart melangkah cepat ke arah Evelyne, lalu berlutut di hadapan gadis itu. Raut wajahnya menunjukkan campur aduk emosi. "Aku mendengar laporan dari pelayan," suaranya serak dan tegang. "Lady Thorne… dia menyerangmu." Evelyne menu

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 34: Kecemburuan Sang Bangsawan dan Api Evelyne

    Sinar mentari pagi mengintip dari balik tirai sutra tebal, perlahan membangunkan kamar tidur megah itu. Kali ini, Leonhart Valezair-lah yang terbangun lebih dulu. Ia tidak langsung bangkit, melainkan berbaring miring, mengamati wajah Evelyne yang terlelap dalam pelukannya. Rambut gelap Evelyne tergerai di bantal, pipinya merona lembut, dan bibirnya sedikit terbuka. Dalam tidurnya, Evelyne terlihat begitu damai, begitu polos, begitu… sempurna. Sebuah senyum tipis, penuh kelembutan yang jarang ia tunjukkan kepada siapa pun, terukir di bibir Leonhart. Ia mengangkat tangannya, dan dengan sangat perlahan, ia mengecup dahi Evelyne, lalu turun ke pipinya, dan kemudian ke bibirnya, sentuhan-sentuhan ringan yang penuh kasih. Ia mengulanginya beberapa kali, menikmati kelembutan kulit Evelyne di bawah bibirnya. Evelyne menggeliat pelan, matanya mengerjap. Ia terkejut saat menyadari betapa dekatnya wajah Leonhart, dan sensasi lembut ciuman di wajahnya. Pipi Evelyne langsung merona merah sempur

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 33: Penyesalan Sang Duke dan Pengakuan Terlarang

    Pintu kamar utama terbuka dengan suara berderit, dan Leonhart Valezair melangkah masuk. Aura marahnya masih terasa kuat, namun kini bercampur dengan sesuatu yang lain—kekalutan dan keraguan. Matanya yang tajam langsung tertuju pada Evelyne yang duduk di meja makan kecil di sudut kamar, makanannya belum habis, dan bibirnya masih bengkak akibat ciuman brutal sore tadi. Evelyne yang mendengar suara pintu, langsung mengangkat kepalanya. Begitu melihat Leonhart, tubuhnya menegang. Rasa takut kembali menyelimutinya, membuatnya menunduk, tidak berani menatap mata Duke itu. Ia menunggu kemarahan berikutnya. Leonhart tidak langsung mendekat. Ia berdiri di ambang pintu selama beberapa saat, matanya mengamati Evelyne yang tampak begitu kecil dan rapuh. Pikirannya dipenuhi oleh perkataan Eldrin di ruang makan tadi: "Cepat atau lambat, Evelyne akan muak, dia akan menemukan cara untuk meninggalkanmu, Leonhart." Kalimat itu menusuknya dalam-dalam, menyentuh ketakutan terbesarnya. Ia tidak akan pe

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 32: Badai di Meja Makan Raja

    Malam itu, di ruang makan utama Istana Aerondale, meja makan yang biasanya ramai kini terasa hampa bagi Evelyne. Setelah insiden di dapur dan hukuman brutal Leonhart, Evelyne tidak diizinkan keluar kamar. Leonhart sendiri yang memerintahkan para pelayan untuk membawa makan malam ke kamarnya. Evelyne makan dalam keheningan yang mencekam, bibirnya masih perih dan bengkak, menjadi pengingat pahit akan kemarahan Duke. Ia merasa terkurung, sendirian, dan sangat ketakutan. Sementara itu, di ruang makan utama, Raja Alfonse, Ratu Seraphina, dan Pangeran Eldrin sudah duduk di kursi mereka. Suasana makan malam seharusnya tenang, namun kecemasan terpancar jelas dari wajah Ratu. Ia terus-menerus melirik kursi di sebelah Leonhart yang kosong, tempat Evelyne biasanya duduk. "Leonhart," Ratu Seraphina memulai, suaranya terdengar cemas. "Di mana Evelyne? Kenapa dia tidak ikut makan malam?" Ada nada kekhawatiran yang jelas dalam pertanyaannya, mengingat apa yang ia saksikan di dapur sore tadi. "Dia

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status