Mobil Daniel sampai di pelataran Mansion, dia langsung turun dan bergegas masuk. "Di mana? Di mana Dean?" Jenna yang menyambutnya segera mengambil tas dan jas kerja Daniel. "Di kamar Nona Molly."Daniel melonggarkan dasi, membuka beberapa kancing kemejanya. "Sudah panggil dokter?""Belum, Nona Molly bilang mau menunggu Tuan pulang.""Apa yang dia lakukan? Apa kau mengawasinya?" Mereka masuk ke dalam lift."Tidak ada yang aneh, Tuan. Nona Molly bersikap seperti biasa, dia merawat Tuan Muda dengan sangat baik."Itulah yang membuat Daniel dilema, jika Molly ceroboh atau tak menyayangi Dean, dia bisa mengambil keputusan mudah dengan menendang wanita itu dari rumahnya."Kau boleh pergi!"Jenna segera undur diri setelah lift terbuka, Daniel berjalan ke kamar Molly. Saat pintu dibuka, Molly langsung berdiri menyambutnya. "Daniel, akhirnya kau datang juga.""Bagaimana dengan Dean?" Daniel mendekati ranjang, di mana Dean dibaringkan miring, memeluk bonekanya dan tertidur pulas."Dean sudah m
Ivy secepat kilat menutup pintu. Dia tak ingin melihat Nicolas. "Ivy!" panggil Nicolas, pria itu menggedor jendela kamar resort Ivy sekuat tenaga. Sayangnya, Ivy tidak mau membukanya. Dia bersandar dibalik jendela dengan hati dilema."Iv! Aku tahu aku salah, tapi please. Bisa tidak kita bicara sebentar saja. Aku ingin meluruskan banyak hal denganmu. Oh, kau tak tahu betapa senangnya aku bisa melihatmu lagi! Ivy, aku merindukanmu, siang dan malam. Ivy!"Pria itu tak mengenal kata menyerah, terus mengetuk sampai Ivy tak sanggup lagi. Wanita cantik itu akhirnya membuka jendelanya. "Oh, Ivy! Syukurlah." Senyumnya masih sama seperti yang terakhir Ivy ingat. Nicolas tampak canggung, ia bersandar pada kusen jendela, menatap ke dalam kamar. "Kau ... sendirian?"Ivy mengangguk. "Kalau ingin bicara di sini saja. Aku tak bisa mengundangmu masuk ke dalam kamar."Nicolas mengangguk mengerti. "Aku tahu, ayah sering menyebut namamu.""Please, Nic. Jangan membawa ayahmu dalam masalah kita. Aku sud
Daniel bereaksi cepat, menghantam pecahan keramik dari tangan Molly. "Kau gila!" hardiknya marah. Benda itu jatuh dengan suara keras menghantam lantai.Ivy terkesiap, tak menyangka jika Molly akan bertindak segila itu. Molly terduduk menangis, menutupi wajah dengan kedua tangannya. "Iv, aku tak punya siapa-siapa lagi. Aku hanya punya kamu. Kalau kamu masih nolak aku, aku ga tahu harus ke mana lagi."Hati Ivy yang lembut merasa tak tega, persahabatan mereka memang sudah sangat lama. Apa dia harus mengorbankannya demi seorang lelaki? Ivy meraih bahu Molly, menariknya ke dalam pelukan erat. "Jangan nangis lagi. Aku maafin kamu, tapi Molly, hubungan kita tak akan pernah sama lagi." Mata Ivy menyipit tajam, menyembunyikan kelesah di hatinya.Setelah semua kekacauan dan perbincangan selesai. Molly keluar dari kamar Ivy dengan senyum terkembang lebar. Dia bertindak seperti nyonya sewaktu bertemu dengan pelayan. "Bawakan teh dan kue di kulkas yang kotak kuning ke kamarku."Si pelayan mengan
Tok! Tok!Kamar Ivy diketuk, Molly menunggu beberapa saat. Tak ada jawaban di baliknya, dia berbalik, menatap Daniel dilema."Ketuk lagi!" perintah Daniel. "Ketuk sampai tanganmu berdarah, dan mohon pengampunan Ivy."Molly menggigit bibirnya, berusaha meredam emosinya. Dia harus bermain cantik jika ingin mendapatkan Daniel."Iv, ini Molly. Boleh aku masuk?" Molly kembali mengetuk pintu.Masih nihil, Ivy di dalam sana bukannya tak mendengar panggilan Molly, hanya saja ... wanita malang itu sedang tenggelam ke dalam duka lara. Dia menutup kedua telinga dan memejamkan matanya kuat-kuat."Iv! Aku akan terus mengetuk sampai kamu membuka pintu. Sampai kulitku lecet atau kulitku lebam. Please, Iv. Setidaknya ... ingat persahabatan kita." Suara Molly terdengar sedih, membuat hati Ivy bergetar."Iv! Please! Aku tahu aku salah. Aku hanya ingin meluruskan sesuatu. Kau mungkin tak ingin mendengarkan penjelasanku, tapi tolong ... jangan menyakiti dirimu sendiri seperti ini." Ivy menggertakkan gig
Langkah Daniel menggema di lorong panjang Mansion Forrester, seperti dentang palu yang menghantam logam panas. Sepatu kulitnya mengentak lantai marmer dengan ritme tajam dan mantap, menggambarkan badai yang bergemuruh di dadanya. Sorot matanya tajam, dingin, dan tak bisa ditebak, seperti binatang buas yang telah kehilangan kendali.Tangan kanannya mengepal begitu keras hingga buku jarinya memutih, pembuluh darah mencuat dari bawah kulit. Napasnya berat, tertahan di dada seperti bara yang siap meledak. Aura panas seolah memancar dari tubuhnya, membuat pelayan yang melihatnya di ujung lorong segera menunduk dan menyingkir tanpa sepatah kata pun.Saat tiba di depan kamar Molly, Daniel berhenti. Beberapa detik ia hanya berdiri, dadanya naik turun, bahunya berguncang perlahan menahan amarah. Mata hijau zamrudnya menusuk pintu kayu itu seolah bisa menembusnya. Tanpa mengetuk, ia memutar kenop dengan sentakan kasar, lalu mendorong pintu hingga terbuka lebar dengan suara keras yang memekakkan
Pagi menjelang. Udara masih dingin saat Ivy menyelinap keluar dari kamar, napasnya tercekat tiap kali suara pintu menutup atau terbuka dari ruangan lain. Ia menuju ruang kerja kecil di lantai dua—tempat ia menyembunyikan monitor pemantau yang terhubung ke kamera tersembunyi di lorong dan kamar basement.Tangan Ivy gemetar saat memutar ulang rekaman malam sebelumnya.Awalnya tak ada yang mencurigakan. Lorong sepi, tapi sekitar pukul 10:30 malam, bayangan Molly muncul di layar. Wanita itu berjalan perlahan … dengan gaun tidur milik Ivy. Rambut dikeriting ujungnya mirip gaya Ivy.Ivy nyaris menahan napas. Ia menutup mulutnya. Dadanya sakit. Di layar, ia melihat Molly masuk ke dalam kamar. Ivy memindahkan layar ke kamera di dalam kamar.Ia mendengar Daniel menyapa. "Ivy ...."Molly memeluk Daniel, kedua tangan Daniel merengkuh punggung, lalu turun ke bokong wanita itu.Keduanya berciuman sangat mesra, sampai menimbulkan suara menjijikkan di tengah keheningan.Tangan Ivy bergetar saat meng