Share

Ampun, Om!

Author: Queen Mylea
last update Huling Na-update: 2025-12-16 15:15:37

"Om, please jangan apa-apain aku!" 

Begitulah teriakan Bianca ketika dua pengawal menyeretnya ke kamar megah yang akan menjadi saksi malam pahitnya, bukan malam indah selayaknya malam pengantin.

"Om?" David mendengus. "Tak bisakah memanggilku Sayang seperti saat kau menyapa para tamuku?" sinisnya.

Bianca memalingkan wajahnya. Jika saja ia tidak mendapatkan ancaman dari ibunya selepas pemberkatan tadi, mana mau ia bersandiwara dengan begitu manis di hadapan Tuan Arga dan para tamu asing itu.

"Tutup dan tinggalkan kami berdua! Ini akan menjadi malam yang panjang dan pastinya ... tak akan bisa dia lupakan seumur hidup," titah David pada dua pengawalnya.

"Baik, Tuan. Selamat menikmati," ucap salah satu pengawal itu yang membuat Bianca geram.

'Sialan, dia pikir aku makanan!'

Pintu suite presiden di lantai teratas hotel itu menutup dengan bunyi klik yang terdengar seperti bunyi palu hakim menjatuhkan vonis. Bianca berdiri mematung di dekat pintu, jantungnya berdegup kencang seperti ingin melompat keluar.

Kamar itu begitu luas, terlalu luas untuk hanya dua orang. Lampu-lampu kristal redup, menyorot marmer lantai yang mengilap. Balkon terbuka menyuguhkan pemandangan kota malam yang semestinya indah, namun bagi Bianca, semuanya tampak seperti kandang emas.

Di tengah ruangan, sebuah tempat tidur king dengan kanopi putih berdiri seperti singgasana maut. David melepaskan jasnya tanpa menoleh. Gerakannya tenang namun membuat Bianca makin panik.

Setiap gerakan pria itu membuatnya waspada. Bianca menelan ludah kuat-kuat. Ia benar-benar takut dan gugup.

“A–aku butuh minum,” katanya gugup, melangkah menjauh.

David tidak menjawab. Ia membuka kancing kemejanya satu per satu.

“Aku… ehm, mau ke kamar mandi dulu. Bersihin make-up. Gaun ini juga pengap. A–ku—”

“Stop!"

Baru satu kata, namun tubuh Bianca langsung membeku.

"Diam di tempatmu!" David akhirnya menoleh. Sorot matanya dingin, tenang, namun begitu misterius. Pria itu menatap Bianca seperti menilai seorang anak kecil yang sedang mencoba melarikan diri dari hukuman.

“Kemarilah.”

Bianca menggeleng spontan. Wajahnya panik. "Gak mau!"

“Aku bilang kemari.”

Nada itu tidak meninggi, tidak keras, tapi mengandung kekuatan yang menyeret. Bianca melangkah dengan kaki gemetar, layaknya seseorang yang mendekati tepi jurang.

Ketika ia cukup dekat, David memegang dagunya, memaksanya mendongak. “Kau terlihat seperti kucing liar ketakutan,” ucapnya datar. “Padahal tadi sore kau masih bisa berani kabur.”

Bianca menepis tangannya. “Berhenti bilang aku liar! Aku cuma, a–aku cuma belum siap dengan semua ini! Aku bahkan gak mau pernikahan ini!”

David tidak tersinggung. Ia malah tersenyum tipis. Senyum yang membuat bulu kuduk wanita itu merinding.

“Siap tidak siap, kau tetap menikah denganku hari ini.”

“Karena aku dipaksa!”

“Kau tidak punya pilihan,” David menyahut tanpa rasa bersalah sedikit pun. 

Bianca mengepalkan tangan. “Aku bukan barang. Kalian tidak bisa memperlakukanku seperti ini. Pernikahan Ini tidak sah!"

David mencondongkan tubuh, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Bianca. "Tidak sah? Hahha... Katakan itu di depan pendeta dan di depan orang tuamu. Mereka begitu bangga karena kau telah menyelamatkan perusahaan keluargamu. Kau tahu ... Tidak ada yang gratis di dunia ini!"

Bianca membuang pandangannya, mendengus dengan mata berkaca. Sakit rasanya, ia harus menanggung beban atas masalah perusahaan keluarganya. Rasanya ini tak adil.

“Malam ini,” katanya pelan namun menghantam, “kau adalah milikku. Dan aku tidak suka diulang-ulang soal apa yang tidak kau mau. Yang penting adalah apa yang kuinginkan.”

Bianca mundur tapi David menangkap pergelangan tangannya. Pegangannya begitu kuat hingga Bianca meringis kesakitan.

“Kau pikir aku akan berperilaku manis meski kau istriku, heum?” David menyeletuk sinis. “Buang ilusi itu. Aku bukan pria baik.”

“Ya, aku tahu kau bukan pria baik!” Bianca membalas ketus dengan suara bergetar. “Itulah sebabnya aku tidak sudi dengan pernikahan ini. Kau bahkan bukan manusia, kau iblis!"

David menariknya tiba-tiba hingga tubuh Bianca menabrak dadanya. Nafasnya terkesiap.

Namun pria itu tidak memeluknya. Ia hanya menatapnya dari atas, seperti singa yang menundukkan mangsanya.

“Kalau aku bukan manusia,” ujarnya dingin, “maka berhentilah berharap aku memperlakukanmu seperti manusia. Kelinci kecil, kau harus memuaskanku malam ini!"

Bianca menahan napas. Dadanya naik turun cepat. Tangannya mengepal, amarah membuncah dalam dirinya. "Jangan pernah berpikir aku akan tunduk hanya karena kau telah menyelamatkan perusahaan keluargaku!"

David tersenyum sinis lalu menarik dagunya lagi, lebih keras dari sebelumnya. "Oh ya? Berani juga kau rupanya! Aahh, aku suka dengan tantangan," ucapnya pelan, namun menakutkan.

David kemudian melepaskannya, namun bukan karena iba. Melainkan karena ia berbalik menuju minibar, mengambil segelas wine.

Pria itu meneguknya setengah tanpa ekspresi, lalu kembali menatap Bianca dengan sorot tajam.

“Lepas gaunmu,” ucap David begitu tenang, seolah meminta seseorang mematikan lampu.

Bianca tersentak. “Apa?! Tidak! Aku tidak mau!”

“Aku tidak akan mengulang perintah.”

“Tidak peduli kau ulang atau tidak, aku—”

David meletakkan gelasnya dengan bunyi tak! yang keras. Bianca tersentak mundur dua langkah.

Pria itu mendekat lagi, lambat namun mengancam. “Baik,” ucapnya lirih. “Kalau kau tidak mau melepasnya sendiri, aku bisa melakukannya untukmu.”

Bianca membeku, wajahnya memucat, keringat mengalir di dahinya, ruangan itu dingin tapi Bianca merasa panas. Lututnya terasa lemas.

“Kau tidak boleh menyentuhku!” pekik Bianca, memeluk tubuhnya sendiri.

David berhenti tepat di depannya. "Kenapa tidak? Aku telah membelimu."

Ia mengangkat tangan, dan Bianca refleks mundur sampai punggungnya menempel di dinding. Napasnya tersengal.

"Aku tidak suka menunggu.”

Bianca memalingkan wajah, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Aku benci kau…” bisiknya lirih.

David menyeringai tipis. “Kebencianmu tidak mengubah apa pun." Ia meraih lengan Bianca dan menariknya dari dinding. "Aku tidak akan menyakitimu, selama kau tidak melawan,” suaranya datar, tanpa emosi.

Ia menyentuh pipi Bianca perlahan, lembut namun tetap membuat Bianca merinding ketakutan.  “Lepaskan gaunmu, atau aku yang melakukannya.”

Bianca menggigit bibir keras-keras, tubuhnya bergetar hebat.

Nafas David, sorot matanya, semuanya terasa seperti perangkap yang menutup. Ia masih berdiri menunggunya, tanpa kesabaran, tanpa belas kasihan.

Bianca menggelengkan kepalanya. Ia memohon, memelas dengan air mata yang kini mengalir deras. Namun wanita itu tidak tahu jika David bukanlah pria yang bisa dinegosiasi. Apa yang dia inginkan harus dia dapatkan. Dan air mata itu, tak ada artinya apa-apa untuk CEO berhati dingin itu.

"A–aku mohon, Tuan. Jangan lakukan. Jangan sentuh ak–"

Sreeekkkkkk.

Belum sempat Bianca melanjutkan, satu tarikan kuat dari bagian dada, gaun itu ditarik hingga robek. Gaun mahal seharga ratusan juta seolah tak ada artinya di mata David Angkasa Bagaskara. 

***

Bersambung…

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Oh, Ampun Pak CEO!   8. Kesucian yang Terenggut

    Tatapan David masih mengunci tubuhnya, seolah pria itu tak sekadar ingin melihat, melainkan menghitung, menilai, dan menentukan harga dari setiap napas yang Bianca embuskan. Kalimat barusan masih menggantung di udara, berat dan menekan."Sekarang… aku ingin merasakannya."Bianca makin gugup, namun ia mencoba untuk menegakkan bahunya, meski jantungnya berdegup liar. Ia menolak terlihat lemah. Tidak di hadapan pria seperti David.“Aku istrimu,” ulang Bianca, kali ini dengan suara lebih dingin. “Bukan barang uji coba.”David terkekeh pelan. Satu tangan dimasukkan ke saku celananya, santai, seolah situasi ini hanya permainan papan yang sudah ia menangkan sejak awal. “Istri?” ulangnya datar. “Kau baru mengingat status itu saat kau butuh uang. Kau bahkan tak menginginkan pernikahan ini."Ucapan itu menampar lebih keras daripada sentuhan apa pun.Bianca menggertakkan giginya. Muak. Jijik. Tapi juga… terjebak. Ia membenci fakta bahwa David benar.Di luar ruangan ini, Bianca dikenal sebagai Q

  • Oh, Ampun Pak CEO!   7. Boleh dicoba, Om!

    DEGH.Bianca terpaku.Kertas di tangannya bergetar. Huruf-huruf di sana seakan menari, menertawakannya. Gugatan cerai. Pembatalan perjanjian. Semua itu seperti palu yang menghantam kepalanya tanpa ampun. Padahal kedatangannya kali ini untuk merayu pria itu meskipun ia sendiri muak. Bianca ingin supaya David segera mengirimkan sejumlah uang sesuai kesepakatan waktu itu. Uang yang seharusnya sudah diterima sehari setelah pernikahan mereka. Namun nahas, tragedi kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya terjadi dan membuat Bianca semakin terperangkap dalam jerat CEO kejam itu.Tapi sekarang, ia malah akan diceraikan? Apa-apaan ini? Bianca merasa sedang dipermainkan. “A–apa?” suaranya nyaris tak terdengar.David berdiri tegak di hadapannya. Tingginya menjulang, bahunya lebar terbalut kemeja hitam yang rapi. Wajahnya tenang, terlalu tenang untuk situasi sekejam ini.“Kenapa?” David menyahut datar. “Bukankah ini yang kau inginkan?”Ia melipat kedua tangannya di dada. “Ayahmu sudah tiada. Sa

  • Oh, Ampun Pak CEO!   Gugatan

    Langit siang itu masih kelabu saat prosesi pemakaman Damian Mahendra mencapai puncaknya. Keluarga besar Bianca pun hadir disana, namun bagi Bianca, semua itu terasa asing. Ia menyadari jika kedatangan mereka bukan benar-benar karena belasungkawa, namun karena bisnis keluarga yang sedang berada di ambang kehancuran. Dan hanya Bianca lah yang bisa menyelamatkan itu semua. Wanita itu tahu, keluarga besarnya bermuka dua. Dan sialnya, ia yang harus menanggung beban ini. Apalagi setelah ini, Ia lah yang akan menjadi penerus perusahaan itu. Proses pemakaman berjalan dengan lancar meskipun diiringi dengan tangisan buaya dari saudara-saudara dari ayahnya itu. "Seharusnya ini tidak terjadi padamu, Damian. Oh Tuhan... sungguh malang nasib adikku," ucap seorang wanita tua berambut kemerahan dengan tangisan histeris. Dia adalah Nyonya Ester, Kakak dari Damian.David Angkasa Bagaskara berdiri tak jauh dari liang lahat, mengenakan setelan hitam tanpa satu pun aksesori berlebihan. Kacamata hitam b

  • Oh, Ampun Pak CEO!   Grand Heaven

    Langit pagi di atas Grand Heaven tampak kelabu, seolah turut berduka atas kepergian seseorang yang begitu berarti untuk Bianca. Seseorang yang menjadi pion penting bagi PT. Maheswari Corp- perusahaan milik keluarga Bianca yang di mana sanak saudara dari Damian berkecimpung di sana. Bangunan pemakaman mewah itu dipenuhi karangan bunga berderet rapi, sebagian besar bertuliskan nama-nama konglomerat, pejabat, hingga jajaran petinggi perusahaan ternama. Aura duka bercampur dengan kemegahan. Di aula utama, peti jenazah mendiang Damian Mahendra terbaring anggun, dikelilingi bunga lili putih dan mawar hitam. Di sisi lain, ruang khusus disiapkan untuk keluarga inti, dijaga ketat oleh pengawal berseragam hitam. Semua tamu berpakaian serba hitam. Direksi Angkasa Group hadir lengkap. Begitu pula jajaran petinggi Maheswari Corp, perusahaan yang kini kehilangan nahkodanya. Bisik-bisik tertahan terdengar di antara mereka, bukan sekadar belasungkawa, melainkan juga hitung-hitungan kepentingan

  • Oh, Ampun Pak CEO!   Kabar Duka

    David menyeringai tipis saat tatapannya menyapu tubuh Bianca yang gemetar. Sorot matanya tajam, liar seperti singa yang akhirnya berhasil menjebak mangsa dan membuatnya tak berdaya.Air mata Bianca mengalir tanpa henti. Tubuhnya menegang, kedua tangannya refleks menutupi diri yang kini terasa begitu terhina.Gadis bar-bar, idola kampus yang hobinya party itu, nyatanya kini tak berdaya di hadapan CEO kejam bernama David Angkasa Bagaskara. Laki-laki yang beberapa jam lalu telah resmi menjadi suaminya.“Jangan…” suaranya pecah. “Please ... Jangan sentuh aku!"David tidak menjawab. Ia justru semakin mendekat, membuat napas Bianca semakin sesak. Jarak di antara mereka kian menyempit, hingga wanita itu bisa merasakan napas pria itu yang hangat di kulitnya.“Menangis pun percuma,” ucap David datar. “Kau sudah sah menjadi istriku.”Bianca menggeleng kuat-kuat. “Itu tidak memberimu hak untuk memperlakukanku seperti ini!”David mendengus kecil, sinis. “Hak?” Ia mencondongkan wajahnya lebih deka

  • Oh, Ampun Pak CEO!   Ampun, Om!

    "Om, please jangan apa-apain aku!" Begitulah teriakan Bianca ketika dua pengawal menyeretnya ke kamar megah yang akan menjadi saksi malam pahitnya, bukan malam indah selayaknya malam pengantin."Om?" David mendengus. "Tak bisakah memanggilku Sayang seperti saat kau menyapa para tamuku?" sinisnya.Bianca memalingkan wajahnya. Jika saja ia tidak mendapatkan ancaman dari ibunya selepas pemberkatan tadi, mana mau ia bersandiwara dengan begitu manis di hadapan Tuan Arga dan para tamu asing itu."Tutup dan tinggalkan kami berdua! Ini akan menjadi malam yang panjang dan pastinya ... tak akan bisa dia lupakan seumur hidup," titah David pada dua pengawalnya."Baik, Tuan. Selamat menikmati," ucap salah satu pengawal itu yang membuat Bianca geram.'Sialan, dia pikir aku makanan!'Pintu suite presiden di lantai teratas hotel itu menutup dengan bunyi klik yang terdengar seperti bunyi palu hakim menjatuhkan vonis. Bianca berdiri mematung di dekat pintu, jantungnya berdegup kencang seperti ingin me

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status