Alex memiringkan kepalanya, ciuman itu menjadi lebih terampil dan berani. Tangan Alex bergerak turun ke punggungnya, menarik tubuh Nara dengan paksa ke tubuhnya yang hangat dan keras. Nara bisa merasakan Alex sepenuhnya, sensasi yang memabukkan dan menghancurkan.
Hari ini Alex kembali dari Cikarang sedikit lebih awal, sekitar pukul 16.00. Wajahnya tampak lebih lelah. Namun, bukannya langsung istirahat, ia langsung masuk ke ruang kerjanya dan membanting pintu.
Nara tahu ada sesuatu yang tidak beres. Alex Kael tidak pernah membanting apa pun. Ia mengetuk pintu, membawa sebotol air mineral dingin.
"Masuk," suara Alex terdengar tegang.
Ketika Nara masuk, Alex sudah melonggarkan dasinya dan melepaskan jasnya. Ia berdiri di dekat jendela, memandangi kota.
"Pabrik di sana bermasalah," kata Alex, tanpa menoleh. "Masalah teknis yang seharusnya sudah selesai. Ada kelalaian besar. Mereka pikir saya tidak akan datang dan melihat sendiri."
"Bagaimana tindakan Anda, Pak?" tanya Nara, menaruh botol air di meja.
Alex akhirnya berbalik. Ekspresinya adalah campuran amarah profesional dan kelelahan pribadi. "Saya memecat manajer operasional di tempat, dan memberikan waktu 24 jam untuk laporan perbaikan. Tidak ada yang luput dari pengawasan saya, Nara. Tidak ada." Kalimat terakhir itu terasa seperti bukan hanya peringatan untuk karyawannya, melainkan juga pengingat bahwa kontrol adalah segalanya bagi Alex.
Nara memproses informasi tersebut. "Baik, saya akan siapkan surat PHK dan surat teguran untuk HRD. Rapat investor akan dimulai dalam dua puluh menit."
Alex mengangguk, lalu berjalan ke mejanya. Saat berjalan, ia tiba-tiba berhenti. Ia mengambil handuk kecil yang ia gunakan untuk mengeringkan keringat di lehernya dan meletakkannya di meja.
"Bisakah kamu lihat ini?" tanya Alex, menunjuk ke bahunya. "Sepertinya ada noda oli."
Nara mendekat, jarak profesional mereka kini tinggal sejengkal. Aroma keringat, bau pabrik, dan cologne mahal Alex berbaur, menciptakan keharuman yang aneh, kasar, namun intim.
Nara mendekatkan pandangannya. "Iya, ada sedikit noda, Pak. Anda harus ganti kemeja sebelum rapat."
Alex menoleh, dan wajahnya kini begitu dekat dengan wajah Nara. Matanya menangkap tatapan Nara. Kelelahan di matanya telah berganti dengan sesuatu yang gelap dan menantang.
"Saya tidak punya kemeja ganti di sini," bisik Alex. Suaranya rendah dan serak.
"Saya akan menghubungi"
"Tidak perlu," potong Alex. Tiba-tiba, ia mengangkat tangannya dan menyentuh sisi pipi Nara dengan ibu jarinya. Sentuhan itu tidak kasar, tetapi sangat panas dan pasti. "Lupakan kemeja itu."
Tangan itu bergerak cepat dari pipi ke belakang leher Nara, menariknya. Tindakan itu adalah pelanggaran aturan, pelanggaran segalanya. Nara tidak sempat bereaksi selain merasakan napasnya tercekat.
Bibir Alex mendarat. Ciuman itu adalah manifestasi dari lelah, amarah, dan obsesi yang terlarang. Alex menciumnya dengan kekuatan seorang pria yang baru saja kehilangan kendali di tempat kerjanya dan memutuskan untuk mengambil kembali kontrol dengan menaklukkan Nara.
Nara membalasnya dengan intensitas yang sama. Ia merasakan Alex mendorongnya mundur perlahan, hingga punggungnya menyentuh dinding kaca yang dingin, membiarkan tubuh Alex menjadi satu-satunya sumber kehangatan. Tangan Alex kini menangkup wajah Nara, seolah ingin memastikan bahwa Nara ada di sana, nyata.
Nara menggenggam kemeja Alex erat, menariknya maju, menuntut lebih. Dalam waktu kurang dari satu menit, semua ketegasan dan profesionalisme yang mereka bangun selama dua tahun hancur lebur di ruang direksi yang dingin itu.
Ciuman itu semakin dalam, semakin menuntut. Itu adalah ledakan emosi terpendam.
Nara merespons dengan keberanian tak terduga. Ia menarik-narik sedikit kemeja Alex yang basah oleh keringat. Sentuhan kasar itu bau oli dan keringat, berpadu dengan cologne mahal adalah gairah yang otentik dan terlarang.
Alex melepaskan ciuman, hanya untuk beralih ke leher Nara. Ia menyusuri tulang selangka Nara dengan ciuman basah dan hisapan lembut. Tangan Nara secara naluriah mencengkeram rambut di tengkuk Alex, menariknya lebih dekat.
"Nara..." desah Alex. Namanya terdengar penuh kerentanan dan obsesi total.
Hari yang biasanya dipenuhi antusiasme menjelang akhir pekan, tetapi di lantai eksekutif Aldebaran Corp, yang terasa hanyalah ketegangan yang merayap di udara.Ia tidak menatap Nara ia tidak berbicara dengannya secara langsung kecuali melalui interkom. Nara mengamati Alex dari mejanya: sikapnya lebih kaku, gerakannya lebih terukur, seolah ia sedang berjuang keras untuk menahan dorongan yang ia lepaskan tadi malam.Nara sendiri merasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Setiap kali Vira atau rekan kerja lain masuk ke area mereka, ia merasa panik. Ia takut ada sisa aroma, ada kerutan di blusnya, atau bahkan sisa jejak pada dasi Alex yang ia perbaiki.Pukul 11.00, Alex memanggil Nara ke ruangannya untuk pembahasan mendalam mengenai laporan Eterna. Mereka duduk di meja yang sama, tempat di mana mereka melanggar aturan dua malam lalu."Laporan ini," kata Alex, menunjuk ke sebuah paragraf mengenai cash flow. "Perlu penekanan ekstra di sini. Aku tidak ingin dewan direksi salah mengartikan
Chapter Ciuman di pantry itu berbeda dari sebelumnya. Tidak ada kecanggungan seperti yang pertama, dan tidak ada kehati-hatian seperti saat mereka berada di apartemen. Ciuman ini terburu-buru, dipenuhi adrenalin dan bahaya.Alex mendorong Nara perlahan hingga ia tersudut di antara meja marmer dan dinding. Pintu pantry itu memang terkunci otomatis, tetapi suara klik sekecil apapun dari luar bisa menghancurkan segalanya.Gairah membuat mereka bergerak cepat. Alex menjauhkan kepalanya sebentar, napasnya memburu di leher Nara. Tangan besarnya meraba bagian belakang leher Nara, menariknya ke dalam pelukan yang menekan. Nara bisa merasakan detak jantung Alex yang menggila, jauh lebih kencang daripada detak jantungnya sendiri."Aku gila," bisik Alex, suaranya parau, bukan pertanyaan, melainkan pengakuan. "Aku tidak bisa fokus. Setiap rapat, aku hanya memikirkan kapan aku bisa melakukan ini lagi."Nara tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya mencengkeram kemeja Alex di bahunya, menariknya k
Ciuman itu menjadi semakin rakus, membakar sisa kesadaran Nara. Gairah Alex terasa liar dan tak terkontrol, sebuah kontras nyata dengan ketenangan di kantor. Ia mendorong Nara dengan lembut, memaksanya bersandar di meja makan, menghimpitnya dengan tubuhnya.Nara membiarkan gairah Alex menguasai, tangannya meraba bahu dan punggung Alex yang kini terasa keras dan tegang. Ia menyadari betapa intim sensasi yang ditimbulkan oleh penampilan Alex yang santai ini hanya kaus tipis yang membiarkan Nara merasakan panas tubuhnya secara langsung.Tangan Alex yang memeluk pinggang Nara kini bergerak liar dan menuntut. Satu tangannya bergeser ke atas, menyelip di bawah gaun navy Nara. Jari-jari Alex yang hangat menyentuh punggung telanjang Nara, memberikan sentuhan yang terlalu intim untuk pertemuan kerja.Saat ciuman mereka semakin dalam, tangan Alex yang satunya menjelajahi sisi tubuh Nara, bergerak dari pinggang, melintasi tulang rusuk, hingga mencapai area terlarang. Ia tidak menyentuh secara la
Nara mencengkeram kemeja linen Alex, punggungnya berbenturan dengan dinding Pantry Lounge Lantai 4 yang dingin. Ciuman mereka rakus, mendesak, dan penuh risiko. Aroma kopi basi dan ambisi bercampur dengan gairah terlarang yang mereka ledakkan di tempat tersembunyi itu."Aku membutuhkan ini lebih dari yang aku butuhkan untuk akuisisi Eterna," bisik Alex,Suaranya parau, sebelum kembali menciumnya dengan kekuatan seorang pria yang kecanduan kontrol. Nara tahu: ini adalah kontrak rahasia mereka, dan dia sudah terjerat jauh.Waktu bergerak lambat dari hari Rabu hingga Sabtu pagi. Nara menghabiskan malam-malamnya dalam kondisi setengah sadar, diisi oleh tumpukan dokumen Eterna dan bayangan tangan Alex yang merayap di bawah blusnya. Ia merasa bersalah, tetapi gairah yang ditimbulkan oleh rasa bersalah itu terasa jauh lebih kuat.Ia adalah wanita dewasa, kompeten, dan sangat tahu risiko yang ia ambil. Hubungan terlarang dengan Alex, bos sekaligus sumber kekuasaan, bisa menghancurkan reputasi
Pagi berikutnya, Nara tiba lebih awal. Ia merasa seperti kriminal yang baru saja meninggalkan lokasi kejahatan. Seluruh tubuhnya tegang, menunggu isyarat pertama dari Alex Kael.Ia menyiapkan Americano di meja Alex. Dingin. Itu adalah perintah yang tidak logis, melanggar kebiasaan Alex, tetapi ia mematuhinya. Perintah itu adalah pengakuan dan kode rahasia mereka.Ketika Alex masuk pukul 07.50, ia tampak lebih kaku. Ada garis gelap di bawah matanya, tanda kurang tidur. Ia bahkan tidak membalas sapaan Nara, hanya mengangguk dingin dan berjalan lurus ke ruang kerjanya. Pintu kaca buram tertutup, kembali menjadi pembatas.Nara menarik napas lega. Kontrol kembali.Namun, beberapa menit kemudian, bel interkom berbunyi."Masuk," suara Alex terdengar datar.Nara masuk, membawa tablet jadwal. Matanya secara naluriah mencari cangkir kopi dingin itu. Cangkirnya kosong. Alex sudah menghabiskannya.Alex duduk di kursinya, membaca laporan. Ia tidak mendongak."Saya ingin kamu membatalkan rapat deng
Saat Alex kembali mencium bibirnya, tangannya mulai bergerak dari punggung bawah Nara. Gerakannya sengaja melambat, seperti penyiksaan yang manis. Jari-jarinya meluncur di sepanjang tulang rusuk Nara, meraba setiap lekukan yang tersembunyi di balik blus sutra.Blus Nara terasa terlalu tipis sekarang. Alex memperdalam sentuhannya, jarinya menjalar ke sisi dada Nara, memberi tekanan lembut yang mengirimkan gelombang kejut. Nara terkesiap, ciuman mereka terlepas sesaat.Sentuhan itu membuat Nara sadar penuh akan pelanggaran yang mereka lakukan. Mereka di ruang direksi, lantai eksekutif. Karyawan lain hanya berjarak satu lift. Setiap sentuhan adalah risiko hancurnya karier."Alex, kita..." Suara Nara tercekat, napasnya putus-putus. Ia memanggil Alex dengan nama, bukan gelar sebuah pelanggaran yang lebih besar.Alex menghentikan sentuhannya di sisi dada Nara, tetapi tidak melepaskan. Tangan besarnya menangkup lembut di sisi rusuk Nara. Ia menatap mata Nara yang kini dipenuhi campuran gair