Devan menengokkan wajahnya ke kiri dan ke kanan, memperhatikan sekitaran rumah. Setelah memastikan keadaan aman, tangan kanannya terangkat untuk mengetuk pintu kayu di depannya."Sya? Ini saya," kata Devan disela kegiatan mengetuk pintu rumah."Pak Devan. Masuk saja pintunya ngga dikunci," kata Disya dari dalam rumah dengan suara yang cukup kencang.Devan memegang handle pintu, membukanya perlahan. Benar, pintu tidak dikunci, lelaki itu langsung masuk ke dalam, mengendap-endap, menatap ke setiap penjuru rumah berlaga seperti seseorang yang akan mencuri saja. Tersadar dari gelagat aneh yang lelaki itu lakukan, Devan menegakkan tubuhnya, kembali memanggil Disya, "Sya?""Disya di kamar, Pak Devan masuk aja."Dengan langkah pasti Devan melangkahkan kakinya menuju ke kamar Disya. Sekitar tiga tahun yang lalu, Devan pernah mengunjungi rumah ini, tentu dia hafal di mana letak kamar Disya. Pintu kamarnya terbuka lebar, saat Devan baru melangkahkan kakinya di depan pintu, dia melihat Disya yan
"Setelah pulang dari sini, kita bisa menemui Bang Sam. Membicarakan tentang hubungan kita."Disya pada akhirnya mengatakan itu saat masih berada di Jogja di rumah nenek dan kakeknya. Sebelum membicarakan hubungan mereka kepada masing-masing kedua keluarga, Disya memutuskan membicarakannya kepada samudra terlebih dahulu. Setelah Samudra setuju, baru kedua keluarga akan diberi tahu.Devan jelas langsung setuju. Lelaki itu semangat sekali.Besok, Disya sudah ada janji dengan Samudra untuk bertemu. Katanya lelaki itu akan menjelaskan hubungannya dengan Naya. Itu bagus, setelah itu Disya akan menyuruh Devan untuk datang, dan mereka akan membicarakan tentang hubungan keduanya. Mereka butuh kejelasan dari hubungan mereka 'kan? Tidak mungkin mereka berdua akan terus bersembunyi seperti ini.Semoga Samudra akan mengerti, dan luluh.Omong-omong tentang hubungan Samudra dan Naya yang katanya sudah berakhir sejak lama, apakah Devan tidak akan terkejut mengetahuinya? Apakah benar sikap Disya yang
"Setelah pulang dari kantor Abang free ngga? Atau ada janji, atau ada urusan?" Naya sudah bergelayut manja melingkarkan tangannya di lengan Devan. Mereka sedang menuruni anak tangga menuju ke ruang makan untuk sarapan pagi tadi."Jam delapan sudah ada janji. Kenapa memangnya?" tanya Devan penasaran."Yah." Naya terlihat memanyunkan bibirnya. "Urusan pekerjaan?" lanjutnya bertanya.Devan menggeleng. "Bukan urusan pekerjaan sih, tapi ini urusan cukup penting, sangat penting. Ada apa?"Jam delapan, Disya memberi informasi jika akan bertemu dan membicarakan tentang kembalinya hubungan mereka kepada Samudra. Tentu saja pertemuan ini sangat penting untuk Devan dan Disya."Malam ini, niatnya Nay mau ngenalin calon Nay, sama Abang."Devan langsung menatap Naya dengan kening mengkerut bingung. Namun, detik berikutnya sebuah senyuman kecil tercetak jelas di bibirnya. "Calon?" ulang Devan memastikan kembali ucapan adiknya.Naya mengangguk sambil mengulum bibirnya. "Jangan bilang dulu sama Mamah
"Demi Tuhan saya tidak akan menyetujui hubungan kalian berdua. Kamu akan membalas dendam? Melakukan apa yang sudah saya lakukan kepada kedua adikmu?" Devan menatap Samudra yang duduk tepat di depannya dengan tatapan tajam.Samudra tidak merasa terintimidasi dengan tatapan Devan sama sekali, bahkan lelaki itu dengan berani membalas tatapan tajam Devan."Naya tidak ada hubungan apapun dengan masalah ini. Kamu hanya dendam dengan saya 'kan? Kamu harusnya membalas dendam langsung kepada saya, tidak perlu menyeret Naya ke dalam masalah ini!" Gurat marah jelas terlihat dari wajah Devan, bisa dilihat wajahnya yang memerah, kilat marah terpancar dari kedua matanya, rahangnya mengeras, urat-urat disekitaran lehernya bahkan terlihat menonjol. Devan benar-benar sedang marah saat ini.Samudra menyunginggkan senyumnya. "Balas dendam... kalian berdua terus membahas masalah itu. Saya muak mendengarnya.""Lalu apa tujuanmu ingin menikahi Naya?"Samudra terdiam untuk beberapa saat, melipat kedua tanga
Disya menundukkan wajahnya dalam, masih menangis sesenggukkan. Benarkah ucapan yang dikatakan Devan beberapa menit yang lalu? Tentang dia yang tidak akan menemui Disya lagi? Itu artinya hubungan mereka benar-benar berakhir. Padahal mereka baru memulainya kembali, tapi sudah harus diakhiri begitu saja?“Siapa yang mengundang Pak Devan untuk datang ke sini?” tanya Disya mendongakkan wajahnya menatap Samudra yang masih duduk di tempatnya semula, dengan tatapan marah tentu saja.“Naya, kita berdua sepakat untuk memberi tahu rencana pernikahan kami berdua.”Disya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Menikah… dengan alasan hanya ingin? Apa-apan itu, Bang?” tanya Disya lagi dengan suara sangat pelan, namun ada penekanan di setiap kalimatnya.“Kita saling mencintai.”Perempuan itu tersenyum miring mendengar ucapan Samudra. Bangun dari duduknya, lalu kembali duduk di kursi yang berada di sampingnya—kursi yang Devan duduki tadi, agar bisa berhadapan langsung dengan Samudra. Menatap tepat di manik m
Devan benar tentang ucapannya yang memutus hubungan kedua keluarga. Sudah tiga hari sejak kejadian itu, Kai tidak diperbolehkan untuk menemui atau bahkan mengunjungi keluarga Disya. Lelaki itu tidak main-main dengan perkataannya."Dad! Aku mau ketemu Mommy, kenapa kita tidak boleh bertemu?!" Kai bertanya, menatap Devan dengan tampang memelas.Devan tidak menjawab, memilih sibuk dengan sarapan di depannya, juga iPad yang berada di tangannya, mengabaikan rengekan Kai."Daddy, dengar aku tidak sih?!""Kamu akan baik-baik saja tanpa Mommy."Sebelum Disya hadir ditengah-tengah mereka, semuanya berjalan baik-baik saja. Ini hanya fase di mana keadaan kembali ke titik di mana sebelum mereka berdua bertemu dengan Disya. Ya... mereka bisa menjalani kehidupan seperti biasanya. Mereka akan kembali menjalani hidup berdua—hanya Kai, dan Devan."Tidak! Aku ingin bertemu Mommy!" Kai menatap wajah Devan dengan kedua manik matanya yang sudah berkaca-kaca hendak menangis.Lelaki yang lebih tua, menyimpa
“Mamah masih sedang mencoba memahami dan mengikhlaskan hubungan pertunangan kamu yang berakhir dengan Raina, Bang. Dan sekarang apa ini?” Gina memegang pundak Samudra, mengguncangnya kuat dengan kening mengkerut, dan sorot terlukanya. “Kamu meminta ijin untuk menikah dengan Naya. Naya adik Devan, kenapa?!”Disya dan Dina yang masih berada di tengah anak tangga, untuk turun menuju ruang tengah mendengar suara Gina. Disya tidak terlalu terkejut tentang ini, karena ia sudah tahu, tetapi Dina jelas baru mengetahui tentang ini. Langkahnya semakin cepat, menggenggam tangan Disya agar cepat sampai di ruang tengah.“Aku hanya meminta restu.”Gina menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Kenapa harus Naya?”“Ada masalah dengan Naya?” tanya Samudra terkesan dingin.“Jelas masalah, Bang.” Gina frustasi.Gina menatap Dina yang sudah duduk bergabung dengan Disya. “Mba, lihat! Samudra meminta ijin untuk menikah dengan Naya setelah memutuskan hubungannya dengan Raina,” adu Gina kepada Dina dengan waja
Memberhentikan mobilnya tepat di depan rumah Disya, Devan segera membuka safety beltnya, keluar dari mobil, lalu membukakan pintu mobil untuk Disya. “Ayo! Saya sudah janji sama Samudra, bahwa saya tidak akan menemui kamau lagi.”“Pak Devan…,” rengek Disya mendongak menatap Devan, dengan masih duduk di kursinya, enggan beranjak dari sana.“Sya, ayo!”“Bagaimana kalau benar, mereka sudah mengenal sejak lama, Bang Sam dan Naya sudah bertemu sejak lama?”Devan menggeleng.“Bagaimana kalau benar mereka saling mencintai?” tanya Disya lagi berusaha meyakinkan lelaki itu.Devan menatap Disya dengan sorot dinginnya, seolah tidak memahami dan menyetujui ucapan mantan istrinya itu. Cinta? Yang benar saja? Sudah pasti Samudra memanfaatkan Naya untuk membalas perlakuan Devan dulu kepada Disya dan Naisnya, pikir Devan.“Cinta? Tidak masuk akal,” decih Devan menarik paksa lengan Disya untuk bangun dari duduknya, keluar dari mobil.“Apanya yang tidak masuk akal? Cinta itu masuk akal, mereka saling men