Dua Minggu Yang Lalu
Seluruh stasiun televisi memberitakan hal yang sama sejak beberapa hari; berita skandal perselingkuhan dan kasus korupsi seorang pengusaha ternama dan paling berpengaruh di Lancester, yaitu Edgar Duncan. Diikuti dengan layangan perceraian sang istri, Amanda Duncan. Setelah menyebarnya kasus perselingkuhan tersebut di media yang membuat heboh jagat raya.
“Saat ini Amanda Duncan menolak untuk memberi komentar terhadap kasus yang menyandung Edgar Duncan. Wanita berusia empat puluh tahun itu meminta media untuk berhenti mengejar-ngejar keberadaannya, karena dia sedang dalam masa penyembuhan diri akibat kasus yang menjerat sang suami,” jelas seorang reporter dari salah satu media yang menunjukan video rekaman ketika Amanda dikawal beberapa bodyguard saat memasuki sebuah mobil di tengah-tengah kerumunan paparazzi dan media.
Dari layar televisi, tampak mantan model tersebut menyembunyikan wajah dengan syal dan topi bundar serta kaca mata hitam besar.
Beberapa orang terlihat berhenti di lobby rumah sakit begitu mendengar pemberitaan yang menjadi trending topik akhir-akhir ini melalui televisi di dinding dekat ruang tunggu.
Camellia yang baru saja kembali dari mesin pembuat kopi menghentikan langkah dan ikut berdiri dengan pandangan fokus pada televisi, sedang kedua tangan menggenggam sebuah cup berisi latte panas.
Dia hendak berbalik badan, saat bisik-bisik sekitar mengurungkan langkah dan memaksanya untuk di tempat. Menyiksa diri dengan mendengarkan gossip yang beredar.
“Kudengar keluarga Duncan kehilangan kekayaan mereka hanya dalam semalam,” kata seorang wanita paruh baya yang berdiri di depan, menarik perhatian Camellia dan membuatnya menatap teman wanita tersebut yang juga membalas.
“Benar-benar sangat disayangkan, padahal mereka adalah orang kaya lama. Harta lima generasi ludes tidak bersisa hanya karena seorang wanita.”
Tanpa sadar, Camellia meremas cangkir kopi dalam genggaman dan dia menundukan wajah, menatap lantai keramik rumah sakit yang putih.
“Sudah dari dulu perselingkuhan selalu menjadi masalah utama sebuah pernikahan. Lihatlah, padahal mereka sangat kaya, tetapi Mr. Duncan tertarik dengan wanita lebih muda dan membuat kehidupan istri dan puterinya menderita. Dia benar-benar lelaki egois dan jahat,” balas wanita berbaju biru yang ikut dalam percakapan dua wanita paruh baya tadi.
Hati Camellia meringis, dia ingin membantah, namun sadar bahwa tidak akan ada guna sehingga dia pun bungkam dan mendengarkan saja.
“Apa kau juga dengar, bahwa saat ini pria tua itu masuk rumah sakit karena serangan jantung?”
Camellia melirik ke sekitar, takut bila ucapan wanita itu membuka identitasnya, membuat dia semakin menundukan wajah. Gadis itu bernar-benar takut seseorang menyadari keberadaannya sehingga dia merasa gugup tiba-tiba.
“Benarkah? Wah, aku tidak mengira dia mendapat karma yang pantas. Sudahlah kehilangan seluruh kekayaan, sekarang sekarat dan tidak lama lagi pasti mati. Lalu, siapa yang akan menanggung semua hutang yang dia tinggalkan?”
Serentak para wanita itu menjawab: “Tentu saja puterinya, memang siapa lagi?”
Mendengar itu, Camellia meringis pelan sembari menggigit bibirnya dalam-dalam hingga rasa amis tembaga menyebar dalam mulutnya yang mengatup rapat.
Wanita berbaju biru pun tidak mau ketinggalan dan memberikan opini.
“Tidak mungkin selingkuhannya akan merawat pria tua sakit-sakitan dan miskin seperti itu.”
Serentak beberapa kepala mengangguk setuju, membuat Camellia merasa sesak dan mundur selangkah.
“Lebih menakutkannya lagi, keluarga Duncan berhutang sangat besar dengan Keluarga Hagen. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana cara mereka melunasi semua hutang-hutang itu.”
Tampak wajah-wajah para wanita menggigil saat mendengar nama salah satu keluarga paling dihormati sekaligus ditakuti di Lancester.
Camellia yang tidak ingin mendengarkan pembicaraan menyakitkan itu lebih jauh lagi, memilih untuk pergi, kembali ke tujuan semula. Dengan tangan gemetar, dia kesulitan memegang cup latte panas yang nyaris tumpah berceceran di sepanjang perjalanan menuju sebuah kamar perwatan.
Di sepanjang koridor yang dilalui, gadis itu menahan air mata yang mendesak ke pelupuk. Namun, sekuat tenaga dia telan kembali. Hingga pada akhirnya Camellia pun tiba di depan pintu sebuah kamar perawatan.
Langkahnya terhenti, sedang mata menatap nanar pada daun pintu yang tertutup di hadapan.
Setelah menarik napas lebih dulu, dan menata ekspresi serta menenangkan diri, barulah dia masuk ke dalam ruangan dengan langkah pelan.
Seketika mata Camellia mendapati satu tubuh terbaring di atas ranjang perawatan, dengan berbagai selang dan alat penunjang kehidupan terpasang di badan. Bedside Monitor yang berada di sebelah ranjang mengelurkan bunyi beep yang konstan, membuat suasana dalam ruangan terasa menegangkan dan sedikit tidak nyaman.
Dia pun berjalan mendekat dan menaruh gelas kopinya ke meja, tepat di sebelah kepala ranjang, lalu menarik kursi, kemudian duduk terdiam di samping tubuh yang berbaring, ditemani suara alat-alat di sekitar.
“Maaf jika aku sangat lama tadi, kebetulan mesin kopinya sedikit bermasalah,” kata Camellia dengan nada penuh senyuman, seolah pria itu dapat mendengar yang dia katakan.
Dengan wajah berseri dan sedikit antusias, Camellia melanjutkan; “Besok aku tidak bisa berkunjung, karena harus menyelesaikan tugas kuliah yang menumpuk. Tidak apa-apa kan?”
Dia tahu tidak akan mendapat balasan, namun tetap meneruskan seolah itu adalah pembicaraan dua arah.
“Oh, iya, aku mencoba memasak sesuatu, tetapi gagal lagi. Bagaimana bila aku bawakan hasil masakanku ketika aku datang kembali? Kali ini akan kuusahakan makanan buatanku berhasil.”
Masih dengan senyum yang tidak pudar, Camellia menceritakan hal-hal menyenangkan pada pria yang terbaring di sana. Berharap mendapat sedikit reaksi, tetapi tetap saja nihil. Membuat senyumnya terlepas sesaat, namun dengan cepat dia menatanya kembali.
“Sepulang dari sini aku akan menonton sesuatu, karena di rumah sedang tidak ada siapa-siapa, jadi aku merasa sedikit bosan.” Tanpa menyentuh sedikitpun latte di meja, dia melanjutkan, “Tadinya aku ingin mengajak Bella, tetapi dia bilang akan kembali ke Boston malam ini, jadi aku tidak bisa mengajaknya.”
Pandangan Camellia terfokus pada wajah yang terlelap di depan, dan dengan hati-hati dia menyentuh tangan yang berada di sisi tubuh terbaring tersebut, mengelusnya lembut sembari bersenandung merdu sebuah lullaby tentang memory dan kenangan.
“Suaraku jelek sekali ya,” katanya rendah, terdengar sedikit kecewa. “Aku akan berlatih agar bisa bernyanyi lebih merdu lagi.”
Camellia mengangkat jari kelingking di udara dengan senyum merekah sempurna, sedangkan mata berkaca-kaca menahan sesak di dada.
Setelah menunggu selama satu menit, tangan Camellia kembali berada di atas pangkuan, karena tidak lagi ada yang membalas tautan jemarinya.
Dia menundukan kepala dan berkata; “Kalau kau keluar dari sini, aku akan membawamu jalan-jalan. Jadi, cepatlah sembuh sehingga kita bisa berkumpul lagi.”
Setelah yakin rasa nyeri di hati memudar, Camellia pun kembali mengangkat wajah dan tanpa dia sadari, waktu berlalu sangat cepat hari itu. Dari ekor mata, Camellia melihat jam sudah menunjukan pukul empat sore, menandakan dia terlalu lama di sana sehingga harus segera kembali sebelum gelap.
“Aku akan kembali lagi, Ayah,” pamitnya sembari mengecup kening pria tua yang terbaring lemah, sebelum akhirnya bangkit dari duduk dan berjalan keluar.
Dengan hati berat, Camellia menutup pintu perawatan.
Cukup lama dia terdiam, sedang dahi bersandar di daun pintu serta hati berdo’a pilu; ‘Jangan ambil dia dariku, Tuhan.’
Sebanyak tiga kali dia berbisik dengan gerakan bibir yang pelan.
Begitu yakin air matanya tidak akan luruh, Camellia pun mengangkat kepala, kemudian menatap pintu itu berlama-lama, sebelum benar-benar pergi meninggalkan rumah sakit dan pria paruh baya yang terbaring tidak berdaya di dalamnya.
Sekembalinya dari rumah sakit, Camellia membuka pintu rumah. Seketika dia terjang oleh kenangan secara bertubi-tubi saat melihat ruang tengah rumahnya kosong dari segala perabotan mewah yang dulu pernah menghiasi tempat itu.Tangan gadis tersebut membeku di gagang pintu, sedang matanya panas ketika menyapu ke seluruh sudut ruangan. Tidak ada sedikit pun kenangan yang tersisa.Bahkan, foto-foto beserta lukisan yang pernah memenuhi setiap sisi dinding hanya menyisakan jejak keberadaannya saja. Membentuk sebuah bayangan hitam seperti bingkai yang menandakan dulunya pernah ada benda di sana.Memori Camellia masih mengingat jelas, bahwa dinding itu penuh akan hiasan bernilai jutaan dollar yang tersusun hingga memenuhi seluruh ruangan.Dengan langkah lelah, Camellia pun memasuki rumah dan menutup pintunya rapat.Seketika tubuh gadis itu pun luruh ke lantai, kemudian dia melipat diri dan merebahkan kepala pada lutut yang terasa sangat rapuh. Seolah, tidak
Langkah Camellia terdengar ragu-ragu saat mendekati pintu. Namun, dia pernah merasakan hal seperti ini saat di awal-awal kebangkrutan sang Ayah.Ketika itu, banyak debt collector mendatangi rumah mereka, dan satu per satu perabotan di sana diangkut paksa. Mulai dari lukisan sampai album foto keluarga. Katanya, bingkai pada foto-foto itu bernilai ribuan dollar.Camellia tahu akan hal itu, sehingga dia tidak bisa berkata apa-apa dan meminta agar setiap lembar foto dikembalikan pada waktunya.Dia juga ingat sangat jelas, ketika semua isi lemari dan guci diambil sampai tidak bersisa. Membuat Camellia kesulitan memilih baju untuk keluar rumah. Karena itulah, tidak lagi ada benda yang bisa dipakai di sana.Jadi, kali ini apa lagi yang mereka minta? Tubuhnya?Menyadari ke mana arah pemikirannya saat ini, Camellia pun menggelengkan kepala. Tidak mungkin dia akan merendahkan diri sampai sejauh itu, sehingga tanpa sadar kesedihannya semakin dalam.Tet
Blake Hagen. Pria paling ditakuti di seluruh Kota Lancester. Dia menguasai perdagangan dan beberapa hal yang diisukan sebagai transaksi ilegal. Bahkan, gadis sepolos Camellia pernah mendengar legenda yang menceritakan bagaimana pria itu bekerja di tempat yang tidak seharusnya.Banyak orang yang tidak ingin berseberangan dengan si lelaki pemilik mata obsidian, karena sekali saja membuat Blake Hagen marah, maka kedamaian hanya tinggal angan-angan.Itu sebabnya Camellia tidak mampu membalas tatapan pria itu setelah dia mempelajari nama yang sangat tabu disebut di seantero Kota Lancester. Apa lagi saat ini dia berada dalam radar pria itu yang merupakan berita buruk bagi masa depan Camellia.“Apa kau tidak mau menyambut uluran tanganku?”Pertanyaan pria tersebut mengangkat kepala Camellia seketika. Dan saat itulah dia baru menyadari bahwa sejak tadi Hagen menunggu jabatan tangan darinya, yang tentu saja tidak ingin Camellia lakukan.Akan tet
“Sebut namaku, dengan begitu aku akan melepasmu,” bisik Hagen yang sengaja menyentuhkan pucuk hidung mereka, membuat Camellia menahan napas untuk sementara.Hal itu membuat dada Camellia naik turun. Dalam sekejab paru-parunya meminta asupan oksigen dengan cepat. Berdekatan dengan pria itu membuatnya sesak.Dengan gelisah, ujung lidah Camellia menyapu bibir ranumnya yang sedikit merekah seperti kelopak bunga, yang tanpa gadis itu sadari mengundang perhatian Hagen seketika.Begitu dia tahu akan kesalahannya, Camellia pun mengatup bibir dan menggigit pelan mulut bagian dalamnya sembari mengutuk diri dalam hati.Tidak tahan akan godaan gadis di hadapannya yang bertingkah sangat polos, Hagen menyentuh bibir Camellia menggunakan ujung ibu jari dengan sengaja, membuat mata gadis itu membulat sebesar purnama, menjadikan napas Camellia tercekat saat itu juga.“Apa sesulit itu menyebut namaku, Princess?” bisik Hagen dengan suara renda
“Ti-tiga pilihan?” tanya Camellia terbata-bata.Mata bulat jernihnya yang berwarna hazel menatap Hagen penuh kebingungan.“Ya, aku memberikan tiga pilihan yang dapat melunasi seluruh hutang keluargamu,” jelas Hagen dengan kedua jempolnya yang mengelus halus permukaan wajah gadis itu.“Apa yang … kau mau?”Senyuman Hagen semakin lebar, namun tatapan lembutnya yang tadi digantikan dengan suatu pandangan … vulgar. Seketika mengetuk hati Camellia dengan kerasnya, membuat dia lupa caranya bernapas untuk sesaat.Gadis itu pun memegangi pergelangan tangan Hagen, bermaksud menepis sentuhan pria itu pada tubuhnya, namun Camellia tidak mampu menghalau tangan pria itu walaupun hanya seinci. Menjadikan Camellia frustrasi yang jelas tergambar dari ekspresi wajahnya.Hal itu memudahkan Hagen untuk membaca setiap perubahan emosi Camellia, layaknya lembaran buku yang sedang pria itu baca.Masih dengan
Langkah Camellia yang menaiki tangga tampak terseok. Pandangan matanya yang menatap lurus ke depan terlihat kosong. Kini, kepalanya dipenuhi oleh perkataan-perkataan Hagen, yang terus membayangi di sepanjang jalan menuju kamar.“Tidur setahun dengannya, katanya,” gumam Camellia yang seketika menghentikan langkah. Satu tangannya yang memegang anak tangga mengepal erat. “Aku tidak akan tidur denganmu! Kau pria brengsek!”Sekuat tenaga Camellia berteriak, hingga tubunya setengah membungkuk.“Siapa kau yang berani-berani merendahkanku!”Dia memukul keras pegangan tangga di bawah tangannya sampai telapaknya mati rasa.“Dasar kau @$%^&@ dan juga @#4$%#& kuharap juniormu %$#@^& dan ****** Mati saja kau @#%^&.” Gadis itu pun terus memaki tanpa jeda dengan kata-kata sangat vulgar dan penuh warna, yang kebetulan saja dia dengar dari pekerja kebun serta para pelayan ketika rumah itu masih berada
Pena di tangan Camellia melingkari setiap daftar tempat yang sedang mencari karyawan. Sebagian dia coret dengan tambahan catatan kapan akan memasukkan lamaran di sana.Beberapa waktu lalu, dia bahkan melamar secara online ke beberapa perusahaan yang hanya membutuhkan ijazah SMA, tapi semuanya memberikan jawaban serupa.‘Maaf kan kami, Miss Duncan, tetapi anda tidak sesuai kualifikasi yang kami cari.’Anehnya, semua perusahaan itu menuliskan hal yang sama. Seolah-olah ada seseorang yang mendikte mereka. Dan satu-satunya pelaku yang dia curigai adalah Blake Hagen.“Dasar bajingan,” umpat Camellia seraya melempar pena ke dinding hingga tutupnya pecah.Dia melipat kaki di bawah tubuh dan memeluknya erat sembari membenamkan kepala.Sekuat tenaga gadis itu menahan isak tangis, hingga merasa sesak di dada.“Hhhh …,” desahnya, menarik napas keras dengan rasa putus asa. “Apa yang harus kulakukan
Langkah kaki Camellia saat melintasi trotoar tampak lesu. Gadis itu bahkan menggunakan tas selempang di atas kepala untuk menghalau terik matahari yang perlahan meninggi.Dan dengan menahan rasa lapar, Camellia pun mempercepat langkah.Beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang, karena dia merasa seakan sedang diikuti, tapi tetap saja tidak ada siapa-siapa di sana.“Tenanglah, Camellia. Itu hanya imajinasimu saja,” bisiknya sembari terus berjalan.Saat mendekati sebuah restaurant kecil, langkah Camellia terhenti. Wajahnya sedikit berbinar begitu mendapati iklan lowongan pekerjaan yang ditaruh tepat di depan jendela kaca.Gadis itu melirik sebentar lowongan tersebut, sebelum akhirnya dia masuk ke dalam dan berpapasan dengan salah satu pelayan wanita yang memiliki usia tidak jauh dengannya.“Hay, bolehkah aku berbicara dengan manajermu?” tanya Camellia secara tiba-tiba yang menyebabkan wanita pelayan itu menatapnya dua