Share

Kabar Duka

Author: Queen Mylea
last update Last Updated: 2025-12-16 15:16:24

David menyeringai tipis saat tatapannya menyapu tubuh Bianca yang gemetar. Sorot matanya tajam, liar seperti singa yang akhirnya berhasil menjebak mangsa dan membuatnya tak berdaya.

Air mata Bianca mengalir tanpa henti. Tubuhnya menegang, kedua tangannya refleks menutupi diri yang kini terasa begitu terhina.

Gadis bar-bar, idola kampus yang hobinya party itu, nyatanya kini tak berdaya di hadapan CEO kejam bernama David Angkasa Bagaskara. Laki-laki yang beberapa jam lalu telah resmi menjadi suaminya.

“Jangan…” suaranya pecah. “Please ... Jangan sentuh aku!"

David tidak menjawab. Ia justru semakin mendekat, membuat napas Bianca semakin sesak. Jarak di antara mereka kian menyempit, hingga wanita itu bisa merasakan napas pria itu yang hangat di kulitnya.

“Menangis pun percuma,” ucap David datar. “Kau sudah sah menjadi istriku.”

Bianca menggeleng kuat-kuat. “Itu tidak memberimu hak untuk memperlakukanku seperti ini!”

David mendengus kecil, sinis. “Hak?” Ia mencondongkan wajahnya lebih dekat. “Kau lupa apa yang sudah kubayar malam ini?”

Wajahnya kian mendekat. Bianca memejamkan mata, bahunya terguncang oleh tangis. Ia benar-benar yakin jika malam ini, harga dirinya akan direnggut paksa.

Drrrttt ... Drrrttt!!!

Getaran ponsel memecah ketegangan di udara.

David mengendus kesal. Rahangnya mengeras. “Sial! Siapa yang berani menggangguku?" gumamnya.

Getaran itu tak berhenti. David melirik ponsel di saku celananya dengan ekspresi terganggu, lalu merogohnya kasar dan mengangkat panggilan tanpa menjauh dari Bianca.

“Ada apa?!” bentaknya. “Kau menggangguku yang baru saja akan bersenang-senang!”

Bianca tersentak. Jantungnya berdegup kencang. Ia menahan napas, berharap siapapun bisa menyelamatkannya malam ini dari suami kejamnya itu.

Suara dari seberang terdengar samar, namun cukup membuat ekspresi David berubah. Senyumnya memudar. Sorot matanya mengeras, bukan karena amarah, melainkan sesuatu yang lain.

“Ulangi,” ucapnya rendah.

Ia terdiam beberapa detik. Wajahnya tanpa ekspresi, namun urat di rahangnya menegang jelas.

“Aku mengerti,” katanya singkat. “Pastikan mereka ditangani dokter terbaik. Aku segera menyusul.”

Klik.

Ponsel itu dimatikan.

Ruangan kembali sunyi, namun ketegangannya berubah. Bianca membuka mata perlahan. Ia melihat David berdiri diam, menatap kosong ke depan selama beberapa detik, sebelum akhirnya memalingkan wajah ke arahnya.

Bianca buru-buru meraih kain terdekat untuk menutupi tubuhnya. “A–ada apa?” tanyanya pelan, suaranya masih bergetar.

David menghela napas perlahan. Ia mengusap wajahnya lalu menatap Bianca lagi, datar seperti biasa.

“Tuan Damian dan Nyonya Laurent ...” ucapnya berhenti sejenak. “Maksudku ... orang tuamu.”

Jantung Bianca langsung mencelos. “Kenapa mereka?” Ia maju setengah langkah tanpa sadar. “Apa yang terjadi?!”

David menatapnya lurus. Tidak ada kelembutan di sana, tidak juga empati yang kentara.

“Mereka mengalami kecelakaan,” katanya singkat.

Deg.

Dunia Bianca seolah runtuh dalam sekejap. Lututnya melemas, tubuhnya terhuyung.

“Apa?  Apa maksudmu kecelakaan?” suaranya nyaris tak terdengar. “Papa, Mama, gak... Ini gak mungkin!"

“Mereka ternyata tidak menginap di hotel. Mereka dalam perjalanan pulang,” lanjut David dingin. “Mobil mereka bertabrakan. Sekarang dilarikan ke rumah sakit.”

Air mata Bianca tumpah lebih deras. Kali ini bukan karena ketakutan melainkan kepanikan dan rasa sakit yang menusuk.

“Tidak mungkin ...” Ia menggeleng tak percaya.

David hanya menoleh, tidak menenangkannya. Ia berjalan menuju koper milik Bianca di samping lemari lalu membukanya. Pria itu mengambil asal baju yang bisa dipakai wanita itu. Sebuah dress selutut berwarna hitam.

"Pakai itu! Cepat kita ke rumah sakit!"

Kali ini, Bianca tidak membantahnya. Dengan air mata berderai, wanita itu langsung memakai dress miliknya itu. Dalam hatinya terus menggumamkan doa, 'Ya Tuhan... Selamatkan papa dan mamaku."

---

Lampu-lampu Unit Gawat Darurat menyilaukan mata Bianca. Bau antiseptik menusuk hidungnya, bercampur dengan suara langkah kaki tergesa, roda brankar yang berderit, dan suara alat medis yang berbunyi tak beraturan.

Bianca berlari begitu pintu UGD terbuka. David dan dua pengawalnya mengekori dari belakang.

“Papa? Mama? Dimana mereka?!" teriaknya, tak peduli pada pasien lain yang ada disana.

Seorang perawat menoleh cepat, lalu memeriksa papan data. "Keluarga atas nama pasien?"

“Saya anaknya. Pasien atas nama Damian dan Laurent!" jawabnya cepat, wajahnya benar-benar panik.

Perawat itu mengangguk. "Mohon tunggu di sebentar!"

Bianca mondar-mandir seperti orang kehilangan arah. Tangannya gemetar, napasnya terengah. Setiap kali pintu ruang tindakan terbuka, ia refleks menoleh dengan harapan sekaligus ketakutan.

David berdiri beberapa langkah di belakangnya. Tubuhnya tegap, jasnya rapi, wajahnya tenang, terlalu tenang untuk situasi seperti ini. Kedua tangannya masuk ke saku celana, sorot matanya mengamati ruangan seperti seorang pengamat, bukan seseorang yang terikat secara emosional.

"Papa ... Mama ... Ya Tuhan, tolong selamatkan mereka!" Bianca mengusap wajahnya yang basah oleh air mata, ia benar-benar frustasi.

“Tenanglah,” potong David datar. “Panik tidak akan mengubah apa pun.”

Bianca menatapnya tak percaya. “Bagaimana kau bisa setenang ini?!”

David tidak menjawab. Tatapannya kembali ke pintu ruang tindakan yang tertutup rapat.

Waktu berjalan lambat. Bianca menunggu dengan gelisah. Hingga akhirnya, pintu itu terbuka.

Seorang dokter keluar dengan wajah lelah. Masker masih menggantung di lehernya. Bianca langsung menghampiri, hampir tersandung karena lututnya melemas.

“Dokter!” Bianca mencengkeram lengan jas putih itu. “Papaku ... bagaimana keadaannya?”

Dokter itu terdiam sejenak. Tatapannya serius, berat, seolah sedang menimbang kata yang paling tepat.

“Kami sudah melakukan tindakan maksimal,” ucapnya perlahan. “Namun cedera internal yang dialami terlalu parah.”

Bianca menahan napas. Dunia di sekelilingnya terasa sunyi.

“Maaf,” lanjut dokter itu. “Ayah Anda tidak tertolong.”

Kalimat itu jatuh seperti palu godam.

Bianca membeku. Tidak ada jeritan. Tidak ada tangis histeris. Hanya tatapan kosong yang tiba-tiba kehilangan cahaya.

“A–apa maksud dokter…?” suaranya nyaris tak terdengar. Bianca malah tertawa. Tawa yang sejujurnya menyimpan duka. "Dokter bercanda 'kan?

Dokter itu menunduk. “Beliau meninggal dunia beberapa menit yang lalu.”

Detik itu juga, Bianca merasa seluruh tubuhnya runtuh. Kakinya tak lagi sanggup menopang berat badannya sendiri. Ia limbung dan hampir saja terjatuh jika David tidak menangkapnya dari belakang.

“Tidak ..." bisiknya lirih. “Tidak mungkin…”

Air matanya mengalir deras. Tangisnya pecah, keras, penuh luka. Tangisan seorang anak yang baru saja kehilangan dunia.

"Papa!!! Kenapa? Kenapa papa pergi secepat ini? Papa mau uang? Mau harta yang banyak 'kan supaya perusahaan kita bangkit lagi? Aku sudah mengabulkannya? Aku mau menerima pernikahan ini. Tapi kenapa..."

Bibirnya bergetar, ia membenci pernikahan paksa ini. Ia membenci ayahnya karena merasa telah dijual demi menyelamatkan perusahaan. Namun ia tidak mau kehilangan cinta pertamanya itu.

David masih memeganginya dari belakang. Tatapannya masih dingin, namun sebenarnya iba. Ia tahu bagaimana rasakan ditinggalkan orang terkasih. Itulah yang ia rasakan saat dulu kehilangan kedua orang tuanya.

David melirik dokter. “Bagaimana kondisi ibunya?”

Dokter itu menarik napas. “Ibu pasien masih dalam penanganan. Kondisinya kritis."

Bianca kembali terisak. "Mama...? Jangan tinggalkan aku! Aku harus apa? Aku harus gimana?!"

David mengangguk pada dokter. “Saya akan mengurus semuanya!"

Dokter mengangguk hormat, lalu pergi.

Bianca lemah, tubuhnya terguncang oleh tangis. Untuk sesaat David menurunkan egonya.

Pria itu membalikkan tubuhnya lalu memeluk Bianca. Meski tanpa rasa, tanpa cinta, namun setidaknya ini yang bisa ia lakukan terhadap wanita angkuh tapi manja itu.

“Menangislah,” ucapnya datar. “Itu satu-satunya hal yang boleh kau lakukan malam ini.”

Bianca terisak semakin keras. Tangisnya pecah di pelukan laki-laki kejam namun kenyataannya ada di saat titik terpuruknya ini.

***

Bersambung ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Oh, Ampun Pak CEO!   8. Kesucian yang Terenggut

    Tatapan David masih mengunci tubuhnya, seolah pria itu tak sekadar ingin melihat, melainkan menghitung, menilai, dan menentukan harga dari setiap napas yang Bianca embuskan. Kalimat barusan masih menggantung di udara, berat dan menekan."Sekarang… aku ingin merasakannya."Bianca makin gugup, namun ia mencoba untuk menegakkan bahunya, meski jantungnya berdegup liar. Ia menolak terlihat lemah. Tidak di hadapan pria seperti David.“Aku istrimu,” ulang Bianca, kali ini dengan suara lebih dingin. “Bukan barang uji coba.”David terkekeh pelan. Satu tangan dimasukkan ke saku celananya, santai, seolah situasi ini hanya permainan papan yang sudah ia menangkan sejak awal. “Istri?” ulangnya datar. “Kau baru mengingat status itu saat kau butuh uang. Kau bahkan tak menginginkan pernikahan ini."Ucapan itu menampar lebih keras daripada sentuhan apa pun.Bianca menggertakkan giginya. Muak. Jijik. Tapi juga… terjebak. Ia membenci fakta bahwa David benar.Di luar ruangan ini, Bianca dikenal sebagai Q

  • Oh, Ampun Pak CEO!   7. Boleh dicoba, Om!

    DEGH.Bianca terpaku.Kertas di tangannya bergetar. Huruf-huruf di sana seakan menari, menertawakannya. Gugatan cerai. Pembatalan perjanjian. Semua itu seperti palu yang menghantam kepalanya tanpa ampun. Padahal kedatangannya kali ini untuk merayu pria itu meskipun ia sendiri muak. Bianca ingin supaya David segera mengirimkan sejumlah uang sesuai kesepakatan waktu itu. Uang yang seharusnya sudah diterima sehari setelah pernikahan mereka. Namun nahas, tragedi kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya terjadi dan membuat Bianca semakin terperangkap dalam jerat CEO kejam itu.Tapi sekarang, ia malah akan diceraikan? Apa-apaan ini? Bianca merasa sedang dipermainkan. “A–apa?” suaranya nyaris tak terdengar.David berdiri tegak di hadapannya. Tingginya menjulang, bahunya lebar terbalut kemeja hitam yang rapi. Wajahnya tenang, terlalu tenang untuk situasi sekejam ini.“Kenapa?” David menyahut datar. “Bukankah ini yang kau inginkan?”Ia melipat kedua tangannya di dada. “Ayahmu sudah tiada. Sa

  • Oh, Ampun Pak CEO!   Gugatan

    Langit siang itu masih kelabu saat prosesi pemakaman Damian Mahendra mencapai puncaknya. Keluarga besar Bianca pun hadir disana, namun bagi Bianca, semua itu terasa asing. Ia menyadari jika kedatangan mereka bukan benar-benar karena belasungkawa, namun karena bisnis keluarga yang sedang berada di ambang kehancuran. Dan hanya Bianca lah yang bisa menyelamatkan itu semua. Wanita itu tahu, keluarga besarnya bermuka dua. Dan sialnya, ia yang harus menanggung beban ini. Apalagi setelah ini, Ia lah yang akan menjadi penerus perusahaan itu. Proses pemakaman berjalan dengan lancar meskipun diiringi dengan tangisan buaya dari saudara-saudara dari ayahnya itu. "Seharusnya ini tidak terjadi padamu, Damian. Oh Tuhan... sungguh malang nasib adikku," ucap seorang wanita tua berambut kemerahan dengan tangisan histeris. Dia adalah Nyonya Ester, Kakak dari Damian.David Angkasa Bagaskara berdiri tak jauh dari liang lahat, mengenakan setelan hitam tanpa satu pun aksesori berlebihan. Kacamata hitam b

  • Oh, Ampun Pak CEO!   Grand Heaven

    Langit pagi di atas Grand Heaven tampak kelabu, seolah turut berduka atas kepergian seseorang yang begitu berarti untuk Bianca. Seseorang yang menjadi pion penting bagi PT. Maheswari Corp- perusahaan milik keluarga Bianca yang di mana sanak saudara dari Damian berkecimpung di sana. Bangunan pemakaman mewah itu dipenuhi karangan bunga berderet rapi, sebagian besar bertuliskan nama-nama konglomerat, pejabat, hingga jajaran petinggi perusahaan ternama. Aura duka bercampur dengan kemegahan. Di aula utama, peti jenazah mendiang Damian Mahendra terbaring anggun, dikelilingi bunga lili putih dan mawar hitam. Di sisi lain, ruang khusus disiapkan untuk keluarga inti, dijaga ketat oleh pengawal berseragam hitam. Semua tamu berpakaian serba hitam. Direksi Angkasa Group hadir lengkap. Begitu pula jajaran petinggi Maheswari Corp, perusahaan yang kini kehilangan nahkodanya. Bisik-bisik tertahan terdengar di antara mereka, bukan sekadar belasungkawa, melainkan juga hitung-hitungan kepentingan

  • Oh, Ampun Pak CEO!   Kabar Duka

    David menyeringai tipis saat tatapannya menyapu tubuh Bianca yang gemetar. Sorot matanya tajam, liar seperti singa yang akhirnya berhasil menjebak mangsa dan membuatnya tak berdaya.Air mata Bianca mengalir tanpa henti. Tubuhnya menegang, kedua tangannya refleks menutupi diri yang kini terasa begitu terhina.Gadis bar-bar, idola kampus yang hobinya party itu, nyatanya kini tak berdaya di hadapan CEO kejam bernama David Angkasa Bagaskara. Laki-laki yang beberapa jam lalu telah resmi menjadi suaminya.“Jangan…” suaranya pecah. “Please ... Jangan sentuh aku!"David tidak menjawab. Ia justru semakin mendekat, membuat napas Bianca semakin sesak. Jarak di antara mereka kian menyempit, hingga wanita itu bisa merasakan napas pria itu yang hangat di kulitnya.“Menangis pun percuma,” ucap David datar. “Kau sudah sah menjadi istriku.”Bianca menggeleng kuat-kuat. “Itu tidak memberimu hak untuk memperlakukanku seperti ini!”David mendengus kecil, sinis. “Hak?” Ia mencondongkan wajahnya lebih deka

  • Oh, Ampun Pak CEO!   Ampun, Om!

    "Om, please jangan apa-apain aku!" Begitulah teriakan Bianca ketika dua pengawal menyeretnya ke kamar megah yang akan menjadi saksi malam pahitnya, bukan malam indah selayaknya malam pengantin."Om?" David mendengus. "Tak bisakah memanggilku Sayang seperti saat kau menyapa para tamuku?" sinisnya.Bianca memalingkan wajahnya. Jika saja ia tidak mendapatkan ancaman dari ibunya selepas pemberkatan tadi, mana mau ia bersandiwara dengan begitu manis di hadapan Tuan Arga dan para tamu asing itu."Tutup dan tinggalkan kami berdua! Ini akan menjadi malam yang panjang dan pastinya ... tak akan bisa dia lupakan seumur hidup," titah David pada dua pengawalnya."Baik, Tuan. Selamat menikmati," ucap salah satu pengawal itu yang membuat Bianca geram.'Sialan, dia pikir aku makanan!'Pintu suite presiden di lantai teratas hotel itu menutup dengan bunyi klik yang terdengar seperti bunyi palu hakim menjatuhkan vonis. Bianca berdiri mematung di dekat pintu, jantungnya berdegup kencang seperti ingin me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status