MasukLangkah mereka menyusuri jalan kecil Ubud yang licin oleh hujan. Nadia berjalan di depan, Daniel beberapa langkah di belakang, sesuai janjinya, tidak memaksa, hanya menjadi bayangan pelindung yang diam, lembut, dan sangat sulit diabaikan.
Setiap kali Nadia menoleh, Daniel selalu ada di sana. Tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Seperti ia tahu persis jarak yang tepat untuk membuat Nadia merasa aman dan tanpa mengekang. Ketika Nadia sampai di depan rumah kecilnya, sebuah lampu kuning temaram dari teras menerangi wajahnya. Ia menoleh ke Daniel yang berhenti di bawah pohon. “Terima kasih… sudah mengantar,” ucap Nadia, suaranya pelan tapi tulus. Daniel mengangguk. “Anytime.” Hujan turun lebih deras, membuat Nadia harus berteriak sedikit, “Kamu mau berteduh sebentar? Hujannya makin deras.” Daniel menatapnya lama. “Kamu yakin?” Nadia merasakan jantungnya melonjak. Pertanyaan itu sederhana, tetapi caranya mengucapkan begitu dalam, rendah, seperti memberinya kesempatan untuk mundur sehingga membuat pipi Nadia memanas. “Aku… cuma tidak enak kalau kamu pulang dalam keadaan kayak gini,” kata Nadia cepat. Daniel akhirnya melangkah mendekat, masuk ke bawah atap teras kecil itu. Suara hujan di atas genteng terdengar seperti musik lembut yang menegaskan betapa sepinya malam tersebut. Nadia membuka pintu. “Ayo masuk,” ucap Nadia pelan. Daniel menatapnya dulu, seakan memberi kesempatan terakhir untuk membatalkan. Melihat Nadia tidak mundur, ia masuk perlahan. Rumah Nadia hangat dan sederhana. Wangi kopi yang tersisa dari baju Nadia terpancar ke ruangan kecil itu. Daniel mengusap rambutnya yang basah, dan Nadia spontan meraih handuk kecil dari lemari dekat pintu. “Ini” ucap Nadia sambil memberikan handuk kecil itu kepada Daniel. Daniel mengambilnya. “Terima kasih. Apa kamu tinggal sendiri disini? Dimana orangtuamu?” "Iya, mereka tidak tinggal disini" jawab Nadia. Nadia membuatkan secangkir teh hangat untuk Daniel dan ia meletakan teh itu didekat Daniel. "Silahkan diminum tehnya selagi masih hangat" ucap Nadia. Daniel tersenyum "Terima kasih." Saat Daniel mengeringkan rambutnya, Nadia tak sengaja memperhatikan lebih lama dari seharusnya. Gerakan tangannya, garis rahangnya, jaket yang menempel di tubuhnya dan kini mulai basah… semuanya terlalu mengganggunya. Daniel menangkap tatapannya. “Kenapa melihatku begitu?” tanya Daniel dengan senyum kecil yang nyaris nakal. Wajah Nadia langsung merah. “Aku… tidak...” Daniel menurunkan handuk, menatapnya dengan mata biru lembut yang tidak menghakimi. “Nadia, saya tidak marah kamu melihat. Saya malah senang.” Nadia memalingkan wajah. “Kamu itu… apa kamu selalu bicara sejujurnya?” “Kalau menyangkut kamu? Iya” jawab Daniel. Ruangan itu hening beberapa detik. Hening yang berat, namun hangat. Daniel duduk di sofa kecil tanpa diundang, tapi gerakannya terasa sopan, seolah ia menunggu persetujuan tanpa meminta. “Nad, kenapa kamu selalu menghindar?” kata Daniel tiba-tiba. “Apa semua laki-laki membuat kamu takut? Atau hanya saya yang membuatmu takut?” tanya Daniel sambil mengeringkan rambutnya. Nadia menelan ludah. Mengapa lelaki ini bisa membaca dirinya seperti buku terbuka? “Aku… tidak takut,” kata Nadia. “Aku hanya… tidak mau salah.” Daniel menatapnya lama, dalam, menenangkan. “Boleh saya tanya sesuatu? Jujur.” Nadia mengangguk kecil. “Apa ada seseorang yang pernah membuatmu sakit?” tanya Daniel dengan suara rendah. Pertanyaan itu seperti angin yang memadamkan semua keheningan. Nadia tidak langsung menjawab. Tangannya memegang sisi kausnya, memelintirnya pelan. “Ada..” bisik Nadia. Daniel tidak bertanya lagi. Tidak mendesak. Ia hanya mencondongkan tubuh sedikit, suara lembutnya nyaris seperti bisikan penyembuhan. “Nadia, saya bukan dia.” Nadia merasakan sesuatu menegang di dadanya, bukan ketakutan, tapi sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia biarkan muncul: sebuah kepercayaan. Daniel menatapnya dari atas ke bawah, bukan dengan nafsu kosong, tapi dengan kekaguman yang intens, hangat, yang membuat Nadia merasa dilihat sebagai seorang wanita, bukan sekadar tubuh. “Boleh saya dekat?” tanya Daniel pelan. Nadia mengangguk pelan, sedikit ragu, tetapi tidak mundur. Daniel berdiri dan melangkah ke arahnya. Setiap langkah terasa seperti ia menghapus jarak dan tembok yang selama ini Nadia pasang. Ia berhenti satu langkah di depan Nadia tetapi cukup dekat untuk merasakan hangat tubuhnya, cukup jauh untuk tetap menghormatinya. Tangan besar Daniel terangkat, berhenti di udara, menunggu. Ketika Nadia mengangguk sekali lagi, barulah ia menyentuh pipinya. Sangat lembut. Seolah ia takut merusak sesuatu yang rapuh. “Nadia…” suaranya rendah, serak, menggetarkan, “sejak hari pertama aku melihatmu, aku ingin tahu seperti apa suara jantungmu kalau aku berdiri sedekat ini.” Nadia menahan napas. Daniel menurunkan wajahnya. Dahinya menyentuh dahi Nadia. Hidung mereka hampir bersentuhan. Nafas mereka bercampur. “Kalau kamu tidak ingin saya mencium kamu, saya berhenti sekarang,” bisik Daniel, “tapi tolong… jangan suruh saya mundur.” Nadia memejamkan mata. Dadanya naik-turun tak beraturan. Tangannya, tanpa sadar menggenggam tepi baju Daniel. Jawaban yang tidak diucapkan itu cukup jelas. Daniel tersenyum kecil. Lembut. Menghargai. Lalu ia memiringkan wajahnya sedikit, memberi tekanan paling halus pada bibir Nadia, nyaris tidak menyentuh, seperti bertanya sekali lagi. Dan tepat sebelum bibir mereka benar-benar bertemu tiba-tiba pintu belakang rumah Nadia terbuka keras oleh hembusan angin. Nadia terlonjak. Daniel menahan pundaknya dengan refleks. “Tenang, hanya angin,” katanya lembut sambil menenangkan nafas Nadia dengan jarak yang masih sangat dekat. “Kamu tidak sendiri, ada aku disini.” Nadia menatapnya, mata lembut itu, hangat itu, yang tidak pernah mendesak. Dan ia tahu satu hal: Ia tidak lagi ingin bersembunyi dari Daniel.Pagi di Ubud muncul dengan lembut, menyelinap lewat jendela rumah Nadia sebagai cahaya keemasan yang memantul di dinding. Nadia terbangun dengan kepala masih bersandar pada sofa. Selimut tipis menyelimuti tubuhnya. Ia mengerjap pelan. Selimut itu bukan miliknya. Lalu ia mendengar suara samar dari dapur. Daniel. Lelaki itu berdiri membelakangi Nadia, masih dengan kaus putih tipis yang menempel di tubuhnya, sedikit berkerut karena semalaman basah hujan. Rambutnya yang belum sepenuhnya kering terlihat lebih acak, membuatnya tampak lebih muda dan… memikat. Nadia menelan ludah, merasakan jantungnya bergerak lebih cepat dari biasanya. Daniel mengen noticed her. Ia berbalik, tersenyum kecil. “Pagi, sleepyhead” sapa Daniel. Nadia memeluk dirinya sendiri, bingung tapi hangat. “Kamu… masih di sini?” ucap Nadia dengan nada pelan. “Hmm.” Daniel menunjuk pintu. “Hujan baru berhenti sekitar jam empat tadi. Aku tidak mau kamu bangun sendirian dengan pintu belakangmu yang semalam terbuka b
Pintu belakang yang tiba-tiba terbuka itu menciptakan desiran udara dingin menerpa punggung Nadia. Ia memegang lengan Daniel tanpa sadar, mencari keseimbangan. Daniel menatapnya dengan cemas, namun kebahagiaan halus juga tampak di matanya: untuk pertama kalinya, Nadia mencari perlindungan pada dirinya tanpa ragu. “Tidak apa-apa,” ucap Daniel lembut, jari-jarinya masih menyentuh bahu Nadia, memberi kehangatan. “Biar aku yang tutup pintunya.” Ia berjalan ke belakang, menutup pintu yang berderit pelan. Nadia memperhatikan punggung Daniel, postur tegap itu, cara ia mengamati ruangan untuk memastikan semuanya aman. Tidak ada laki-laki lain dalam hidupnya yang pernah sepeduli itu. Daniel kembali mendekat. “Kamu sering sendirian di rumah sebesar ini? Apa keluarga kamu tidak pernah kesini?” Nadia mengangguk pelan. “Tidak. Aku suka sepi.” Daniel tersenyum tipis. “Sama. Tapi malam ini… aku lega tidak kamu alami sendirian.” "Kalau boleh aku tahu, dimana keluargamu saat ini?" tanya D
Langkah mereka menyusuri jalan kecil Ubud yang licin oleh hujan. Nadia berjalan di depan, Daniel beberapa langkah di belakang, sesuai janjinya, tidak memaksa, hanya menjadi bayangan pelindung yang diam, lembut, dan sangat sulit diabaikan. Setiap kali Nadia menoleh, Daniel selalu ada di sana. Tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Seperti ia tahu persis jarak yang tepat untuk membuat Nadia merasa aman dan tanpa mengekang. Ketika Nadia sampai di depan rumah kecilnya, sebuah lampu kuning temaram dari teras menerangi wajahnya. Ia menoleh ke Daniel yang berhenti di bawah pohon. “Terima kasih… sudah mengantar,” ucap Nadia, suaranya pelan tapi tulus. Daniel mengangguk. “Anytime.” Hujan turun lebih deras, membuat Nadia harus berteriak sedikit, “Kamu mau berteduh sebentar? Hujannya makin deras.” Daniel menatapnya lama. “Kamu yakin?” Nadia merasakan jantungnya melonjak. Pertanyaan itu sederhana, tetapi caranya mengucapkan begitu dalam, rendah, seperti memberinya kesempatan un
Hujan turun pelan malam itu, merembes dari atap jerami cafe dan jatuh seperti tirai tipis di depan pintu. Nadia menutup cafe lebih cepat dari biasanya. Entah kenapa, hari itu terasa lebih berat baginya. Atau mungkin.. terlalu penuh dengan perasaan yang tidak ia pahami. Ia sedang mengunci pintu ketika sebuah payung hitam tiba-tiba terbuka di belakangnya. Daniel. Lelaki itu berdiri hanya satu langkah darinya, jaket kulitnya sedikit basah di bagian bahu, rambut cokelat terang itu terpercik hujan, membuatnya terlihat lebih dewasa, lebih maskulin, lebih… memabukkan. “Kamu pulang jalan kaki?” tanya Daniel, suaranya lembut tapi terdengar seperti teguran manis. Nadia menghindari tatapannya. “Iya. Rumahku tidak jauh dari sini.” Selama mereka dekat, Daniel belum pernah berkunjung kerumah Nadia. Daniel mendekat, menurunkan payung agar melindungi mereka berdua. “Aku antar.” Nadia menggeleng cepat. “Tidak perlu. Aku baik-baik saja. Aku sudah terbiasa pulang sendiri”"Sekarang sedang
Senja turun pelan di Ubud. Cahaya oranye memantul pada kaca-kaca kecil jendela cafe Nadia, seperti lukisan yang belum selesai. Nadia berdiri di balik meja bar, berusaha mengatur napasnya yang sejak tadi tak karuan. Bukan karena pelanggan, bukan karena hari yang panjang, tapi karena Daniel. Lelaki itu duduk di meja luar, menatap layar kameranya sambil sesekali mengernyitkan dahinya, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Atau… seseorang. Nadia tahu ia harusnya mengabaikan Daniel. Konflik kecil mereka kemarin masih menggantung seperti kabut tipis: tajam tapi tak terlihat. Daniel ingin mengambil foto di area cafe tanpa izin, dan Nadia, yang perfeksionis soal privasi tempatnya langsung menegur dengan nada dingin. Dan sejak itu, percakapan diantara mereka terasa penuh jarak. Namun entah kenapa, hari ini pria bule itu datang lagi. Seperti sengaja mencari sesuatu atau seseorang. Nadia berusaha cuek, tapi matanya terus saja melirik ke arah Daniel. Dan ketika seorang perempuan
Siang di Ubud mulai padat. Jalanan dipenuhi turis, suara motor bersahut‑sahutan, dan angin membawa aroma rempah dari warung sekitar. Di dalam kafe, suasananya tampak normal, pelanggan datang dan pergi, tapi hati Nadia masih belum tenang. Daniel, sebaliknya, terlihat sangat tenang. Bahkan terlalu tenang. Ia duduk di pojok ruangan dekat jendela sambil mengedit foto di laptopnya. Sesekali, ia mengangkat kepala dan menatap kearah Nadia, tatapan yang selalu berhasil membuat Nadia kehilangan fokus. Dan ia tahu Daniel melakukannya sengaja. Setelah pelanggan terakhir di jam makan siang pergi, suasana menjadi lebih hening. Ia meminta karyawannya untuk beristirahat sebentar. Nadia sedang membersihkan meja ketika suara kursi digeser membuatnya menoleh. "Nadia... " ucap Daniel pelan. "Apa? Kamu mau espresso? Sebentar" jawab Nadia tanpa menoleh, ia melanjutkan untuk membersihkan meja. Daniel berdiri, menyampirkan kamera di bahunya dan berjalan kearah Nadia, "Nadia, kita perlu ngomong sekara







