Untungnya, Poppy bisa mengendalikan diri!
Sudah dua jam, perempuan itu memijat Ezra.Hal itu jelas membuat kakinya pegal dan kesemutan.Ia pun menggerakan kepala ke kiri dan ke kanan sambil memegang tengkuk untuk meregangkan lehernya yang sekarang terasa pegal. Hanya saja, Ezra yang merasa tak ada pijatan pun menghentikan gerakan jarinya di atas papan ketik.“Apa yang kau lakukan? Lanjutkan,” perintah Ezra dengan dingin.Buru-buru wanita itu kembali memijat pundak Ezra.“Aku tidak merasakan apa pun dari pijatanmu. Sebenarnya kau bisa melakukannya atau tidak?”“Maaf, Pak. Jika diizinkan saya ingin minum,” ujar Poppy mencoba menawar.“Tidak ada, aku saja tidak minum sejak tadi.”Poppy hanya bisa pasrah melakukan perintah Ezra. Wanita itu beberapa kali melihat jam pada monitor yang ada di depannya. Ia kembali mendesah karena jam pulang kantor sudah satu jam berlalu, tetapi Ezra belum menyuruhnya untuk berhenti.“Kau sedang apa? Jangan coba-coba untuk mengintip dan menyabotase proyek yang sedang kukerjakan.” “Saya hanya melihat jam, Pak. Tidak lebih,” jawab Poppy menahan kesal karena Ezra malah memfitnahnya.“Kenapa? Kau ingin pulang?”“Tentu saja! Ini sudah lebih dari satu jam dari bubaran kantor. Harusnya yang saya lakukan sekarang dihitung lembur.”Ezra tersenyum miring mendengar Poppy melawannya. “Tentu saja, aku tidak sekejam itu untuk mempekerjakan karyawan rendahan sepertimu tanpa bayaran.”Harusnya Poppy sakit hati karena Ezra yang menghinanya, tetapi wanita itu memilih untuk mengabaikan dan mengambil keuntungan dari ucapan tersebut. “Jadi ini dihitung lembur, Pak?”“Hemm,” sahut Ezra membenarkan.“Baiklah, jika perhitungannya pasti saya akan lebih bersemangat melakukannya.”Poppy lantas kembali memijat pundak Ezra dengan sungguh-sungguh.Ezra kembali tersenyum miring. “Sebenarnya apa rencanamu? Menjeratku dengan berpura-pura jadi karyawan rajin, hemm?”Gerakan tangan Poppy berhenti. “Bapak bisa berpikir apapun tentang saya, saya tidak peduli.”Jawaban itu jelas tidak memuaskan Ezra. Namun, pria itu memilih untuk tidak bertanya lagi. “Jika itu keinginanmu, maka aku akan mengikuti maumu.”Poppy tidak menyahut dan memilih memijat lagi.Hanya saja, Ezra tiba-tiba memintanya untuk berhenti. “Apa tugas saya untuk hari ini sudah selesai, Pak?” tanya Poppy penuh harap.Dengan tegas, pria itu menggeleng. “Sekarang kau pijat kakiku,” perintah Ezra.Pria itu menarik mundur kursi yang diduduki agar Poppy bisa dengan mudah memijatnya. “Lakukanlah!”“Baik, Pak.”Dengan perasaan enggan, Poppy berjongkok kemudian mulai memijat kaki Ezra.“Berhenti,” perintah Ezra tiba-tiba, “pijatanmu tidak enak. Pulanglah!”Meski sebal, tapi Poppy senang karena akhirnya ia bisa pulang. “Terima kasih, Pak.”“Hemm….”Dehaman Ezra dianggapnya sebagai izin. Poppy lantas pergi dari sana.Koridor sudah sepi karena para karyawan sudah pulang dari dua jam yang lalu.Ia pun tiba di rumah sewa dengan menggunakan bus.“Aah … melelahkan sekali hari ini,” keluh Poppy sambil melepaskan satu per satu kancing kemeja yang dikenakannya. Wanita itu masuk ke kamar mandi kemudian membersihkan diri.Begitu selesai, ia berniat ke dapur.Namun, niatnya urung kala melihat ponselnya menyala.Ada sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal. Pasalnya itu merupakan ponsel baru yang dibelikan Belinda. [ Besok sebelum jam 7 pagi kau harus sudah ada di apartemenku. ]“Ck! Nomor iseng dari mana,” gumamnya memilih mengabaikan.Poppy lantas menyimpan ponselnya, tetapi pesan dari nomor tersebut kembali masuk.Karena penasaran, Poppy kembali membaca isi pesannya.[ Berani mengabaikan perintahku, kau tau akibatnya. ]Mata Poppy melebar ketika menyadari jika kemungkinan itu Ezra.Benar saja, ponselnya tiba-tiba sudah berdering. Begitu diangkat, Ezra sudah menyercanya, “Kenapa lama sekali? Kau tidak lupa jika waktuku sangat berharga bukan?”Poppy langsung menjauhkan ponselnya karena tidak ingin telinganya sakit karena omelan pria itu.“Maaf, Pak, saya kira orang iseng,” ucap Poppy membuat Ezra tidak terima.“Ck! Kau pikir aku tidak memiliki pekerjaan untuk mengganggumu, hemm?”“Tidak, Pak. Em … tapi saya cukup heran karena Anda tiba-tiba menghubungi saya.”“Aku memberimu perintah, kau harus melakukannya.”“Tapi, Pak … perintah yang Anda berikan di luar jam kerja. Jadi saya tidak memiliki kewajiban untuk melakukannya.”Terdengar dengkusan kasar dari seberang sana setelah Poppy selesai bicara.“Jangan banyak membantah jika tidak ingin dipecat! Lagi pula apa kau lupa dengan isi kontrak yang kau tandatangani tadi, hemm? Kau harus melakukan semua perintahku.”Ezra memberikan penekanan saat bicara di ujung kalimat.Mendengarnya, Poppy lantas mendesah karena tidak mampu menolak.Sebelum menandatangani kontrak seharusnya ia tahu konsekuensinya apa.Hanya saja, Poppy tidak berpikir jika Ezra akan melakukan hal berlebihan seperti ini.“Baik, Pak,” ucap perempuan itu pada akhirnya.“Bagus!” cetus Ezra kemudian mematikan teleponnya.Setelah panggilan telepon dimatikan Poppy mendengus sambil menatap layar ponselnya yang mati.Hanya saja, beberapa saat kemudian, ia menyadari sesuatu. “Oh astaga … aku bahkan tidak tau di mana apartemennya. Bagaimana bisa aku ke sana?” keluhnya merutuki kebodohannya.Tidak memiliki pilihan, Poppy terpaksa menghubungi Ezra.Hanya membutuhkan dering ketiga panggilan sudah tersambung.“Sudah kuduga, kau akan mengganggu setelah mengetahui nomor ponselku.” Ezra berkata begitu percaya diri membuat Poppy memutar bola matanya malas.Andai tidak memiliki urusan, tentu saja Poppy tidak sudi untuk menghubungi Ezra terlebih dahulu. “Mohon maaf, Pak, saya melupakan sesuatu.”“Apa?”“Alamat apartemen Anda, saya belum mengetahuinya.”Ezra yang ada di seberang sana tersenyum miring mendengarnya. “Kau tidak perlu berpura-pura, Poppy. Aku tau sebenarnya kau mengetahui di mana aku tinggal sekarang.”“Sungguh, saya tidak mengetahuinya, Pak.”“Mana mungkin! Sebelum terjun untuk mendapatkanku kembali, kau pasti sudah mencari tahu lebih dulu tentangku.”Poppy mengusap wajahnya kasar karena mendapatkan tuduhan tidak berdasar dari Ezra. “Saya benar-benar tidak mengetahuinya, Pak! Jika Anda tidak memberitahu, maka saya tidak akan ke sana.”"Kenapa jadi kau yang mengancam?""Karena itu, beritahu saya alamatnya, Pak," balas Poppy cepat.“Baiklah, anggap saja aku tidak mengetahui rencanamu,” ujarnya kemudian memberitahu alamat apartemen.“Sekali lagi aku ingatkan, jangan terlambat!” Setelah memberikan peringatan, Ezra memutus panggilan secara sepihak.Poppy geleng-geleng menyadari Ezra yang selalu menuduhnya. “Ck! Kenapa kesialan begitu betah tinggal bersamaku?” keluh Poppy.Tiba-tiba, ia membayangkan jika hari-harinya ke depan akan terasa lebih sulit. “Aah … apa aku harus melakukan ritual mandi kembang agar kesialan pergi dariku, ya?"Tidak bisa memutuskan begitu saja, Sesil diam. Sehingga Keenan kembali menocba meyakinkan. "Sesil, aku benar-benar lajang." "Meski begitu, kita bahkan tidak saling mengenal.""Kita bisa belajar mengenal satu sama lain lebih dulu jika begitu." "Lantas jika aku tidak merasa cocok denganmu, bagaimana?" tanya Sesil menatap Keenan dengan tajam."Kita tetap harus menikah."Tentu saja keputusan Keenan membuat Sesil mendengus sebal. "Jika keputusannya sama, untuk apa melakukan pendekatan?"Keenan terkekeh kecil dengan tangan yang mengusap ujung kepada Alice. "Karena aku yakin kau akan merasa cocok denganku." Begitu percaya dirinya Keenan mengatakan itu, sehingga membuat Sesil lagi-lagi mendengus. "Kau terlalu percaya diri!" cetus Sesil."Kau akan merasakannya jika sudah menjalani." "Sayangnya aku tidak mau," ujar Sesil masih teguh dengan pendirian. Mendensah pelan, Keenan menatap Sesil dengan serius. "Sesil, pertimbangkan baik-baik. Ini demi Alice. Lagipula ... apa yang mampu membiay
Kali ini Sesil yang mengerutkan kening. Apa maksudnya Keenan mengatakannya bodoh? "Dari pada bingung, lebih baik kau ikut denganku!" ujar Keenan lantas mengajak Sesil untuk kembali ke restoran tempat ia berkumpul dengan teman-temannya.Tentu dengan tidak semerta-merta Sesil mau ikut. Wanita itu menggeleng lalu berkata, "Untuk apa aku ikut denganmu? Aku bahkan tidak memiliki kepentingan hingga harus mendengarkan penjelasanmu!" Mengusap wajahnya dengan kasar. Tentu Keenan sadar jika ini tidak akan mudah. Terlebih ia dan Sesil yang bahkan hanya berhungan ketika malam itu saja. "Tentu saja kita memiliki kepentingan! Apa kau tidak lihat Alice merindukanku? Merindukan papa kandungannya!" Menggeleng dengan cepat, Sesil menyangkal itu semua. "Tidak, Alice tidak merindukanmu." "Benarkah?" Keenan lantas menoleh ke arah Alice yang sekarang berada dalam gendongannya. "Alice, apa kau tidak merindukan papa?" Tentu Alice yang masih polos tidak mengerti jik mamanya tengah menghindari pria ya
Sesil dan Alice langsung menoleh ketika mendengar nama mereka dipanggil. Keduanya tampak terkejut ketika mengetahui yang memanggil mereka adalah Keenan. Hanya saja mereka memiliki reaksi yang berbeda. Jika Sesil langsung pucat. Sangat bertolak berlakang dengan Alice yang sangat bahagia. Gadis kecil itu bahkan langsung memanggil Keenan sambil melambaikan tangan. "Papa!" Keenan membalas lambaian tangan Alice kemudian berjalan mendekat. Membuat Sesil yang menyadari itu lekas pergi dari sana.Sesil berbalik sambil menarik Alice sedikit kasar karena takut akan kehadiran Keenan yang semakin mendekat. "Alice, ayo kita pergi!""Tidak! Aku ingin bertemu Papa." Alice menahan sekuat tenaga, tetapi tenaganya sangat jauh dari sang mama. Alhasil Alice terseret yang membuat Keenan yang melihat itu tidak terima. Keenan berlari, mempercepat langkahnya untuk mengejar Sesil. Sehingga kakinya yang panjang berhasil menyusul. "Tunggu!" seru Keenan seraya menghadang jalan Sesil sambil merentangkan kedu
Tiba di rumah, Sesil langsung memasukkan semua pakaiannya ke koper. Wanita itu tidak bisa diam saja karena takut jika Keenan akan merebut Alice darinya.Tidak, Sesil tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi! Ia yang mengandung dan melahirkannya. Sesil juga yang merawatnya sampai sekarang. Jadi yang berhak atas Alice adalah dirinya. "Mama, kita mau ke mana?" tanya Alice ketika Sesil selesai mengemasi pakaiannya, dan mengajak Alice untuk pergi. "Kita ke rumah nenek, Alice. Kau tau, Nenek sudah merindukan kita!" Dengan cepat Alice menggeleng. "Tidak! Aku akan tetap tinggal di sini," cetusnya."Alice---" "Papa sudah berjanji akan pulang, jadi aku akan menunggunya!" Sesil mendesah frustasi. Lagi-lagi anaknya itu bersikap keras kepala dalam keadaan genting seperti ini. Sehingga membuat Sesil semakin terpojok. "Kita bisa beritahu papa, biarkan papa menyusul nanti. Hemm?" Sekuat tenaga Sesil menahan dirinya untuk tidak marah kepada Alice. Karena bagaimanapun Alice tidaklah salah.
"Mohon maaf sebelumnya, tapi bisakah Anda tidak mengaku-ngaku sebagai papa dari anak saya?" Sesil menatap Keenan dengan tajam.Sementara Keenan tampak lebih tenang dari sebelum-sebelumnya. Banyak pelajaran yang pria itu ambil dari kejadian beberapa tahun terakhir. Sehingga ia bersikap lebih tenang. "Maafkan saya jika memang perbuatan saya tadi membuatmu tidak nyaman. Saya hanya ingin menyenangkan Alice," ucap Keenan begitu tenang.Sesil mendesah pelan lalu berkata, "Tetapi perbuatan Anda akan membuat Alice menjadi ketergantungan. Alice anak yang kadang keras kepala, jadi saya khawatir jika nanti Alice akan benar-benar menganggap Anda sebagai papanya." "Jika memang demikian ... saya tidak keberatan," ujar Keenan lagi-lagi membuat Sesil merasa pening. Seharusnya Keenan melakukan penolakan. Terlebih bagaimana jika istri dari pria itu salah paham andai melihat Alice yang memanggilnya dengan sebutan papa? Oh, ayolah! Sesil tidak tahu saja jika Keenan sudah menduda selama lima tahun ini
"Pak Keenan," tegur Gigi ketika melihat Keenan yang malah melamun. Sontak hal itu membuat Keenan terperanjat. Sehingga cangkir yang dipegangnya terjatuh. Prang! Pecahan kaca itu berserakan, membuat Keenan refleks menghindar. Pria itu mendesah sambil menunduk, menatap pecahan kaca tersebut dengan datar. “Dokter, tidak apa-apa?” tanya Gigi panik.“Hemm. Tolong panggilkan petugas kebersihan,” ujar Keenan sambil berlalu. Setelahnya Keenan mengembuskan napasnya dengan kasar. Entah kenapa senyum Alice terus menari-nari dalam pikirannya. Hingga dadanya berdebar-debar, seolah merasakan kerinduan yang mendalam. Padahal ia baru sekali bertemu dengan anak gadis itu! Sementara di tempat lain, lebih tepatnya di rumah Sesil. Wanita itu menghempaskan tubuhnya di sofa, lalu memejamkan mata. Pertemuannya dengan Keenan jelas membuat Sesil terganggu. Wanita itu bahkan menjadi teringat dengan malam panas bersama Keenan.“Mama,” panggilan dari Alice lantas menyadarkan Sesil. Buru-buru ia menggele