LOGINWaktu bergerak dengan sangat cepat. Alex Kael adalah mesin tak kenal lelah, dan Nara harus menjadi roda gigi sempurna.
Video conference dengan Singapura berjalan tegang. Alex menuntut angka yang lebih agresif, suaranya tajam. Nara duduk di sampingnya, mencatat poin-poin penting, sesekali membisikkan data pendukung.
Di tengah presentasi yang intens, Alex mengulurkan tangan. Bukan untuk dokumen, melainkan untuk cangkir kopinya. Ia melakukannya tanpa memalingkan pandangan, kebiasaan yang menunjukkan kepercayaannya yang mutlak pada Nara.
Nara segera mengangkat cangkir itu dan menyerahkannya. Jari-jari mereka bersentuhan sesaat sentuhan singkat yang mengirimkan getaran tak terduga. Nara segera mengabaikannya.
"Kenapa timeline ini tidak sesuai dengan proyeksi kita minggu lalu, Tuan Liam?" tuntutan Alex menggelegar dari speaker.
Nara mencondongkan tubuh sedikit. "Pak, mereka baru saja menghadapi masalah logistik akibat badai di Pelabuhan Klang. Itu ada di laporan darurat jam dua pagi."
Alex memicingkan mata. Ia menyesap kopinya. "Kirimkan laporan darurat itu ke mereka sekarang juga, Nara. Beri penekanan pada klausul force majeure," perintah Alex, nadanya sedikit melunak.
"Baik, Pak." Nara segera mengetik di tablet-nya.
Ketika conference selesai, Alex menjatuhkan dirinya ke sandaran kursi, memejamkan mata sejenak. Itu adalah jeda yang berbahaya. Momen di mana lapisan baja Alex melunak karena lelah, dan momen itu hanya bisa disaksikan oleh Nara.
Nara memanfaatkan jeda itu untuk membereskan meja. Ia melihat garis ketegangan yang jelas di rahang Alex, bagaimana rambut gelapnya jatuh sedikit ke dahi saat ia rileks.
"Laporan Eterna," kata Alex, membuka mata. "Bacakan poin-poin yang kamu tandai merah."
Nara segera duduk di kursi hadapannya. Ia membuka file dan mulai membacakan detail kejanggalan akuntansi yang ia temukan. Saat ia berbicara, ia mengangkat tangannya untuk menunjuk diagram di layar Alex.
Secara naluriah, Alex ikut mencondongkan tubuh, bahu mereka nyaris bersentuhan. Nara bisa mencium aroma cologne maskulin yang lembut, aroma eksklusif dan mahal. Ia bisa merasakan sedikit hawa panas yang memancar dari tubuh Alex yang tegang.
"Tunggu," potong Alex. Ia mengulurkan tangan dan meletakkan jarinya tepat di atas jari telunjuk Nara di layar, menekan sebuah angka.
Sentuhan itu, meski hanya sekejap di layar touchscreen, terasa lebih lama dari yang seharusnya. Nara bisa merasakan suhu tubuh Alex. Ia bisa merasakan tarikan tak terlihat yang selalu ada di antara mereka setiap kali jarak mereka kurang dari satu meter.
"Jika angka ini dimanipulasi, itu berarti tim legal kita ceroboh, atau mereka disuap," analisis Alex, suaranya kembali tajam, tetapi matanya tetap terfokus pada titik sentuh tangan mereka di layar.
Nara menarik napas dalam. "Saya rasa ini adalah trik dari sisi Eterna. Mereka mencoba mengubur detail ini jauh di dalam file."
Alex akhirnya menarik tangannya. "Ambil ini," Alex mengambil selembar kertas kosong dari laci. "Tuliskan klausul kerahasiaan paling ketat untuk Eterna. Gunakan bahasa yang paling mengikat yang kamu tahu."
"Baik, Pak," kata Nara, mengambil kertas itu. Jari-jari mereka bersentuhan lagi, dan kali ini, Nara merasakan Alex menahan sentuhan itu satu detik lebih lama dari yang seharusnya.
Nara segera berdiri, merasakan panas merayap di lehernya. Ia tahu, di balik dinding baja profesional Alex, ada sesuatu yang mengintai. Sesuatu yang tersembunyi, kuat, dan obsessif. Dan ia, Nara, adalah satu-satunya orang yang diizinkan melihat retakan kecil itu. Ia bergegas kembali ke mejanya, jantungnya berdebar, pura-pura fokus pada kerangka klausul kerahasiaan baru.
Setelah dua bulan menenggelamkan diri dalam pekerjaan dan membangun perusahaannya, Nara kembali ke Jakarta. Bukan untuk menetap, melainkan untuk memenuhi hukuman terakhir yang ia tetapkan sendiri: menyaksikan Alex Kael terikat selamanya.Pesta pertunangan resmi Alex dan Eliza diadakan di Grand Ballroom yang mewah, menjadi puncak dari sandiwara yang telah mereka rancang. Nara tidak lagi datang sebagai 'tamu bisnis'. Ia datang sebagai pemilik perusahaannya sendiri, membawa aura kesuksesan yang dingin dan tak terbantahkan.Nara mengenakan gaun velvet berwarna hijau zamrud yang elegan dan jauh lebih mewah daripada gaun hitam di acara sebelumnya. Gaun itu memeluk tubuhnya dengan sempurna, memancarkan kepercayaan diri yang brutal. Di lehernya, ia mengenakan kalung sederhana namun berkelas, tanpa perhiasan mencolok, ia membiarkan kesuksesannya menjadi satu-satunya aksesorisnya.Nara melangkah masuk ke ballroom yang ramai. Seketika, ia merasakan perubahan atmosfer yang familier—perhatian terf
Eliza, yang haus akan pengakuan dan stabilitas, terbius oleh penampilan Alex yang meyakinkan. Ia merasa Alex akhirnya serius. Sandiwara itu kembali berjalan, tetapi bagi Alex, setiap senyuman yang ia berikan pada Eliza adalah pengkhianatan yang ia bayar dengan rasa sakit Nara.Sementara Alex terperangkap dalam kemewahan palsunya, Nara kembali ke apartemen kecilnya di Zürich. Nara melakukan hal yang sama: memulai sandiwara baru untuk dirinya sendiri. Sandiwara kemandirian.Nara tahu, ia tidak bisa mengalahkan pengaruh Aldebaran dengan uang atau kekuasaan. Ia harus mengalahkan mereka dengan kreativitas dan inovasi. Nara mulai menggunakan laptop barunya untuk membangun jaringan profesionalnya di Eropa. Ia tidak melamar pekerjaan; ia mulai merancang proyek konsultasi independen sebuah ide brilian yang ia kembangkan saat bekerja untuk NovaTech.Proyeknya adalah tentang analisis risiko strategis untuk perusahaan-perusahaan start-up teknologi di Eropa, sebuah area yang jauh dari jangkauan Al
Alex berdiri di hadapan Nara, tubuhnya menjadi perpaduan sempurna antara ancaman dan gairah. Nara telah memaksanya meninggalkan sandiwara dan tunangannya di pegunungan, hanya untuk menghadapi kebenaran di kota yang dingin ini."Apa yang kamu inginkan, Nara?" desak Alex lagi, suaranya serak. "Kamu memanggilku ke sini dengan ancaman risiko hukum. Itu adalah kebohongan. Kamu memanggilku karena kamu ingin menghukumku.""Saya memanggil Anda ke sini karena saya butuh penutupan," balas Nara, suaranya mantap. Ia tidak berteriak; ia berbicara dengan ketenangan yang menghancurkan. "Anda menghancurkan karir saya, Alex. Anda membuat saya aset yang tidak dapat dipekerjakan di mana pun di dunia. Saya datang untuk menuntut kompensasi terakhir.""Kompensasi finansial?" tanya Alex, ia mengeluarkan kartu hitam dari dompetnya. "Ambil. Ambil semua yang kamu mau. Tapi pergi!""Bukan uang," potong Nara, menatap kartu itu dengan jijik. "Uang Anda menjijikkan. Saya menuntut kebenaran. Saya menuntut Anda
Nara tiba di Zürich, Swiss. Ia memilih kota itu karena keterasingannya dari jaringan bisnis Alex dan keterkenalannya akan kerahasiaan tempat yang sempurna untuk menyembunyikan kebenaran yang berat.Udara Zürich terasa dingin dan bersih, sebuah kontras nyata dengan kekacauan yang baru saja ia tinggalkan di Jakarta. Nara menyewa sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, jauh dari kemewahan suite yang Alex hibahkan. Ia ingin menghapus semua jejak kendali Alex dari hidupnya.Minggu pertama Nara dipenuhi dengan kesibukan yang terpaksa. Ia belajar bahasa lokal, mencari informasi tentang pasar kerja internasional, dan yang paling penting, memproses perpisahan yang brutal yang ia alami. Flash drive yang berisi semua bukti pengakuan obsesi Alex setiap kode, setiap chat, dan speech lamaran tersimpan aman di sebuah kotak tersembunyi. Itu adalah senjata pamungkasnya, yang ia harap tidak perlu digunakan.Nara tahu, Alex pasti sudah menyadari kepergiannya dan penolakan untuk dihubungi. Keheningan d
Pagi harinya, suasana di suite pertunangan terasa dingin dan beku. Alex keluar dari ruang kerjanya. Wajahnya pucat, tetapi topeng CEO telah dipasang kembali—lebih keras dan lebih tak bernyawa dari sebelumnya.Eliza sudah menunggunya di ruang tamu. Ia mengenakan gaun tidur sutra, tetapi tatapan matanya tajam dan penuh perhitungan."Apa yang terjadi tadi malam?" tanya Eliza, nadanya menuntut. "Kau tidak menyentuhku. Kau mengurung diri di ruang kerja. Dan kau menyebut wanita lain saat kau sedang mabuk champagne."Alex berjalan ke minibar dan menuangkan air dingin. "Aku lelah, Eliza. Tekanan dari Ayahku dan Dewan Direksi sangat besar. Wanita yang kau maksud hanyalah asisten yang aku pecat. Aku memikirkannya karena dia adalah aset yang hilang, dan itu merugikan Aldebaran.""Bohong," balas Eliza. "Kau tidak hanya memikirkan aset. Kau marah. Kau terobsesi pada wanita itu. Dan aku melihatnya, Alex. Aku melihat bagaimana kau memegang pinggulnya saat di ballroom itu bukan sentuhan formal. I
Nara pergi, tetapi kehadirannya tertinggal di ballroom itu, menari di antara gemerlap kristal dan senyuman palsu. Alex berdiri membeku di sudut ruangan. Lengan yang baru saja ia gunakan untuk menarik Nara terasa dingin dan hampa.Tuan Kael Senior segera mendekat, matanya menyala marah. "Apa yang baru saja kau lakukan, Alex? Kau membiarkan asistenmu menghinaku dan merusak suasana! Dan kenapa dia begitu berani menolak tawaranku?""Ayah, Nona Nara Anjani adalah aset penting NovaTech," jawab Alex, suaranya tenang, tetapi terasa datar. "Aku tidak bisa memaksa staf perusahaan mitra kita. Ini adalah protokol bisnis yang baru.""Protokol omong kosong!" geram Tuan Kael Senior. "Wanita itu adalah masalah, Alex. Aku tidak percaya kau tidak menyadari betapa berbahayanya dia. Dia memancarkan rasa tidak hormat!""Dia adalah Kepala Strategi Operasional, Ayah. Dia hanya profesional," Alex menimpali, ia memaksakan dirinya untuk mempertahankan sandiwara itu. Ia tahu, setiap kata yang ia ucapkan adalah







