Home / Romansa / Obsesi Seorang Calon Raja / BAB 9: Tatapan yang Mengikat Takdir

Share

BAB 9: Tatapan yang Mengikat Takdir

Author: Lifi Yamanaka
last update Last Updated: 2025-07-29 16:49:09

Suara musik yang riuh perlahan mereda, digantikan oleh keheningan yang tegang. Semua mata di aula utama Istana Aerondale kini tertuju pada panggung kehormatan, tempat Raja Alfonse, Ratu Seraphina, dan Pangeran Leonhart Valezair duduk, sedangkan Pangeran Eldrin, dia lebih memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan. Tibalah waktunya bagi Duke Utara itu untuk memberikan pidato pembukaan, sebuah pidato yang akan secara resmi menandai dimulainya Pesta Kedamaian yang telah dinanti-nantikan.

Leonhart bangkit dari kursinya dengan gerakan yang tenang namun penuh wibawa. Jubah hitamnya berkibar tipis mengikuti gerakannya, menambah kesan gagah pada siluetnya yang tinggi dan kokoh. Ia melangkah maju, berdiri di tengah panggung, di bawah sorotan lampu kristal yang memantulkan kilauan di mata abu-abu kebiruannya. Kerumunan para bangsawan dan rakyat jelata yang berkumpul di luar istana menahan napas, menantikan setiap kata yang akan keluar dari bibir pria yang ditakuti sekaligus dikagumi itu.

Suaranya dalam, jelas, dan tanpa ragu, memenuhi seluruh aula. "Para bangsawan yang terhormat, rakyat Aerondale yang kucintai, selamat datang di Pesta Kedamaian ini."

Evelyne, yang berdiri di sudut aula bersama keluarganya, mendengarkan dengan saksama. Suara Leonhart yang kuat dan berwibawa membuatnya merinding, seolah setiap kata yang terucap memiliki bobot tersendiri. Ia mencoba melihat sosok di panggung, namun terhalang oleh tubuh-tubuh tinggi di depannya. Sesekali, ia menjinjitkan kakinya, hanya untuk melihat sekilas puncak mahkota atau siluet bahu lebar sang Duke.

Leonhart melanjutkan pidatonya, menyampaikan tentang pentingnya perdamaian, pengorbanan yang telah dilakukan, dan harapan untuk masa depan Aerondale. Ia bicara dengan retorika yang tepat, menunjukkan bahwa ia bukan hanya mahir dalam perang, tapi juga dalam mengolah kata. Namun, di tengah pidatonya, sesuai kebiasaannya, pandangannya melayang. Ia menyapu setiap wajah di kerumunan, menaksir reaksi mereka, mencari celah, atau mungkin sekadar mengamati. Matanya yang tajam bergerak dari satu kelompok bangsawan ke kelompok lain, dari sisi kiri aula ke sisi kanan.

Pada satu titik, tatapannya berhenti.

Ia melihatnya. Di antara lautan gaun mewah dan setelan formal, ada sebuah titik cahaya yang berbeda. Gaun gold putih lembut yang tampak sederhana namun memancarkan keanggunan. Dan di balik gaun itu, berdiri seorang gadis. Rambut platinum blondenya tergerai indah, membingkai wajah yang memancarkan ketenangan. Matanya… mata cokelat madu itu memancarkan kelembutan yang dalam, kontras dengan gemerlap istana di sekelilingnya.

Hanya sepersekian detik. Pandangan mereka bertemu. Evelyne yang sedang mencuri pandang ke arah panggung, tiba-tiba merasakan tatapan yang begitu kuat, seolah menembus kerumunan dan langsung menancap di dirinya. Tatapan itu adalah milik Duke Leonhart. Tubuhnya membeku, jantungnya berdebar kencang seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Wajahnya yang semula tenang kini memerah, dan ia segera menundukkan kepala, menghindari tatapan intens yang tak terduga itu. Seluruh keberaniannya seolah menguap begitu saja. Ia merasa canggung, polos, dan terlalu kecil di hadapan pria seberwibawa itu.

Namun, di panggung, Leonhart merasakan hal yang sangat berbeda. Ketika mata mereka bertemu, sesuatu di dalam dirinya bergejolak. Jantungnya, yang biasanya berdetak teratur seperti mesin perang, kini berdetak lebih cepat, lebih kuat, seolah baru saja disambar petir. Ia melihat gadis itu menunduk, pipinya memerah, dan sesuatu yang aneh muncul di benaknya—rasa ingin tahu yang kuat, keinginan untuk melihat wajah itu lebih lama, dan dorongan tak terkendali untuk mengetahui siapa dia.

Ia mencoba melanjutkan pidatonya, namun sebagian pikirannya masih terpaku pada sudut aula itu. Siapa gadis itu? Dia bukan bangsawan yang biasa ia lihat. Keanggunannya berbeda, murni, tidak dibuat-buat. Ada apa ini? Ia belum pernah merasakan debaran seperti ini, belum pernah ada orang yang mampu mengalihkan fokusnya di tengah tugas penting.

Beberapa kalimat terakhir pidatonya terasa sedikit lebih kaku dari biasanya, namun tidak ada yang menyadarinya. Semua orang terlalu sibuk bertepuk tangan begitu ia menyelesaikan kalimat penutup. Gemuruh tepuk tangan membahana di seluruh aula. Leonhart membungkuk tipis, lalu berbalik kembali ke kursinya di sebelah Raja Alfonse.

"Bagus sekali, Nak," bisik Raja Alfonse, terlihat puas. "Kau menyampaikan dengan sangat baik."

Leonhart mengangguk, namun pikirannya tak lagi pada pidatonya. Dengan cepat dan tanpa ragu, ia mencondongkan tubuh sedikit ke arah ayahnya.

"Ayah," bisik Leonhart, suaranya sedikit lebih rendah dari biasanya. "Ada seorang gadis di antara kerumunan di sana. Di sisi barat aula, dekat pilar besar. Gaunnya gold putih lembut. Apakah Ayah mengenalnya?"

Raja Alfonse mengerutkan kening, mengikuti arah pandangan sekilas Leonhart. "Gadis? Yang mana? Banyak bangsawan di sana." Ia memindai area yang ditunjuk Leonhart, namun karena jarak dan banyaknya orang, ia tidak bisa mengidentifikasi siapa yang dimaksud. "Tidak, aku tidak melihat seseorang yang menonjol. Apakah dia dari keluarga bangsawan penting?"

Leonhart menggelengkan kepalanya pelan. "Aku tidak tahu. Aku belum pernah melihatnya di istana. Dia… berbeda."

Raja Alfonse melirik putranya dengan tatapan aneh. Leonhart bukan tipe yang akan menanyakan hal seperti itu. "Mungkin dia kerabat jauh dari beberapa Adipati yang baru datang. Lupakan saja, Leonhart. Malam ini, fokusmu adalah para petinggi yang akan kau hadapi nanti."

Leonhart menarik napas. Ia tidak bisa melupakan. Gambaran mata cokelat madu yang berbinar dan pipi yang memerah itu seolah terpatri di benaknya. Ia melirik kembali ke sudut itu, namun gadis itu sudah menunduk, bersembunyi di balik kerumunan, atau mungkin sudah berpindah tempat. Ia tidak bisa lagi menemukannya.

Perasaan berdebar itu masih ada, dan di benak Leonhart, satu pertanyaan terus berputar: Siapa gadis itu? Dan mengapa, hanya dengan satu tatapan, dia mampu mengguncang ketenangan seorang Duke Utara yang tak pernah tergoyahkan? Malam itu, di tengah pesta besar, obsesi pertama sang calon raja telah tertanam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 37: Kengerian dan Kelembutan yang Kontradiktif

    Setelah adegan mengerikan di ruang bawah tanah, Leonhart menggendong Evelyne keluar dari tempat yang dingin dan lembap itu. Evelyne tidak bisa berbicara. Tubuhnya terasa kaku, pikirannya dipenuhi oleh gambaran Lady Thorne yang melepuh. Ia hanya bisa bersandar lemas di dada Leonhart, membiarkan Duke itu membawanya. Leonhart tidak mengatakan apa-apa, hanya terus berjalan dengan langkah mantap hingga mereka tiba di kamar utama. Leonhart menurunkan Evelyne dengan sangat lembut di atas tempat tidur, seolah gadis itu terbuat dari porselen yang rapuh. Ia menatap wajah Evelyne yang pucat, menyentuh lembut pipi gadis itu. "Aku akan mandi sebentar," katanya, suaranya kini kembali lembut dan penuh perhatian. "Kau bisa berbaring dan beristirahat." Sebelum masuk ke kamar mandi, Leonhart menunduk, dan dengan lembut, ia mengecup puncak kepala Evelyne. Sentuhan itu terasa kontradiktif, membuat Evelyne semakin bingung. Suara gemericik air dari kamar mandi mulai terdengar, menandakan Leonhart sudah m

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 36: Kengerian di Ruang Bawah Tanah

    Setelah makan malam yang diwarnai kecemasan, Evelyne kembali ke kamarnya. Jam dinding berdetak pelan, setiap detik terasa begitu panjang. Pukul sembilan malam, namun Leonhart tak kunjung kembali. Kekhawatiran merayapi hati Evelyne. Ia mondar-mandir di dalam kamar, lalu mendekat ke pintu, mencoba mendengar suara di luar. "Tuan Leonhart ke mana?" Evelyne bertanya lirih pada penjaga yang berdiri di depan kamarnya, suaranya dipenuhi kecemasan. "Maaf, Nona. Saya tidak tahu," jawab penjaga itu dengan nada formal. Evelyne menghela napas. Ia kembali duduk di tepi kasur, memandangi pintu dengan tatapan kosong. Beberapa saat kemudian, sebuah ketukan pelan terdengar. Jantung Evelyne berdegup kencang. Ia segera bangkit dan membuka pintu. Di ambang pintu, berdiri seorang prajurit Leonhart dengan seragam gelapnya. "Nona Evelyne Mireille?" Prajurit itu bertanya. Evelyne mengangguk. "Yang Mulia Duke Leonhart meminta Anda untuk mengikutiku ke ruang bawah tanah." Tubuh Evelyne langsung menegang

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 35: Misteri Ruang Bawah Tanah

    Evelyne Mireille telah selesai membersihkan diri. Noda anggur di gaun birunya telah diganti dengan gaun ungu muda yang baru dan bersih. Rasa dingin di tubuhnya sudah hilang, namun sisa-sisa kemarahan dan rasa malu masih melekat. Saat ia duduk di ujung kasur, ia baru menyadari ada sedikit perih di telapak tangannya. Ia melihatnya, ada luka gores kecil akibat gesekan dengan lantai saat ia didorong tadi. "Ah, cuma luka kecil," pikirnya, tidak terlalu mempermasalahkannya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan dorongan pelan. Leonhart Valezair berdiri di ambang pintu. Raut wajahnya tidak lagi marah seperti sore tadi, melainkan dipenuhi kekhawatiran yang mendalam. Matanya langsung tertuju pada Evelyne, memindai dirinya dari atas ke bawah. Tanpa berkata-kata, Leonhart melangkah cepat ke arah Evelyne, lalu berlutut di hadapan gadis itu. Raut wajahnya menunjukkan campur aduk emosi. "Aku mendengar laporan dari pelayan," suaranya serak dan tegang. "Lady Thorne… dia menyerangmu." Evelyne menu

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 34: Kecemburuan Sang Bangsawan dan Api Evelyne

    Sinar mentari pagi mengintip dari balik tirai sutra tebal, perlahan membangunkan kamar tidur megah itu. Kali ini, Leonhart Valezair-lah yang terbangun lebih dulu. Ia tidak langsung bangkit, melainkan berbaring miring, mengamati wajah Evelyne yang terlelap dalam pelukannya. Rambut gelap Evelyne tergerai di bantal, pipinya merona lembut, dan bibirnya sedikit terbuka. Dalam tidurnya, Evelyne terlihat begitu damai, begitu polos, begitu… sempurna. Sebuah senyum tipis, penuh kelembutan yang jarang ia tunjukkan kepada siapa pun, terukir di bibir Leonhart. Ia mengangkat tangannya, dan dengan sangat perlahan, ia mengecup dahi Evelyne, lalu turun ke pipinya, dan kemudian ke bibirnya, sentuhan-sentuhan ringan yang penuh kasih. Ia mengulanginya beberapa kali, menikmati kelembutan kulit Evelyne di bawah bibirnya. Evelyne menggeliat pelan, matanya mengerjap. Ia terkejut saat menyadari betapa dekatnya wajah Leonhart, dan sensasi lembut ciuman di wajahnya. Pipi Evelyne langsung merona merah sempur

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 33: Penyesalan Sang Duke dan Pengakuan Terlarang

    Pintu kamar utama terbuka dengan suara berderit, dan Leonhart Valezair melangkah masuk. Aura marahnya masih terasa kuat, namun kini bercampur dengan sesuatu yang lain—kekalutan dan keraguan. Matanya yang tajam langsung tertuju pada Evelyne yang duduk di meja makan kecil di sudut kamar, makanannya belum habis, dan bibirnya masih bengkak akibat ciuman brutal sore tadi. Evelyne yang mendengar suara pintu, langsung mengangkat kepalanya. Begitu melihat Leonhart, tubuhnya menegang. Rasa takut kembali menyelimutinya, membuatnya menunduk, tidak berani menatap mata Duke itu. Ia menunggu kemarahan berikutnya. Leonhart tidak langsung mendekat. Ia berdiri di ambang pintu selama beberapa saat, matanya mengamati Evelyne yang tampak begitu kecil dan rapuh. Pikirannya dipenuhi oleh perkataan Eldrin di ruang makan tadi: "Cepat atau lambat, Evelyne akan muak, dia akan menemukan cara untuk meninggalkanmu, Leonhart." Kalimat itu menusuknya dalam-dalam, menyentuh ketakutan terbesarnya. Ia tidak akan pe

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 32: Badai di Meja Makan Raja

    Malam itu, di ruang makan utama Istana Aerondale, meja makan yang biasanya ramai kini terasa hampa bagi Evelyne. Setelah insiden di dapur dan hukuman brutal Leonhart, Evelyne tidak diizinkan keluar kamar. Leonhart sendiri yang memerintahkan para pelayan untuk membawa makan malam ke kamarnya. Evelyne makan dalam keheningan yang mencekam, bibirnya masih perih dan bengkak, menjadi pengingat pahit akan kemarahan Duke. Ia merasa terkurung, sendirian, dan sangat ketakutan. Sementara itu, di ruang makan utama, Raja Alfonse, Ratu Seraphina, dan Pangeran Eldrin sudah duduk di kursi mereka. Suasana makan malam seharusnya tenang, namun kecemasan terpancar jelas dari wajah Ratu. Ia terus-menerus melirik kursi di sebelah Leonhart yang kosong, tempat Evelyne biasanya duduk. "Leonhart," Ratu Seraphina memulai, suaranya terdengar cemas. "Di mana Evelyne? Kenapa dia tidak ikut makan malam?" Ada nada kekhawatiran yang jelas dalam pertanyaannya, mengingat apa yang ia saksikan di dapur sore tadi. "Dia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status