Share

BAB 3 I Pria Asing Di Depan Pintu

Langkah Camellia terdengar ragu-ragu saat mendekati pintu. Namun, dia pernah merasakan hal seperti ini saat di awal-awal kebangkrutan sang Ayah.

Ketika itu, banyak debt collector mendatangi rumah mereka, dan satu per satu perabotan di sana diangkut paksa. Mulai dari lukisan sampai album foto keluarga. Katanya, bingkai pada foto-foto itu bernilai ribuan dollar.

Camellia tahu akan hal itu, sehingga dia tidak bisa berkata apa-apa dan meminta agar setiap lembar foto dikembalikan pada waktunya.

Dia juga ingat sangat jelas, ketika semua isi lemari dan guci diambil sampai tidak bersisa. Membuat Camellia kesulitan memilih baju untuk keluar rumah. Karena itulah, tidak lagi ada benda yang bisa dipakai di sana.

Jadi, kali ini apa lagi yang mereka minta? Tubuhnya?

Menyadari ke mana arah pemikirannya saat ini, Camellia pun menggelengkan kepala. Tidak mungkin dia akan merendahkan diri sampai sejauh itu, sehingga tanpa sadar kesedihannya semakin dalam.

Tetapi, dengan cepat dia menata ekspresi kembali, dan berpura-pura menyambut tamu-tamunya dengan ramah. Dan bila paparazzi yang ada di luar sana, Camellia akan menutup pintu tepat di depan wajah mereka saat itu juga.

Namun, saat pintu di hadapannya terbuka, dia mendapati tiga orang laki-laki berjas hitam berdiri tepat di depannya.

Seketika Camellia mundur selangkah. Tangannya yang memegang gagang pintu bergetar karena konflik batin; antara membantingnya keras atau menunggu pria-pria itu mengatakan maksud kedatangan mereka.

Dia kesulitan menelan saliva, tetapi dengan memberanikan diri gadis muda itu pun bertanya.

“Ada keperluan apa tuan-tuan datang ke sini?”

Mendengar nada suaranya yang sedikit bergetar namun menunjukkan keberanian, salah satu dari pria-pria itu tersenyum miring. Saat itulah, perhatian Camellia teralihkan pada sosok berparas rupawan yang menyilaukan mata di hadapannya.

Untuk sesaat, dia nyaris lupa caranya menarik napas. Terutama ketika mata keduanya saling beradu dan mengunci beberapa waktu. Tanpa malu, Camellia mengobservasi setiap lekuk wajah maskulin pria itu yang tampak indah dibingkai oleh rambut hitam segelap malam.

Bahkan, untuk ukuran laki-laki berekspresi dingin seperti dia, memiliki hidung yang tinggi, bibir yang tegas, alis hitam tebal dengan bulu mata lentik nan panjang rasanya seperti dosa besar.

Tidak mungkin Tuhan menciptakan sosok pria berparas sesempurna itu. Dan lihatlah, tatapan setajam elang yang berasal dari manik mata sehitam obsidiannya, mampu menggetarkan hati wanita mana saja yang sempat berpapasan pandang.

Tidak hanya itu, bahunya yang tinggi dipadukan postur tubuh proporsional dengan cetakan otot yang terlihat jelas dari balutan jas di tubuhnya, memberikan kesan bahwa dia adalah boss dari dua pria di sana.

“Apa sudah puas memandangiku, Miss?”

Mendengar suara maskulinnya yang dalam, namun terkesan dingin, membuat Camellia terpaku.

Terutama, ketika mata obsidian itu balas menatap ke arahnya.

Tanpa gadis itu sadari, wajah putihnya pun bersemu. Dan dengan cepat dia mengerjabkan kelopak mata untuk mengusir bayangan pria itu.

Seketika kepala Camellia menunduk ke bawah, sengaja menjauhi kontak mata mereka.

Sekarang, bukan saatnya mengagumi paras tampan yang berdiri di depan rumah.

Untuk menutupi kegugupan, Camellia pun berdehem pelan yang tanpa diduga membuat rambut panjang keemasannya membentuk tirai di depan wajah.

“Aku tidak sedang melihat sesuatu,” gumamnya, nyaris seperti sebuah bisikan yang membuat ketiga pria di sana tanpa sadar mencondongkan tubuh ke depan, hanya untuk mendengar apa yang baru saja Camellia katakan.

Setelahnya, suasana di antara mereka berubah hening. Akan tetapi, tekanan dari aura yang pria-pria itu bawa membuat tubuhnya menggigil kembali.

Dan ternyata, semua gerakan halus pada tubuh Camellia tidaklah luput dari pandangan si pria bermata obsidian.

“Kami tidak memiliki banyak waktu, Miss Duncan,” kata pria berwajah keras yang berdiri tepat di sebelah kanan pria itu. “Ada sesuatu yang ingin dibicarakan denganmu.”

Seketika tubuh Camellia menjadi tegang. Batinnya menjeritkan; inilah bagian terburuk yang akan datang.

Karena biasanya, orang-orang yang bertamu ke sana akan membicarakan hal yang sama; uang dan tenggat waktu membayar hutang.

“A-apa keperluan kalian datang ke sini?” tanyanya terbata dengan tangan meremas gagang pintu, sedang satunya berpegangan pada celana tidur.

Sengaja Camellia tidak mempersilahkan pria-pria itu masuk ke rumah, karena dengan begitu dia bisa langsung menutup pintu dan menguncinya bila ternyata kedatangan mereka untuk menyakiti di saat tidak ada siapapun selain dirinya.

Akhirnya, pria berambut brunet yang sejak tadi diam di sebelah kiri si pria bermata obsidian pun menjawab.

“Di mana sopan santunmu saat menerima tamu?” ucapnya tajam, tanpa berbasa-basi dan jelas sekali tidak senang dibiarkan di luar sejak tadi. “Kau tidak mempersilahkan kami masuk ke dalam untuk membicarakan ini dengan sikap ramah tamah.”

Tangan Camellia yang sejak tadi memegang gagang pintu pun mengerat, akan tetapi dia mencoba untuk memasang senyuman walau sekadarnya pada tiga pria-pria itu.

“Oh, maaf kan aku. Tapi …,” jedanya sembari melirik ke dalam.

Seketika tiga pasang mata mengikuti arah pandang Camellia, dan saat itulah mereka menyadari maksud tatapan barusan.

“Ah … kursi,” ucap pria berambut brunett.

Kepala Camellia mengangguk pelan, dan berharap pria-pria itu tidak menginjakkan kaki mereka lebih dari ini. Namun ternyata, si pria bermata obsidian memiliki pemikiran berbeda. Dia malah mendekat hingga pucuk hidung mereka nyaris bersentuh yang seketika membuat mata Camellia membulat sempurna.

Ketika gadis itu hendak mundur selangkah, tiba-tiba saja dia nyaris terjatuh, tapi dengan cepat lengan kekar pria di depannya itu menangkap pinggangnya dan menarik tubuh Camellia ke dalam dekapannya.

Hal ini menjadikan jantung gadis muda itu berpacu. Selama ini, dia tidak pernah berada sangat dekat dengan pria mana saja, sehingga tangannya menepis lengan pria itu dan dia pun menghindari kontak fisik mereka.

Kini, keduanya berdiri berjauhan.

Melihat apa yang Camellia coba lakukan, sudut bibir pria itu pun berkedut hingga membentuk senyuman setengah lingkaran yang segera lenyap saat Camellia berkedip dua kali.

“Frank,” panggil pria yang mendebarkan jantung gadis itu.

Namun, matanya yang menghanyutkan tampak terpaku pada wanita di hadapan. Sehingga Camellia pun memilih mundur beberapa langkah.

“Yes, Sir,” jawab pria yang tadi berdiri di sisi kiri.

Camellia mengukir wajah pria bernama Frank tersebut untuk katalog memorinya di masa depan. Dan sangat hati-hati dia mengobservasi mereka lagi.

“Berikan kertas yang tadi kau bawa, kemudian tunggulah di dalam mobil sampai pembicaraan ini selesai,” perintahnya yang langsung dikerjakan dua pria tersebut.

Selama mengatakan itu, tidak sedikit pun mata obsidian pria di depan Camellia beralih dari wajah feminimnya, membuat dia gugup dan gelisah hingga tanpa sadar menggigit bibir bagian bawah sembari memainkan hem baju yang dipakai malam tadi.

Dan tentu saja, mata pria itu beralih ke bibir ranumnya dengan tatapan terang-terangan, sehingga dia pun melepas gigitan tersebut yang untuk beberapa waktu membuat manik obsidiannya berkilat … kecewa?

Tidak lama kemudian, setumpuk dokumen disodorkan pada pria itu, yang disambut tanpa sekali pun memalingkan mata dari Camellia, sehingga gadis itu menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Setelahnya, langkah kaki kedua pria itu semakin lama terdengar sayup-sayup menjauh. Menandakan hanya dia dan si pria bermata obsidian yang tersisa di ruangan tanpa sofa.

Menyadari kekuarangan rumahnya saat ini, Camellia pun berdehem pelan.

“Tidak ada tempat untuk duduk. Kau bisa menyampaikan urusanmu sekarang,” ucapnya dengan nada malu.

Tapi, pria itu seakan tidak peduli. Karena dia langsung menyodorkan dokumen di tangan dan memberikannya pada Camellia.

“Urusan ini tidak butuh meja dan kursi,” balasnya, masih dengan kertas yang menggantung di antara mereka. “Baca dan pelajari,” ucap pria itu, terdengar datar dengan ekspresi yang membuat Camellia menelan saliva kembali.

Tangan gadis itu terulur seketika, dan di saat kulit mereka saling bersentuh, Camellia merasakan sebuah sengatan listrik yang mengalir di antara keduanya. Hingga membuat dia menahan napas dengan mata membulat ke arah pria di hadapan.

Sayangnya, dia tidak menemukan ekspresi serupa pada wajah pria tersebut.

‘Apa dia tidak merasakan yang barusan?’ batin Camellia dengan lengan sedikit bergetar.

Begitu dokumen tersebut berpindah tangan, dia pun membaca isinya sekilas. Dan saat itulah, Camellia tahu bahwa dia berada dalam masalah serius. Karena pria yang kini berdiri di tengah-tengah ruangan kosong rumahnya adalah sosok yang selama ini tidak Camellia inginkan kehadirannya.

Menyadari ekspresi ketakutan di wajah gadis itu, si pria bermata obsidian pun tersenyum sumbang dengan sebelah alis naik ke dahi.

Sementara itu, tangannya pun terulur ke depan.

“Oh, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku, Blake Hagen.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status