LOGINDEGH.
Bianca terpaku. Kertas di tangannya bergetar. Huruf-huruf di sana seakan menari, menertawakannya. Gugatan cerai. Pembatalan perjanjian. Semua itu seperti palu yang menghantam kepalanya tanpa ampun. Padahal kedatangannya kali ini untuk merayu pria itu meskipun ia sendiri muak. Bianca ingin supaya David segera mengirimkan sejumlah uang sesuai kesepakatan waktu itu. Uang yang seharusnya sudah diterima sehari setelah pernikahan mereka. Namun nahas, tragedi kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya terjadi dan membuat Bianca semakin terperangkap dalam jerat CEO kejam itu. Tapi sekarang, ia malah akan diceraikan? Apa-apaan ini? Bianca merasa sedang dipermainkan. “A–apa?” suaranya nyaris tak terdengar. David berdiri tegak di hadapannya. Tingginya menjulang, bahunya lebar terbalut kemeja hitam yang rapi. Wajahnya tenang, terlalu tenang untuk situasi sekejam ini. “Kenapa?” David menyahut datar. “Bukankah ini yang kau inginkan?” Ia melipat kedua tangannya di dada. “Ayahmu sudah tiada. Salah satu pihak dalam perjanjian meninggal. Secara hukum, aku berhak membatalkannya.” Bianca menelan ludah. “Dan kau…” David melangkah satu langkah ke depan, matanya menelusuri Bianca sekilas, dingin namun penuh hasrat, “…belum sempat aku apa-apakan. Jadi aku juga berhak membatalkan pernikahan ini.” Kepala Bianca berdenging. Ini seharusnya kabar baik. Ia memang tak pernah menginginkan pernikahan ini. Tapi wajah pucat ibunya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit mendadak terbayang jelas. 'Hanya kamu harapan mama satu-satunya.' Itulah kata-kata yang selalu terngiang dalam benak Bianca. Tangannya mengepal. “T–tunggu,” ucapnya cepat, refleks. “Aku… aku tidak menginginkan perceraian.” Alis David terangkat sedikit. Sinis. “Oh?” Bianca menarik napas dalam-dalam. Dadanya terasa sesak. Harga dirinya menjerit, tapi rasa takut kehilangan segalanya jauh lebih besar. “Kamu tidak bisa membatalkan pernikahan ini begitu saja,” katanya, kali ini lebih tegas meski suaranya bergetar. “Maaf kalau waktu itu aku nggak mau aku sentuh, tapi sekarang—” Belum sempat Bianca menyelesaikan kalimatnya, David memotong dingin. “Murahan juga kau rupanya.” Bianca tersentak. Dadanya bergeremat, hatinya mengumpat. Dengan entengnya pria itu menyebutnya murahan. “Tapi aku tidak mau,” lanjut David datar. “Apalagi sepertinya kau juga sering melakukan hal itu dengan laki-laki lain.” Detik itu juga, Bianca terbelalak. “Eh... jangan sembarangan ya!” serunya spontan. “Aku ini—” Ia menahan diri setengah detik, lalu nyolot, “Aku bukan perempuan sembarangan!” Tatapan David justru makin tajam. Membuat Bianca sadar satu hal yang mengerikan. Jika ia terus begini, David bisa benar-benar mengusirnya. Dan itu berarti perusahaannya tidak bisa diselamatkan. keluarganya dan juga banyak karyawan yang bergantung hidup di sana. Bianca menghela napas, lalu melakukan hal yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia mendongak. Menatap David. Nekat. “Boleh dicoba, Om—eh, Pak—eh…” Bianca mengerjap gugup. “Tuan Dav. Aku masih perawan. Ting-ting.” Begitu kalimat itu meluncur, Bianca ingin menampar dirinya sendiri. Ia membuang pandangannya, antara geli dan muak dengan ucapannya barusan. Ruangan mendadak sunyi. David tidak langsung bereaksi. Ia hanya menatap Bianca. Lalu, bibirnya terangkat sedikit. Senyuman itu tipis, tajam, penuh ejekan. “Oh?” David mendekat setapak. “Kau yakin?” Bianca menelan ludah. “Ya. A–aku nggak bohong.” David terkekeh pelan. Rendah. Menyeramkan. “Kalau begitu,” katanya sambil menyeringai, “buktikan.” Deg. Bianca membeku. “Hah? A–apa?" David memiringkan kepala, tatapannya gelap dan menusuk. “Kau yang menawarkan. Jadi tunjukkan.” Bianca langsung panik. “Eh, tu–tunggu! Bu–bukan gitu maksudku!” katanya tergagap. “Aku cuma, ehm ... aku..." “Kau baru saja menjual dirimu,” potong David dingin. “Sekarang kau mundur? atau jangan-jangan, kau berbohong? Ckk, sudah ku duga, wanita macam kamu, mana mungkin masih ..." Bianca menggelengkan kepalanya cepat, wajahnya pucat. “Aku gak mundur. Aku juga gak berbohong. Aku cuma—” “Cuma apa?” David mendekat lagi. Satu langkah. Lalu satu langkah berikutnya. Bianca reflek mundur, namun punggungnya sudah lebih dulu menabrak sisi meja. Tidak ada lagi ruang. Napasnya tercekat, dadanya naik turun tak beraturan. “Cuma apa?” ulang David rendah. Nada suaranya tenang, terlalu tenang. Tapi justru ketenangan itulah yang membuat Bianca gemetar. “Aku cuma…” Bianca menelan ludah. “Aku cuma belum siap. Tapi aku gak berbohong. Serius deh!" Bianca menunjukkan dua jarinya. Wajahnya meskipun tanpa make up, namun terlihat begitu cantik. Aura bar-bar dan membangkangnya kini ia tutupi dengan memperlihatkan senyuman manis sok imutnya itu. David mengamati wajahnya dari jarak dekat. Terlalu dekat. Bianca bisa mencium aroma maskulin dari tubuh pria itu. Aura dingin dan mengintimidasi. “Alasan klasik,” gumam David. "Wanita yang bahkan hobi menghabiskan waktu di klub malam serta sering berfoya-foya untuk sebuah pesta, mana mungkin bisa dipercaya." Bianca menggeleng cepat. “Aku serius. Aku nggak bohong. Meskipun yang kau sebutkan tadi benar, tapi urusan perawan, Aku berani bersumpah!" “Lalu kenapa kau ragu untuk membuktikan?” tanya David , matanya menyapu wajah Bianca tanpa menyentuh. “Kalau kau memang yakin dengan pengakuanmu, seharusnya kau bisa membuktikannya!" Bianca membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. Tangannya dingin. Jantungnya seperti hendak meloncat keluar. David semakin mendekat. Kini jarak mereka hanya sejengkal. Bianca bisa melihat jelas garis rahangnya, sorot matanya yang gelap, dan senyum tipis yang tak pernah sampai ke mata. “Kau tahu apa yang paling lucu?” ucap David pelan. “Kau datang untuk merayuku, Heum? kau datang karena menginginkan uang itu. Padahal kau begitu menentang pernikahan ini. Kau bahkan membenci orang tuamu karena merasa dijual. Tapi sekarang... lihatlah! Kau datang sendiri seolah menjual dirimu," ucapnya sarkas. “Aku tidak menjual diriku. Aku datang sebagai istrimu," jawabnya tegas. David menyeringai mendengar jawaban itu. Ia kembali melangkah dan berhenti tepat di depannya. Kini mereka hanya berjarak sejengkal saja. Bianca semakin gugup dan panik. Apalagi ketika tangan pria itu terulur. Bukan menyentuh wajah. Melainkan menarik lengan Bianca dengan kuat. “Ah!” Tubuh Bianca tersentak ke depan. Dalam satu tarikan, tubuh mereka menempel. Bianca terkejut setengah mati, kedua telapak tangannya refleks menekan dada David yang keras dan hangat. “Tu–tunggu—” Terlambat. David menunduk. Dan bibir itu mendarat di bibir Bianca. Ciuman itu singkat. Keras. Menyergap. Bukan lembut. Bukan penuh perasaan. Itu ciuman yang membuat dunia Bianca berhenti seketika. Matanya membelalak. Tubuhnya menegang. Otaknya kosong. Detik berikutnya, David sudah menjauh. Secepat itu. Seolah tak terjadi apa-apa. Bianca terhuyung setengah langkah ke belakang, napasnya terengah. Tangannya gemetar saat menyentuh bibirnya sendiri, mencoba memastikan apa yang baru saja terjadi. David menatapnya datar. "Anggap itu jawaban atas keinginanmu yang tidak menginginkan perceraian. Aku akan melanjutkan kerjasama kita. Besok aku sendiri yang akan datang ke perusahaanmu. Tapi..." David menghentikan kalimatnya, lalu menatap wanita yang telah sah menjadi istrinya itu dengan tatapan tajam namun juga buas. Ia seperti singa yang sudah siap untuk menerkam mangsanya. "Ta–tapi apa?" tanya Bianca. Wajahnya sedikit lega karena akhirnya David setuju untuk melanjutkan kerjasama, namun di sisi lain ia juga merasa takut. Firasatnya tidak enak. David menarik sebelah bibirnya ke atas, membentuk senyuman miring yang membuat Bianca makin negative thinking. Detik berikutnya, pria itu mengatakan sesuatu yang sudah Bianca duga. Sesuatu yang harus ia serahkan malam ini juga. "Semua tidak gratis, Nona. Lagipula, bukankah tadi kau yang bilang sendiri supaya aku boleh mencoba? Sekarang... aku ingin merasakannya!" ucap pria itu seraya mengusap bibirnya. *** Bersambung ...Tatapan David masih mengunci tubuhnya, seolah pria itu tak sekadar ingin melihat, melainkan menghitung, menilai, dan menentukan harga dari setiap napas yang Bianca embuskan. Kalimat barusan masih menggantung di udara, berat dan menekan."Sekarang… aku ingin merasakannya."Bianca makin gugup, namun ia mencoba untuk menegakkan bahunya, meski jantungnya berdegup liar. Ia menolak terlihat lemah. Tidak di hadapan pria seperti David.“Aku istrimu,” ulang Bianca, kali ini dengan suara lebih dingin. “Bukan barang uji coba.”David terkekeh pelan. Satu tangan dimasukkan ke saku celananya, santai, seolah situasi ini hanya permainan papan yang sudah ia menangkan sejak awal. “Istri?” ulangnya datar. “Kau baru mengingat status itu saat kau butuh uang. Kau bahkan tak menginginkan pernikahan ini."Ucapan itu menampar lebih keras daripada sentuhan apa pun.Bianca menggertakkan giginya. Muak. Jijik. Tapi juga… terjebak. Ia membenci fakta bahwa David benar.Di luar ruangan ini, Bianca dikenal sebagai Q
DEGH.Bianca terpaku.Kertas di tangannya bergetar. Huruf-huruf di sana seakan menari, menertawakannya. Gugatan cerai. Pembatalan perjanjian. Semua itu seperti palu yang menghantam kepalanya tanpa ampun. Padahal kedatangannya kali ini untuk merayu pria itu meskipun ia sendiri muak. Bianca ingin supaya David segera mengirimkan sejumlah uang sesuai kesepakatan waktu itu. Uang yang seharusnya sudah diterima sehari setelah pernikahan mereka. Namun nahas, tragedi kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya terjadi dan membuat Bianca semakin terperangkap dalam jerat CEO kejam itu.Tapi sekarang, ia malah akan diceraikan? Apa-apaan ini? Bianca merasa sedang dipermainkan. “A–apa?” suaranya nyaris tak terdengar.David berdiri tegak di hadapannya. Tingginya menjulang, bahunya lebar terbalut kemeja hitam yang rapi. Wajahnya tenang, terlalu tenang untuk situasi sekejam ini.“Kenapa?” David menyahut datar. “Bukankah ini yang kau inginkan?”Ia melipat kedua tangannya di dada. “Ayahmu sudah tiada. Sa
Langit siang itu masih kelabu saat prosesi pemakaman Damian Mahendra mencapai puncaknya. Keluarga besar Bianca pun hadir disana, namun bagi Bianca, semua itu terasa asing. Ia menyadari jika kedatangan mereka bukan benar-benar karena belasungkawa, namun karena bisnis keluarga yang sedang berada di ambang kehancuran. Dan hanya Bianca lah yang bisa menyelamatkan itu semua. Wanita itu tahu, keluarga besarnya bermuka dua. Dan sialnya, ia yang harus menanggung beban ini. Apalagi setelah ini, Ia lah yang akan menjadi penerus perusahaan itu. Proses pemakaman berjalan dengan lancar meskipun diiringi dengan tangisan buaya dari saudara-saudara dari ayahnya itu. "Seharusnya ini tidak terjadi padamu, Damian. Oh Tuhan... sungguh malang nasib adikku," ucap seorang wanita tua berambut kemerahan dengan tangisan histeris. Dia adalah Nyonya Ester, Kakak dari Damian.David Angkasa Bagaskara berdiri tak jauh dari liang lahat, mengenakan setelan hitam tanpa satu pun aksesori berlebihan. Kacamata hitam b
Langit pagi di atas Grand Heaven tampak kelabu, seolah turut berduka atas kepergian seseorang yang begitu berarti untuk Bianca. Seseorang yang menjadi pion penting bagi PT. Maheswari Corp- perusahaan milik keluarga Bianca yang di mana sanak saudara dari Damian berkecimpung di sana. Bangunan pemakaman mewah itu dipenuhi karangan bunga berderet rapi, sebagian besar bertuliskan nama-nama konglomerat, pejabat, hingga jajaran petinggi perusahaan ternama. Aura duka bercampur dengan kemegahan. Di aula utama, peti jenazah mendiang Damian Mahendra terbaring anggun, dikelilingi bunga lili putih dan mawar hitam. Di sisi lain, ruang khusus disiapkan untuk keluarga inti, dijaga ketat oleh pengawal berseragam hitam. Semua tamu berpakaian serba hitam. Direksi Angkasa Group hadir lengkap. Begitu pula jajaran petinggi Maheswari Corp, perusahaan yang kini kehilangan nahkodanya. Bisik-bisik tertahan terdengar di antara mereka, bukan sekadar belasungkawa, melainkan juga hitung-hitungan kepentingan
David menyeringai tipis saat tatapannya menyapu tubuh Bianca yang gemetar. Sorot matanya tajam, liar seperti singa yang akhirnya berhasil menjebak mangsa dan membuatnya tak berdaya.Air mata Bianca mengalir tanpa henti. Tubuhnya menegang, kedua tangannya refleks menutupi diri yang kini terasa begitu terhina.Gadis bar-bar, idola kampus yang hobinya party itu, nyatanya kini tak berdaya di hadapan CEO kejam bernama David Angkasa Bagaskara. Laki-laki yang beberapa jam lalu telah resmi menjadi suaminya.“Jangan…” suaranya pecah. “Please ... Jangan sentuh aku!"David tidak menjawab. Ia justru semakin mendekat, membuat napas Bianca semakin sesak. Jarak di antara mereka kian menyempit, hingga wanita itu bisa merasakan napas pria itu yang hangat di kulitnya.“Menangis pun percuma,” ucap David datar. “Kau sudah sah menjadi istriku.”Bianca menggeleng kuat-kuat. “Itu tidak memberimu hak untuk memperlakukanku seperti ini!”David mendengus kecil, sinis. “Hak?” Ia mencondongkan wajahnya lebih deka
"Om, please jangan apa-apain aku!" Begitulah teriakan Bianca ketika dua pengawal menyeretnya ke kamar megah yang akan menjadi saksi malam pahitnya, bukan malam indah selayaknya malam pengantin."Om?" David mendengus. "Tak bisakah memanggilku Sayang seperti saat kau menyapa para tamuku?" sinisnya.Bianca memalingkan wajahnya. Jika saja ia tidak mendapatkan ancaman dari ibunya selepas pemberkatan tadi, mana mau ia bersandiwara dengan begitu manis di hadapan Tuan Arga dan para tamu asing itu."Tutup dan tinggalkan kami berdua! Ini akan menjadi malam yang panjang dan pastinya ... tak akan bisa dia lupakan seumur hidup," titah David pada dua pengawalnya."Baik, Tuan. Selamat menikmati," ucap salah satu pengawal itu yang membuat Bianca geram.'Sialan, dia pikir aku makanan!'Pintu suite presiden di lantai teratas hotel itu menutup dengan bunyi klik yang terdengar seperti bunyi palu hakim menjatuhkan vonis. Bianca berdiri mematung di dekat pintu, jantungnya berdegup kencang seperti ingin me







