Share

Gugatan

Author: Queen Mylea
last update Last Updated: 2025-12-21 15:24:49

Langit siang itu masih kelabu saat prosesi pemakaman Damian Mahendra mencapai puncaknya. Keluarga besar Bianca pun hadir disana, namun bagi Bianca, semua itu terasa asing. Ia menyadari jika kedatangan mereka bukan benar-benar karena belasungkawa, namun karena bisnis keluarga yang sedang berada di ambang kehancuran. Dan hanya Bianca lah yang bisa menyelamatkan itu semua.

Wanita itu tahu, keluarga besarnya bermuka dua. Dan sialnya, ia yang harus menanggung beban ini. Apalagi setelah ini, Ia lah yang akan menjadi penerus perusahaan itu.

Proses pemakaman berjalan dengan lancar meskipun diiringi dengan tangisan buaya dari saudara-saudara dari ayahnya itu.

"Seharusnya ini tidak terjadi padamu, Damian. Oh Tuhan... sungguh malang nasib adikku," ucap seorang wanita tua berambut kemerahan dengan tangisan histeris. Dia adalah Nyonya Ester, Kakak dari Damian.

David Angkasa Bagaskara berdiri tak jauh dari liang lahat, mengenakan setelan hitam tanpa satu pun aksesori berlebihan. Kacamata hitam bertengger kokoh di wajahnya, menyembunyikan sorot mata elang yang selalu sulit ditebak. Sejak awal hingga akhir prosesi, tak satu kata pun keluar dari bibirnya.

Ia hanya berdiri diam dan tegak. Seolah kematian ayah mertuanya hanyalah satu agenda lain dalam hidup yang penuh jadwal dan kalkulasi.

Bianca berdiri di sampingnya, tubuhnya terasa kosong. Tangannya dingin, jantungnya berdetak tanpa irama. Bahkan saat tanah terakhir ditaburkan, ia tak mampu menangis. Air matanya seakan sudah mengering bersama harapan-harapan yang terkubur hari itu.

David tetap di sana sampai semua selesai. Tidak menenangkan. Tidak pula menggenggam tangannya.

Hari itu juga, seusai pemakaman, Bianca langsung menuju rumah sakit. Ia bahkan tak pamit pada pria yang telah menjadi suaminya itu. Wanita itu bahkan ke rumah sakit diantar oleh temannya.

Keluarganya...?

Entahlah, ia tak peduli? Yang Bianca pikirkan saat ini hanyalah ibunya.

Sungguh miris, tak ada satupun dari saudara ayahnya yang bertanya keadaan ibunya itu? Hal itulah yang membuat Bianca tidak pernah merasa respect pada mereka.

Sesampainya di rumah sakit, Bianca langsung memeluk ibunya yang belum sadarkan diri. Ia menangis lirih, meluapkan perasaan sedih dan terpuruk atas hidupnya yang malang ini. Bianca Cassandra, wanita yang bahkan dijuluki Queen of party itu, kini benar-benar sendiri, ia merasa sedang berada di dalam titik terendah dalam hidupnya.

Ia menghabiskan waktu di sana. Duduk di sisi ranjang ibunya. Menggenggam tangan yang dingin dan rapuh itu seharian penuh. Menatap wajah pucat yang masih terhubung dengan berbagai alat medis.

"Ma, bangunlah! Aku mohon," lirihnya seraya mencium punggung tangan ibunya itu.

---

Dua hari kemudian, keajaiban kecil itu terjadi.

Kelopak mata Nyonya Cintya Laurent bergerak pelan.

Bianca yang tengah tertidur di kursi langsung terbangun saat jemari ibunya bergerak lemah. Napasnya tercekat, air mata mengalir begitu saja ketika mata itu akhirnya terbuka.

“Mama…” suaranya gemetar. “Mama dengar aku?”

Nyonya Cintya tersenyum tipis. Wajahnya tampak sangat rapuh, pucat pasi. Sangat jauh dari kesehariannya yang glamor itu.

Dokter memastikan kondisi vitalnya stabil. Siang itu, Cintya dipindahkan ke ruang rawat inap VIP—semua fasilitas terbaik, semua biaya ditanggung penuh oleh keluarga Bagaskara.

Keesokan sore, saat ruangan mulai sepi, Cintya menggenggam tangan Bianca dengan sisa tenaga yang ia miliki.

“Kamu harus bisa mengambil hati suamimu, Bi,” ucapnya lirih. “Hanya kamu harapan mama satu-satunya. Hanya kamu yang bisa menyelamatkan keluarga kita.”

Bianca terdiam. Dadanya sesak. Kata-kata itu terasa seperti pisau yang kembali menusuk luka yang bahkan belum sempat mengering.

“Kenapa harus peduli pada keluarga besar yang bahkan tidak peduli pada mama? Aku masih bimbang untuk melanjutkan ini semua. Dia kejam, Ma,” sahutnya pelan. “Aku tidak mencintainya.”

Cintya menghela napas panjang. "Terkadang kita memang harus berkorban, Nak. Bagaimanapun sifat keluarga papamu, tapi kita harus membuat nama Papa harum dengan menyelamatkan perusahaan ini."

"Soal David, Kalian baru saja kenal. Masih butuh waktu. Cobalah… mungkin dia tidak sekejam yang orang bilang. Bagaimanapun, dia suami kamu sekarang.”

Ia menatap Bianca penuh harap. “Pulanglah, Bi. Kamu sudah berhari-hari meninggalkannya. Kalian pengantin baru.”

Air mata Bianca kembali jatuh. “Aku takut, Mah.”

“Kamu pasti bisa, Sayang,” balas ibunya lemah. “Tolong… demi mama.”

Bianca terdiam lama. Bibirnya bergetar. “Tapi aku bahkan tidak tahu di mana rumahnya. A–aku…”

Kalimatnya terpotong saat pintu ruang rawat tiba-tiba terbuka.

Dua pria berjas hitam masuk dengan langkah terukur. Salah satunya langsung dikenali Bianca, wajah yang sama dari malam ia mencoba melarikan diri dari pernikahan itu.

“Mohon maaf mengganggu,” ucap pria itu datar. “Saya kemari untuk menjemput Nona Bianca.”

Tak ada empati. Tak ada basa-basi. Seolah Bianca hanyalah objek yang harus diambil dan dibawa.

Wajah Bianca memucat. Namun ibunya menatapnya lembut. “Pergilah, Bi. Mama akan baik-baik saja.”

"Ta–tapi, Ma..."

Bianca ragu, namun ibunya terus membujuk.

Dengan langkah berat, Bianca akhirnya menurut. Ia mencium kening sang ibu sebelum akhirnya mengikuti dua pengawal menyebalkan yang salah satunya pernah Bianca lempar menggunakan high heelsnya yang ujungnya lancip itu.

Mobil melaju membelah kota. Bianca menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya kacau. Namun demi ibunya, apapun akan ia lakukan. Meskipun itu harus bersikap manis, jika harus berpura-pura dan jika harus menelan muak dan rasa takutnya sendiri pada laki-laki kejam dan bengis bernama David itu.

Meski hatinya masih tertinggal pada Rendi. Meski setiap detik terasa seperti pengkhianatan pada dirinya sendiri. Namun ia akan berusaha untuk menyenangkan pria itu demi uang. Walaupun ia harus menyingkirkan rasa bencinya pada laki-laki arogan itu.

Mobil akhirnya berhenti di sebuah kawasan elit.

Gerbang besi besar terbuka perlahan, memperlihatkan sebuah rumah megah bernuansa putih yang lebih pantas disebut istana.

Pilar-pilar tinggi menjulang anggun. Air mancur besar di halaman depan memercikkan air jernih yang berkilau di bawah cahaya sore. Semuanya tampak dingin.

Bianca dibawa masuk. Beberapa pengawal wanita menyambutnya, langsung mengarahkannya ke lantai atas.

“Silahkan menuju kamar utama, Nona," ucap salah satu dari mereka singkat.

Pintu besar terbuka.

Bianca terpana.

Kamar itu luas, didominasi warna putih dan abu-abu. Jendela kaca besar menghadap taman belakang. Aura maskulin dan dingin terasa begitu kuat.

Pintu ditutup kembali oleh dua pelayan itu. Di depan kaca besar, seorang pria berdiri membelakangi.

Jantung Bianca berdegup kencang. Ingatan tentang malam sebelum kecelakaan itu kembali menghantam. Tatapan tajam, nada memerintah, paksaan dan sikapnya yang kasar, membuat tubuhnya gemetar hingga kini.

Bianca berdeham, mencoba mengumpulkan keberanian. “Om… eh, maksudnya—”

Belum selesai. David berbalik, menatapnya tanpa ekspresi.

Suasana hening, menegangkan. Hingga Bianca dibuat terheran saat pria itu tiba-tiba melemparkan selembar kertas ke arah Bianca.

Kertas itu jatuh di lantai, tepat di depan kakinya.

“A–apa ini?” Bianca memungutnya dengan gugup.

Matanya membaca cepat. Surat pernyataan pembatalan perjanjian. Tentang investasi. Tentang pernikahan. Dan tentang rencana gugatan perceraian.

“Itu pembatalan kesepakatan antara aku dan ayahmu,” ucap David dingin. “Ayahmu sudah mati. Dan kau… belum sempat aku apa-apakan. Jadi aku berhak membatalkannya.”

Ia melangkah mendekat. “Aku akan menggugat cerai.”

Degh.

Bianca terhenyak. "A–apa?”

***

Bersambung ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Oh, Ampun Pak CEO!   8. Kesucian yang Terenggut

    Tatapan David masih mengunci tubuhnya, seolah pria itu tak sekadar ingin melihat, melainkan menghitung, menilai, dan menentukan harga dari setiap napas yang Bianca embuskan. Kalimat barusan masih menggantung di udara, berat dan menekan."Sekarang… aku ingin merasakannya."Bianca makin gugup, namun ia mencoba untuk menegakkan bahunya, meski jantungnya berdegup liar. Ia menolak terlihat lemah. Tidak di hadapan pria seperti David.“Aku istrimu,” ulang Bianca, kali ini dengan suara lebih dingin. “Bukan barang uji coba.”David terkekeh pelan. Satu tangan dimasukkan ke saku celananya, santai, seolah situasi ini hanya permainan papan yang sudah ia menangkan sejak awal. “Istri?” ulangnya datar. “Kau baru mengingat status itu saat kau butuh uang. Kau bahkan tak menginginkan pernikahan ini."Ucapan itu menampar lebih keras daripada sentuhan apa pun.Bianca menggertakkan giginya. Muak. Jijik. Tapi juga… terjebak. Ia membenci fakta bahwa David benar.Di luar ruangan ini, Bianca dikenal sebagai Q

  • Oh, Ampun Pak CEO!   7. Boleh dicoba, Om!

    DEGH.Bianca terpaku.Kertas di tangannya bergetar. Huruf-huruf di sana seakan menari, menertawakannya. Gugatan cerai. Pembatalan perjanjian. Semua itu seperti palu yang menghantam kepalanya tanpa ampun. Padahal kedatangannya kali ini untuk merayu pria itu meskipun ia sendiri muak. Bianca ingin supaya David segera mengirimkan sejumlah uang sesuai kesepakatan waktu itu. Uang yang seharusnya sudah diterima sehari setelah pernikahan mereka. Namun nahas, tragedi kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya terjadi dan membuat Bianca semakin terperangkap dalam jerat CEO kejam itu.Tapi sekarang, ia malah akan diceraikan? Apa-apaan ini? Bianca merasa sedang dipermainkan. “A–apa?” suaranya nyaris tak terdengar.David berdiri tegak di hadapannya. Tingginya menjulang, bahunya lebar terbalut kemeja hitam yang rapi. Wajahnya tenang, terlalu tenang untuk situasi sekejam ini.“Kenapa?” David menyahut datar. “Bukankah ini yang kau inginkan?”Ia melipat kedua tangannya di dada. “Ayahmu sudah tiada. Sa

  • Oh, Ampun Pak CEO!   Gugatan

    Langit siang itu masih kelabu saat prosesi pemakaman Damian Mahendra mencapai puncaknya. Keluarga besar Bianca pun hadir disana, namun bagi Bianca, semua itu terasa asing. Ia menyadari jika kedatangan mereka bukan benar-benar karena belasungkawa, namun karena bisnis keluarga yang sedang berada di ambang kehancuran. Dan hanya Bianca lah yang bisa menyelamatkan itu semua. Wanita itu tahu, keluarga besarnya bermuka dua. Dan sialnya, ia yang harus menanggung beban ini. Apalagi setelah ini, Ia lah yang akan menjadi penerus perusahaan itu. Proses pemakaman berjalan dengan lancar meskipun diiringi dengan tangisan buaya dari saudara-saudara dari ayahnya itu. "Seharusnya ini tidak terjadi padamu, Damian. Oh Tuhan... sungguh malang nasib adikku," ucap seorang wanita tua berambut kemerahan dengan tangisan histeris. Dia adalah Nyonya Ester, Kakak dari Damian.David Angkasa Bagaskara berdiri tak jauh dari liang lahat, mengenakan setelan hitam tanpa satu pun aksesori berlebihan. Kacamata hitam b

  • Oh, Ampun Pak CEO!   Grand Heaven

    Langit pagi di atas Grand Heaven tampak kelabu, seolah turut berduka atas kepergian seseorang yang begitu berarti untuk Bianca. Seseorang yang menjadi pion penting bagi PT. Maheswari Corp- perusahaan milik keluarga Bianca yang di mana sanak saudara dari Damian berkecimpung di sana. Bangunan pemakaman mewah itu dipenuhi karangan bunga berderet rapi, sebagian besar bertuliskan nama-nama konglomerat, pejabat, hingga jajaran petinggi perusahaan ternama. Aura duka bercampur dengan kemegahan. Di aula utama, peti jenazah mendiang Damian Mahendra terbaring anggun, dikelilingi bunga lili putih dan mawar hitam. Di sisi lain, ruang khusus disiapkan untuk keluarga inti, dijaga ketat oleh pengawal berseragam hitam. Semua tamu berpakaian serba hitam. Direksi Angkasa Group hadir lengkap. Begitu pula jajaran petinggi Maheswari Corp, perusahaan yang kini kehilangan nahkodanya. Bisik-bisik tertahan terdengar di antara mereka, bukan sekadar belasungkawa, melainkan juga hitung-hitungan kepentingan

  • Oh, Ampun Pak CEO!   Kabar Duka

    David menyeringai tipis saat tatapannya menyapu tubuh Bianca yang gemetar. Sorot matanya tajam, liar seperti singa yang akhirnya berhasil menjebak mangsa dan membuatnya tak berdaya.Air mata Bianca mengalir tanpa henti. Tubuhnya menegang, kedua tangannya refleks menutupi diri yang kini terasa begitu terhina.Gadis bar-bar, idola kampus yang hobinya party itu, nyatanya kini tak berdaya di hadapan CEO kejam bernama David Angkasa Bagaskara. Laki-laki yang beberapa jam lalu telah resmi menjadi suaminya.“Jangan…” suaranya pecah. “Please ... Jangan sentuh aku!"David tidak menjawab. Ia justru semakin mendekat, membuat napas Bianca semakin sesak. Jarak di antara mereka kian menyempit, hingga wanita itu bisa merasakan napas pria itu yang hangat di kulitnya.“Menangis pun percuma,” ucap David datar. “Kau sudah sah menjadi istriku.”Bianca menggeleng kuat-kuat. “Itu tidak memberimu hak untuk memperlakukanku seperti ini!”David mendengus kecil, sinis. “Hak?” Ia mencondongkan wajahnya lebih deka

  • Oh, Ampun Pak CEO!   Ampun, Om!

    "Om, please jangan apa-apain aku!" Begitulah teriakan Bianca ketika dua pengawal menyeretnya ke kamar megah yang akan menjadi saksi malam pahitnya, bukan malam indah selayaknya malam pengantin."Om?" David mendengus. "Tak bisakah memanggilku Sayang seperti saat kau menyapa para tamuku?" sinisnya.Bianca memalingkan wajahnya. Jika saja ia tidak mendapatkan ancaman dari ibunya selepas pemberkatan tadi, mana mau ia bersandiwara dengan begitu manis di hadapan Tuan Arga dan para tamu asing itu."Tutup dan tinggalkan kami berdua! Ini akan menjadi malam yang panjang dan pastinya ... tak akan bisa dia lupakan seumur hidup," titah David pada dua pengawalnya."Baik, Tuan. Selamat menikmati," ucap salah satu pengawal itu yang membuat Bianca geram.'Sialan, dia pikir aku makanan!'Pintu suite presiden di lantai teratas hotel itu menutup dengan bunyi klik yang terdengar seperti bunyi palu hakim menjatuhkan vonis. Bianca berdiri mematung di dekat pintu, jantungnya berdegup kencang seperti ingin me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status