Share

BAB 2 I Tidak Satupun Kenangan Tersisa

Sekembalinya dari rumah sakit, Camellia membuka pintu rumah. Seketika dia terjang oleh kenangan secara bertubi-tubi saat melihat ruang tengah rumahnya kosong dari segala perabotan mewah yang dulu pernah menghiasi tempat itu.

Tangan gadis tersebut membeku di gagang pintu, sedang matanya panas ketika menyapu ke seluruh sudut ruangan. Tidak ada sedikit pun kenangan yang tersisa.

Bahkan, foto-foto beserta lukisan yang pernah memenuhi setiap sisi dinding hanya menyisakan jejak keberadaannya saja. Membentuk sebuah bayangan hitam seperti bingkai yang menandakan dulunya pernah ada benda di sana.

Memori Camellia masih mengingat jelas, bahwa dinding itu penuh akan hiasan bernilai jutaan dollar yang tersusun hingga memenuhi seluruh ruangan.

Dengan langkah lelah, Camellia pun memasuki rumah dan menutup pintunya rapat.

Seketika tubuh gadis itu pun luruh ke lantai, kemudian dia melipat diri dan merebahkan kepala pada lutut yang terasa sangat rapuh. Seolah, tidak kuat menopang semua yang terjadi secara bertubi-tubi hingga menjadikan dirinya lelah.

Usianya baru melewati delapan belas, tidak seharusnya dia mengalami ini semua.

“Hhhh …,” desahnya sembari menarik napas dalam-dalam, menghalau tangis yang hendak singgah lagi.

Setelah berdiam diri beberapa menit, barulah Camellia bangkit dari tempatnya terduduk. Dengan gontai dia melintasi ruang tengah yang telah kosong, hingga langkahnya pun menggema sampai ke setiap sudut ruangan.

Begitu tiba di kamar, gadis itu hanya berdiri di ambang pintu.

Lagi-lagi matanya menatap ke segala arah, pada ruangan yang kini terasa asing baginya. Karena tidak ada perabotan mewah di sana, yang tersisa hanyalah kasur tipis di lantai, satu meja beserta kursi dan lemari baju berukuran kecil di setiap sisi.

Dan bila seseorang membuka lemari tersebut, maka tidak ada banyak baju di dalamnya.

Semua habis tidak bersisa, termasuk perhiasan yang merupakan hadiah dari sang ayah.

“Sekarang bukan saatnya memikirkan itu,” gumam Camellia sembari memasuki kamar untuk berganti baju.

Tidak lama setelahnya, dia pun turun ke lantai bawah, bermaksud mencari sesuatu di kulkas. Namun, pandangannya berkunang-kunang ketika mendapati tidak ada stock makanan di dalamnya.

Dia hanya mendapati roti lapis dan selai cokelat yang seingatnya dibeli seminggu yang lalu.

Apa dia akan makan itu setiap hari?

Dengan tangan bergetar sembari memegangi kepala, Camellia bergerak gelisah.

Dia lupa berbelanja. Tapi, bukan itu masalahnya.

Uang trust fund yang dia miliki tidak cukup untuk membeli makanan sebulan ke depan. Lalu, bagaimana dia bertahan selama itu?

“Bagaimana ini?” paniknya dengan kedua tangan mengusap wajah.

Bila terus seperti ini, bisa-bisa dia mati kelaparan di rumah tanpa satu orang pun tahu akan kondisinya.

“Apa aku menghubungi Bella?” batin Camellia, mengingat teman satu sekolah yang mungkin bisa meminjaminya uang.

Tetapi, mengingat bahwa dia masih dalam radar media, hal itu bukan keputusan bijak.

“Lalu aku harus apa?” tanya Camellia sembari memijit pelipis dan berjalan mondar-mandir di dekat pantry.

Ada satu cara yang dapat menundanya dari kelaparan selama satu bulan ke depan, yaitu sang Ibu, Amanda Duncan yang baru saja menjadi sensasi nasional.

Namun, rasa takut akan penolakan membuat Camellia menatap ponselnya cukup lama. Dia tidak ingin Ibunya menutup panggilan bahkan sebelum Camellia sempat menyapa.

Akan tetapi, mengingat tidak ada solusi selain ini, dia pun memberanikan diri untuk mencoba.

Dengan tangan bergetar saat menekan tombol panggil di layar ponsel, Camellia berharap sang Ibu menjawab tanpa meninggikan suara seperti sebelum-sebelumnya.

Pada percobaan pertama, tidak ada yang mengangkat, sehingga dia mencoba lagi sebanyak dua kali.

Dan untunglah, kali ini terdengar suara sapaan feminim yang sangat familiar dari seberang.

“Halo.”

Namun, mendengar nadanya yang dingin, lagi-lagi dia tidak dapat mengataka  apa-apa.

“Apa kau sengaja diam hanya untuk membuatku marah?!” tanya suara dingin itu lagi, kali ini dengan meninggikan suara yang membuat Camellia sedikit terlonjak karenanya.

“I-Ibu,” sahut gadis muda itu sembari meremas ujung baju dengan gerakan gelisah. “A-akuꟷ”

“Berapa kali harus kukatakan padamu untuk tidak lagi menghubungi?” ucap wanita itu yang seketika memotong ucapan Camellia. “Seharusnya kau tahu aku sedang tidak ingin diganggu!”

Kali ini dia mendengar jeritan nyaring yang membuatnya menjauhkan ponsel, dikarenakan teriakan tersebut menyakiti pendengaran hingga membuat gendang telinganya berdengung.

Untuk sesaat Camellia terpaku sembari menatap ponsel yang masih berada dalam genggaman. Layarnya berkedip-kedip, menandakan panggilan masih tersambung.

Tangannya yang gemetar kembali membawa ponsel itu ke telinga. Dia berharap tidak lagi mendapat jeritan seperti tadi.

“Ibu, aku membutuhkan bantuan darimu,” ucap Camellia dengan suara begetar dan dada sedikit sesak.

Sekuat tenaga dia menahan diri agar tidak menumpahkan air mata, karena hanya akan berakhir sia-sia.

Namun, bukannya sebuah jawaban menenangkan, Camellia mendapat cacian tanpa jeda yang memanaskan telinga.

“Anak terkutuk! Jika bukan karenamu, aku tidak akan seperti ini! Seharusnya kau juga ikut mati dengan tua bangka itu. Kalian berdua tidak ada bedanya. Hanya membuatku menderita!”

Seketika Camellia menahan lidah, meski hatinya menjeritkan bahwa ayahnya belum mati!

Bagaimana mungkin Ibunya dengan mudah mengatakan harapan seperti itu?

“Jangan menghubungiku, kaulah penyebab semua ini!”

Seketika panggilan itu pun terputus, menyisakan rasa sakit di hati Camellia. Hingga pada akhirnya, gadis itu terduduk di atas lantai dengan pipi yang sejak tadi sudah basah tanpa dia sadari.

Dengan tubuh masih bergetar dan kaki lemas, Camellia meluapkan segalanya di lantai dapur. Dia menangis keras, dan sejadi-jadinya sampai air mata mengering dan wajah bengkak.

“Ayah,” sedu-sedannya sembari meremas dada yang menolak untuk menarik oksigen ke paru-paru.

Berkali-kali Camellia memukuli diri, bertanya pada udara; apa yang salah dengannya hingga sang Ibu sangat membenci kehadirannya?

“Ayah …” tangisnya dengan suara keras hingga dia terbaring di atas lantai dingin.

Cukup lama Camellia berada di posisi itu. Tanpa sadar tertidur pulas hingga pagi dengan posisi yang sama. Meringkuk di atas dinginnya lantai dapur yang seketika membuat tubuhnya menggigil. Dia melihat ke segala arah, dan pandangannya disilaukan oleh cahaya mentari pagi yang menyapa lewat ventilasi jendela.

Sejenak, dia mengerjab-ngerjabkan mata. Dan saat itulah Camellia mendengar dentang jam dinding tua berasal dari ruang tengah.

Itu adalah salah satu benda yang tidak laku dijual sehingga dibiarkan di tempatnya semula.

Bila hitungannya tepat, maka pagi itu sudah lewat pukul tujuh.

“Biarkan aku tidur sebentar saja,” gumamnya, sembari terus tertidur di atas dinginnya lantai hingga meringkuk dengan posisi seperti janin.

Dia hendak memejamkan mata lagi, saat tiba-tiba terdengar suara ketukan keras dari arah pintu depan.

“Miss Duncan, buka pintunya. Kami ada perlu!” teriak suara pria di luar sana dengan nada sarat ancaman.

Seketika kelopak mata Camellia membuka kembali, dan dengan perasaan takut, dia pun melirik ke arah koridor penghubung dapur dan ruang tengah.

Saat itulah rasa dingin tidak ada apa-apanya dibanding ketakutan yang perlahan menyelimuti. Dimulai dari ujung kaki hingga menjalar ke ulu hati serta membuat bulu roma berdiri.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
duh mamae kok jahat banget ya..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status