Suara ketukan di pintu rumah utama kediamannya membuat kedua perempuan berbeda usia yang sedang menyantap sarapannya di meja makan saling memandang satu sama lain, seolah sama-sama bertanya siapa yang berkunjung ke rumah pagi-pagi sekali.“Bunda saja yang buka, kamu selesaikan sarapannya saja,” kata Dina yang setelah mendapat anggukkan dari putrinya langsung melangkah meninggalkan meja makan untuk membuka pintu.Disya secepat mungkin menyelesaikan sarapannya, karena memang pagi ini ia akan datang ke rumah Devan. Mulutnya sibuk mengunyah roti keju, dengan kedua mata yang sibuk melihat sudah sampai mana motor yang dipesan untuk mengantarnya pagi ini.“Sudah sarapan? Ayo ikut sarapan bareng, Lif!”Mengernyit, Disya langsung menengokkan wajahnya menatap kehadiran Bundanya yang kembali menuju meja makan dengan seorang lelaki yang tentu saja sangat ia kenali—Alif, pagi-pagi sekali berkunjung ke rumah, sedikit menyebalkan bagi Disya, perempuan itu sudah memasang wajah masam menatap kehadiran
Disya, Devan, dan Kai sudah duduk berkumpul di ruang tengah. Suasananya masih tidak mengenakan, isak tangis Disya masih terdengar walaupun tidak sehebat sebelumnya, duduk di samping Kai dengan tangan yang saling menggenggam satu sama lain, sedangkan Devan duduk di single sofa yang ada di hadapan keduanya. “Mari kita selesaikan semua kesalah pahaman ini. Kai mengatakan kepada saya bahwa dia akan kembali tinggal di rumah ini—selamanya, bersama saya. Saya tidak menghasut ataupun memaksa Kai untuk melakukan hal itu, Kai sendiri yang meminta.” Mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan satu tangan, sedangkan tangan yang lainnya semakin menggenggam tangan Kai erat. Disya tidak mengeluarkan suaranya untuk membalas ucapan Devan, ia sangat sedih mendengar penjelasannya. “Mom—” Kai menatap Disya, mengelus punggung tangannya yang sedari tadi saling menggenggam. “Maaf, ini memang keputusanku, Daddy tidak memaksa aku untuk kembali tinggal di sini.”
Sudah sekitar tiga harian ini Disya selalu berdiam di rumah, mengurung diri di kamar, tidak ke luar, bahkan tidak ke store—hanya berkomunikasi lewat handphone jika ada sesuatu hal yang urgent di sana. Sudah menceritakan semua kepada keluarganya tentang Kai. Awalnya mereka sedikit terkejut dan kesal tentu saja, tetapi Kai memang lebih berhak tinggal bersama keluarga Devan. Walaupun tidak tinggal di rumah mereka lagi, setidaknya mereka masih bisa bertemu dengan Kai, masih bisa bermain dengannya. Lagipula, ini keinginan Kai sendiri, bukan paksaan dari pihak manapun.Dina menghela napas pelan di ambang pintu kamar putrinya, Disya tidak terus-terusan menangis, tetapi yang dilakukan perempuan itu hanyalah berbaring di atas kasur, sambil memangku laptop menonton drama korea, dengan mulut sibuk memakan coklat, dan ciki-cikian, atau cemilan yang lainnya.“Sayang sudahan ya galaunya,” kata Dina yang sudah melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar, duduk di pinggiran kasur.Menatap kehadiran Din
Disya bukan sengaja memberi tahu Alif tentang hubungan Disya dan Devan yang adalah mantan pasangan suami istri untuk membuat Alif membencinya—ia hanya mengatakan yang sebenarnya tentang masa lalunya. Alif memutuskan untuk bersama Disya, mengambil hati Disya, menjalin hubungan dengan Disya—itu artinya Alif harus mengetahui tentang ini, Disya tidak ingin ada rahasia yang disembunyikan. “Jujur gue kaget, Sya. Tapi... thanks udah mau jujur sama gue. Ngga heran sih hubungan lo sama Pak Devan udah terlalu jauh banget ya dulu, lo sama Kai aja deket banget keliatannya.” “Gue ngga masalah, Sya. Itu bagian dari masa lalu lo sama Pak Devan. Gue ngga akan kepo dan maksa lo cerita tentang kenapa lo sama Pak Devan pisah, tapi barangkali lo mau cerita sama gue, gue akan siap dengerin.” Positif sekali Alif ini ‘kan? Dia menjawab seperti itu tentang pernyataan Disya sebelumnya. Entahlah Disya harus bersyukur atau bagaimana tentang ini. Mobil gray civ
H-3 menuju acara pernikahan Samudra dan Naya—semua orang semakin sibuk berkali-kali lipat dari hari sebelumnya. Walaupun acara sudah diserahkan kepada tim wedding organizer untuk mengurus segalanya, tetapi tetap saja yang namanya orang tua akan tetap menyibukkan dirinya sendiri—ada saja yang dikerjakan, dikhawatirkan ada yang kurang atau tidak sesuai keinginan untuk acara nanti.“Katanya mereka ini ngga mau hadir di acara nanti—kita sudah menawarkan sejak awal, mereka menolaknya, tetapi sekarang tiba-tiba menanyakan kapan pakaian mereka akan dikirim?!” Gina menunjukkan layar handphonenya kepada Dina dan Doni dengan wajah kesal.“Siapa itu? Mba Yanti?” tanya Dina memastikan.“Ya mereka-mereka itu Mba, belum anak-anak, dan menantunya!” balas Gina frustasi.Dina menampilkan senyum manis di bibirnya, mengelus bahu Gina pelan. “Yasudah mau gimana lagi, bersyukur mereka berniat akan datang—”“Pakaiannya, Mba? Masa mau dibuat dadakan sih?” gerutu Gina.“Masih ada waktu tiga hari, Na....”“Ka
“Oh shit!” Devan mengumpat. Memberhentikan mobilnya di pinggir jalan, mematikan mesin mobil, lalu membuka pintu mobil untuk ke luar setelah sebelumnya melepaskan safety belt yang dipakainya, melangkah mengecek ban mobil bagian belakang.Menatap ke sekeliling, untuk memastikan tidak ada orang mencurigakan yang sudah menunggunya. Devan bisa melihat ban mobilnya bocor disebabkan oleh ranjau paku yang sepertinya memang sengaja disebar di jalanan sepi ini—bisa jadi yang menyebar ranjau adalah para pelaku begal yang berniat jahat, tetapi beruntungnya Devan tidak menemukan seseorang yang menghampirinya dengan mencurigakan.“Kenapa, Pak Devan?” tanya Disya yang sudah berada di sampingnya, sesekali matanya melirik ke kanan dan ke kiri dengan takut-takut—ini sudah malam, jalanan yang dilaluinya juga sangat sepi sekali, Disya takut.“Bannya bocor, saya akan menelepon—”“Apa?!” teriak Disya sangat kenecang sekali, memotong cepat penjelasan Devan. Memejamkan mata dengan bibir yang dikerucutkan sed
“Udah ngga papa, Pak. Tempatnya bersih kok—” jelas Disya ketika melihat Devan tidak juga melangkah masuk ke dalam kamar, hanya berdiri dengan pandangan mengedar menatap sekeliling dengan ekspresi tidak suka.“Pak Devan bakalan baik-baik aja kok, ayo masuk!” ajak Disya lagi.Devan beralih menatap Disya yang sudah melangkah duduk di pinggiran kasur, sibuk mengeluarkan handphone dan chargerannya dari dalam tas. Benar! Akan baik-baik saja karena Devan bersama Disya di sini. Melangkah masuk menghampiri Disya, Devan terus memperhatikan perempuan di depannya.“Pak Devan juga mau charger handphone kan?” tanya Disya mendongak menatap Devan, detik berikutnya memperhatikan kembali sekitar mencari stop kontak lainnya yang ada di kamar ini— “Stop kontaknya cuman satu ya?” tanya Disya karena tidak menemukan stop kontak lainnya, hanya ada satu menempel di dinding dekat meja nakas samping tempat tidur.“Handphone kamu saja dulu, biar bisa hubungi orang rumah, Alif juga pasti khawatir.”Ekspresi wajah
"Wah! Disya lo benar-benar luar biasa! Bisa buat seseorang kaya Bang Devan jadi bucin banget gini," komentar Gio yang baru saja membuka pintu kamar kakak sepupunya.Kamar luas dengan nuansa monokrom, hampir semua furniture dan segala pernak-pernik di dalamnya berwarna gelap. Namun, siapapun yang memasuki kamar ini pasti matanya akan langsung tertarik untuk menatap beberapa boneka yang ada di atas kasur. Warnanya bermacam ada pink, biru, purple—tentu saja warna-warna cerah seperti itu akan terlihat menonjol.Gio menggeleng-gelengkan kepalanya menatap sekitar, namun kakinya kembali melangkah menuju pintu yang akan mengantarkannya ke dalam ruang kerja Devan. Lelaki itu ditugaskan oleh Devan untuk mengambil map berwarna merah maroon di meja kerjanya.Gio mengeluarkan handphonenya, memotret kamar Devan sambil terkekeh lucu. "Ini kalau gue sebar di media bakal geger nih, seorang Devan Zayn Ganendra ngoleksi boneka-boneka warna pink di kamarnya...." Setelah selesai dengan kegiatan memotretny