Di sisi lain kota, Keiran berada di tengah neraka terbuka.
Kematian anak buahnya telah membuka kotak pandora yang seharusnya terkunci rapat. Perundingan dengan kelompok lawan runtuh—berganti menjadi ledakan peluru dan jeritan.Peluru beterbangan, menghantam dinding, memantul di lantai beton. Suara senjata memekakkan telinga, bercampur dengan teriakan perintah dan rintihan orang yang tumbang.
Keiran bersembunyi di balik tembok yang mulai hancur ditembus timah panas. Napasnya terengah, keringat mengalir di pelipis. Ia mengisi ulang senjata dengan sigap, seperti sudah terbiasa melakukan itu, Keiran menutup matanya sedetik, menjaga dirinya tetap fokus.
Insting dan pengalaman bertahun-tahun kini jadi satu-satunya yang menjadi pegangan Kieran. Ia tahu, salah satu langkah berarti mati—bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk orang-orangnya.
Ponselnya terus bergetar di saku jaket, mengganggu konsentrasinya. Tapi ia tak punya waktu.
Setiap detik di sinSementara itu di markas. Semua jaringan Keiran bergerak cepat melacak Robi.Namun, pria itu pintar menghindari. Informasi terakhir yang didapat Fael adalah Robi berhasil melarikan diri ke luar negeri.Fael menatap ponselnya dengan ragu, lalu menekan nomor Kieran.Tak butuh lama sampai Kieran mengangkatnya “Berikan laporan, Fael.”"Dia sudah di luar perbatasan, Keiran," lapor Fael, suaranya tegas langsung kesumbernya. "Melarikan diri menggunakan jalur ilegal."Keiran menggeram, kepalanya menoleh ke arah jendela. Robi telah lolos, untuk saat ini.“Lanjutkan.”"Ada sesuatu yang aneh, Keiran," lanjut Fael, nadanya ragu. "Saat melacak jejaknya, kami menemukan sesuatu. Robi tidak hanya melarikan diri dengan membawa aset-asetnya, tapi juga... dia membawa serta identitas Bianca."Mata Keiran melebar. "Identitas Bianca? Maksudmu apa?""Kami menemukan salinan data pribadi Bianca," jelas Fael. "Kartu identitas, paspor, bahkan
Sebuah pesan kembali masuk ke dalam ponsel Kieran. Pria itu segera membukanya. Matanya membulat ketika melihat foto Bianca yang babak belur, darah Keiran mendidih. Ia sudah tidak bisa berpikir jernih, Kieran sudah mencapai batasnya. Ini semua terlalu berlebihan untuk Kieran. Ia seperti singa yang terluka, mengaum dalam frustrasi. Informasi tentang lokasi terakhir Bianca diculik yang kosong sudah cukup membuatnya gila, kini foto ini adalah pemicu terakhir.Di tengah kegilaannya, Fael baru menyusulnya, wajahnya menunjukkan tanda-tanda kelelahan namun matanya tajam. "Keiran," panggil Fael, mencoba menenangkan pria itu. "Kami punya sesuatu. Ada aktivitas mencurigakan di sebuah gudang tua di daerah ujung kota pagi ini. Sinyal ponsel Robi sempat terdeteksi di sana, sebelum menghilang lagi." Fael menunjukkan koordinat pada tabletnya. "Ini bisa jadi tempat di mana Bianca disekap."Mata Keiran menyala. Ada harapan, meskipun kecil. Ia menatap Fael, napasnya terengah. "Kalau begi
Keiran mondar-mandir di markas yang biasanya tenang kini begitu tegang hanya karena sebuah video, tim Keiran bekerja sangat keras. Lokasi tempat video itu dikirim akhirnya terlacak, namun Robi sudah bergerak. Setiap detik terasa seperti siksaan bagi Keiran. Ia melihat video itu berulang kali, setiap rintihan Bianca menusuk jiwanya. Keiran tidak tidur, tidak makan. Wajahnya dipenuhi bayangan gelap, matanya merah karena kurang istirahat. Ini sudah hampir 24 jam setelah hilangnya Bianca. “Kalian lihat semua detail kecil dari video itu.” Ia memberikan perintah sambil berkacak pinggang. Keiran menatap layar yang terpampang di hadapannya lalu ke Fael dan beberapa anak buahnya yang bersiap “Aku tidak mau tahu, Robi harus segera ditemukan. Entah itu dengan cara legal atau ilegal.” Ia maju lalu melipat kedua tangannya di depan dada. “Kita sudah kalah satu langkah, jangan sampai meleset lagi.” “Baik, boss.” Jawab anak buahnya serentak. Obsesinya pada Bianca telah mencapai puncaknya, beruba
Di sisi lain, ada seorang gadis tak sadarkan diri di atas kursi yang terasa begitu dingin. Namun, sedetik kemudian Bianca tersentak, kesadarannya kembali.Kepalanya terasa pening, dan ia merasakan ikatan di tangan, kaki, dan mulutnya. Matanya perlahan terbuka, namun hanya kegelapan yang menyambutnya. Ia mencoba mencari cahaya, tidak ada sedikit pun celah, nihil.Hidungnya mengendus, tercium aroma yang pengap, dingin, dan menusuk, Bianca benar-benar tak suka hal itu.Rasa panik mulai merayapi dirinya, namun ia berusaha keras untuk mengendalikan diri, mengingat tekadnya untuk tidak menyerah.Tak lama kemudian, sebuah cahaya mulai ia dapatkan, menerangi sebagian kecil ruangan. Cahaya itu berasal dari sebuah senter yang dipegang oleh seseorang. Ketika senter itu bergoyang, Bianca langsung mengenali siapa yang menyorot wajahnya. Dan orang itu adalah Robi. Wajahnya menyeringai dalam kegelapan, matanya berkilat jahat."Sudah bangun, Nona Desainer?" sapa R
Mobil Keiran seperti meraung di jalanan, amarah membakar setiap sel tubuhnya. Van hitam itu melesat di depannya, sesekali menyalip kendaraan lain dengan berbahaya. Keiran tak peduli, ia terus mengejar, hanya fokus pada satu tujuan: Bianca.Tiba-tiba, van itu mengambil belokan tajam di sebuah persimpangan. Sebuah truk besar melaju dari arah berlawanan, terlalu cepat untuk menghindari. Dalam sepersekian detik yang mengerikan, mobil van itu menabrak truk itu, dentuman itu membuat ngeri.Suara benturan logam yang memekakkan telinga memenuhi udara. Van hitam itu terangkat, oleng di udara, lalu berguling beberapa kali di jalan raya, berhenti dalam posisi miring dengan asap mengepul dari bagian depan.Keiran mengerem mendadak, mobilnya berdecit keras. Kakinya sampai terjerembab di dalam pedal rem. Ia segera keluar dari mobil, berlari menuju van yang hancur itu, jantungnya berdebar kencang. Ia mengabaikan suara sirene ambulans yang mulai mendekat.Kaca-kaca pecah
Akhirnya, Robi tahu ia tidak bisa memenangkan pertarungan ini dengan argumen atau negosiasi. Ia harus menggunakan kartu terakhirnya.Sebelum pergi, Robi melangkah mendekat ke arah Keiran, seringainya melebar. "Kau mungkin mengira sudah menang, Tuan Keiran," bisik Robi, matanya penuh ejekan. "Tapi kau punya titik lemah, bukan? Seorang desainer cantik dengan lengan yang baru sembuh."Tubuh Keiran berdegik, ketegangan di seluruh sarafnya menjalar hingga membuatnya menggeram.Robi mencondongkan tubuhnya makin dekat dengan Kieran, suaranya menjadi ancaman. "Aku dengar dia sangat keras kepala. Terkadang, orang keras kepala butuh pelajaran.” Robi menghela napasnya lagi. “Mungkin lain kali, aku akan coba 'mengembangkan' bakat desainnya di tempat yang lebih... terpencil. Dan mungkin tangannya akan jauh lebih parah daripada sekadar bekas jahitan."Kata-kata itu menghantam Keiran seperti palu godam. Jantungnya berdebar tak karuan. Robi telah berani menyebut Bianca, mengancamnya wanita itu di dep