Sekembalinya dari rumah sakit, Camellia membuka pintu rumah. Seketika dia terjang oleh kenangan secara bertubi-tubi saat melihat ruang tengah rumahnya kosong dari segala perabotan mewah yang dulu pernah menghiasi tempat itu.
Tangan gadis tersebut membeku di gagang pintu, sedang matanya panas ketika menyapu ke seluruh sudut ruangan. Tidak ada sedikit pun kenangan yang tersisa.
Bahkan, foto-foto beserta lukisan yang pernah memenuhi setiap sisi dinding hanya menyisakan jejak keberadaannya saja. Membentuk sebuah bayangan hitam seperti bingkai yang menandakan dulunya pernah ada benda di sana.
Memori Camellia masih mengingat jelas, bahwa dinding itu penuh akan hiasan bernilai jutaan dollar yang tersusun hingga memenuhi seluruh ruangan.
Dengan langkah lelah, Camellia pun memasuki rumah dan menutup pintunya rapat.
Seketika tubuh gadis itu pun luruh ke lantai, kemudian dia melipat diri dan merebahkan kepala pada lutut yang terasa sangat rapuh. Seolah, tidak kuat menopang semua yang terjadi secara bertubi-tubi hingga menjadikan dirinya lelah.
Usianya baru melewati delapan belas, tidak seharusnya dia mengalami ini semua.
“Hhhh …,” desahnya sembari menarik napas dalam-dalam, menghalau tangis yang hendak singgah lagi.
Setelah berdiam diri beberapa menit, barulah Camellia bangkit dari tempatnya terduduk. Dengan gontai dia melintasi ruang tengah yang telah kosong, hingga langkahnya pun menggema sampai ke setiap sudut ruangan.
Begitu tiba di kamar, gadis itu hanya berdiri di ambang pintu.
Lagi-lagi matanya menatap ke segala arah, pada ruangan yang kini terasa asing baginya. Karena tidak ada perabotan mewah di sana, yang tersisa hanyalah kasur tipis di lantai, satu meja beserta kursi dan lemari baju berukuran kecil di setiap sisi.
Dan bila seseorang membuka lemari tersebut, maka tidak ada banyak baju di dalamnya.
Semua habis tidak bersisa, termasuk perhiasan yang merupakan hadiah dari sang ayah.
“Sekarang bukan saatnya memikirkan itu,” gumam Camellia sembari memasuki kamar untuk berganti baju.
Tidak lama setelahnya, dia pun turun ke lantai bawah, bermaksud mencari sesuatu di kulkas. Namun, pandangannya berkunang-kunang ketika mendapati tidak ada stock makanan di dalamnya.
Dia hanya mendapati roti lapis dan selai cokelat yang seingatnya dibeli seminggu yang lalu.
Apa dia akan makan itu setiap hari?
Dengan tangan bergetar sembari memegangi kepala, Camellia bergerak gelisah.
Dia lupa berbelanja. Tapi, bukan itu masalahnya.
Uang trust fund yang dia miliki tidak cukup untuk membeli makanan sebulan ke depan. Lalu, bagaimana dia bertahan selama itu?
“Bagaimana ini?” paniknya dengan kedua tangan mengusap wajah.
Bila terus seperti ini, bisa-bisa dia mati kelaparan di rumah tanpa satu orang pun tahu akan kondisinya.
“Apa aku menghubungi Bella?” batin Camellia, mengingat teman satu sekolah yang mungkin bisa meminjaminya uang.
Tetapi, mengingat bahwa dia masih dalam radar media, hal itu bukan keputusan bijak.
“Lalu aku harus apa?” tanya Camellia sembari memijit pelipis dan berjalan mondar-mandir di dekat pantry.
Ada satu cara yang dapat menundanya dari kelaparan selama satu bulan ke depan, yaitu sang Ibu, Amanda Duncan yang baru saja menjadi sensasi nasional.
Namun, rasa takut akan penolakan membuat Camellia menatap ponselnya cukup lama. Dia tidak ingin Ibunya menutup panggilan bahkan sebelum Camellia sempat menyapa.
Akan tetapi, mengingat tidak ada solusi selain ini, dia pun memberanikan diri untuk mencoba.
Dengan tangan bergetar saat menekan tombol panggil di layar ponsel, Camellia berharap sang Ibu menjawab tanpa meninggikan suara seperti sebelum-sebelumnya.
Pada percobaan pertama, tidak ada yang mengangkat, sehingga dia mencoba lagi sebanyak dua kali.
Dan untunglah, kali ini terdengar suara sapaan feminim yang sangat familiar dari seberang.
“Halo.”
Namun, mendengar nadanya yang dingin, lagi-lagi dia tidak dapat mengataka apa-apa.
“Apa kau sengaja diam hanya untuk membuatku marah?!” tanya suara dingin itu lagi, kali ini dengan meninggikan suara yang membuat Camellia sedikit terlonjak karenanya.
“I-Ibu,” sahut gadis muda itu sembari meremas ujung baju dengan gerakan gelisah. “A-akuꟷ”
“Berapa kali harus kukatakan padamu untuk tidak lagi menghubungi?” ucap wanita itu yang seketika memotong ucapan Camellia. “Seharusnya kau tahu aku sedang tidak ingin diganggu!”
Kali ini dia mendengar jeritan nyaring yang membuatnya menjauhkan ponsel, dikarenakan teriakan tersebut menyakiti pendengaran hingga membuat gendang telinganya berdengung.
Untuk sesaat Camellia terpaku sembari menatap ponsel yang masih berada dalam genggaman. Layarnya berkedip-kedip, menandakan panggilan masih tersambung.
Tangannya yang gemetar kembali membawa ponsel itu ke telinga. Dia berharap tidak lagi mendapat jeritan seperti tadi.
“Ibu, aku membutuhkan bantuan darimu,” ucap Camellia dengan suara begetar dan dada sedikit sesak.
Sekuat tenaga dia menahan diri agar tidak menumpahkan air mata, karena hanya akan berakhir sia-sia.
Namun, bukannya sebuah jawaban menenangkan, Camellia mendapat cacian tanpa jeda yang memanaskan telinga.
“Anak terkutuk! Jika bukan karenamu, aku tidak akan seperti ini! Seharusnya kau juga ikut mati dengan tua bangka itu. Kalian berdua tidak ada bedanya. Hanya membuatku menderita!”
Seketika Camellia menahan lidah, meski hatinya menjeritkan bahwa ayahnya belum mati!
Bagaimana mungkin Ibunya dengan mudah mengatakan harapan seperti itu?
“Jangan menghubungiku, kaulah penyebab semua ini!”
Seketika panggilan itu pun terputus, menyisakan rasa sakit di hati Camellia. Hingga pada akhirnya, gadis itu terduduk di atas lantai dengan pipi yang sejak tadi sudah basah tanpa dia sadari.
Dengan tubuh masih bergetar dan kaki lemas, Camellia meluapkan segalanya di lantai dapur. Dia menangis keras, dan sejadi-jadinya sampai air mata mengering dan wajah bengkak.
“Ayah,” sedu-sedannya sembari meremas dada yang menolak untuk menarik oksigen ke paru-paru.
Berkali-kali Camellia memukuli diri, bertanya pada udara; apa yang salah dengannya hingga sang Ibu sangat membenci kehadirannya?
“Ayah …” tangisnya dengan suara keras hingga dia terbaring di atas lantai dingin.
Cukup lama Camellia berada di posisi itu. Tanpa sadar tertidur pulas hingga pagi dengan posisi yang sama. Meringkuk di atas dinginnya lantai dapur yang seketika membuat tubuhnya menggigil. Dia melihat ke segala arah, dan pandangannya disilaukan oleh cahaya mentari pagi yang menyapa lewat ventilasi jendela.
Sejenak, dia mengerjab-ngerjabkan mata. Dan saat itulah Camellia mendengar dentang jam dinding tua berasal dari ruang tengah.
Itu adalah salah satu benda yang tidak laku dijual sehingga dibiarkan di tempatnya semula.
Bila hitungannya tepat, maka pagi itu sudah lewat pukul tujuh.
“Biarkan aku tidur sebentar saja,” gumamnya, sembari terus tertidur di atas dinginnya lantai hingga meringkuk dengan posisi seperti janin.
Dia hendak memejamkan mata lagi, saat tiba-tiba terdengar suara ketukan keras dari arah pintu depan.
“Miss Duncan, buka pintunya. Kami ada perlu!” teriak suara pria di luar sana dengan nada sarat ancaman.
Seketika kelopak mata Camellia membuka kembali, dan dengan perasaan takut, dia pun melirik ke arah koridor penghubung dapur dan ruang tengah.
Saat itulah rasa dingin tidak ada apa-apanya dibanding ketakutan yang perlahan menyelimuti. Dimulai dari ujung kaki hingga menjalar ke ulu hati serta membuat bulu roma berdiri.
Langkah Camellia terdengar ragu-ragu saat mendekati pintu. Namun, dia pernah merasakan hal seperti ini saat di awal-awal kebangkrutan sang Ayah.Ketika itu, banyak debt collector mendatangi rumah mereka, dan satu per satu perabotan di sana diangkut paksa. Mulai dari lukisan sampai album foto keluarga. Katanya, bingkai pada foto-foto itu bernilai ribuan dollar.Camellia tahu akan hal itu, sehingga dia tidak bisa berkata apa-apa dan meminta agar setiap lembar foto dikembalikan pada waktunya.Dia juga ingat sangat jelas, ketika semua isi lemari dan guci diambil sampai tidak bersisa. Membuat Camellia kesulitan memilih baju untuk keluar rumah. Karena itulah, tidak lagi ada benda yang bisa dipakai di sana.Jadi, kali ini apa lagi yang mereka minta? Tubuhnya?Menyadari ke mana arah pemikirannya saat ini, Camellia pun menggelengkan kepala. Tidak mungkin dia akan merendahkan diri sampai sejauh itu, sehingga tanpa sadar kesedihannya semakin dalam.Tet
Blake Hagen. Pria paling ditakuti di seluruh Kota Lancester. Dia menguasai perdagangan dan beberapa hal yang diisukan sebagai transaksi ilegal. Bahkan, gadis sepolos Camellia pernah mendengar legenda yang menceritakan bagaimana pria itu bekerja di tempat yang tidak seharusnya.Banyak orang yang tidak ingin berseberangan dengan si lelaki pemilik mata obsidian, karena sekali saja membuat Blake Hagen marah, maka kedamaian hanya tinggal angan-angan.Itu sebabnya Camellia tidak mampu membalas tatapan pria itu setelah dia mempelajari nama yang sangat tabu disebut di seantero Kota Lancester. Apa lagi saat ini dia berada dalam radar pria itu yang merupakan berita buruk bagi masa depan Camellia.“Apa kau tidak mau menyambut uluran tanganku?”Pertanyaan pria tersebut mengangkat kepala Camellia seketika. Dan saat itulah dia baru menyadari bahwa sejak tadi Hagen menunggu jabatan tangan darinya, yang tentu saja tidak ingin Camellia lakukan.Akan tet
“Sebut namaku, dengan begitu aku akan melepasmu,” bisik Hagen yang sengaja menyentuhkan pucuk hidung mereka, membuat Camellia menahan napas untuk sementara.Hal itu membuat dada Camellia naik turun. Dalam sekejab paru-parunya meminta asupan oksigen dengan cepat. Berdekatan dengan pria itu membuatnya sesak.Dengan gelisah, ujung lidah Camellia menyapu bibir ranumnya yang sedikit merekah seperti kelopak bunga, yang tanpa gadis itu sadari mengundang perhatian Hagen seketika.Begitu dia tahu akan kesalahannya, Camellia pun mengatup bibir dan menggigit pelan mulut bagian dalamnya sembari mengutuk diri dalam hati.Tidak tahan akan godaan gadis di hadapannya yang bertingkah sangat polos, Hagen menyentuh bibir Camellia menggunakan ujung ibu jari dengan sengaja, membuat mata gadis itu membulat sebesar purnama, menjadikan napas Camellia tercekat saat itu juga.“Apa sesulit itu menyebut namaku, Princess?” bisik Hagen dengan suara renda
“Ti-tiga pilihan?” tanya Camellia terbata-bata.Mata bulat jernihnya yang berwarna hazel menatap Hagen penuh kebingungan.“Ya, aku memberikan tiga pilihan yang dapat melunasi seluruh hutang keluargamu,” jelas Hagen dengan kedua jempolnya yang mengelus halus permukaan wajah gadis itu.“Apa yang … kau mau?”Senyuman Hagen semakin lebar, namun tatapan lembutnya yang tadi digantikan dengan suatu pandangan … vulgar. Seketika mengetuk hati Camellia dengan kerasnya, membuat dia lupa caranya bernapas untuk sesaat.Gadis itu pun memegangi pergelangan tangan Hagen, bermaksud menepis sentuhan pria itu pada tubuhnya, namun Camellia tidak mampu menghalau tangan pria itu walaupun hanya seinci. Menjadikan Camellia frustrasi yang jelas tergambar dari ekspresi wajahnya.Hal itu memudahkan Hagen untuk membaca setiap perubahan emosi Camellia, layaknya lembaran buku yang sedang pria itu baca.Masih dengan
Langkah Camellia yang menaiki tangga tampak terseok. Pandangan matanya yang menatap lurus ke depan terlihat kosong. Kini, kepalanya dipenuhi oleh perkataan-perkataan Hagen, yang terus membayangi di sepanjang jalan menuju kamar.“Tidur setahun dengannya, katanya,” gumam Camellia yang seketika menghentikan langkah. Satu tangannya yang memegang anak tangga mengepal erat. “Aku tidak akan tidur denganmu! Kau pria brengsek!”Sekuat tenaga Camellia berteriak, hingga tubunya setengah membungkuk.“Siapa kau yang berani-berani merendahkanku!”Dia memukul keras pegangan tangga di bawah tangannya sampai telapaknya mati rasa.“Dasar kau @$%^&@ dan juga @#4$%#& kuharap juniormu %$#@^& dan ****** Mati saja kau @#%^&.” Gadis itu pun terus memaki tanpa jeda dengan kata-kata sangat vulgar dan penuh warna, yang kebetulan saja dia dengar dari pekerja kebun serta para pelayan ketika rumah itu masih berada
Pena di tangan Camellia melingkari setiap daftar tempat yang sedang mencari karyawan. Sebagian dia coret dengan tambahan catatan kapan akan memasukkan lamaran di sana.Beberapa waktu lalu, dia bahkan melamar secara online ke beberapa perusahaan yang hanya membutuhkan ijazah SMA, tapi semuanya memberikan jawaban serupa.‘Maaf kan kami, Miss Duncan, tetapi anda tidak sesuai kualifikasi yang kami cari.’Anehnya, semua perusahaan itu menuliskan hal yang sama. Seolah-olah ada seseorang yang mendikte mereka. Dan satu-satunya pelaku yang dia curigai adalah Blake Hagen.“Dasar bajingan,” umpat Camellia seraya melempar pena ke dinding hingga tutupnya pecah.Dia melipat kaki di bawah tubuh dan memeluknya erat sembari membenamkan kepala.Sekuat tenaga gadis itu menahan isak tangis, hingga merasa sesak di dada.“Hhhh …,” desahnya, menarik napas keras dengan rasa putus asa. “Apa yang harus kulakukan
Langkah kaki Camellia saat melintasi trotoar tampak lesu. Gadis itu bahkan menggunakan tas selempang di atas kepala untuk menghalau terik matahari yang perlahan meninggi.Dan dengan menahan rasa lapar, Camellia pun mempercepat langkah.Beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang, karena dia merasa seakan sedang diikuti, tapi tetap saja tidak ada siapa-siapa di sana.“Tenanglah, Camellia. Itu hanya imajinasimu saja,” bisiknya sembari terus berjalan.Saat mendekati sebuah restaurant kecil, langkah Camellia terhenti. Wajahnya sedikit berbinar begitu mendapati iklan lowongan pekerjaan yang ditaruh tepat di depan jendela kaca.Gadis itu melirik sebentar lowongan tersebut, sebelum akhirnya dia masuk ke dalam dan berpapasan dengan salah satu pelayan wanita yang memiliki usia tidak jauh dengannya.“Hay, bolehkah aku berbicara dengan manajermu?” tanya Camellia secara tiba-tiba yang menyebabkan wanita pelayan itu menatapnya dua
Tangan Hagen sedikit meregang begitu dia merasakan perlawanan Camellia melemah. Pria itu pun melepas lilitan lengan kekarnya dari tubuh gadis itu.Perlahan-lahan, dia pun mundur. Namun, tatapannya tidak sedikit pun lepas dari Camellia.“Kau benar-benar laki-laki yang tidak punya perasaan,” umpat gadis itu dengan tatapan berapi-api.Mata Hagen yang tadinya memandang biasa, berubah menjadi sedikit lebih tajam.“Ah, Princess, aku bahkan tidak mengatakan sesuatu yang dapat melukaimu,” ucapnya dengan senyuman miring.Ketika Camellia hendak mengatakan umpatan, tiba-tiba saja dia mendengar suara kriuk yang berasal dari perutnya sendiri. Hal itu membuat keduanya terdiam.