Share

Obsesi Tuan Hagen
Obsesi Tuan Hagen
Author: Blezzia

Prolog

Pukul 08:00 Malam di Lancester, Perbatasan Denver.

Seorang gadis duduk menyendiri dengan posisi tubuh meringkuk di atas bangku, sedang kedua tangan memeluk diri di sudut ruangan sebuah kantor polisi. Tampak baju dan rambutnya acak-acakan serta luka di sudut bibir dan memar di pipi bagian kiri.

Tatapan gadis itu terlihat kosong dengan kepala menunduk ke bawah, terpaku pada kaki telanjangnya yang mulai kedinginan, namun tidak dia pedulikan. Bahkan suara-suara ribut dalam kantor kepolisian tidak lagi dia dengar.

Begitu pula para petugas yang sejak tadi lalu-lalang di depan kursi tampak tidak menyadari keberadaannya.

Gadis itu seolah tidak terlihat, dan dibiarkan sendiri di sudut tanpa seorang pun mendekat.

Tubuh rapuhnya semakin mengkerut di kursi. Rasa takut dan trauma kejadian tadi masih membekas dalam ingatan. Bahkan bila diperhatikan, gadis itu terlihat menggigil. Berkali-kali dia mengusapkan tangan pada kedua lengan yang melingkar di badan karena bajunya yang sedikit basah, membuat gadis tersebut kedinginan.

Kepalanya seketika terangkat sedikit ketika sepasang sepatu kulit melangkah dalam jangkauan penglihatan. Berdiri tepat di hadapan.

Lama dia terdiam, menunggu si pemilik sepatu untuk bersuara. Namun, lima belas menit pun berlalu, pria itu tetap membisu, masih dengan posisi berdiri di tempat semula. Tidak ada tanda-tanda sepasang sepatu hitam mengkilat itu akan bergeser.

Setelah memejamkan mata dan menarik napas panjang, gadis itu akhirnya bertanya lirih dengan suara bergetar.

“Mau apa kau ke sini?”

Awalnya pria itu hanya diam dengan pandangan datar pada gadis yang duduk ringkih di atas kursi, namun akhirnya dia menjawab setelah melihat wanita muda di hadapannya bergerak gelisah.

“Apa kau akan terus berada dalam masalah dan memilih hidup terlunta?” Pria itu membalik pertanyaan yang mendapat reaksi tatapan tajam dari pemilik mata hazel di kursi.

Sebuah senyum tipis yang terulas di wajah pria tersebut membuat tatapan tajam gadis itu berubah menjadi amarah.

“Ah, atau kau memang senang menjadi pusat perhatian?”

Kepala pria itu miring sedikit dan senyum tipisnya berubah menjadi seringai.

Gadis itu tampak lebih gusar, membuat pria tersebut semakin ingin mengaduk emosi rapuh dari gadis muda berparas rupawan yang duduk ringkih di hadapan.

Pria itu pun menunjuk ke luar kantor polisi dengan dagu dan setelahnya dia membungkuk hingga mata mereka sejajar.

Seketika gadis itu menahan napas dengan mata sedikit membeliak karena nyaris saja terjadi kontak fisik di antara keduanya. Dengan gelisah gadis tersebut menggeser duduk untuk menjauhi jangkauan pria di hadapan, yang tidak sedikit pun pria itu pedulikan.

Dia bahkan menyentuh anak rambut yang terlepas dari ikatan sanggul gadis tersebut, sengaja memainkannya di antara jari-jari maskulinnya yang membuat debaran dada gadis itu sedikit menggila.

“Lihat, ada dua paparazzi di luar. Say hay pada mereka bila kau berhasil keluar dari kantor polisi malam ini,” ucap pria itu dengan senyuman lebar hingga memamerkan barisan gigi yang putih.

Mata gadis itu mengerjab beberapa kali, sebelum akhirnya dia menoleh pelan ke arah yang pria itu tunjuk.

Benar saja, ada dua pria sedang menunggu di parkiran dengan masing-masing kamera tersampir di bahu.

Tangan gadis itu mengepal hingga buku-buku jarinya memucat, dan kepalan itu berubah menjadi remasan pada rok pendek yang setengah robek sejak pertama kali masuk ke kantor polisi.

Tidak ada satu pun gerakan tubuh gadis itu yang luput dari perhatian si pemilik sepatu kulit. Mata obsidiannya mengobservasi diam-diam, bagai radar yang tidak sedikit pun terlihat jelas telah mencuri-curi lihat.

“Mau apa kau mendatangiku?” tanya gadis itu dengan suara serak yang rendah sedang matanya masih tetap menatap jendela, pada kumpulan pemburu berita di luar sana.

Tubuh pria itu tegak kembali, dan dengan kedua tangan berada di saku celana, pria itu pun berkata; “Aku mendengar kau berada di kantor polisi, dan tidak ada satu pun yang datang untuk membebaskanmu.”

Seketika kepala gadis itu berputar ke arah pria yang kini berdiri dengan sangat arogan di hadapannya.

“Tidak peduli berapa lama mereka mengurungku di sini, aku tidak membutuhkan bantuan darimu,” desis gadis itu sengit.

Pria itu hanya mengangkat bahu dengan senyum miring di sudut bibir.

“Princess, jika kau berada di sini terlalu lama, lalu siapa yang akan mengurus ayahmu?”

Mendengar pertanyaan tersebut, raut wajah gadis itu pun berubah melankolis, tampak ingin menangis, namun menahan diri sekuat tenaga.

Pandangan pria itu seketika teralih pada kebiasaan gadis itu yang sedang menggigit bibir ketika gelisah. Matanya berdilatasi menjadi hitam pekat saat bibir ranum itu berubah semerah delima, seolah menggoda tanpa dosa.

Sadar akan perrhatiannya yang teralihkan, pria itu pun mendelik tajam pada gadis muda di hadapan.

“Aku sudah memberimu cukup waktu untuk berpikir, tetapi tampaknya kau tidak sekali pun menggunakannya untuk mempertimbangkan pilihan yang kuberi,” ucap pria itu dengan suara datar. “Dan lihatlah, kau bahkan berakhir di kantor polisi, tempat yang sekali pun tidak pernah kau datangi sebelumnya.”

“Aku sedang membela diri!” jerit gadis itu dengan wajah memerah.

Seketika ruangan kantor polisi menjadi hening. Suara-suara percakapan sayup-sayup terdengar.

Wajah wanita itu pun berubah merah, menahan malu yang membuat pipi dan cuping telinga menjadi panas.

Keduanya hanya saling tatap untuk beberapa waktu, sebelum akhirnya gadis muda itu merendahkan suara; “Aku hanya membela diri,” ucapnya lirih dengan kepala menunduk kembali, menatap kakinya yang penuh bekas luka karena pecahan kaca.

Terdengar suara helaan napas pria tersebut, dan tidak lama setelahnya tiba-tiba saja pria itu berjongkok hingga kepala keduanya pun menjadi sejajar, membuat mata gadis itu kembali membulat sebesar purnama.

“Apa kau masih belum memutuskan?”

Mendapat pertanyaan tersebut, gadis itu menelan saliva dengan susah payah.

Karena tidak mendapat jawaban, pria itu pun kembali bertanya.

“Waktumu tinggal dua minggu lagi. Apa kau masih belum menentukan pilihan?”

Mendapati kedua tangan gadis di hadapan saling meremas gugup, pria itu pun meliriknya dengan ekspresi datar yang biasa ditujukan pada bawahannya selama ini.

“Aku menyarankan untuk memilih yang nomor tiga; tidur bersamaku selama satu tahun, tetapi tampaknya kau lebih suka untuk bungkam.”

Pria itu pun berdiri dan memutuskan mundur beberapa langkah.

“Kalau begitu, tidur satu malam di kantor polisi sepertinya cukup untuk membuatmu memikirkan kembali tawaran yang kuajukan,” ucap pria itu dingin. “Sebaiknya aku tidak membuang-buang waktu untuk gadis yang bahkan menyia-nyiakan kesempatan sepertimu.”

Pria tersebut melirik jam yang melingkar di tangan.

Sebelum beranjak, dia menatap gadis tersebut sekali lagi dan tanpa berkata apa-apa, pria itu pun bergegas keluar dari sana. Meninggalkan gadis muda itu sendirian di bangku tunggu, masih dengan baju basah dan tubuh yang kedinginan.

Tanpa gadis itu sadari, satu bulir air mata jatuh bergulir membasahi pipi dan sepanjang dagu, sayangnya tidak ada suara yang terdengar. Dia menangis dalam hening, di tengah tempat asing diselimuti kesepian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status